Tiga belas
Aku tak bosen untuk menelpon Arza. I never lose courage for call him..
“Ayo Arza angkat teleponku” Karena tak sabar kemudian aku SMS-nya
To: Arza
Za, plis bls sms gue.
Tidak ada jawaban… dia gak akan membalas SMS-ku.
Arza ayolah za……. Aku berharap dalam hati
Mas Bintang nyelonong masuk ke kamarku. Ternyata ia sukses menebak tingkahku yang blingsatan seperti ini
“Ada masalah lagi” tanyanya
Aku mengagguk kemudian menerawang mamandang Mas bintang
“Kenapa ? bukanya kemarin kamu abis jalan sama sama siapa tu? Oh iya Elang ! “kata Mas Bintang mengingat semalam Elang mengajakku keluar. Kepedihan menggoyakku saat aku teringat wajahnya. Mendengar namanya membuatku sangat tersiksa. Aku menggeleng, kalut, putus asa, ingin lepas saei cengkraman kepedihan itu.
“Bukan dia”
“Terus ? “
Aku menunjukan SMS terakhir dari Arza pada Mas Bintang. so…. Sekarang Mas Bintang mengerti.
“Semua yang kamu hadapi harus sesuai dengan diri kamu, ikuti apa kata hatimu, dan tetap harus melihat sekitarmu” tegas mas bintang kemudian aku kembali menerawang. Aku mengangguk pasti setelah sukses mencerna kata-kata Petuah dari Mas Bintang.
“Lalu Mas Bintang gimana sama cewek yang yang mas taksir dikampus?” kataku mengalihkan pembicaraan, jadi Mas Bintang gak terus–terusan terlibat dan ikut pusing atas masalahku. otakku saja hampir overload memikirkan masalahku ini. Cukup aku sajalah yang merasakan walaupun kata Mas Bintang. aku harus terbuka tapi bukan berarti semua masalahku, ku umbar padanya. nanti Mas Bintang malah ikutan pusing lagi.
Mas Bintang senyam-senyum. Ia tersipu malu atas pertanyaanku. Ini malah memancingku untuk lebih penasaran.
“Kenapa Mas? Ditanya ko malah senyam-senyum?” Tanyaku heran.
“Mas udah jadian dong hehe” kata mas bintang sambil berhehe-ria.
“Jadian? Berarti Mas Bintang punya pacar?” tanyaku memastikan mas bintang mengagguk seraya menggulung senyuman kearahku.
Aku turut senang atas Mas Bintang , yang aku tahu Mas Bintang udah lamaaaa banget nge-jomblo kalo di itung hampir setengah abad .lho?. lho?. eh salah ding hehe. Maksudku, sudah 2 tahun lama juga kan?. Tapi, labih lama aku tau. Aku menjomblo 17 tahun alias belom pernah pacaran masih polos dong. Masih disegel lagi hehe. dua tahun lalu mas bintang emang cerita kalo dia pacaran dengan cewek yang namanya vero. Veronica.
Dia ku pastikan cantik, dewasa, interesting dan pastinya setia. Aku gak begitu tau alasan mereka putus tu apa? Yang jelas pasca putus sikap mas bintang berubah. Ia lebih sering mengurung diri di kamar. Bahkan lebih cenderung menjadi orang pendiam. Mas bintang memang suka pilih-pilih dalam masalah berpacaran. Terutama mas bintang pilih cewek yang cantik dan setia. Tapi ku rasa semua orang maunya begitu. Itu merupakan hal yang pokok dalam daftar tipe dan persaratan buat yang mau jadi pacar nya. Tapi tidak di bukukan kok. Hanya saja selalu tersirat dalam kepalanya.
Cewek yang cantik itu banyak. Aku juga cantik kok. Tapi kalo cewek setia? Belum tentu sepersekian ribu. Kadang ada juga yang SETIA. Tapi mereka sering menanamkan moto “gue suka lo ada apanya, bukan apa adanya” maklum mas bintangkan ganteng, menurutku. Dan mas bintang juga salah satu manusia yang masuk golongan mahasiswa bermobil. Pasti semua cewek mau banget berada di samping mas bintang dan berstatus sebagai PACARNYA. Ini yang aku tekankan.
Tapi ya, seperti yang tadi ku bilang. Mas bintang tidak sembarangan asal pilih cewek. Gak seperti beli kacang rebus pastinya.
“Pejeeeeeeeeeeee” kataku berteriak menodong PJ (pajak jadian) pastinya sama orang yang baru jadian. Masih anget kan hubungannya. Makanya asik banget buat di palakin traktiran.
“Mas. Tron legacy dong” aku kembali berandai menonton film di 21.
“GAK ADA TRON LEGACi-LEGACIAN”
“Narnia deh” aku kembali mengajukan usul yang membuat mas bintang kembali tersenyum geli. Menahan tawanya. Tapi aku bisa dengar suara tawanya walaupun dalam skala frekuensi yang tidak besar.
