Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, September 10, 2011

today. in home my bro :D

hehe ketemu sama @fiafrianti dan @dekdekki di rumah aditya nur hudda yeah mereka adalah sodara gue. emang si udah lama gak meet rasanya miss they banget.
sekarang gue begadang lagi sama bude nur sama om adjo dann hhehe ni di pinjemin laptot sama om adjo yang paling baik hehehehe kata yang ya dia mau berangkat k semarang besok pagi. i dont know for what? yang jelas dia tugas lah...

ini udah malem tapi mata gue belom ngantuk mungkin seperti biasa gue insom whwhwwhhw
dan yang seneng. dapet duit dari bude , om tante dan seuanya waahhh gak nolak deh. minggu depan jadi gue ngceng di pim ahayyyy senenng

long gak nulis di blog.

hai pembaca setia blog gue. heheh miss you semuanya. how are you ? yeah i hope you always fine! sebelumnya selamat hari raya idul fitri. mohon maaf lahir dan batin :) gue minta maaf ya. kalo banyak salahnya nulis di blog. guys walaupun blog gue ini gak sekeren blognya bang fijai saputra
yang setiap kali gue lagau gue selalu tonggrongin blognya dann ternyata blognya bang fijai berhasil bikin gue ngakak heheheh. dan patut banget gue acungi jempol.
next gue mau cerita soal temen gue. yaa belom pernah meet si namanya @amankq on twitter. dia penulis cerita tentang LDR (longdistance relationship) pastinya kisah gitu gak asing lagi kan buat kalian . yayaya. buat gue juga pastinya.
lanjut kabar bahagia. aaaaa ini paling seneng banget! setelah puluhan kali gue mention kak @stephaniezen
 ada respon baik dari beliau. aaa kakak bikin aku nervous banget deh hheheh
*tutup muka pake bantal*

dan tragis kisahnya si pocongggg yang ternyata dia adalah arief muhamad. yang mana dia sekolah di trisakti. dan FU lho. wahh jadi ngiler pengen masuk univ trisakti. sabar ya bang arip. siapapun poconggg tetep kok #WeLovePoconggg
*menari pantai*

pokoknya banyak banget kejadian yang seruuuu abis hheehhe ntar lagi ya ceritanya. :)

Monday, September 5, 2011

photograflove 6 :)

