Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, June 22, 2011

bag 4


                              Sepuluh
  Arza kenapa jadi begini sih? Please za angkat telponnya” kataku dengan nada penuh harap-harap cemas. Lalu terdengar suara tuut..tuutt..tuutt.. nada itu menghilang dalam hitungan waktu dua detik dan kemudian terputus begitu saja.
      “Ahh!” kata ku. mendesis kesal.
      Aku menonaktifkan handphone ku dan aku menghempaskan diri ke sofa ruang TV dengan seragam sekolah yang masih nyangkut membalut tubuhku. Aku menyalakan TV. Mengutak-atik remote dari nomer 1 sampai aku bosan memenceti remote TV. karena tidak ada satupun saluran televisi yang menarik perhatianku. Bahkan aku juga mengiraukan Alba yang beberapa kali mengajakku bermain bola. dengan rengekannya dan aku malah menyuruh Sus Nina untuk menemani Alba bermain. tanpa memikirkan rengekan Alba yang kini berubah menjadi tangisan. yang cukp membuat otakku lebih panas dari sebelumnya.
      Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. dengan cara seolah ingin mengeluarkan semua sesak yang menekan dadaku. setelah berhasil meneguk setengah orange juice.  yang tadi aku minta bikinkan mbak surti untuk menghilangkan dehidrasi-ku. sekaligus memusnahkan rasa mendidih yang kini bersarang di otakku. seperti  minyak yang panas yang siap menggosongkan apapun yang akan terjun kedalamnya.
       Tak lama setelah aku meneguk cairan yang berwarna orange itu. mataku sontak melotot melihat kedatangan Mas Bintang, yang sukses menyeret Mas Dylan dalam keadaan luka-luka alias babakbelur. Alkisah, Aku tercengang.
       “Mas De..la…n” kataku terbata.
        Mas Bintang menarik Mas Dylan hingga persis kehadapanku. Aku seperti mendapatkan serangan rudal yang selalu datang tiba-tiba.
       “Sekarang gue gak mau tau. Lo akuin semua dan minta maaf sama adek gue atas semua perbuatan lo” desisnya berang. Ia menyikut  Mas Dylan yang hendak berontak dengan ujung sikutnya.
       “…”
     “Gamau minta maaf? Hah? Apa lo udah merasa hebat bisa nyakitin dan mainin persaan ade gue? Jangan jadi banci lo!” Mas Bintang tambah marah dan gak segan-segan menjatuhkan bogem mentahnya tepat di wajah Mas Dylan.
     “Buakk!!” bunyi hantaman kepalan tangan Mas Bintang yang sukses mendarat di wajah Mas Dylan. Aku bisa melihat kejadian itu dengan mata kepalaku sendiri. Darah mulai keluar dari pipi Mas Dylan yang terlihat jelas mengalami goresan akibat beban dasyat. Aku benar benar merasa horror saat ini. And well akhirnya Mas Dylan buka mulut memecahkan kegeraman yang terlarut di dalam Mas bintang yang bisa ku prediksi dengan baik dengan pandangan mata saja.
     “Tami…. Aku minta maaf ya” lirihnya penuh sesal. Aku bisa membaca penyesalan yang tersirat dalam matanya. Ia menoleh dan melayangkan pandangan tajam padaku. Aku menghirup napas dalam-dalam dan menoleh pada Mas Bintang.
     Ini pertama kalinya. aku melihat Mas Bintang penuh keberangan seperti itu . menunjukan sikap kelelakiannya di depan adiknya. Ia bisa lembut dan bahkan bisa lebih dari lembut ketika berhadapan dengan perempuan. Tapi Mas Bintang juga akan bertindak lebih dari seekor macan yang bisa menerkam siapapun yang  menyakiti orang sekelilingnya.
       Aku gak pernah melihat Mas Bintang mukul orang sebelumnya apalagi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Sungguh membuatku kontan lebih ternganga lagi dari sebelumnya. Aku ini paling phobia sama orang berantem apalagi sampe bonyok begitu. Biasanya kalo gak nangis aku pingsan di tempat.
      Ini lebih buruk dari aku mendapat nilai F di sekolah. Aku mengangguk dan langsung pergi meninggalkan mereka. Bukan lantaran aku gamau maafin Mas Dylan. Tapi, aku gak tahan ngeliat Mas Dylan bonyok kayak maling ayam kepergok terus di hajar masa. Dari pada nantinya aku pingsan disini. lebih baik menghamburturun dari sofa dan tersaruk-saruk berjalan menaiki tangga menuju kamarku. Cari aman. Sebelum sesuatu yang lebih parah lagi terjadi. Toh kalo nantinya aku pingsan dikamar. Aku gak ngerepotin mereka yang harus mengotong-gotong tubuhku ke kamar. Iya kan?
      Dikamar,  aku memutar otak. Gak mungkin Mas Bintang begitu saja menyeret Mas Dylan  ke hadapanku. Apalagi dengan wajah yang babak belur begitu. Ih menyeramkan!. Mas Bintang gak mungkin melakukan hal itu tanpa ada alasan yang kuat. memang benar apa yang telah  di katakan Mas Bintang kalo yang membuat aku terjerat dalam masalah  ini adalah Mas Dylan.
       Tapi, pasti ada orang di balik semua ini. Aku yakin ada orang yang tega membocorkan hal ini ke Mas Bintang. Aku gak pernah bilang membahas ataupun menceritakan maslah yang sebenarnya kepada orang rumah apalagi Mas Bintang. Yang Mas Bintang tau kan aku sudah be fine lagi karena Arza yang selalu mengibur ku.
     Karena alasanku yang cukup kuat yaitu mengenai dampak dari aku yang buka mulut soal ini. Makanya setelah ku pikir ulang aku merahasiakan soal ini, kecuali dari… ELANG!.  Dia yang tau masalahku terutama tentang insiden penculikan itu. Aku berkeyakinan kalau Elang lah orangnya. Siapa lagi? Kalo Arza gak mungkin aku tau seluk-beluk Arza.
       Apa maksudnya Elang membocorkan semua hal yang tidak lumrah ini ke Mas Bintang.           Aku mulai geram saat itu. Dan membanting tubuhku di tempat tidur. lalu air mataku terasa basah.         
      Saat ini aku mengakui kalau aku menyukai Elang tapi dalam waktu yang menurutku relative singkat perasaan itu berubah menjadi kegalauan yang mungkin akan berkepanjangan meluluhlantakan hatiku. Ya Tuhan aku ingin mati saja rasanya. Gelombang kepedihan tadi yang hanya menerpaku. Kini menerjang tinggi. Menggulung kepalaku. Menyeretku hingga aku tidak ingin muncul lagi di permukaan.