“woooo. Maunya! jaman sekarang gak ada yang gratis.”
“tapi kan pajak mas. Pajak!” aku berseru bersemangat.
“no. no. no. weekkk!” mas bintang malah melet melet ke arah ku. Lalu menimpaliku dengan timpukan bantal mautnya. Aku mulai tenggelam dalam adegan kejar-kejaran dengan mas bintang. Aku bisa lupa dalam sekejap dengan masalah yang mengeroyokku. Tapi usainya aku akan kembali mengingatnya lagi. Semuanya.
©©©
“Mah…” aku menghampiri Mamah di ruang kerja Papah. Ku lihat ia sedang sibuk dengan Laptopnya. Seperti biasa Mamah mengerjakan tugas kantor.
“Ada apa kamu? Tumben kesini?” Tanya Mamah seraya menyerengitkan alisnya.
Jelas Mamah terlihat sedikit heran. Karena aku tidak pernah keruang kerja Papah. Apalagi kalau tidak ada panggilan dari Mamah sebelumnya.
“Ee.. Mamah masih sibuk ya?” tanyaku pura-pura menyodorkan pertanyaan di tengah kesibukan Mamah untuk memastikan. Lalu aku duduk di sofa yang tertera di ruang kerja Papah sambil menaikan suhu AC agar tidak terlalu dingin. Menurutku ruangan ini sudah seperti kulkas.
“Iya. Kenapa memang kalo Mamah sibuk?” Mamah malah kembali bertanya tatapannya terus serius dengan layar Laptop. Jemarinya menari-nari di atas keyboard.
“Mamah gak lelah terus bekerja?” kataku. Lalu aku menaikan tubuhku di atas sofa. Dari sebelumnya posisiku masih duduk. Aku berbaring.
Mamah menghentikan tarian jemarinya. Dan tatapannya sejenak mengarah ke aku. “Bukannya kamu sudah tidak asing lagi melihat mamah seperti ini?” kata Mamah. Dan kembali perhatiannya ke pekerjannya.
Aku menyatukan alisku.
“Kamu lihat pernahkah Mamah bosan, dengan pekerjaan Mamah yang tiada habisnya?”
Kini aku menggeleng. Aku tau Mamah adalah tipe orang pekerja keras.
“Nah ambilah sendiri kesimpulannya” ujar Mamah.
Maksud Mamah? Aku bertanya dalam hati. Tubuhku masih mematung di atas sofa. Wajahku tertampak segudang tanda Tanya. Yang tadinya aku dapat mencerna pertanyaan mamah dengan jangka beberapa detik. Kini aku sudah hampir 60 detik tidak mengeluarkan suara. Mamah menatapku, kemudian ada bentuk senyum yang keluar dari bibir imut Mamah.
Ia melepas Laptop-nya. Lalu mendekatiku. Mengambil posisi duduk di samping badanku yang masih terbaring limbung. Aku menghela nafas pelan. Mbak Surti masuk dengan membawakan secangkir teh manis hangat dan beberapa biskuit yang di rangkai di atas nampan. Mungkin tadi Mamah memesannya. Tapi secangkir teh itu yang selalu menemani Mamah. Sambil menyeruput hangatnya teh sambil menuntaskan pekerjaannya. Teh itu yang bisa me-relekskan Mamah.
“Bi. Teh nya letakan disitu saja” pinta Mamah seraya menunjuk ke arah meja tepat di samping sofa.
“Iya bu.” Mbak Surti mengiyakan perintah Mamah. Lalu segera melaksanakannya.
“Mbak Tami mau dibikinin teh? Atau kopi?” Mbak Surti menawari jasanya untuk membuatkan aku sesuatu.
Aku menggeleng. “Enggak Mbak. Makasi”
Kemudian Mbak Surti pergi usai mendengar jawabanku. Aku sedang tidak ingin memasukan sesuatu ke dalam perutku.
“Sesuatu yang kita suka pasti akan kita kerjakan walau sesulit apapun itu. Sebanyak apapun itu.” Kata Mamah tersenyum karena lantaran sukses menjawab pertanyaan di otakku.
“Suka?” aku mengulang kata yang tadi mamah ucapkan tapi hanya dengan satu kata yang membuatku semakin bertanya-tanya.
“Berarti cinta?” lalu aku membuat argument sendiri. Padahal saat ini tidak membahas tetang perasaan. Tapi tanpa ku pikir lagi aku mengaitkannya.
Mamah kembali tersenyum. Kini menatapku. Dan mengangguk.
“ Terus mendalami walau sulit” Mamah mengartikan kata cinta dengan kata-katanya sendiri.
“Kamu tau bagaimana Mamah memahami diri Papahmu?” ia membuat pertanyaan yang aku tidak mengetahui jawabannya. Mamah menyeruput teh hangatnya sembari merangkai kata-kata untuk jawaban atas pertanyaannya.