"Dianaaaa" seseorang menjatuhkan tubuhnya disampingku. ia meneriaki namaku dengan sangat girang. suaranya tidak asing bagiku. 
aku mulai membuka mata. dan sempat terngiang kejadian semalam. aku baru sadar kalau itu Kak Fahmy! wajah nelangsaku berubah menjadi segumpal senyum kecil dari mulutku. 
"kak mimi" begitu aku memanggil kakak ku. 
Kak Fahmy menerawang wajahku dengan pandangan prihatin. ia melihat wajahku yang sayu. 
"hey, kamu gapapa day?" aku menggeleng. 
pertanyaan Kak Fahmy seolah aku ini baru dilanda Tsunami. nyawaku mulai mengumpul. 
"kak mimi kapan datengnya?" yap! pertanyaan bagus! long time no see with Kak Fahmy. i miss you kak! begini ceritanya. Kak fahmy baru balik dari negara sakura. 6 bulan ia mengikuti pertukaran pelajar indonesia-jepang dan hampir 4 bulan ia mendalami sastra jepang. dan Kak Fahmy satu-satunya kakak ku. rumah jadi sepi tanpa kak Fahmy. makanya aku jadi yaa.. bisa dibilang jarang dirumah.
aku malah lebih sering ke Rumah Kakek untuk mengobrol dengan Fia. ya setidaknya aku jadi punya kegiatan.
"take of dari sana semalem. pas sampe dijakarta mampir kerumah temen dulu" jelas Kak Fahmy. biar bagaimanapun kehadiran Kak Fahmy menjadi big sureprize sendiri untuk ku.
aku membulatkan mulut begitu mendengar penjelasannya. pikiranku terngiang kembali. soal Papah yang begitu Over protektif pada anaknya untuk belajar.
aku bukannya tidak setuju dengan orang tuaku yang bertindak seperti itu. tapi, tanpa perlu di beri warning. aku juga akan melaksanakan kewajibanku sebagai pelajar. dan kalo di lihat lihat aku gak bego bego amat ko. buktinya aku masuk kelas XIII IPA 1 dan aku juga tidak pernah ketinggalan peringkat kelas. yeah kalo papah menginginkan lebih dari itu aku akan tetap berusaha.
"jam berapa kak?" tanyaku. kak Fahmy melirik jam di atas meja belajar, begitu juga aku.
"mati gue!" aku menepuk jidat. seperti abis melihat bencana 
Tornado di Amerika. 
JAM DELAPAN! 
aku mencari-cari handphoneku dengan gelisah. setelah ku temukan wajahku malah terlihat lebih panik. 
"udah siap day? kita udah nungguin dari tadi" sahut Lin setelah telepon diangkat. nampaknya ia jengkel serta bete. 
"Lagi packing, bentar ya" aku meringis. 
"oke" 
Kak Fahmy mengadah wajahku dengan sorot mata curiga. aku nyengir kehabisan akal untuk berkelit. 
"mau kemana?" akhirnya Kak Fahmy mengeluarkan pertanyaan yang membuat aku gelagepan. aku segera turun dari tempat tidur dan secepat kilat memberesi barang-barang bawaanku. sembari mikir jawaban atas pertanyaan Kak Fahmy. takut takut kalo aku nanti salah jawab Kak Fahmy malah bertindak yang diluar rencanaku pagi ini. apalagi kalo sampe ngadu sama Papah. haduh bisa gagal total ini. 
"Day?" Kak Fahmy melirikku dari ujung matanya. ia memanggilku untuk memastikan aku. sadarkah aku ini atas pertanyaannya? aku tidak ingin Kak Fahmy menggugat ideologiku seperti Papah! aku memasukan beberapa lembar baju kedalam koper yang berada di samping lemari. sebelumnya aku sudah berpesan pada Bi Inem agar menyiapkan koper di kamarku. aku berbalik badan melihat Kak Fahmy dengan expresi wajah yang masih menunggu jawabanku. aku menarik napas sejenak lalu menghembuskannya perlahan. aku tau denyut nadiku sedang tidak lagi normal. tidak! aku tidak sakit hanya saja perasaan khawatir serta takutku akan Papah yang bisa saja mencegah untuk pergi hunting. padahal seharusnya Papah mengerti ini impian terbesarku.
oke, mari mulai bicara. kali ini jangan berlogis-logis ria. tapi, sentuh perasaan Kak Fahmy!
aku mengembangkan senyum mautku. agar Kak Fahmy percaya bahwa adik kesayangannya ini tidak akan berbuat aksi anarkis.
"Kak Mimi sayang gak sama Day?" tanyaku dengan nada sehalus mungkin, seperti halusnya beledu.
Kak Fahmy membelalakan bola matanya. seolah itu adalah pertanyaan bodoh yang pernah aku ajukan untuknya.
ia memegang bahuku. lalu menatapku dalam. kalau seandainya ia bukan Kakakku pasti aku sudah kelepek-kelepek dibuatnya.
karena untuk ukuran seorang cowok. Kak Fahmy termasuk cowok yang gampang banget bikin cewek cewek bego sepertiku meleleh dalam hitungan detik. lalu Kak Fahmy tersenyum serta mengangguk.
"sekarang Kak Mimi tau, gimana hobby dan keinginan?" alisnya terpatri. lalu ia mengangguk setelahnya.
"bakat, hobby dan keinginan besar. yang selalu terkatung-katung diatas kepala kakak untuk mencapai kesuksesan, apa kakak hanya diam? sementara bintang itu menanti untuk di petik" aku tau gaya bicaraku sudah seperti Khalil Gibran. tapi seperti itulah gambaran nya hingga aku nekat begini.
"pergilah" ujar Kak Fahmy. yap! itu kata-kata yang ku nantikan dari Kak Fahmy. aku menebar senyum bahagia.
"biar aku yang tanggung jawab disini" kata-kata Kak Fahmy bagaikan superhero yang tengah menyelamatkan aku dari bencana alam serta ancaman maut.
senyumku kini haru..
"trimakasi kak, i'll always remember you. miss you"
"me too dear"
aku menyenderkan kepalaku pada dada Kak Fahmy. ia mengelus rambutku dengan segenap rasa sayangnya. momen-momen ini sudah lama tidak terjadi. dan aku sangat merindukannya. ternyata Tuhan menurunkan ia untuk menyayangiku. thanks god!
...

"aku pergi ya kak" pamitku setelah aku merasa telah siap untuk berangkat. aku juga tidak lupa untuk mandi lho!
"tolong rahasiakan hal ini sampai beberapa jam setelah aku berangkat" pintaku pada Kak Fahmy.
"siap laksanakan tugas pak!" serunya meledekku. aku memukul pelan bahu Kak Fahmy.
"thank you. i belive with you" ujarku riang.
"yeah, i sure"
dan aku merasa hidup kembali.
"jangan nakal ya, Kak Fahmy jauh dari kamu Day!" pesannya.
"okay" kataku bersemangat. Kak Fahmy mencium keningku. seperti kita akan terpisah lama. padahal aku hanya akan meninggalkan rumah dalam beberapa hari saja. memang kesanny Kak Fahmy agak 
lebay hehe. tapi aku cukup maklum kok dalam kondisi seperti ini seharusnya aku dan Kak Fahmy menghabiskan waktu berdua. entah hanya sekedar jalan-jalan. atau nonton bareng. yang pasti aku ingin bersamanya. tapi semua rencana itu mungkin akan ku tunda. sampai aku menyelesaikan hal yang satu ini. ambisiku terus berapi-api. 

