Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, June 22, 2016

Kata Terakhir Untukmu.




Jika waktu berputar, dan aku harus mengulangi hidupku sekali lagi, aku akan tetap memilihmu, menemani hari-hariku meski jingga pada senja hanya sebentar.
***
“Apa yang akan kamu katakan sebagai ucapan terakhir pada orang yang berarti untukmu?”
Aku menatapmu dalam diam, kami sama-sama menikmati pemandangan laut dari atas kapal yang berjalan secara perlahan.
“Menurutmu?” setelah diam beberapa detik kulihat bibirmu yang kemerahan tersenyum melirikku.
Satu-dua kali aku membiarkan desahan angin mulai menggeluti pipiku. Dari tadi kami sibuk berkeliling dek kapal. Ini pertama kalinya aku menaiki kapal feri, awalnya aku takut dengan laut yang begitu dalam, sungguh, tapi bersamamu semua terasa lebih mudah. Aku tidak sendirian.
Beberapa dekade lalu kita memutuskan untuk mengisi liburan ke sebuah kota yang belum pernah dikunjungi. Kamu memilih lampung karena alasannya dekat dengan jakarta. Aku menyepakati dengan alasan bukan karena lampung dekat dengan Jakarta, tapi karena aku percaya, bahwa kemanapun kita pergi kamu orang yang paling bertanggung jawab atasku. Itu saja.
“Aku tidak ingin mengatakan apapun,” balasku, aku masih merasa ditatapmu dalam.
“Mengapa? Kamu yang justru bertanya,”
Aku menggeleng, lebih sulit rasanya merangkai sebuah kalimat untuk seorang perempuan agar argumentasinya terlihat logis di depan laki-laki. Seperti mengaitkan sin + cos/tangen dan dikuadratkan dengan bilangan tidak real.
 Perempuan lebih sering memendam perasaannya jauh lebih dalam dari isi hatinya.
“Lalu, mengapa kamu bertanya padahal kamu nggak tau jawabannya?”  kamu menatapku sekali lagi dan kali ini jauh lebih dalam. Aku hampir ingin menyelundupkan kepalaku di bawah bantal, matamu dengan cepat menangkap retina di mataku.
“Tidak semua pertanyaan cepat bertemu dengan jawaban,” aku mencoba menghindari matamu yang sejak tadi begitu menggodaku, wajahmu yang amat kukenal, bibirmu kemerahan karena kamu tidak pernah merokok. Gaya pakaianmu yang selalu casual yang aku teramat menyukainya. Empat tahun mengenalmu bukanlah hal yang sebentar. Aku tidak pernah membicarakan kepergian, meski kamu pernah meninggalkan tubuh ini sendirian, meski seringkali kau datang dan pergi semaumu, hingga akhinya, entah bagaimana cara Tuhan mengembalikanmu padaku, tanpa kuminta. Dan sejak itu kamu adalah orang yang selalu bersedia meminjamkan bahumu untuk perempuan melankolis ini.
Setiap orang mempunyai kesalahannya masing-masing, dan mungkin dari kesalahan itu kita jadi lebih banyak memperbaiki diri, untuk lebih banyak menghargai.
Tidak mudah bagiku untuk mengenalmu, tidak seperti semua orang yang jatuh cinta pada rupamu dan mengatakan hal yang nisbih seperti halnya kata aku cinta kamu. bahwa aku jatuh cinta padamu harus berkali-kali memungkiri dan bertengkar dengan hati, dan pada akhirnya Cinta tidak hanya didasari Hawa nafsu belaka. Tapi juga didasari sebuah pertanyaaan mengapa kita harus hidup bersama, dengan jawaban logika-logika tidak terduga yang bisa dipertanggung jawabkan oleh perasaan. Bahwasannya kita ingin memiliki satu sama lain, dan mungkin itu saja belum cukup. Masih banyak pasangan pertanyaan dan jawaban yang belum ditemukan.
“Aku tau, mereka butuh proses,dan aku percaya, mereka pasti bertemu, cepat atau lambat,”
“Aku belum selesai dengan pertanyaanku yang tadi, Raf,” aku menghela napas. Beberapa orang yang berlalu lalang sesekali melirik kami, tiang-tiang yang menyangga dek-dek kapal sejak tadi menatap kami lurus-lurus, seolah-olah ingin mengertahui isi pembicaraan semi serius ini.
Aku bisa mendengar hembusan napasmu perlahan, lalu kamu tersenyum lagi, aku bahkan hafal bagaimana caramu tersenyum.
“Kamu mau tau?” Kamu mengambil topi merah hati dikepalaku dan memutar-mutarnya dengan jari telujukmu.
Aku mengangguk
“Sungguh?” hidungmu mendekat kearahku hingga aku harus mundur satu langkah takut kamu berhasil mendengar detak jantungku yang sedari tadi kusembunyikan.
“Kamu meledek,” balasku memecah keseriusan ini, aku berhasil membuat sederet gigimu yang rapih itu terlihat. Menghilangkan alis yang sejak tadi terpaut.
Lalu kamu menggeleng, dengan tatapan yang kembali serius.
“Kenapa kamu menggeleng?”
Jeda waktu diam Rafa lebih lama dari pada sebelumnya. Hingga aku merasa kapal lebih sering bergoyang dihempas ombak-ombak yang menari-nari disekelilingnya. Pulau jawa sudah tidak tampak oleh mata, kami menyaksikan senja yang mulai merona, menggelayuti cakrwawala dengan indahnya.
“Kamu ingin tau, apa yang kukatakan terakhir kali pada orang yang berarti dalam hidupku? Jawabannya tidak ada. Sebab aku tidak akan meninggalkanmu, Milea,” Jelas Rafa.
“Aku tidak ingin meninggalkan orang yang begitu berarti dalam hidupku, Milea, terimakasih sudah menemani hari-hariku selama ini, terimakasih sudah membantu mengerjakan PR sekolah, atau perkerjaan apapun lainnya.” Jelas Rafa.
Detik itu juga aku ingin sekali memeluk Rafa. Tapi aku hanya menatapnya dengan mata yang hampir berkaca-kaca. Aku sadar, aku tidak perlu mencari seseorang yang nan jauh disana, aku hanya perlu memejamkan mata, dan merasakan kehadiran Rafa yang begitu berarti. Terimakasih telah menjadi seseorang yang berarti untukku..


NB: Baru kali ini jadi model cover tulisan sendiri. hehehe..