“Papah adalah orang yang angkuh. Emosian. Disiplin mati. Dan dingin terhadap perempuan. Perlu waktu yang tidak sigkat untuk mengenal sekaligus memahami sosok papah. Semua Mamah jalani dengan penuh kesabaran. Tujuannya hanya satu yaitu hanya ingin mengetahui seluk beluk Papah dan segera bisa menikah dengannya. Tapi kalau kita selalu berpandangan terus ke hasil. Kita tidak akan pernah menikmati proses. Proses yang lama, yang di pahami, yang di jalani juga di nikmati membuahkan hasil yang lebih indah. Alhasil Mamah gak Cuma mengenal Papah. Tapi Mamah lebih mengerti bagaimana sikap Mamah saat papah begini. Apa yang harus Mamah lakukan saat Papah begitu.” Lalu Mamah menghentikan omongannya seraya kembali menyeruput teh nya. Aku tidak sabar untuk mendengar kelanjutan omongan Mamah. Tetapi aku labih memilih untuk sabar menunggu sampai Mamah kembali membuka mulut.
“Begitu juga kita terapkan ke semua hal. Termasuk pekerjaan Mamah yang semua orang memfonis melelahkan. Mamah jalani dengan penuh rasa kidmat. Merasakan lelahnya saat menjalani. Juga akan terasa puas saat mendapatkan hasil”
Aku mengangguk. Lalu tanpa kontrol aku malah bertanya yang melenceng dari konteks pembicaraan.
“Benarkah papah seperti itu? Dingin dengan semua perempuan? Tapi kenapa tidak denganku?”
Mamah kembali tersenyum. Mata Mamah menatap kearahku. Mata itu seperti dua buah kelereng berwarna coklat gelap. Besar. Bulat. Berkilauan. Namun kialunya kini tak seluruhnya tampak. Karena termakan oleh usia. Tapi aku bisa merasakan binaran mata Mamah yang menatapku hangat.
“Proses yang membuat Papah berubah. Dulu menurut Mamah, Papah adalah orang yang paling kejam sedunia. Ia sering kali mengintimidasi Mamah dengan sikapnya yang menjengkelkan. Sering mencari-cari masalah. Membuat perdebatan yang tidak penting tapi bikin emosi. Tapi di balik semua sikap yang menjengkelkan itu. Papah bilang, bahwa itu hanya trik yang di pakai untuk mendekati Mamah. Agar Mamah terus meladeninya. Walaupun dalam lengkingan nada tinggi yang spontan keluar dari mulut Mamah. Ataupun pelototan bola mata Mamah setiap kali berhadapan dengan Papah. Setelah Papah sukses mengambil hati Mamah. Pelan pelan sikapnya berubah. Ia seperti burung hantu yang reNkarnasi menjadi merpati indah. Hangat, perhatian dalam semua yang menyangkut Mamah. Papah yang mengecamkan bahwa Mamah lah sang dewi yang berhasil menyihir Papah. Dan kemudian papah menjadi jiwa yang hangat untuk keluarganya.” mamah mendeskripsikan perjalanan cintanya yang ternyata tidak jauh beda dengan yang aku alami. Hanya saja untuk bisa memiliki merpati indah itu masih dalam hayalan belaka.
“Kamu sendiri gimana? Kok sepertinya mamah belum pernah mendengar nama cowok yang kamu ucapkan sebagai pacarmu. Kecuali kemarin malam lelaki yang kerumah dan mengajakmu keluar. Siapa namanya? Ayo ceritakan. Mamah penasaran” Mamah seketika bersemangat ingin mengetahuinya.makanya ia mengalihkan pembicaraan. Aku tertegun. Membenarkan posisi tubuhku agar lebih nyaman.
Aku menarik nafas. Lalu menceritakan semua keluh kesahku. Dan bla-bla-blanya. Dengan penuh rasa kesal. Sedih. Suka. Sekali pun marah ku tumpahkan semuanya. Mamah tertawa kecil melihat aktingku menceritakan semuanya. Tapi aku sedang tidak ber-akting melainkan luapan emosiku pada orang yang ku ceritakan pada mamah. Setelah aku bercerita panjang kali lebar. Mamah hanya menyimpulkan.
“Dia tidak seperti yang kamu bayangkan”
Aku kembali bisu.
“Yang ini kamu artikan sendiri oke. Mamah mau nerusin tugas kantor” mamah kembali ke meja kerjanya. Meneruskan hal yang di cintainya. Dengan rasa tanggung jawabnya. Sementara aku kembali ke kamar.
©©©
Empat belas
“Gue kira lo gamasuk!” kata febry yang menodongku pertanyaan waktu aku baru saja menempatkan bokongku di atas bangku-ku. Febry paham kejadian yang menimpaku. Masalah perseturuanku dengan Hany. Makanya dia bisa ngomong lancar begitu.
aku mengankat bahuku. Menghela nafas perlahan lalu angkat bicara.
“Why do you think it?”