aku mulai keluar kamar dengan celingak-celinguk. sebelumnya Kak fahmy sudah mendahuluiku ke luar kamar. sampai aku mendapatkan tanda aman dari Kak Fahmy. barulah aku mengendap-endap berjalan keluar. 
ya gak jauh bedalah sama maling kutang yang di peraktekan Dino kemarin. 
aku berhasil melewati kamarku, dan menuruni tangga dengan aman. meski aku tau, jalanku agak ribet. karena barang bawaanku kayak orang diusir dari kost-kostan. Kak Fahmy berjaga jaga di depan pintu ruang tamu. ia malah lebih mirip satpam perumahan hehe. peace! 
aku berpapasan dengan Bi Inem. aku sudah memprediksikan sebelumnya ia pasti akan bertanya "mau kemana?" hal yang seperti ini sudah ku wanti-wanti sebelumnya. tidak ada seper sekian detik aku berhasil membungkam mulut Bi Inem. lalu aku berbisik di telinganya.
"Bibi tanya sama Kak fahmy aja tiga jam kemudian, oke?" Bi inem mengangguk sepakat.
"sekarang Bibi mau bantuin Day gak?" tanyaku.
"mau" jawabnya dengan nada suara paling rendah.
"Bibi sekarang ke dapur, terus pecahin piring. satu plis!" aku bernada memohon.
"sayang piringnya atuh"
"gapapa Bi"
"nanti kalo disuruh ganti gimana?"
"nih buat gantiin piringnya. sisanya buat Bibi beli baksonya mang jaka!" seruku. aku menyodorkan uang 50ribuan kepada Bi Inem. sengaja aku melakukan tindakan ini. kita lihat gimana hasilnya!
"PRANGGGGGG!!!" akhirnya suara piring pecah terdengar dari dapur.
"ada apa Bi?" teriak Mamah dari ruang TV.
ini salah satu trik untuk mengalihkan perhatian orang rumah. aku menjajarkan tubuhku dengan bupet di sebelah tangga. dan lekas berdoa atau sekedar 
komat-kamit. semoga saat Mamah lewat. ia tidak menyadari keberadaanku. aku mendengar jelas langkah kaki Mamah. dan semakin mendekat. aku memepetkan tubuhku pada tembok. semepet mungkin. serta menahan napas selama sekian detik. setelah Mamah melewatiku. aku memastikan ia benar-benar masuk ke dalam dapur dan...

Kak fahmy melambaikan tangannya setelah ia mengantarku hingga aku masuk kedalam mobil Benny. napasku masih terdengar host host host.
karena aku setengah berlari hingga mulut komplek.
"ngapain aja si lo Day?" tanya Lin.
aku nyengir "kesiangan"
"fiuuuh dasar lo! gue udah nunggu seabad juga disini" protes Dino.
aku nyengir lagi. aku sendiri gak sadar kalo dari tadi expresiku cuma cengar-cengir. aku harap mereka masih menganggapku waras.
Benny yang menyetir mobil ditemani kekasihnya yaitu Dino. Lho? hehe.
aku dan Lin duduk ditengah. sementara.. ada kejanggalan disini ternyata. yaitu dengan kehadiran selly anak cheers dan tidak lain 
adalah pacarnya Rifky. ini sungguh diluar rencana. tapi kemungkinan-kemungkinan yang telahku analisa sangat kecil peluang untuk selly ikut hunting. pertama aku tau selly gak suka dunia photografi. kedua sell alergi traveling. dia bakal mabuk kalo terlalu lama didalam mobil. tapi ku rasa semua itu akan kandas begitu saja demi Rifky.
"Day, tadi lo tu dapet ijin gak si?" tanya Dino. ia menoleh kearahku dengan wajah penasaran.
"iya day, gue bingung. lo dianter abang lo tapi kok ya lari-lari?" tambah Rifky menyerangku.
"tapi kalo menurut gue si, Day pasti kabur dari rumah" putus Dino.
"kata siapa lo? sotoy banget. masa kabur bareng abangnya" sanggah Rifky.
"gue harap gak begitu" gumam Dino tanpa diayak. Lin segera memelototinya dengan galak.
Dino nyengir kuda. "sayang kan lin lima puluh ribu gue masuk dompetnya si gembel!" Dino mendongak kearah Rifky . ia belum juga tobat. wajah Lin tambah garang.
aku masih diam. tanpa peduli mereka.
"Makanya sob, kalo gak punya duit jangan berani taruhan. ah sayang deh tu duit lo!" ujar Benny.
yap. aku setuju sama Benny.
"Day?" panggil Rifky lembut. alisnya bertaut. aku tau ia menginginkan ku untuk segera menjawab. supaya pundi-pundi di dalam dompetnya bertambah.
Selly mencubit pinggang Rifky. ia merasa nada bicara Rifky terlalu lembut untuk berbicara denganku. dasar cewek tingkat cemburunya tinggi banget! aku tersenyum penuh kemenangan. aku sadar aku ini cewek. tapi perasaan cemburu itu gak kelewatan gitu. lalu pikiranku berkelana teringat saat aku bersama Jimmy. dan bahkan aku sendiri gak bilang kalo aku akan pergi keluar kota. Jimmy pasti marah.
"bokap gue tetep gak ngasih ijin" aku segera tersadar dari lamunanku.
"tapi Kak Fahmy yang tanggung jawab atas gue" jawabku sejujurnya.
Lin menatapku cemas.
"nah gue menang!" seru Dino puas. sementara reaksi Rifky mendadak kecewa.
"limapuluh ribuku sayang. muach. bye bye!"
Rifky menciumi kertas biru yang ditandatangani gubernur Bank Indonesia sebagai tanda perpisahannya.
"ah lebay lo! sini buruan domet gue udah kangen nih sama yang biru-biru" ujar Dino. Benny ikut terbahak. sementara aku menggigit bibir bawahku seraya menyunggingkan senyum muram ke arah Lin.
ia mengangkat sebelah alisnya. wajahnya seolah mengingatkanku untuk lebih serius lagi menghadapi masalahku. kesannya aku seperti main-main di mata Lin.
"tenang aja. gue gapapa kok" ucapku tenang.
"tapi Day seharus..."
"Lin!" aku segera menyanggah kalimat Lin.
"Day, lo yakin?" Benny menatapku melalui kaca diatas dasboard mobil.
"iya" jawabku.
"apa lo masih mau berubah pikiran? gue bisa puter balik kalo lo mau" imbuh Benny. yang lain menatap kearahku termasuk selly yang tidak mengetahui seluk beluk permasalahannya.
"i sure. jangan khawatir guys! gue gapapa" aku meyakinkan mereka sekali lagi. Benny mengangguk. Lin tak berkedip. dan Dino ber-ooo-ria. 
wajah Lin makin mencemaskanku. 
"Lin.. gue baik baik aja" aku mengusap bahu nya. disatu sisi Lin juga termasuk pengidap melankolis. 
setiap tiga jam sekali kami berhenti. itu karena permintaan dari Selly. ia tidak tahan terlalu lama berada di dalam mobil. 
disini Benny sangat piawai dalam hal menyetir itu patut ku acungi jempol. ini bukan perjalanan yang singkat dan akan memakan waktu yang cukup lama. perjalanan sudah hampir empat jam mungkin Benny terlalu kuat menginjak pedal gas. sehingga pemandangan sekelilingku sudah terlihat secara jelas. 
dua jam berikutnya aku dan lin tertidur. sementara Selly sudah tidur dari jam pertama setelah berangkat. aku yakin Rifky menyiapkan obat anti mual untuk pacarnya itu. 
Dino disini berperan menjadi second driver. ya setidaknya untuk menggantikan Benny bila ia merasa lelah. 
saat aku terbangun hari sudah gelap. tapi kami masih dalam perjalanan. ternyata perjalanan malam lebih menyeramkan serta mengerikanditambah kami melewati jalan-jalan yang curam. disaat seperti ini aku harus mengumpulkan segenap keyakinanku untuk berpositif thinking. kami akan baik-baik saja. bagaimana juga ancaman bisa datang kapanpun. aku merogoh kantung celanaku untuk meraih handphoneku. Jimmy tidak henti-hentinya mengirimiku pesan singkat. aku membacanya satu persatu. dan tanpa membalasnya. ia mengkhawatirkan aku. Jimmy saja tidak ku beri tahu soal ini. jadi wajar kalau ia bertindak seperti ini.
dan memikirkannya membuat dadaku nyeri oleh kehampaan. aku segera memasukan handphoneku kembali.
"udah di daerah mana kita?" Lin mendesah. mengucak matanya.
"kebumen" jawab Dino.
lalu tak ada sahutan lagi dari Lin. mungkin ia melanjutkan tidurnya.
kini gantian Rifky yang menyetir. ditemani oleh Selly disampingnya.
sementara Benny dan Dino pindah ke kursi belakang.
jam di dasboard mobil menunjukan pukul 19:00 malam. tapi terasa jam 2 pagi. kami melintasi beberapa   