                                                       ©©©

      Aku gak ingin pergi ke sekolah. Aku gak ingin bertemu dengan Elang, Arza dan seluruh orang yang siap menyakiti hati ku saat ini. Termasuk Mas Bintang. Aku hanya ingin mengumpat dikamar. Bersembunyi di dalam selimut yang bisa melindungi hatiku yang tengah terngah terinjak olah ribuan masalah dan siap menjatuhkanku ke dalam jurang yang curam kapanpun.
      Kenapa masalah datangnya selalu beruntun dan hatiku nelangsa dengan seonggok masalah yang menyekapku.  Aku meringkuk merapatkan kaki ku di dalam selimut.
“Mbak tami sarapan dulu yuk. Di tunggu sama ibu” teriak Mbak Surti dari balik pintu.

    Aku gamauuuuuuuuuu. Kalo aku ikut sarapan nanti pasti ketemu sama Mas Bintang. Makanya aku gak menjawab. Aku malah merapatkan selimut yang membalut tubuhku hingga tak terlihat lagi. Tapi, Mamah sukses menerobos kamarku dan menemukan gulungan selimut yang berukuran besar yang sedapati aku di dalamnya.
“Tami, kamu gak sekolah sayang?” Tanya Mamah setibanya menghampiri dan duduk di samping gulungan selimut yang membalut tubuhku.
       Aku membuka ujung selimut dan menongolkan bagian kepalaku untuk bisa dengan jelas berbicara dengan Mamah seraya berkata “enggak..ee…” aku berhenti sejenak untuk mencari alasan. Alasan  ku cukup simple, praktis dan logis. Aku bilang “Aku sakit mah” dengan nada lirih selirih mungkin. Agar Mamah percaya dengan alasanku ini. Mamah segera memeriksa keningku.
     “Kamu gak demam kok” kata Mamah selekas menempelkan telapak tangannya di keningku.
     “Mah, emangnya kalo aku sakit Cuma demam doang? Enggakkan. Mamah gak liat apa muka ku pucat begini” aku menunjuk ke arah wajahku. Bibir ku memucat dan aku merasa pusing.
Lalu Mamah tersenyum lalu senyumnya itu sedetik kemudian ku pastikan berubah menjadi rasa cemas.
     “Apa yang kamu rasain? Kamu minum obat ya?  pokoknya nanti siang kamu ke dokter dan nanti siang mamah suruh Mas Bintang untuk mengantar kamu ke Dokter. Tunggu sebentar mamah ambil di kotak obat dan mau menelpon atasan Mamah Untuk izin kerja” kata Mamah dengan segambreng rasa ke khawatiranya. Lalu bersiap pergi menganbil obat. Tapi segera ku cegah.
       “Mah. Aku gapapa. Cuma butuh istirahat aja kok. Mamah gak perlu izin kerja kan hari ini kan Mamah ada kunjungan Indistri di kantor” kataku meyakini Mamah bahwa kondisiku tidak terlalu parah dan aku penyakitku bukan termasuk penyakit yang kronis.
     Kata orang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.  Kalo aku mendingan sehat wal afiat. Itu lebih nikmat. Tapi ternyata kondisiku tidak seperti yang ku katakan barusan. Aku malah mengalami sakit hati dan kemudian menjalar ke tubuhku dan akhirnya tubuhku memucat. Alhasil Mamah percaya kepadaku.
       “Yaudah. Istirahat di rumah ya. Nanti kalo masih sakit kamu telpon mamah ya. Biar Mamah pulang . oke sayang Mamah pergi kekantor dulu ya. Baik-baik ya sayang di rumah. Muach” Mamah kembali bercuap cuap dengan rentetan petuahnya dan terakhir mencium keningku sebelum ia menginggalkan ku di kamar untuk lekas pergi ke kantor.
       Yes! Akhirnya aku bisa beristirahat penuh di rumah tanpa harus bertemu dengan orang orang yang tidak ingin ku temui. Aku masih dalam keadaan terbalut selimut. Aku membusungkan nafasku perlahan.
                                                       ©©©

       Malamnya aku merasa sudah baikan di bandingkan beberapa jam yang lalu. Aku mengaktifkan YM ku dan Elisa mengirimi ku chat.
Elisa marethanita : tamiiiii
Riani tami            : iya lisa
Elisa merethanita : kenapa lo gamasuk? lo di cariin sama elang tau.
Riani tami            : emang gue buronan apa? Pake dicariin segala
Elisa marethanita : eee.. seriusan nih gue. Dia tadi ke kelas nyariin lo.
Riani tami            : oh biarin aja. Eh iya hari ini ada tugas apa?
Aku malah mementingkan tugas yang memang menurutku lebih penting dari pada membahas lebih lanjut soal Elang.
Elisa merethanita : tugas kimia di lks yang 3 soal kemarin, tugas bahasa lo bikin paragraph presuasi.
Riani tami            : oke makasi J
Lalu aku mengnonaktifkan YM ku. Dan segera membuka buku untuk mengerjakan tugasku.
         Aku membuka ranselku untuk mengambil beberapa buku catatan dan blok note. aku membuka rumus kimia. Terselip sebuah surat yang dikembalikan elang beberapa hari yang lalu sebelum keburukan menghantamku. Aku membuka dan membaca surat itu. Dengan alasan penasaran apa maksud Hany mengirimkan surat itu.
ketika pancaran cahaya dari langit yang begitu indah.
 Aku melihat sepercik sentuhan hati saat kau tersenyum padaku.
 ketika percikan cahaya itu datanng dan menyentuh hatiku.
Aku merasa begitu damai.
 Aku terbawa oleh hembusan angin yang mengantarkanku
ke relung jiwa.
Aku pun merasakan sebuah cinta datang menghampiriku.
 Aku terbawa oleh kisah cinta ini.
 Karenamu..
     Hany ternyata pintar juga ya merangkai kata-kata. Hemm aku memperhatikan setiap frasa yang tertera dalam kalimat yang mewarnai carikan kertas itu. Dengan tulisan asli tangannya Hany yang ku kenal akrab. Karena hampir setahun aku duduk satu meja dengan Hany. Tapi kok gak ada tand pengirimnya ya?. Astaga!. Pantesan kemarin Elang bilang “gue masih menghargai Arza” itu artinya elang menolakku? Karena menghargai Arza? Tapi kan surat ini dari Hany bukan dari ku. He’s mistaken about that. Itu berarti Elang mengiraku… oh tuhan… hiks hiks
                                                       ©©©

       Besok paginya ketika aku berangkat ke sekolah Elang menhentikan langkahku. Ia menyeret tanganku. Dan menatapku dengan penuh rasa ingin tau. Manik matanya tepat menerobos titik terfokus di bagian mataku. Aku sedikit menghindar dengan mengelakan tanganku tapi usahaku gagal. Elang sukses menguatkan genggamannya yang melingkar di pergelangan tanganku.