Kata-kataku membuat Febry keki. Dan ia tidak membahasnya lagi.
“Elisa mana?” tanyaku
“Lagi ngegencet anak kelas satu” jawab ferbry.
“Lo gak ikut?”
“males ah!. Junior yang gue incer udah tiga hari gak masuk” katanay dengan nada tak bersemangat. Aku tergelak. Kemudian tak berkomentar.
Junior yang di maksud adalah adik kelas khususnya “cewek” yang kecentilan cari perhatian sama Elang. Tentunya Febry dan Elisa gak rela dong kalo pangerannya di rebut gitu aja sama anak yang umurnya belom lama di sekolah. Ternyata hormone feromon Elang tidak hanya menyebar luas di angkatanku. Tapi juga di adik kelasku.
Bahkan dua angkatan di bawahku juga. Mereka yang masih terlihat imut-imut tapi centilnya amit-amit sering manjadi korban ke senioritasan Febry dan elisa. Sebenernya korban hipnotis kegantengannya Elang juga sih. Untuk mencari perhatian seorang Elang tikus-tikus centil itu berhias secantik mungkin berharap dengan kecantikannya pandangan Elang tertuju padanya. Menurut mereka sosok Elang sudah nyaris seperti pangeran nyarasar dari negri antah berantah.
GANTENG. Udah pasti! Itu hal yang tidak bisa di pungkiri lagi. Cuma cewek yang seleranya abnormal yang gak mau sama Elang. Aku yakin gak ada satu orang hawa yang berani mengeluarkan sumpah serapahnya kalo Elang itu jelek.
SENYUMAN. Hal yang dinantikan semua cewek untuk di senyumin sama seorang Elang. Kalo abis di senyumnin tuh di jamin bakal mimpi indah. Itu argumennya Febry. Ya aku si percaya gak percaya. Tapi waktu dapet senyumannya itu bikin aku klepek-klepek.
TAJIR. Ini kenyataan! Hal yang real yang tertera pada sosok Elang. Apalagi Elang bawa mobil ke sekolah. Banyak cewek yang ngantri. Mau ikut tumpangannya.
Tapi kenapa dulu aku benci banget ya sama Elang? Malah hampir amit-amit kalo ngedenger namanya. Semua orang membicarakan Elang. Tapi aku dulu malah sebodoamat. Persetan dengan Elang!. Mungkin karena sikapnya yang nyolot itu kali ya?. Ih aku menci banget kalo inget soal itu. Isi perutku langsung bergejolak rasanya.
Elisa masuk ke dalam kelas dengan menyeret wajah penuh kesal.
“Kenapa sa? Gak dapet mangsa lagi?” tanyaku jail.
“Bukan.” Katanya seraya menempatkan diri di sampingku. Lalu melanjutkan perkataanya. “Mangsa si banyak!. Tinggal comot terus kunciin di kamar mandi” ia menyangga pertanyaanku.
Aku tertegun. Kemudian Febry yang malah angkat bicara. Sebelumnya ia menghela nafas panjang. Berkeluh.
“Gue udah bilang kalo lo mau buka pers di depan anak kelas satu, jangan sekarang!. Duh, elo tuh udah di bilangin masih aja bego!” kata febry masih terus dengan gaya tolak pinggangnya. Ih Febry!. Jakarta sempit tau!.
“Lagi kenapa musti ngegencet anak kelas satu sih? Kan kasian tau” kataku menggubris tingkah laku mereka.
Mentang-mentang kelas XII seenak jidatnya ngegencetin anak kelas satu. Aku sedikit menentang ke-senioritas-an. Menurutku itu merupakan hal yang tidak penting. Banyak hal yang harus kulakukan. Tentunya lebih penting. Karena hal itu terjadi kesenjangan dengan anak kelas sepuluh. Bahkan banyak anak yang jadi korban lantaran karena ketidak tahuan mereka atas sistem ini.
“Aduh tamii lo tuh masih gak ngerti juga sih.” Kata elisa mengaduh.
“Kalo gak kita yang nerusin kesenioritasan ini. siapa lagi? Mumpung masih kelas duabelas. Ntar lo di tempat kuliah lo jadi junior lagi yang sok culun. Sok polos buat menghindari senior lo!” tambah Febry mantap. (kita? Mendingan elo berdua aja. gue gak ikutan!).
“Lo inget kan gimana dulu kak monik memperlakukan lo?” Febry melanjutkan kata-katanya yang makin meninggi.
Ia mengungkit masa lalu ku.waktu itu aku baru beberapa hari tercatat sebagai murid disini. Aku yang masih polos dan mungkin bisa di bilang belum banyak dosa buku catatanku masih tipis lah. Tidak seperti sekarang yang kian menebal secara terus menerus.waktu itu aku berniat mengembalikan saputangannya kak Geo yang tertinggal di dalam kelasku sewaktu ia jadi panitia MOS. Dan kebetulan kelasku mendapat kakak pembimbing kak Geo.