photograflove 5 :)

aku tau itu suara perempuan. 
"tolong...carikan..jim.." suara itu tidak terlalu jelas. lalu terdengar suara "sssttt" seperti peringatan dan sehalus beledu. kini aku yakin itu benar perempuan. 
bunga yang tadi mekar kini tidak tumbuh seindah yang dibayangkan. ya bisa jadi terlalu banyak pestisida. seperti itulah tepatnya gambaran perasaanku sekarang. aku menutup flip handphoneku secara kasar. lalu menghambur kekamar dengan terisak isak dan langkah yang terseok seok. aku kalut. aku menjatuhkan diri dikamar. handphoneku ku lempar ke dalam basket sampah dikamarku. air mata mulai mengalir tanpa ku perintah. dan aku mulai sesungukan. sedetik ia sukses membuat hatiku bergetar. sedetik kemudian ia menghancurkan dengan ketololannya. sungguh manusia terkutuk. lalu untuk apa ia seolah ingin aku bahagia? sementara pada akhrnya aku akan menangis seperti ini. 
aku meremas puppetto sekuat mungkin. kesukaanku pada puppetto kini sirna dan hanya bentuk sebuah kebencian yang menyisa. padahal sudah lama aku menginginkannya. now i realize that it make i cry. dan secara kasar kulempar benda itu menyusul handphoneku yang terus bergetar. aku tau Jimmy pasti terus menghubungiku. drrt..drrt..drrt..drrtt. semakin handphone itu bergetar semakin membuat tangisku menjadi-jadi. dan setelah sekian kalinya bergetar kini handphone itu bisu. membuat perasaanku melega. aku bisa bernapas sekarang. 
"tok tok tok" seseorang dari luar menggedok pintu kamarku. 
"siapa?" sahutku. 
"non, mas Jimmy telepon. katanya mau bicara sama non Diana" sesuatu yang tajam dan panas menusukku tepat di tengah ulu hatiku. ketika mendengar namanya disebut aku bergeming dan menarik napas secara perlahan. menetralisir rasa perih di hatiku. 
"bilang aja aku gak ada di rumah" suaraku terdengar sangat parau meski aku telah berusaha berbicara senormal mungkin. 
"non Diana yakin?" suara Bi Inem dari balik pintu terdengar menyelidik..
mungkin Bi Inem bingung dengan sikapku yang dalam beberapa detik langsung berbalik 180 derajat.
"bilang saja, apa yang ku katakan barusan" ujarku.
pikiranku berkecamuk hebat. aku bisa seperti bom atom yang siap meledak. kapanpun. bila ada yang menyakiti perasaanku. aku labil. aku merasa seperti zombie. tidak terasa sudah hampir petang. ku rasa aku harus menyelesaikan tanggung jawabku. aku bangun dari tempat tidurku. mencuci wajahku dan menyisir rambutku. aku sempat berkaca di westafel. ku lihat wajahku yang sembab. aku seperti terlalu nelangsa. ku ikat rambutku dengan rapih. ya setidaknya terlihat lebih baik. semoga tidak ada yang melihat wajahku.
aku meraih kunci mobil dikotak bupet dekat TV, lalu aku langsung ngibrit ke garasi.
...