    “kemarin kenapa gamasuk?” Elang bertanya dengan nada santai tapi aku yakin di balik nada santainya itu tersirat nada yang  penasaran. Aku mulai menyeringai. Tak menjawab malah terus berusaha membebaskan diri dari cengkraman Elang.
     “Gue nanya lo baik-baik tapi lo gak jawab? Gak punya mulut?” Elang menatapku berang. Ucapannya masih pelan. Tapi, tandas dan tanpa basa-basi.
    “Lepasin gue! Kenapa lo selalu bikin gue marah?” aku mendesis kesal. Lalu mencoba mendorong tubuh besar Elang yang dua laki besarnya tubuhku. Walaupun aku tau usaha ku akan sia-sia. Tapi aku tetap bersi keras mencobaku. Asa ku tak pernah putus untuk melakukan tindakan tadi.
     “Mata lo sembab” kata Elang tetap dengan nada seperti tadi seraya melihat kedua kelopak mataku yang masih sembab kerena isakan semalam. Kedua matanya terarah lurus padaku. Ada pijar yang tidak aku mengerti. Berkilat pada kedua bola matanya. Aku menelan ludah. Raut wajahku sukses terbaca olehnya. Padahal hari ini aku sudah berusaha tampil semaksimal mungkin. Agar tidak aka seorang pun yang mengetahui kondisiku.
     “Apa peduli lo?”  ia terus membuatku ingin memuntahkan seluruh kekesalanku.
     “Siapa yang bikin lo kayak gini?” Tanya nya dan tak peduli dengan pertanyaanku peritorisku tadi. Aku gak menjawab karena ku gak ingin Elang mengetahiunya. Apalagi kalau air mataku ini ku biarkan mengalir hanya karena Elang semata.
       Aku memang menyukainya. Tapi bukan karena aku menyukainya dengan seenak jidatnya ia bisa menarik ulurkan perasaanku. Hatiku bukan layangan! Aku juga punya perasaan. Tapi tidak ada satu orangpun yang mengerti terasaanku. Bahkan aku harus kehilangan orang yang selalu mengerti aku lantaran ia kecewa denganku. Kini siapa tempatku mengadu? Mungkin lebih baik aku menyimpannya menutup dan menguburnya dalam-dalam.
      Aku berhasil menginjak kaki Elang dan sukses membuatnya mengaduh hebat. Kan aku bilang tadi kalo asa-ku tidak akan putus. So.. aku selalu memikirkan bagaimana caranya menghindar dari cengkraman Elang. Lalu segera kabur ke kelas secepat mungkin untuk menghindari kejaran Elang. Dan tak lama kemudian bel berbunyi selepas aku menduduki bangku ku.
                                                       ©©©

      Aku berpapasan dengan Arza ketika aku dan Febry hendak ke kantin. Arza mungkin msih pada prinsipnya yang mendiamiku. Aku mencoba melupakan masalah Arza yang dan i belive my argument if Arza is my best friend. Jadi siapapun Arza ia tetaplah sahabatku yang selalu setia sampai kapanpun. Karena itu aku mencoba senyum yang ku tebar saat berpapasan dengan Arza.
       Aku menatap wajah Arza. Ada bentuk senyum yang muncul di mata sedih Arza yang menerawang ke arahku, untuk membalas senyumanku. tapi Arza tidak berbicara padaku.  langsung ngeluyur meninggkalkanku. Arza gak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Aku tau arza mrah karna kulupakan sebagai sahabat Arza bukanlah sehari dua hari tapi hampir 4 tahun kami bersahabat sejak aku dan Arza menjadi teman satu kelas dibangku 3 smp. Arza yang slalu bersikap baik padaku membuat perasaan ku merasa simpati denganya.
            Ia adalah orang pertama yang mengetahui semua rahasiaku. termasuk termasuk ketika aku merusak kacamatanya renata waktu itu  dan aku gak mau bilang takutnya renata marah dan tidak mau bersahabat dengan ku. ku akui Arza memang ganteng, charming, dan as usual tapi seperti yang diawal cerita ku bilang Arza orangnya pede banget. Kalo aku bilang hal-hal semacam itu arza nnti bisa terbang.
 Arza aku kangen..
  Aku duduk mematung seperti orang yang tak sadarkan diri.
    ”Kalo masih sakit jamgan maksain diri dateng kesekolah. tami sayang “ kata Febry yang berkacak pinggang sebagi gaya favoritnya.
    “Iya Mi, mending lo dirumah”  tambah Elisa.
    “bener tuh kata Febri sama Elisa, apalagi klo lo beli produk terbaru gue obat penghilang rasa sakit hati “ tenyata Erlita belum tobat nawarin barang dagangnya.
    ”Nih Erlita masih aja berniaga gak liat apa temen lo pucet mukanya“ kata Elisa yang membelaku thanks lisa lo emang baik. ,jadi aku gak perlu mengeluarkan tenaga untuk membungkam mulut satu orang ini.
      Wajahku terliahat pucat pasi, bibirku beku  dan aku rasanya ingin mati sekarang. Hiks.. dengan masalah yang menyerangku secara bertubi-tubi dan sukses membumi hanguskan perasaan ku dalam kurun waktu yang sangat singkat. tapi dihadapan teman–temanku.  aku Cuma bernyengir kuda. supaya tidak terlalu  tampak kalau saat ini aku sedang bergalau.
                                                       ©©©

                           Sebelas
    Febry dan Elisa menyeretku untuk cuci mata. Saat ini merekalah yang mengerti posisiku, keadaanku serta perasaanku. Karena itulah mereka mengajakku hangeout di citos. Siapa tau disana ketemu sama pangeran berkuda putih yang guanteng plus kaya raya.halah aku ini ngelamunnya ketinggian.
     Mana ada pangeran di jaman seperti ini? Apalagi pake kuda putih. Yang pake kuda itu Cuma pak kusir. Itu juga sekarang untung-untungn bisa naik delman. Dan kudanya abis kecebur kolam coklat jadi warnanya sidak sesuai dengan kuda yang biasa di bawa sama pangeran. Kami masuk ke starbucks.
   “Arza masih marah sama lo?” kata Elisa seraya menyeruput cappucino-nya. Lalu tatapannya kembali menuju ke arahku seolah menunggu jawaban dariku.