Saat itu Kak Geo lah yang menjadi superstar di sekolah. Tapi sayang untuk anak kelas sepuluh sepertiku dilarang ikut serta untuk mengaguminya. Aku menghampiri kak Geo dan langsung memberikan saputangannya. Setelah itu tidak ada hal lain yang ku inginkan darinya. Aku segera lekas pulang. Karena sudah tidak adalagi keperluan untuk berlama-lama di sekolah. Yang ada mamah nyariin nantinya.
Lalu aku pulang menunggu jemputan dari mas bintang. Saat itu arza sedang tidak masuk sekolah karena harus mengantar bokapnya ke dokter. Hampir 5 menit aku menunggu. Para antek-antek dari Kak Monik menghampiriku. Kak Laras dan Kak Indah. Mereka menyeretku kedalam mobil. Pastinya secara paksa. Sebelumnya aku tidak mengerti apa yang mereka akan lalukan padaku.
Mereka hanya tertawa geli melihat wajahku yang hampir seperti mayat hidup. Pucat! Dan tentunya dengan tampang ketololanku ini yang membuat mereka tergelak-gelak. Hingga akhirnya kak monik angkat bicara.
“Anak jendral dari mana lo. Beraninya ngedeketin Geo?”
Jelas aku gelagepan pas di Tanya kayak gitu. Wong aku gak punya niat apapun. Aku kelu. Percuma aku menjelaskan ngalor-ngidul. Tapi, mereka tidak percaya. Akhirnya aku angkat bicara walaupun aku tidak menjelaskan.
“Kalo kakak mau tau yang pasti. Mending kakak Tanya langsung sama kak Geo aja deh”
kata-kataku sukses membuat mereka melotot. Matanya nyaris keluar malah. Untung saja tidak copot. Kak monik seketika menginjak rem kuat-kuat. Derit rem itu melengking kami yang berada di dalam mobil terpontang panting. Lalu terjorok kedepan. Ada yang terbentur dinding mobil. Bahkan ada yang sampai nyungsep kebawah. Kak monik menoleh ke arahku. Sorot matanya geram.
“Oh gitu? Oke kalo itumau lo” kata kak monik dengan nada santai. Tapi mengancam. Ia membuat kesepakatan yang tidak aku mengerti.
Sedetik kemudian mobil itu melaju kencang. Berang matanya menyorot arah jalanan. Pedalnya terus di injak kuat-kuat. Suara nya berderit-derit. Mengundang perhatian mobil di sekelilingnya. Satu dua mobil mengelaksoninya keras-keras. Kecepatanya berkurang saat kak Monik mengambil tiket untuk masuk ke dalam TOL. Lalu kembali melaju dengan kecepatan yang aku anggap terlalu cepat. Ini jauh dari kecepatan normal. Yang pasti saat itu aku tidak akan tau ingin di bawa kemana aku ini. Aku hanya menjerit-jerit dalam hati. Air mataku turun. Tapi, isakan tangisku tak terdengar.
Sekitar 20 kilometer dari mulut Tol mobil ini menepi. Mengurangi sedikit rasa ketakutanku. Tapi tidak ada lima detik setelah mobil itu berhenti di pinggir. Dan ini masih di dalam TOL. Kak monik memberi kode dan aku di tarik secara paksa oleh para kacungnya. Seperti saat mereka menyeretku ke dalam mobil tadi. Aku diturunkan dari mobil di buang di pinggir jalan, lalu di tinggalkan begitu saja.
Sungguh ironis waktu itu. Hari yang paling buruk dalam hidupku. Tapi, aku bukanlah tipikal orang yang suka balas dendam. Keladian yang menimpaku biarlah menjadi sebuah pengalaman. Walaupun itu sangat menyeramkan untuk di ingat. Sejak saat itu aku tidak pernah berani berhubungan dengan kakak kelas . siapapun dia. Mau ada keperluan apapun. Aku tetap menjaga jarak.
Aku sadar saat itu aku hanya seorang junior. Aku tidak akan meneeruskan kesenioritasan itu. Banyak mereka yang menyebalkan karena kecentilannya. Tapi lebih banyak lagi mereka yang tidak bersalah menjadi korban karena para seniornya yang sering kali membabibuta.
Tataran. Penindasan. Penculikan secara paksa. Penguncian di kamar mandi. Atau pembuangan ke jalan TOL. Ku hapuskan dalam pikiranku. Tidak aji mumpung sebagai senior. Aku tidak ingin di tindas maka aku tidak akan menindas. Logo ku itu PEACE!
©©©
Lima belas
Drrtt...drrtt..drrtt… handphone-ku bergetar saat bel istirahat baru saja bordering beberapa detik yang lalu. Satu panggilan masuk darinomer yang tidak aku kenal. 081798xxx
“Ya halo” sahutku
“Masih kenal sama gue?” Tanya orang di ujung sana.
“Siapa?” Tanya elisa sedikit berbisik.