"cepat diminum day. wajahmu sudah memucat!" ujar Fia. ia segera menyetek kompor gas untuk merebus air. Fia tadi menyodorkanku secangkir teh hangat. mungkin Fia berharap secangkir teh itu bisa membuatku 
lebih baik. karena tadi setelah menyelesaikan pekerjaan. kepalaku terasa pening sekali. 
"ada apa Day? coba kamu cerita sama aku" Fia melirikku sesaat seraya tersenyum. lalu ia kembali berbalik untuk mengaduk sphageti didalam panci yang masih setengah matang. 
"aku cuma bingung, gimana caranya aku harus ngomong sama papah" aku kembali menyeruput teh hangatku. dan yap Fia benar. aku merasa lebih relax. "aku mau minta izin kalo aku mau hanting keluar kota" Fia berbalik badan. wajahnya dipenuhi hawa penasaran sehingga keningnya berkerut. "kemana?" tanya Fia bernada curiga. 
"bromo" aku mengangkat bahu. alis Fia makin bertaut. 
"aku takut papah gak ngijinin" ujarku menghela napas. berkeluh. 
"liat situasi aja Day. bicara dengan kesungguhan. om Tommy pasti ngasih ijin ko" Fia optimis, ia tersenyum memamerkan sederet giginya yang rapih. ia mulai meletakan sphageti pada piring lalu menuangkan sausnya yang baru dikeluarkan dari kulkas.
"akan ku coba" aku membusungkan dada.
"boleh pinjem hape sist?" pintaku. sebelum Fia berkomentar.
sorot mata Fia menyelidik. segelondong pertanyaan muncul pada wajah ovalnya.
"hape ku ketinggalan" aku lekas menjawab tatapannya. lalu senyumnya menggelitik. seolah ini yang ke sekian kalinya aku membuat kesalahan bodoh. bahkan aku tidak ingat apa yang kulakukan pada handphoneku beberapa jam yang lalu. iya aku rasa aku memang mulai memasuki usia lanjut.
Fia segera mengeluarkan hp dari saku celananya dalam hitungan beberapa detik. dan ia menjulurkan kearahku. aku segera meraihnya dengan senyum mempesona.
"ya halo!" Lin menjawab panggilanku dengan cepat.
"tempat biasa ya Lin, bilang yang lain juga"
"oke" jawab Lin sepakat. dan tanpa berkelit sedikitpun.
aku mengembalikan handphone Fia. "tengkyu" Fia mengangguk.
"aku cabut dulu ya, masih ada yang harus diselesaikan"
"oke, take care ya sista"
"yok duluan, bye"
aku ngeluyur kedalam mobil dan 
aku berhasil menginjakan kaki di sebuah cafe dalam waktu beberapa menit. mata Benny lebih cepat menangkapku sebelum aku melihatnya. ia melepas earphonenya dan setengah berbisik pada orang disampingnya. sampai mengajukan jempol tanda sepakat. barulah Benny turun dari mimbar kecil yang terletak dipojok cafe sebelah kanan dari pintu masuk utama. ia segera menghampiriku. 
"hai Day" sapa Benny riang. ia sempat celingak celinguk sejenak. 
"gue sendiri" aku memfonis kedatanganku bahwa yap aku singular. 
"oke, mau minum apa?" tanya Benny. membuat bolamataku terbelalak. 
"jadi job sampingan lo wittres?" ledekku geli. 
"kalo buat lo, gue mau deh jadi wittres" Benny ikut geli. 
"haha rayuan maut lu gak mempan, Ben!" lalu Benny cengar cengir. pamer gigi. ya seorang seperti Benny bisa selalu care sama siapapun. dan for information aja ya. Benny termasuk cowok yang gak suka dikejar. dalam arti Benny bukan banci yang mau digodain. dia lebih suka jiwa kelelakiannya dipahami perempuan.
aku duduk menghadap jendela. seperti tengah mengamati ruas jalan yang dipenuhi oleh mobil serta kendaraan lain yang membawa polusi. padahal pikiranku berkelana entah kemana. aku terngiang kata-kata Fia tadi. harus mengambil situasi yang tepat. saat membicarakan hal ini dengan papah. tapi kalau 'seandainya' tidak di izinkan gimana? kemungkinan diizinkan sangat kecil. karena aku baru saja membuat kesalahan beberapa hari yang lalu. soal kabur dari rumah itu, lalu posisiku sekarang berada di kelas 3. dimana aku harus benar benar konsen belajar. hal yang ini udah gak bisa di korting lagi. ditambah aku gak izin kalau aku kini bekerja di resto kakek. oh my god! setelah flashback ternyata banyak banget kesalahan yang aku buat.
satu pikiran lain melesat dalam benakku. kalau aku tidak mengikuti hunting. aku tidak akan bisa meraih impianku jadi seorang fotografer. kapan lagi? kalo gak sekarang. aku dihampiri 
sebuah masalah yang mendilema. belum lagi Jimmy, ku rasa masalah terus berkelit. mengikat paru-paruku agar aku sesak napas.
"pesanan anda datang nona!" gumam Benny. membuyarkan semua lamunanku. Benny benar-benar jadi witters sekarang. mataku bergidik kearahnya. Benny tersenyum sok imut. seolah merasa aku sedang mengamati setiap gerakannya.
"thanks"
"okay. ada apa si Day? ko lo tau tau nyuruh anak anak mendadak ngumpul disini?" Benny mengajukan semacam penyelidikan. ia menempatkan diri disampingku.
"gak seru kalo gue ceritanya sekarang" aku menatap Benny genit. lalu ia keki.
"ah elo Day. bikin orang makin penasaran aja!" ujarnya berkeluh.
walkisah Lin datang, sementara Dino dan Rifky datang berbarengan. selang beberapa menit kedatangan Lin.
"ada apa Day?" tanya Lin membuka pembicaraan.
"gue minta tolong buat Rifky sama Dino yang ngeberesin surat ijin dari sekolah" mereka segera mengangguk.
"Ben, mobil lo nganggurkan?" kini aku melirik 
Benny sedikit tajam. agar ada sebuah penekanan supaya Benny cepat menganggu.
"ada" gumam Benny.
"oke bagus" aku bersunggut-sunggut.
"Lin bagian lo gampang" Lin sepertinya sedikit tercengang. mendengar nada suaraku yang menyebut namanya.
"jaga rahasia ini dari Jimmy"
"sip" jawab Lin pasti. sebab Jimmy bisa menjadi propokator nantinya. dan dia salah satu penghambat. walaupun itu baru kemungkinan. dan aku gak mungkin juga untuk mengajak orang seperti Jimmy. yang ada malah nanti dia melarang larang ku lagi. mungkin menurutnya lebih baik aku ini diikat. lalu dimasukin kamar. ya seperti itulah gambaran caranya menatapku. maka itu, aku harus lebih antusias lagi!
"ahh, gue tau nih.." kata Benny. "pasti lo udah dapet ijin dari bokap lo kan?"
aku menyeringai. "belum, mungkin bokap gue malah gak ngijinin"
semua terkejut "hah?"
"terus lo kenapa maju selangkah? cari mati ni anak!" Rifky mengerang. sementara bola mataku malah terbelalak hebat. 

