Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, March 11, 2015

sebuah kerinduan






Aku tidak tahu harus memulai dari mana, kalau tidak salah ini menit ke sembilan kita saling terdiam. Mengumpati kata dalam pelupuk ego kita masing-masing.
Di pagi yang sembab ini aku menemuimu, wajahmu terlihat monokrom senyummu datar, kau mengecup keningku seperti biasa setiap kali kita bertemu.  Kamu menyuruhku masuk ke apartemenmu, melepaskan mantel merahmuda favoritku dan menggantungkannya persis di sebelah mantel cokelatmu. Kemudian, kamu berbalik badan mengambil posisi nyaman di antara bantal-bantal sofa dan kembali disibukan oleh permainan di tabletmu.
Aku turut menyibukan diriku dengan novel yang kau belikan beberapa hari lalu, mataku terpusat pada deretan huruf yang tersusun rapih dalam buku, sementara pikiranku terpusatkan olehmu. Tidak ada yang harus kita bicarakan lagi. Bahkan sekedar mengucap hai, atau selamat pagi. Sesekali aku mencuri-curi pandang, berharap kau memulai pembicaraan.
Aku selalu merindukan saat-saat dimana kau kepusingan dengan skripsimu, sementara aku terpaut dengan draft novelku, kita melewati malam panjang dengan dua cangkir kopi. Dan jika kopimu habis duluan kamu selalu menyeruput kopiku tanpa izin. Aku senang melihatmu seperti itu. Rasanya semua punyaku ingin kubagi denganmu tanpa perlu konfirmasi lagi. Kita banyak bercengkrama, entah kenapa kita selalu bisa membahas sesuatu, dari mulai dalam-dalamnya bumi sampai lintas galaxi sampai akhirnya kamu menyerah.. mendengar ocehanku dan  terlelap begitu saja dengan kepala di atas meja, dengan wajah kelelahan, meninggalkan bab-bab yang berhasil kau rumuskan. Sementara aku melanjutkan draftku. Esok paginya kamu mengantarku pulang kerumah dan aku selalu tertidur sepanjang perjalanan.
Aku rindu saat kamu yang membawakan payung, menjemputku di halte tram. Saat itu hujan seharian. Dan aku selalu lupa membawa payung.
Aku rindu dengan durasi film panjang yang kita tonton, hingga kau terlelap di pangkuanku.
Aku rindu kau menciumku tanpa sebab, sementara katamu saat melakukan adegan seperti itu kamu menemukan wajahku yang bertanya-tanya, kenapa kamu menciumku. Dan sialnya, kamu selalu membiarkan pertanyaan itu menggantung di kepalaku tanpa kau balas dengan apapun kecuali dengan senyummu yang menggoda.
Aku selalu hafal bagaimana caramu berbicara denganku, aku selalu mengerti setiap intonasi nada yang kamu keluarkan, aku selalu suka caramu menatapku, aku selalu berhasil tersipu-sipu di buatmu.
Tapi sekarang, di hadapanku, aku tidak menemukanmu, aku tidak mengenalimu aku tidak tahu apa yang sedang ada dalam pikiranmu. Saai ini tepat lima belas menit kita tidak saling bicara, tidak saling menyapa kecuali sapaan pertama saat aku baru saja tiba dua puluh empat menit yang lalu. Di wajahku sudah tergambar sudut-sudut kecewa. Aku hampir lupa alasan pertamaku datang ke sini. Aku lupa kenapa aku harus menemuimu pagi-pagi. Karena sudah tidak ada lagi rindu yang sama.
Aku lekas berdiri dari tempat dudukku. Menghela napas kecewa.
“Aku pulang,” ujarku
Aku memberanikan diri untuk menatapmu yang masih asik main game. Omonganku tidak digubris sama sekali.
Aku merapihkan mantel merahmuda yang tadi kau gantung. Aku melangkah pelan, masih berharap sesuatu. Masih berharap kamu mengatakan sesuatu yang mencegah kepergianku.. jadi aku punya alasan ke dua untuk berlama-lama, berbagi cerita sederhana denganmu.
Tapi tidak kutemukan semua itu..
Aku menutup pintu perlahan. Dan sudah tidak menemukan wajahmu yang selalu ingin kulihat.
Seseorang yang tidak kukenal memberiku secarik kertas saat aku berjalan di lorong. Ia langsung lewat begitu saja tanpa konfirmasi dia siapa, dari mana dan kenapa memberiku kertas ini. Aku tidak berhasil mengingat wajahnya. Ia mengenakan cropped tie dan bowl hat yang menutupi sebagian matanya. Saat aku berbalik badan ia sudah menghilang di tikungan.
Aku membuka lipatan kertas itu. Dan menemukan sesuatu.
“selamat ulang tahun, Ardelia..”
Saat aku membacanya seseorang berhasil meraih tanganku dan mengucapkan “selamat ulang tahun, Ardel,” kemudian berlari dengan skateboardnya. Ia juga tidak aku kenal.
Satu detik kemudian, saat aku berbalik badan aku menemukan seseorang lagi membawa sebuah kue taart dengan lilin angka 20 yang menyala ia memintaku meniupnya. Tanpa kusadari kamu memelukku dari belakang. Dan mengatakan sesuatu, “Selamat ulang tahun sayang. Aku sayang kamu.”
Aku berbalik badan.. dan memukul-mukul bahunya dengan kesal.
“Kamu jahat banget sih,” ujarku. Ia berhasil membaca kegelisahan yang bercampur dengan kekecewaan di wajahku. Aku menatapmu dengan tidak percaya, sedari tadi kamu membiarkan aku berkecamuk dengan segudang pertanyaan yang tidak bisa kumengerti atas sikapmu, kamu merelakan aku di ambang pilu karena tak kamu ajak bicara. Kamu juga yang seolah tidak peduli sibuk dengan dirimu..
Aku tau ini bagian dari rencanamu.. dan aku mulai terisak. Kamu merengkuh wajahku, mencium pipiku dan mengatakan sesuatu, “maafin aku sayang,” katamu lirih. Kemudian memelukku.
Ada banyak hal yang tidak perlu kuucapkan tapi kamu mengerti, ada banyak kata yang terlanjur membisu, ada banyak debu yang tiba-tiba tersiram begitu saja oleh hujan. Tapi hanya ada satu yang bisa selalu mengerti mauku tanpa kuminta, hanya ada satu yang mengerti maumu tanpa kamu minta, satu hal yang membuatku bahagia yaitu; kita.
Aku sayang kamu.