Aku menaikan bahu. Pertanda tidak tau. Lalu aku segera melontarkan pertanyaan.
“Sori mungkin gue lupa. Tapi ini siapa?”
“Ini tami kan?” ia malah mengabaikan pertanyaanku. Ake menaikan alisku.
“Iya”
“Berarti gue gak salah sambung. Ini gue Yoka. Masih inget?”
Aku melotot. Lalu membisikan Elisa dan Febry yang sudah dari penasaran.
“Yoka” bisikku seraya menutup lubang suara di handphoneku agar yoka tidak mendengar suara kegaduhan mereka seketika mendengar kata Y-O-K-A.
“Serius? dia ngomong apa?” Tanya Febry penasaran.
“Sssttttt” aku membungkam mulut Febry. “berisik. Aduh nanti Yoka denger”
“Halo, Tami?”
“Eh iya iya. Kenapa?”
“Kok berisik banget? Banyak orang?”
“Hemm.. iya kan di kelas”
“Oh.. ee pulang sekolah jam berapa?”
“Setengah tiga. Kenapa? Mau jemput?” kataku asal menebak.
“Lho kok tau? Ngintip buku kegiatan gue ya?” lalu terdengar tawanya.
“Dia bilang apa?” Tanya elisa yang ikut penasaran.
“Mau jemput gue.” Kataku setengah berbisik.
“ENAK BANGET LOOO!” mereka serempak membuat kegaduhan.
“Sstttt. Gila berisik lo. Ntar kedengeran!” hardikku.
“Siapa si? Lo gak lagi nanggep topeng monyet kan?” Tanya yoka.
Aku tertawa pelan.
“Ya enggak lah. Gue gak semaniak itu kali. nanggep topeng monyet di sekolah” kataku seraya menatap Elisa dan Febry yang bisa ku pastikan mereka sedang geram.
“Haha. Bisa aja lo. Oke kalo gitu nanti setengah tiga gue udah berada di sekolah lo”
“Kalo ketauan sama Elang gimana?” kataku sedikit takut.
“Itu bisa di atur”
Lalu Febry merebut handphoneku. Dan dengan lancangnya ia bicara dengan Yoka. Sampai beberapa menit setelah ia dan Elisa puas bersendagurau dengan lawan bicaranya di telepon. Ia mengembalikan padaku. Ternyata masih tersambung dengan Yoka.
“Ya”
“Hehe. lo sebel ya sama mereka?”
“He’eh”
“Yaudah. Tenang aja pokok nya setengah tiga kita ketemu ya. Oke. Dahh sampai ketemu.”
Yoka menutup teleponnya.
©©©
Detik-detik terakhir memang terasa sangat lama. Rasanya hampir seabat bel itu tidak kunjung mengeluarkan teriakannya yang nyaring. Aku sudah tidak lagi konsen ke pelajaran. Percuma bu sarah menerangkan dari tadi. Pikirannku sudah tidak lagi nyambung untuk belajar. Padahal sudah beberapakali aku mencoba mengonsenkan pikiranku. Tapi hasilnya tetap saja nihil. tiada guna. Aku hanya memikirkan bel itu kapan berbunyi. Lima menit rasanya lama.
Kringgggggggggggggggggggg……..
“Ahh.. akhirnya” aku menghela nafas lega. Lalu bergegas memasukan bukuku ke dalam tas. Dan keluar dari kelas dengan langkah yang terburu-buru. Bahkan saat itu Bu Sarah belum beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan kelas. Aku berlari secepat kilat menuju luar sekolah. Secepat mungkin sebelum elang menemukanku.
Dan aku menemukan sosok Yoka yang tengah berdiri di samping mobilnya.
“Hai” sapanya lembut
“Ya” kataku tak bisa mengeluarkan lebih banyak kata lagi. Nafasku masih ter pogoh-pogoh.
“Abis kepergok maling ayam?” Tanya Yoka geli.
“Wo. sial lo!” aku menyeringai. “Emang tampang gue ada potongan maling?”
Yoka menyerengitkan keningnya. Lalu berkata. “dikit sih” kemudian ia tertawa melihat aku yang keki di buatnya. Aku menyikut yoka dengan ujung lenganku. Tapi aku juga tidak bisa menahan tawa. Dan setelah itu. Tanpa ba-bi-bu lagi yoka mempersilakan aku masku ke dalam mobilnya.
Ia mengajakku ke food croutd yang berada di margo city. Daerah depok. Aku hanya memesan es campur. Sementara yoka memesan steak panggang. Aku duduk barhadapan dengannya. Di sebuah meja yang menghadap ke arah eskalator. Aku melihat kilauan wajah yoka yang begitu manyinari hatiku.
“Sebenernya lo ngajak gue kesini mau ngapain?” tanyaku.
Yoka tersenyum. Lalu dengan santai-nya ia menjawab. “emang gak boleh kalo gue ngajak seorang cewek jalan?”