"dapet atau gak dapet ijin, gue tetep berangkat" aku bersi keras pada ideologiku. tapi wajah Lin menggambarkan secercah rasa khawatir.
"oke gini" lanjut ku "kita berangkat lusa, mudah mudahan aja bisa. dan.. Ben.." aku memandang Benny. "lo bisa ambil gue di depan komplek, oke?" Benny mengangguk lagi, wajahnya sangat antusias.
"Day, surat ijin kan harus dapet tanda tangan orang tua?" tanya Dino, aku membelak.
"aduh man! masa gitu doang otak lu mampet si? si Diana ini kan gak bego kayak lo. kalo soal pemalsuan tanda tangan doang mah udah gak perlu dipikirin lagi!" Rifky mewakili jawabanku. tapi, penjelasannya membuat aku seolah menjadi benar benar anak bandel. ya gambarannya seperti itulah. aku cuma nyengir kuda.
"gue berani taruh, bokapnya Diana pasti gak ngijinin" kata Dino dengan gaya sok nya.
"berani berapa?" tantang Rifky.
"eh kok jadi bahan taruhan gini si?" protes Lin.
"kantong kering aja lu, brani taruhan!" desis Benny.
"gue gocap!" putus Rifky. rupanya Rifky mengabaikan omongan Lin dan Benny.
ia mengeluarkan dompet.
"oke kalo gitu, gocap nih!" Dino pun tak kalah saing. ia menyodorkan uang selembar 50 ribuan.
"kita liat lusa man!" seru Rifky. "liat gimana caranya diana keluar rumah!" ujar Rifky.
"gue berharap diana keluar ngendap-ngendap. celingak celinguk kayak maling kutang!" kali ini Dino memamerkan gaya maling kutang beneran.
ah makin ngelantur aja mereka!
"terus gimana day?" tanya Lin menatapku. Lin memotong pembicaraan mereka yang gak jelas itu.
"tenang aja, keputusan gue udah bulat!" ujarku.
Lin hanya mengangguk, sementara Benny bungkam, Rifky dan Dino ngelantur gak jelas. setelah sepakat dengan rencananya masing masing aku segera pulang. dan berharap besok akan lebih baik.
...

"aku mau ngomong sama kamu day!" tegas Jimmy setelah ia berhasil meraih pergelangan tanganku. sebelumnya, ia seperti orang blingsatan mencariku, napasnya masih terengah-engah.