    Aku hanya mengangguk untuk memastikan. Lalu kembali melahap strawberry cheesecake-ku   “Pasti marahnya gara-gara lo deket sama William ganteng itu” tambah Febry yang mengklaim Elang adalah pangeran William kebetulan Febry juga sering menyebut-nyebut dirinya sebagai Kate midalton manurung. Nama itu ia ambil dari Kate uang tidak lain adalah istri pangeran inggris. Dan ia kombinasikan dengan namanya. Febry manurung. Alhasil Febry tetap memfonis kalau si pangeran guanteng alias Elang itu adalah miliknya. Aku kadang juga suka geli melihat tingkah temanku itu. Tapi Febry juga gak pernah marah denganku kalau aku dekat dengan Elang.
   Arza merasa di jauhi olehku. Semenjak aku dekat dengan Elang. Yang mereka anggap aku dan Arza berhubungan baik. Selalu bersama dimanapun dan kapanpun terkecuali di kamar ya!. Jadi, kedekatan ku dengan elang malah menjadi sorotan mata seluruh penghuni sekolah. Aku yang mendengar komentar-komentar seperti itu hanya menelannya mentah-mentah. Tanpa menggubris sedikitpun.
   “Udahlah soal yang itu disini jangan di omongin lagi. Kita kan disini mau…”
   Kata-kataku terhenti saat cowok yang ku fonis langsung as usual padahal baru ngeliat sekedipan mata menghampir kami. Mataku tak tahan melihatnya, tapi ternyata gak Cuma aku Elisa dan Febry ikut ternganga atas kehadiran cowok ganteng di hadapanku.
   Oh my god ! dia tuh kayak justin bieber versi indonesia. Guanteng banget! Dream comes true banget pokoknya deh! Baru aja tadi ngarep pangeran datang ternyata sekarang pangerannya udah di depan mata. Aku benar-benar terlena atas kegantengannya.
  “Sorry boleh gabung gak?” kata halusnya dan gulungan senyum yang tertera di bagian bibirnya memecahkan keterlenaan kami.
    Dan otomatis kami mengangguk serempak dengan wajah yang masih tergiur oleh kegantengan si cowok yang kini duduk di depannku. Kedatangannya bahkan lebih hebat lagi. Ini lebih dari kedatangan Elang. Kontan ternganga kami di buatnya kecuali Febry yang megap-megap seolah ingin bilang “gile tu cowok ganteng banget!” sambil histeris ke Elisa. Tapi hal itu tak kunjung ia lakukan. Apalagi dua buah lesung pipi yang membolongi bagian pipinya yang sangat amat menggiurkan para kaum hawa seperti Elisa, Febry dan pastinya aku juga(lap iler)
  “Thanks ya udah ngizinin gue disini. Kenalin nama gue Yoka” katanya seraya mengulurkan tangan kea rah kami. Dan kami menyalaminya secara bergantian.dengan menyebutkan nama satu-persatu.
  Yoka bisa tampil di hadapan kami secara good looking banget. Nada bicaranya, senyum sumringahnya potongan rambit dengan gaya spike, t-shirt putihnya membuat kami ter waw. Gak ada sedikitpun yang terlihat lecet dari Yoka. Aku meleleh rasanya karena tak tahan melihatnya. Sungguh makhluk ciptaan tuhan yang nyaris sempurna. He is very hadsome. And I like it.
  “Kalian sering kesini” Tanya Yoka.
  “Kalo lagi bosen aja” jawab Febry dengan nada superlembutnya.
  “Berarti sekarang lagi bosen ya?”
  “Iya nih, si tami dia lagi suntuk banget.” Katanaya tanpa berdosa dengan logat sedikit medan dan di dubbing dengan bahasa Indonesia.
     Duh Febry kalo ngomong gak mikir dulu asal jeplak aja. Please deh Feb lo itu lagi ngomong sama siapa?. Aku membatin.
   “Suntuk kenapa, mi?” Tanya Yoka yang langsung mengalihkan pandangannya kearahku.
    Mati aku! Ini gara gara Febry yang kalo ngomong gak liat-liat siapa yang menjadi lawan bicaranya. Harus jawab apa aku? Masa aku harus terang-terangan jujur sama semua masalah yang menerpaku. Ku rasa enggak! Mau ditaro mana muka ku yang imut-imut ini kalo aku mencurahkan seluruh uneg-unegku pada orang yang beberapa menit lalu ku kenal.
   “Eng…  nyokap” jawabku sekenanya.
    Aku bernafas lega setelah itu aku melototi Febry bernada. Gara-gara lo!
  “Oh nyokap, gue kira sama pacar lo. Kalo soal nyokap bawel mah udah biasa buat gue” katanya seraya melahap opera cake yang tadi telah di potong menjadi beberapa bagian.
  “Bukannya soal Elang ya?” Febry menyeplos lagi.
   Ni orang bener deh kudu di sumpel mulutnya. Aku menginjak kaki Febry di bawah meja sehingga menghasilkan bunyi suara desisnya Febry yang mengaduh sakit “Awww!”  dan di tambah dengan pelototan mata Elisa yang cukup mengerikan. Ku rasa Febry sebaiknya di masukin ke karung terus di lempar ke tong sampah terdekat.
    “Elang?” Tanya Yoka dalam bentuk pertanyaan yang hanya untuk memastikan. Lalu ia melihat bedge di seragam sekolah yang kami  pakai. Sehingga ia dapat berkesimpulan.
     “Maksud kalian Erlangga setya putra alfian? Dan kalian sekolah di SMA pancasila?” dugaannya tepat mengenai sasaran.
  Elisa dan Febry mengangguk serempak. Sementara aku mambelalakan mataku ke atas. Ini yang membuat Yoka justru mengalihkan pandangan ke arahku. Karena aku berbeda dengan kedua orang temanku. Mereka mengangguk sementara aku membelak. Ia membuat ku sedikit shock  sebegitu terkenalkah si Elang itu?
  “Lo siapanya?” Tanya Elisa yang kini ikut ambil suara. setelah dari tadi sibuk membungkam setiap kali Febry ingin bicara. Agar si Kate abal-abal itu tidak asal ceplos lagi.
   “Gue temen sekolahnya yang dulu sebelum dia pindah ke sekolah kalian.” Situasi merubah menjadi hening sejenak. Hingga Yoka kembali membuka suara menandaskan keheningan yang terjadi.
  “Lo kenapa? Ada masalah sama tu anak?” Yoka menghela nafas sejenak.
  “Bukannya ada lagi tapi banyak” nada bicaraku langsung meninggi.
Yoka menatapnya, tersenyum geli. “lo diapain sama dia?”
Aku berdecak lalu menghela nafas. “udah gak usah di bahas deh. Bikin emosi!” penjelasanku yang singkat tapi berapi-api membuat Yoka tertawa pelan. Nyaris ketawa malah.
  “Oke gue gak maksa. Tapi dari reaksi lo kayaknya sebel banget ya sama dia? Mungkin dia jenis setan yang berwujud manusia buat lo?”