“Ee… iya boleh sih” kataku ragu. “Lo dapet nomer gue dari mana?” lanjutku spontan.
“Menurut lo?”
Aku mengangkat bahuku.
“Oke. Menurut gue itu pertanyaan yang tidak perlu gue jawab. So.. gak penting juga kita bahas kan?” katanya memberi kesimpulan. Tapi aku gak setuju.
“Tapi itu penting buat gue. Nomer itu privacy gue. Jadi gak salah dong kalo gue menanyakannya”
“Wess. Santai dong cantik. Oke gue bakalan jawab. Tapi janji setelah gue jawab. Kita gak akan membahas soal ini lagi. Setuju?”
Aku mengangguk sepakat.
“Gue ngambil dari hp Elang”
Aku tercengang. Seketika ingin marah. Dia ngambil nomerku dari HP Elang? Berarti elang tidak tau? His aku mau ngomong soal ini. Tapi, sayangnya. Aku janji gak mebahas soal ini lagi. Aku sudah terlanjur janji. Dan tidak ingin ingkar. Aku harus konsekuen. Aku menghembuskan nafas perlahan. Tapi hembusannya bisa dirasakan oleh Yoka.
“Lo ada acara ya hari ini?”
“Enggak” jawabku singkat.
Yoka memperhatikan sikapku yang sepertinya tidak bisa diam. Hemm bisa di bilang cemas. Tapi aku juga bingung aku mencemaskan apa. Di depan cowok seganteng yoka seharusnya aku bisa mengatur sikapku.
”Oww gue tau. Lo takut sama cowok lu ya?” tanyanya. Dalam bentuk kesimpulan lagi.
Aku menggeleng.
“Sama Elang?”
Aku kembali menggeleng untuk yang kedua kalinya.
“Lalu?”
Aku menghela nafas. “gue gak punya cowok” kataku terpaksa. Sebenernya aku tidak ingin mengatakannya. Tapi sesuatu yang memaksa.
“Serius lo belom punya pacar” kini nadanya lebih tinggi dari sebelumnya. Mampus aku! Lagi-lagi aku menampakkan ketololanku. Aku pikir yoka tidak akan membahasnya lagi. Ini malah sebaliknya. Mana suaranya keras. Cukup bisa terdengar jelas oleh orang-orang yang berada radius jarak tiga sampai empat meter dari tempat dudukku.
“Iya”jawabku pasrah.
“Oke. Berarti gue bebas!.” Katanya bersemangat.
“Maksud lo?” mataku kini menyipit.
“Iya. Gue bebas bisa ngajak lo kemana aja” lalu dia terdiam sebentar. Seraya meneguk minumannya. Dan berkata lagi. “hemm. Sekarang. Gue mau nembak lo”
aku bimbang. Tercengang. Sekaligus limbung di buatnya.
Aku melongo dibuatnya
Ia berdecak. Lalu tersenyum geli.
“Ck. Masa gak ngerti sih?. Gue ini mau jadi pacar lo. Lo mau gak jadi pacar gue?” tanyanya sekaligus menjelaskan.
Jelas aku gak ngerti. Aku kan gak pernah pacaran . jangankan pacaran di tembak aja aku belom pernah. Jadi wajar kan kalo aku bingung harus jawab apa. Tapi aku gak mau bilang soal yang ini. Bakal panjang lagi urusannya kalo aku menjelaskan detail yang ini. Enggak deh. Cukup yang tadi aja aku kepergok beberapa kali. Untuk selanjutnya aku harus hati-hati kalo bicara dengan orang ganteng di hadapanku ini.
“Jadi gimana? Lo mau gak jadi pacar gue?” tanyanya sekali lagi.
Drrtt…drrtt…drrtt.. ponsel ku bergetar. Panggilan masuk dari ARZA. Hah? Yang bener? Aku mengeja kata itu sekali lagi dengan pelan. A-R-Z-A. iya bener arza. Aku gak salah baca kok.
“Sori. Tinggal bentar ya.” Izinku pada yoka. Lalu yoka mempersilakan aku menerima telepon dengan anggukan kepalanya.
Aku melangkah beberapa meter menjauhi yoka. Hingga ku pastikan yoka tidak mendengar percakapan aku di telepon kalaupun seandainya terdengar pasti tidak akan jelas.
“Halo” sahutku ketika menerima panggilan dari Arza.
“Dimana?” Tanya nya.
“Gak dirumah” jawabku singkat. Sudah ku kira Arza akan menanyaiku seperti itu. Ia mungkin mendengar sekelilingku yang sedikit bising. Karena aku tidak lagi berada di kuburan.
“kalo lo masih mau berhubungan sama gue. Di tempat biasa” katanya singkat. Lalu ia memutuskan teleponnya begitu saja.
“Halo. Za? Halo?” aku mencoba ber halo-halo siapa tau Arza masih disana. Tapi usaha ku sia-sia.