"aku rasa gak ada yang perlu dibicarakan" ku tatap Jimmy dengan dagu mengejang.
"day, please" nada suaranya melemah seolah memohon supaya aku mendengarkan cerita mengarang nya. ku alihkan pandanganku kearah lapangan. seolah tidak ada orang disampingku.
"hal ini bisa dibicarakan baik-baik, aku gamau ada kejanggalan diantara kita" padahal dia sendiri yang membuat sesuatu itu jadi janggal, aku merasa tidak menyuruhnya untuk presentasi tentang kejadian ditelpon itu kan. otakku terlalu overload untuk mengingatnya. dan banyak things yang harus ku pikirkan. dan ternyata Jimmy kini menjabarkannya secara ilmu ngibul.
"kamu harus tau Day, yang di telpon itu tante aku" aku menoleh lalu memandangi wajah Jimmy dengan mata menyelidik. bibirku mengerucut. wajahku muram.
"kamu harus percaya. tunggu... tunggu.. biar ku telpon tanteku" Jimmy berusaha memuktikan. ia mencari sesuatu di handphonenya. aku bergidik melihat reaksinya yang seperti itu. 
aku menutup layar handphone Jimmy dengan telapak tanganku. kemudian dengan ringan ku katakan.
 "gak perlu repot-repot gitu jim.." kataku. jimmy tersenyum lega. 
"aku gak bodoh kok, tapi aku baru tau ya kalo keponakan sama tantenya manggi kamu-aku ckckck" lidahku berdecak dan kepalaku geleng-geleng. 
aku harus percaya, aku harus tau, bagaimana caranya aku bisa percaya kalo aku mendengar perjelasan macam ikan teri seperti itu? tadinya aku sempat frustasi menghadapi orang seperti Jimmy, banyak banget begini begitunya dan akhir akhir ini aku agak kurang percaya. aku bisa melihat expresi gelagepan Jimmy. tanpa tapi tapi lagi aku langsung meninggalkannya begitu saja. berlenggak lenggok sepanjang koridor sekolah tanpa merasa berdosa sedikitpun dan aku anggap tidak ada yang terjadi barusan. 
mungkin nanti malam ada "something" yang harus ku bicarakan dengan papah. meski kelihatannya agak berat. dan aku tau dihadapan papah aku akan sulit berkata kata. yang pasti lagi, aku harus merahasiakan hal ini dari Jimmy. aku akan panik dan khawatir kalau Jimmy nanti bakal mengeluarkan semacam dekrit yang melarangku untuk pergi hunting. kadang aku sering berfikir, sebenarnya Jimmy itu pacarku atau bukan? atau hanya status aja? diluar itu? masih 'may be' yeah, mungkin aku sudah agak gila kalau memikirkan tentangnya. aku butuh kebebasan! 
"gimana? kalian udah minta ijin? respon kepsek apa?" wajahku cukup antusias untuk menanyakan hal ini pada Dino dan Rifky. 
"beres, yang ini buat lo! tadi juga gue udah ngasih prinout an lomba.. so kepsek percaya" kata Dino dengan bangganya. ia menjulurkan salah satu kertas, dari beberapa lembar yang dipegangnya. 
"oke, thanks, besok pokoknya udah dapet tanda tangan ortu ya!" seru ku. 
"kalo elo gimana day?" tanya Rifky yang juga mengkhawatirkan aku. 
"beres gue mah!" Rifky tersenyum muram dan dagu Dino berkerut Ragu. 
"nanti malem gue ke rumah lu ya buat ambil.." Dino belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
"ada pulpen?" sanggahku. aku lekas merebut pulpen dari tangan Rifky. "nah gampang kan?" aku tersenyum mempesona. dan segera menjulurkan pulpen serta kertas yang sudah ku palsukan tandatangan papah.
reaksi keduanya melongo. seolah aku baru saja melakukan aksi anarkis dipasar malem.
"gile bener lo, Day!" seru Dino.
"Dengan begini, ntar malem lo gak perlu lagi ke rumah gue kan! sayang bensin motor lu!" desisku.
"oke oke" Rifky tak mau ambil pusing. "tapi, gue harap lo ngomong sama bokap lo, siapa tau dapet ijin"
"gue coba deh ntar malem"
"harus!" ujar Rifky. aku menyerengitkan alis. Dino tersenyum datar.
"pokoknya, lo jangan keluar rumah kalo bokap lo gak ngijinin!" sambung Rifky. aku tersenyum rupanya Rifky memperhatikan ku.
"thank. udah khawatir sama gue"
"elo si, gue gak khawatirin Day, orang macem lo mah terjun dari tebing juga gapapa"
"terus"
"gue khawatir gocap gue masuk ke kantong Dino" 
Rifky menunjuk Dino, ia lalu nyengir kuda. sialan!
...