    Aku mengangguk pertanyaan Yoka yang berupa argumen membuatku setuju bahwa Elang adalah sejenis setan yang terus menghantui ku. Tanpa aku ketahui motif di balik semuanya. Tapi disini aku gak cerita kalo aku sekarang menyukainya. Aku hanya menceritakan hal yang lampau sewaktu kami masih satu kelas, dan Elang duduk tepat di belakangku.
  “Baru kali ini gue ngedenger dia bertindak aneh sama cewek.” Katanya.
  “Baru kali ini?” ulang ku memastikan seolah tak percaya.
   Sementara Elisa dan Febry masih memperhatikan Yoka berbicara.
  “Iya, sebelumnya dia gak pernah kayak gini.” Lalu Yoka terdiam sejenak. Kami menatapnya seraya menunggunya meneruskan kata-katanya.
  “Kalo dia di jadiin most wanted sama cewek seluruh isi sekolah mah udah biasa. Ini yang gak biasa. Belom pernah gue denger cewek benci sama dia. Apalagi dia yang bertindak kayak yang lo gambarkan lewat tatapan lo. Gak mungkin banget!” katanya sedikit menjelaskan Elang yang jadi cowok impian sejuta gadis di sekolah.
  “Dia selalu memperlakukan cewek sebagai suatu kehormatan” aku kembali melotot sekaligus ternganga mendengar kata-kata terakhir Yoka. Style ku jelek banget kali ini.
                                                       ©©©
    Suatu kehormatan katanya? Aku membatin seraya menyeret langkahku pulang ke rumah saat matahari akan terbenam nenandakan hari mulai sore. Semburat jingganya memenuhi seluruh langit di bagian barat.
    Oh my sweet home, akhirnya aku sampai juga di rumah. Mas bintang terlihat marah denganku. Ini gara-gara aku gak cerita soal penculikan itu. Aku merasa bersalah. Dan aku selalu berada di posisi yang salah.
  Apa aku cerita aja ya sama mamah? Tentang mas bintang yang mendiamiku.seperti ini.  Tapi setelah ku pikir-pikir lagi itu hanya akan membuat masalaahku tambah ruwet. Ujung-ujungnya Mamah akan bertanya inti permasalahannya. Karena kalau di Tanya aku gak bisa bohong Otomatis aku akan menceritakan hal ini. lalu Mamah pastinya akan mengadukannya pada Papah dan pastinya lagi aku akan di introgasi habis-habisan oleh Papah. penderitaanku akan semakin panjang.
   Jadi sekarang aku lebih memilih untuk diam. Tanpa membahas soal ini. Aku masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan bokongku ke kursi belajarku. Tadi Pak Juki guru matematika sedang berbaik hati membagikan tugas. Ini si bukan baik hati namanya. Tapi, nyusahin! And now we must study.
     X pangkat empat di kurang empat x pangkat tiga di tambah tiga x kuadrat di kurang dua x ples satu di bagi x kuadrat dikurang x dikurang dua. Sekarang kita buat penyelsaiannya. X pangkat empat di bagi x kuadrat sama dengan x kuadrat. X kuadrat dikali x sama dengan x pangkat tiga. X kuadrat di kali min dua. Bilangan atas di kurang bilangan yang di bawah. Sama dengan min tiga x pangkat tiga di tambah lima x kuadrat min dua x. lalu min tiga x pangkat tiga di bagi x kuadrat sama dengan min tiga. Min tiga x di kali x kuadrat sama dengan min tiga x. letakan sejajar dengan min tiga x pangkat  tiga. Min tiga x dikali min dua sama dengan positif enam x. tarik garis ke samping kurangkan. Sama dengan dua x kuadrat min delapan x positif satu. Dua x kuadrat di bagi x kuadrat. Sama dengan dua. Dua dikali x sama dengan dua x. dikalikan min dua sama dengan min empat. Bilangan yang sama di coret. Min delapan x dikurang min dua x sama dengan min enam x. positif satu dikurang min empat sama dengan plus lima. Sisanya min enam x plus lima. Hasil baginya x kuadrat min tiga x plus dua.
Yes! Ketemu Juga hasilnya. Aku bisa mamecahkan soal macam begini.
                                                       ©©©
     Aku mendengar adzan berkumandang. Lalu aku segera turun dari tempet tidur untuk mengambil air wudhu dan menuntaskan panggilan solat dari yang maha kuasa. Tuhan semesta alam. Usai shalat aku membuka handphoneku. Aku menerima pesan yang mendarat di handphone ku.
From : elang busuk!
selamat pagi J
     Aku mulai merasa mesem-mesem. Seperti saat aku menyukai Mas Dylan. (dulu ya!). aku ingin sekali membalas SMS dari Elang. Tapi aku kan lagi marah sama dia. Duh aku ini plin-[plan banget si. Don’t be so seally! Aku gak bisa ambil keputusan. Aku ingin menjaga perasaan Arza.
    Aku segera turun ke bawah untuk sarapan lengkap dengan seragam sekolahku. Aku menemukan Mas Bintang di pantry dan menarik salah satu kursi untuk menjajari mas bintang yang tengah melahap sarapan nya. Aku berniat untuk berbicara dengannya.
   “Mas.. eee… aku.. e.. Mas Bintang marah ya sama aku?” tanyaku seraya menyendok nasi di mangkuk yang tadi telah di siapkan Mbak Surti.
    Sudah beberapa kali aku mencoba mengajak bicara Mas Bintang. Tapi rencana ku gagal. Aku tidak pernah punya kesempatan untuk berdua dengan Mas Bintang. Setiap kali aku ingin menemuinya. Mas Bintang selalu tidak ada di rumah. Dan setau ku dari sikap Mas Bintang yang ku perhatikan  belakangan ini. Ia seperti menghindariku. Tapi ini baru dugaanku saja. Mas Bintang mendiami ku.
“…”
  Mas Bintang sama sekali tidak menggubris pertanyaanku. Jadi Mas Bintang marah dengan ku? Aku benar-benar hopeless. Ini bukan lelucon. Mas Bintang tidak lagi bercanda.
     Dulu Mas Bintang juga pernah mendiami ku seperti ini. Kira-kira usiaku masih 6 tahun dan usia Mas Bintang 9 tahun. Saat itu aku dan Mas Bintang tengah main bersama. Aku bermain boneka Barbie-ku sementara Mas Bintang bermain dengan mobil-mobilan. Dua mainan itu baru saja di belikan oleh papah yang baru pulang dari luar kota.
     Lalu alba gimana? Waktu itu Alba belum lahir. Alba lahir ketika aku tengah duduk di kelas 3 SMP. Seharusnya aku jadi anak tunggal. Tapi karena lahirnya Alba. Mas Bintang harus membagi rasa sayangnya ke Alba juga.