Aku kembali ke tempat dudukku. Melihat yoka yang tersenyum menyambut kembali kedatanganku dengan senang hati. Tapi wajahku cemas. Tanganku masih menggenggam ponsel.
“Sorri. Gue harus nyelesain urusan gue.” Kataku seraya mengemasi tas ku.
“Kemana? Terus gue gimana? Gue di terima gak?” aku di lemparkan kembali pertanyaan yang tidak bisa ku jawab.
“Ada yang lebih penting. Ini menyangkut masa depan gue.”
“Berarti ada laki-laki lain selain gue?” Dengan rasa mual, aku pun memahami maksudnya. Aku menggeleng-geleng kepala. Berusaha menjernihkan pikiran. Yoka menungguku tanpa sedikitpun tanda tidak sabar.
“Gue gak tau.”
“Please jawab dulu. Gue butuh keputusan lo”
“Gue gak bisa jawab sekarang. Nanti kalo gue punya jawabannya gue bakalan langsung ngasih tau lo. Oke, gue cabut dulu. Yuk. Duluan ya. Dah” kataku tergesa-gesa.
Aku berlari secepat mungkin keluar dari mall itu. Beberapa orang tanpa kontrol ku tabrak. Tapi tidak mematahkan langkahku. Begitu aku meminta maar dan mengatakan. “SORRI” aku langsung maneruskan langkahku. Menyetop taksi lalu memberi perintah kepada pak supir untuk segera menuju tempat tujuan. Tempat yang di maksud adalah di sebuah bukit yang terletak di daerah depok. Untung saja masih di daerah depot. Tidak terlalu jauh dari tempat sebelumnya. Dan tidak terlalu lama untuk sampai tujuan.
Begitu sampai di mana tempat yang aku bilang. Aku segera membayar ongkos taksi. Lalu bergegas turun dari taksi. Hari mulai sore. Jingga menyinari langit. Tempat itu Nampak sepi. Aku sering kali kesini. Bersama Arza. Dimana aku menuhpahkan keluh kesahku. Arza bilang. Kalau kita berada di tempat ini. Lalu kita curahkan semuanya. Akan terasa kedamaian yang otomatis tercipta tanpa di rencanakan. Benar saja. Aku telah membuktikannya beberapa kali.
Aku melangkah menuju atas gundukan tanah berselimut rumput. Ini yang ku sebut bukit. Aku menemukan sosok yang mendiamiku. Sosok yang telah lama tidak berbicara padaku. Sosok yang selalu ku butuhkan untuk disampingku. Aku menghela nafas. Lalu berjalan mendekatinya.
“Gue kira lo gak dateng” ia menyambutku dengan pertanyaan yang membuat aku tercengang. Rupanya ia bisa menebak kehadiranku. Walau badannya membelakangiku.
“Kenapa lo ngomong kayak gitu?” tanyaku.
“Pulang sekolah kemana?” tanyanya mirip pertanyaan mamahku yang kalo aku telat pulang aku di todong pertanyaan “kemana?” “darimana?” dan “sama siapa?”. Dan aku harus menjelaskannya satu-persatu. Bahkan secara detail. Tapi Arza bukan mamahku. Yang harus khawatir seperti itu.
“Lo bukan nyokap gue” kataku pelan. Aku gak berani menggubris terang-terangan. Yang ada nanti Arza tambah berang.
Lalu kini giliran ia yang menghela nafas. Tapi tetap pada posisinya. Membelakangiku. Seolah ia tidak mau melihat wajahku. Apakah wajahku terlalu menjijikan untuk di lihat? Aku tak mengerti atas sikapnya. Kalau arza masih marah padaku kenapa ia menyuruhku datang kesini? Kenapa ia ingin menemuiku? Kenapa ia tidak menyuruhku mati saja. Biar arza tidak akan melihat aku lagi.
“Sekarang lo berubah” keluhnya pelan. Aku menyerengitkan kening.
“Gue yang ngerasa lo berubah” tambahku menyamai perkataan Arza. Iya, Arza berubah. Sikapnya tidak sehangat dulu. Dulu kalau aku berada di sampingnya aku merasa sangat nyaman. Seperti aku tengah di samping Mas Bintang.
“Bahagiakah sama pacar lo yang sekarang?” Tanya-nya. Wajah Arza tanpa expressi. Aku bergeming.
“Pacar?” kataku mengulang.
“Elang” ia memastikan orang yang dimaksud sebagai pacarku. Aku menggeleng, hatiku ciut mendengar namanya di sebut. Seakan melepaskan sesuatu yang sejak tadi mencakari hatiku. Rasa sakit yang membuatku bisa bernapas.
“Gue gak pacaran!” tegasku. Emang aku tidak pacarankan sama Elang. Bahkan kini menjadi renggang lagi. Aku memang suka. Tapi bukan berarti pacarnya. Toh belum tentu ia menyukaiku. Iya kan? Aku gak mau kepedean ah!.
“Gak pacaran tapi kok ya lupa sama gue” katanya.
No comments:
Post a Comment