aku menarik salah satu kursi di pantry.
"ada apa sist?" tanyaku penasaran. sebab fia tadi menelpon dan memintaku untuk datang menemuinya. dan ia tidak menjelaskan for what i come in here.
"hemm, jangan bilang disini deh, dikamarku aja yuk!" seru Fia, ia menarik tanganku. aku mengikutinya dengan anggukan pelan.
kami memasuki kamar. aku duduk di pinggir tempat tidur yang menghadap persis ke jendela mengamati Fia. ia tengah sibuk mencari sesuatu di dasboard meja belajarnya yang identik dengan warna biru itu. lalu Fia menjulurkan sesuatu padaku. setelah ia berhasil menemukan benda yang ia cari itu, daguku bergetar. aku tau itu backpack mini yang imut dan ramping.
"aku tau disana pasti kamu perlu ini"
dari sekian orang yang aku kenal, Fia lah satu-satunya orang yang mengerti aku. bahkan orang tuaku sampai Jimmy pun seolah gak peduli dengan ku. aku memandangnya penuh haru
aku tau, Fia pasti mendukungku secara moral. 
"tengkyuu banget sist!" 
Fia kembali tersenyum anggun. 
"sama-sama, Bay de way, om Tommi bilang apa?" 
aku pilu. disodori pertanyaan seperti itu. entah gimama cara aku menjawabnya. seenggaknya buat ngeles sedikitpun aku gak bisa. 
"aku masih ragu.." lalu aku bergeming sesaat. reaksi Fia berubah menjadi curiga. ia mengerutkan keningnya. 
"why?" tanya Fia, ia menatapku setengah garang, seperti ada yang koslet pada diriku. 
"mungkin baru manti malam, aku akan bicara dengan papah" 
tapi itu masih baru satu kemungkinan, ribuan kemungkinan yang lain bisa saja terjadi seandainya dugaan Fia benar cips otakku mulai koslet. aku lebih memilih kemungkinan yang lain. 
Fia berdeham. nada bicaraku seolah spektis baginya. 
"aku harap kamu ga macem-macem ya, Day!" pesan Fia, ia tersenyum. ketegangan dalam raut wajahnya menurun. 
"kamu hati-hati ya besok! i pray for you sist" Fia memelukku. aku kembali haru dengan perhatiannya. 
"oke, siap bos!" aku menaruh simpati padanya. "oh iya ini punya kamu?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. aku menunjuk Backpack itu. 
Fia menggeleng. 
"lalu?" alisku bertaut. 
"punya gebetan aku hehehe" wajahnya tersipu malu ketika menyebut kata 'gebetan' 
"wihhh" aku geleng-geleng kepala. baru gebetan aja udah baik banget mau minjemin cameranya. apalagi kalo udah jadi pacar ya? beruntungnya Fia! 
"kalo udah jadian, kabarin ya!" 
"ah kamu ini ngeledek aja" wajahnya merah merona. 
"okay. tengkyuu banget hari ini, aku harus packing dulu. besok on the way" 
"good luck!" 
"bye.." 
aku menutup kamar Fia dengan senyum kegirangan. sekarang aku udah punya modal untuk mencekrak-cekrik dengan lensa yang dipinjamkan gebetannya Fia. hemm siapapun gebetannya Fia. thanks banget! 
... 

i think the god verry loving me! yeah. aku udah dipinjemin camera EOS 60D yang menabjubkan. aku juga sempat terkejut. bahkan lebih dari yang aku pikirkan.
sebelum menuju rumah, aku mengecek tabunganku di Atm. tanpa ku minta kakek mentransfer sejumblah uang ke tabunganku. lalu kakek bilang di telepon. "manfaatkan uang itu sebaik-baiknya. dan jaga dirimu Day!" hiks.. aku begitu haru mendengar ucapannya. lelaki setua kakek saja masih mengerti perasaanku. mengerti apa yang aku inginkan. tapi, kenapa orang tuaku tidak? papah malah bersikap seolah tidak peduli dengan anaknya.
aku mengumpulkan segenggam keberanian yangku punya. walau bagaimanapun juga aku harus segera membicarakannya. ini soal masa depanku.
"pah.." panggilku ragu.
papah tidak langsung menjawab. atmosfer ketegangan mulai memporak porandakan jiwa heningku. bibirku gemetar.
"pah.." ini yang keduakalinya aku mengeluarkan suara yang kupaksa. agar keluar dari pita suaraku.
"hemm.." akhirnya papah menyahut. tapi matanya masih fokus menatap layar laptop. ia sangat serius dengan pekerjaannya. saat itu aku memberanikan diri masuk ke ruang 
papah. entah apa yang akan terjadi nanti. semua itu ku pasrahkan. 
"aku.. eee.. aku.." sesuatu seperti mengganjal ditenggorokanku. entah itu apa. 
"ada apa?" wajah papah mendongak ke arahku. 
nadanya masih santai tapi tubuhku mulai bergetar mendengarnya. 
"aku.. aku mau.. minta ijin" aku menarik napas pelan. ada guncangan hebat dalam dadaku. 
"besok aku dan teman teman akan pergi hunting" akhirnya aku bisa berbicara dengan segenap nyaliku ini. alis papah perpatri. 
"itu penting gak menurut kamu?" pertanyaan papah membuat leherku seperti tercekik. kemudian isi perutku bergejolak. kenapa aku disodori pertanyaan seperti itu sih? seandainya papah merespon dengan baik pasti papah akan berkata seperti ini "oh ya? kapan? dimana? kamu butuh uang berapa? semoga beruntung ya disana" aku harap papah bakalan open seperti itu. sementara aku hanya bungkam sekarang. 
"kegiatan yang tidak terlalu penting tolong dikurangi, sebab kamu sudah kelas duabelas"
aku tau itu. aku tau bahwa aku sudah di penghujung tahun sekolahku. semestinya hal itu tidak perlu diperbincangkan lagi.
"tapi pah" aku mencoba mengelak.
"untuk apa pake tapi tapi lagi day?" dan papah dengan cepat menyela omonganku.
"Day hanya ingin melakukan hal yang Day suka" lirihku. wajah Papah antusias. aku meringis dan hampir menangis.
"apa gunanya aku bekerja seperti Papah kalau hal itu tidak aku suka?"
gugat ku.
"lho bekerja toh buat kamu juga" Papah mengerang.
"Day gak mau pah" bantahku.
"pokoknya papah gamau tau, kamu harus konsen belajar"
dan saat itu harapanku hancur. aku kehilangan segala dukungan dari orang tuaku. aku merasakan sebuah arus kecil yang membelah pipiku.
"papah egois" aku lari ke kamar dalam keadaan sesungukan. tidak ada yang mengerti keinginanku, impianku dan semua hal yang aku harapkan. bahkan cita citaku. kini aku butuh bahu untuk menumpahkan air mata ini.
...