   Waktu itu aku hendak ke pantry untuk meminta susu ke mamah. Dan aku juga secara tidak sengaja menginjak dan merusakan mobil-mobilannya Mas Bintang. Otomatis Mas Bintang marah dengannku. Ia tidak ingin berbicara denganku. Aku merasa bersalah saat itu dan seperti saat ini juga. Butuh waktu 2 minggu untuk Mas Bintang kembali berbicara denganku.
                                                       ©©©

   Aku gamau Mas Bintang seperti ini. Masa akan terus gak berkomunikasi dengan kakak. Apalagi Mas Bintang tinggal serumah denganku. Aku segera menghabiskan sarapanku cepat-cepat. Dan segera masuk ke mobil mamah.
    Hari ini aku berangkat ke sekolah bersama Mamah. Gak Cuma hari ini. Kemarin. Kemarinnya lagi. Kemarinnya lagi. Ya kalo ku itung-itung sudah hampir satu minggu. Arza sudah tidak lagi menjemputku. Mas Bintang juga tidak ingin berhubungan denganku. Elang memang semalam menawariku jasa antar jemput sekolah dengan alasan supaya aku ngirit ongkos. Tapi ku tolak secara halus.
    Aku mikirlah soal perasaan arza aku inikan sahabat yang baik. Tapi ,tidak dimata Arza. sementara aku mengungsikan bokongku dimobil mamah.  aku bilang sama mamah kalo aku mau numpang mobil mamah untuk berangkat kesekolah .“kamu lagi marahan dengan temenmu itu siapa namanya? Hmmn……..oh iya arza !” kata mamah menanyaiku. dengan pertanyaan yang tidak ingin aku jawab sekarang.
  Lalu aku terdiam beberapa. saat sampai tersirat ide dikepalaku” gak kok mah baik-baik aja. Masa gak boleh berangkat kesekolah diantar sama mamah tercinta” kata ku mendapat alasan yang sukses membuat mamah takjub atas kata – kataku .mamah mengangguk dan segera menginjak pedal mobilnya. Diam-diam aku merasa lega karena kebohonganku tidak sama sekali terbaca oleh mamah hari ini. Untung saja mamahku baik hati pengertian dan tidak sombong. Ia mengizinkanku numpang di mobilnya ya meskipun bawel J
                                                       ©©©

  “Haniii….”kata ku sedapatnya aku menghampiri Hany dikelasnya. Ku lihat ia tengah sibuk mengoprasikan laptopnya. Aku mendekatkan diriku pada Hany.
  “Ee…..han”
  “Iya…”
  “Gue….ee….gue mau balikin i…ni” kataku pada Hany ku julurkan secarik surat itu.
  “Sorry ya han..” kataku sekali lagi. Hany bungkam. Ia merubahposisi duduknya ke arahku. Lalu ia mulai berbicara dengan intonasi yang bisa ku bilang cukup tegas.
  “Ini lo kembaliin ke gue maksunya apa?. lo gak berani ngasih yang beginian ke Elang?” katanya dengan sorot mata tajam yang meruncing ke arahku. Keningnya berkerut. Aku membisu
   Aku gatau harus ngomong apa sama Hany Gak mungkin juga kalo aku kelewat jujur ngomong yang sebenernya. Elang taunya ini surat dariku bukan dari Hany atau siapapun. Karena di dalam surat itu tidak ada nama pengirimnya. Ini karena kebodohanku. Kalau aku gak lalai aku gak akan seperti ini. Kenapa masalah ku semakin ruwet si?. Aku ingin pergi ke kutub utara. Untuk mengungsikan diriku di celah-celah gundukan salju. Aku menghela nafas, untuk mengumpulkan keberanianku berbicara pada Hany.
    “Elang yang ngembaliin ini ke gue. Dan dia gak bilang apa-apa.” Kataku. Ini keputusanku agar tidak terjadi salah paham yang berkelanjutan.
Alhasil setelah mendengar jawaban dari ku. Hany tambah berang sepertinya. Benar saja sekarang ia malah menuduhku yang bukan-bukan.
   “Lo pasti ada hubungannya sama kembalinya surat ini” matanya menyipit.
   “Enggak han..” aku gelagepan di cecar omongan hany. Aku skak mat di buatnya.
    “Alah udah lo gak usah belaga bego deh. Gue gak suka ada yang di umpetin. Ngaku aja kalo lo juga suka sama elang. Jangan munafik jadi orang” ia sukses membombardirku dengan kata-katanya barusan.
    “Terserah apa kata lo!” lama-kelamaan aku kesal dibuatnya. Aku segera hengkang dari tempat itu.
        Lagi pula aku ini hanya orang yang terpaksa bersedia memobilisasikan surat itu tanpa bayaran. Dan bukan aku juga yang membuat elang mengembalikan surat itu. Lagi hany kenapa pake surat suratan segala sih. SMS kan bisa, telpon juga gampang. Pelit pulsa banget sih. Kalo udah kayak gini mau nyalahin siapa? Masa aku? Jelas-jelas hany yang ngirim suratnya. Huft. Masalahku begitu ruwet sepertinya.
                                                       ©©©


Dua belas
    Biasanya saat seperti ini aku mencurahkan semua uneg-uneg ku pada Arza. Dan Arza lah orang yang paling setia mendengar seluruh ocehanku. Aku mau cerita soal Mas Bintang, soal Elang, dan juga Hany. Kalo soal Mas Dylan gak usah di bahas. Itu sudah basi.
    Arzaaa aku mau cerita. Aku merengek dalam hati. Kalo aja aku ketemu sama om uya kuya. Aku bersedia di hipnotis deh hehehe.
   Hari ini aku pulang sendiri. Aku terpaksa naik angkot! Hal yang paling membosankan menunggu di dalam mobil. Tentunya bersama orang-orang yang tidak ku kenal. Usai turun dari angkot aku harus berjalan dari portal depan komplek sampai rumahku. Cuaca begitu panas.  Sinar matahari sangat terik sampai menembus ubun-ubun kepalaku. Aku menyeringai. Dan kebetulan ada tukang cilok nih. Aku berniat untuk membeli cilot yang bulat-bulat menggiurkan itu.
    “Bang beli ciloknya dua ribu ya”
    “Iya, neng”
      Lalu si abang cilok menyodorkan cilok pesanan ku beberapa menit kemudian. Cilok ini siap ku santap. Kalo ingat kata cilok pasti ingat jajanan jaman baheula. Jajanan satu ini termasuk ke dalam jajanan yang di cintai anak ESDE. Tapi ternyata gak Cuma anak sd doing ternyata yang suka.
     Aku dan Arza juga pecinta setia cilok hehe. Dulu sewaktu SMP ketika kami pulang bersama kami selalu menjajahi jajanan macem ES doger, cimol, dan yang pasti cilok. Kalo kami lagi sama-sama lagi kena serangan kanker (kantong kering).
    Makanya aku dan Arza suka menerapkan tradisi patungan. Seperti waktu beli teh botol sehabis upacara. Banyak banget deh hal kecil  macem “Cilok” yang aku kenang sama Arza. Aku selalu piur untuk bersahabat dengannya. Makanya aku sayang banget sama manusia satu itu. Tapi sekali lagi jangan bilang-bilang ya. Hehe.
                                                        ©©©
      Selanjutnya hidupku datar-datar saja. Tanpa ada gejolak perasaan ataupun insiden penculikan seperti waktu itu. Aku seperti mayat hidup saat ini. Pandangan ku kosong. Semua masalah yang menyerbuku membuatku hilang akal. Hingga aku sering melamun yang tidak jelas. Aku sendiri bingung. Bahkan limbung. Aku gak akan pernah bilang masalah perasaanku pada Elang. Cukup aku yang tau dan aku sandiri yang marasakannya.  Kalaupun nantinya Elang sadar atau tidak itu biar menjadi urusannya.
    Aku gak mau memikirkan yang bukan menjadi urusannku. Hanya karena semata aku peduli dengan orang. Sementara nasibku sendiri tidak ku pikirkan sama sekali. Seperti saat aku membantu Hany mengirimkan surat itu. Hal itu bukan sama sekali urusanku. Tapi saat itu Hany meminta tolong padaku.
    Aku masih trauma atas perasaanku yang dulu.takut kalau perasaanku malah terabaikan olehnya. Itu yang menjadi sebab utama aku tidak mengungkapkan perasaanku. Mungkin bagi ku sekarang tidak harus mencintai dan di cintai. Toh kalau akhirnya aku gak punya pacar gak masalah. Asalkan hidupku tidak seperti sekarang.
      Kalau aku boleh memilih. Aku lebih suka di masa SMP, masa persahabatanku dengan Arza. Dimana aku merasa bahagia. Dan tidak harus berkecumpung di dunia percintaan yang saat ini membuatku ingin mengeluarkan seluruh isi perutku. Untung saja aku tidak nekat mengakhiri hidupku. Pikiranku tidak sependek itu.
    Aku mencoba jadi orang yang hidupnya low profile aja. Mengisi hari-hari ku dengan belajar untuk masa depanku. Sekolah agar aku menjadi anak yang lebih baik. Berdoa untuk aku dan kedua orang tuaku kelak. And always be good human. Aku juga tidak pernah putus asa untuk menghubungi Arza. Sudah hampir dua pekan nama Arza bergelayut di otakku.
     Aku harus memperbaiki hubungan persahabatanku. Aku mau bicara dengan Arza. Tapi gimana caranya? Untuk sekerdar mengangkat telpon ku saja Arza ogah. Di sekolah ia lebih sering berkumpul bersama sama teman basketnya. Arza kan abas. Dan sepertiny ia tidak punya niat untuk berbicara dengan ku.
      Puluhan E-mail, wall, mention, sms dan telpon sama sekali gak di responnya. Dan sekarang ku putuskan untuk pergi menemui Arza di rumahnya. Dengan aku kerumahnya siapa tau Arza mau berbicara denganku. semonga saja.
           Sampai lah aku di rumah Arza. Aku memang sering sekali kesini. Makanya rumah ini tidak asing lagi untukku. Biasanya kalo aku ke rumah Arza aku bermain, bercanda, dan tidak jarang untuk curhat. Kalo belajar kadang Cuma di jadiin alesan doang. Ujung-ujungnya juga pasti bercanda lagi. Malah rumah Arza sering ku jadikan sebagai tempat pelarian kalau aku malas pulang ke rumah, istilah sekarangnya ngungsi. ya bisa di bilang rumah kedua untukku.
             Keluarganya juga sudah seperti keluargaku. Dimana kalau aku berkunjung kesana aku di perlakukan sejajar dengan Arza. Sampai sering kali akunya yang malah sungkan pada mereka. Aku memencet bel di sebelah kanan pintu utama rumah Arza.  Tidak lama kemudian seorang wanita paruh baya memngampiriku dengan raut wajah senangnya menerima kehaidranku.
        “Eh nak tami, pasti cariAarza?” kata Tante Puji yang tidak lain adalah nyokapnya Arza. Iyalah Tante nyari Arza. Masa nyari Om sih? Aku buka penggila om-om ya!. Aku berguman dalam hati.
       “Iya Tante. Arza nya ada?” jawabku dan langsung menyodorkan pertanyaan lagi. Lalu menatap tante puji berharap semoga ia lekas mengangguk.
      “Katanya Arza lagi belajar kelompok? Memangnya gak sama kamu toh ndok?”
       Asaku putus sampai Tante Puji berkata seperti itu. Lalu aku segera menggeleng. Untuk menjawab pertanyaan Tante Puji kalau aku tidak sedang belajar kelompok sama Arza. Aku yakin Arza  berbohong tentang ini. Bu Sarah tidak lagi member kami tugas kelompok yang harus kami diskusikan seperti waktu itu.
     “Masuk yuk”
Aku mengangguk. Seraya berjalan mengikuti Tante Puji. Langsung kea rah pantry.
    “Kamu udah makan ndok?” kata Tante Puji memanggilku dengan panggilan khasnya. Ia memanggilku dengan sebutan ndok. Sebutan untuk anak perempuan.
      ”Makan yuk sama tante. Nih Tante masak sayur lodeh labu, tempe mendoan, sama sambel goreng”  Tante Puji menawari ku makan.
     “Udah jangan malu-malu begitu. Toh nanti nya juga kamu akan tinggal disini.” Kata Tante Puji yang sekali lagi memfonisku adalah pacarnya Arza. Aku sedikit membelak.
     Selanjutnya aku hanya mendengar ocehannya tante puji sambil menunggu Arza. Aku berharap Arza akan datang secepatnya menyeretku dari tempat ini. Sesekali aku nyengir ataupun mengannguk. Untuk menladeni ocehannya tante puji. Sementara tante puji terus melahap nasi yang ada di pering seraya ngoceh dengan mulut penuh nasi serta lauk pauk. Aku hanya sanggup menyeruput secangkir teh yang di bikin oleh pembantu di rumah ini.
     “Kamu disini aja ya. Temenin tante. Sambil nunggu Arza. Hari ini tante sendiri, om lagi keluar kota seminggu. Orderan tante juga lagi sepi. Makanya Cuma di rumah aja. Lagi kan Arza anak tunggal. Jadi kalo Arza pergi. Sepi deh rumah. Eh iya, bay the way kamu lagi marahan ya sama Arza. Kok jarang kesini sih? Pacarmu itu memang kalo ngambek susah baiknya. Tante tau banget sifat Arza. Makanya kamu harus sabar-sabar ngadepin Arza. Toh nanti kalau dia jadi bojo mu. Kamu udah tau jelek-jeleknya Arza.”
     Tante puji terus menyerocos. Dan aku makin ternganga. Tambah lama omongannya makin ngelantur kemana-mana. Aku kesini kan mau bertemu dengan Arza. Bukan ingin menggosipi Arza. Emangnya aku bakal nikah apa sama Arza. Belum tentu juga kan?.
Hampir 2 jam aku mengunggu disini. Namun orang yang ku tunggu tak kunjng datang. Pikiranku terus morat-marit.
    “Tante, aku pulang dulu ya.” Kataku yang menjadi keputusan sekarang.
    “Lho? Kok pulang? Tunggu aja disini. Kan nemenin tante. Sebentar lagi juga Arza pasti pulang.”
   “Engga. Makasi tante. Aku ada janji sama mamah.” Kataku asal dan menjadikan itu sebagai alasan yang tepat untuk segera ngabur dasi sini. Kalo gak begitu aku gak akan boleh pulang. Dan dosa ku tambah banyak deh gara-gara harus bohong lagi. Wahai malaikat aku bohong demi kebaikan kok. Suer deh.
                                                       ©©©
“Ya” sahutku ketika menerima telpon dari Hany.
“Gue mau ngomong sama lo”
“Yaudah ngomong aja”
“Gak bisa sekarang lah, non!”
“Sori gue gak punya banyak waktu.”
“Idih gila, sok sibuk banget lo!” terdengar suaranya menginggi.
“Yaudah buruan mau ngomong apa?”
“Balikin surat ini lagi ke elang”
“Eh, denger ya han..”  aku menarik nafas  “dengan kemarin gue ngasih surat itu aja dah bagus. Dan balesan omongan lo itu udah jadi suatu penghinaan buat gue!”
“Lo emang seharusnya dapet itu kok” nadanya kembali santai. Tapi itu menusuk ku.
“Gak tau terimakasih banget sih.
 “Gue Cuma minta lo tanggung jawab atas surat ini.”
 “Tanggung jawab kata lo?” aku mengulang omongannya dalam bentuk pertanyaan seraya membelalakan bola mataku ke atas. “seharusnya lo yang tanggung jawab!”
  “Lho, kok elo malah balikin kata-kata gue si?”
  “Iya dong. Sekarang lo pikir. Lo buka tu surat dan lo baca baik-baik.”
Suasana terdiam sejenak. Lalu aku angkat bicara lagi.
    “Kalo mau bikin surat cinta. Belajar bahasa Indonesia dulu kalo nilai bahasa Indonesia lo udah di atas tujuh, baru deh lo boleh nulis surat”
     “Lo menghina gue?”
     “Siapa yang bilang? Gue gak bilang kalo GUE MENGHINA LO KAN?”  aku sedikit menekan nada bicaraku di beberapa kata terakhir.
Huft. Aku henghela nafas.
     “Lo pikir aja deh sendiri maksud gue apa. Dan gue pikir lo gak perlu nanya guru soal ini” sekali lagi aku menjatuhkanharga diri Hany.
     “Selamat mikir ya, non!” lalu segera memutuskan telepon nya. Gak aka nada habisnya berdebat dengan orang macam itu. Gak bersyukur udah di bantuin. Malah mau nuntut. Huh!
                                                       ©©©
      Aku mematung di ambang pintu balkon kamarku. Malipat lutut, dan memeluk kedua kakiku. Ku ceritakan tadi bahwa hidupku ini penuh masalah yang sampai saat ini belum bisa ku selesaikan satupun. Malah menurutku makin kusut. Hiks..hiks.. air mataku kembali meleleh.
      “Kamu kenapa?” Tanya mas bintang yang tau-tau sudah derada di belakangku. Tanpa ku ketahui sebelumnya ia datang dari mana. Aku sedikit kaget. Dan segera menghapus air mataku.
     “Ehh. Enggak ko mas.”
    “Mas Bintang tau kamu lagi ada masalah.” Katanya seraya mendekati ku dan mengambil posisi tepat di sampingku. Ia menatapku nanar. Sekaligus menciptakan atmosfer hening seketika.
Aku tak menjawab.
     “Ayo cerita sini sama, Mas Bintang”
     “Mas Bintang gak perlu tau. Mas, kan lagi marah sama aku.”kataku yang akhirnya menyanggah omongan mas bintang.
     “Kamu tau gimana hati mas waktu ngeliat kamu nangis karena patah hati?, kamu tau gimana khawatirnya mas bintang, dan gimana marahnya mas bintang karena ada orang yang berani macem-macem sama kamu. Mas kemarin Cuma mau memperingatkan kamu. Supaya kamu lebih mengerti hal-hal yang baik dan buruk. Kalo toh nantinya mas beneran gak mau bicara sama kamu itu karena kamu sendiri. Mas bintang gamau adik mas di sakitin sama siapapun. Kemarin teman mas bintang yang menyampaikan kalau delan tega berbuat seperti itu. Makanya mas langsung hajar dia.” Kata-kata mas bintang meluluhkanku. Aku makin merasa bersalah atas kelakuanku.
     “Siapa teman mas bintang yang ngasih tau kejadian itu?”
      “Vio” kata mas bintang singkat.
Aku mengangkat alis mataku. Jadi bukan Elang? Aku mengira Elang yang telah melakukan semua ini.
     “Vio teman kampus Mas Bintang, dia ngeliat waktu kamu di bawa secara paksa sama Delan. Makanya dia langung cerita begitu ketemu Mas Bintang”
    Sekai lagi dalam kata-kata Mas Bintang meyakinkanku bahwa Elang bukan lah orangnya. Kini rasa bersalahku menjadi suatu ambigu. Lalu aku tenggelam dalam tangisanku. Hiks..hiks…
  “Mas…” aku melirih  menggeser posisi tubuhku ke arah Mas bintang. Hingga jarak yang cukup dekat.
   “Hemm..” mas bintang berguman menyahuti lirihanku tadi.
   “Maafin aku” kataku lalu sambil terisak.
    Mas Bintang mengangguk lalu memelukku. “Jangan nangis dong dede kecil” kata Mas Bintang seraya menghapus linangan air mataku yang membanjiri di kedua belah pipiku. Ia kembali mengingatkanku dengan panggilan Dede kecilnya itu. Panggilan yang di khususkan untukku ketika aku kecil. Panggilan sayang. Yang masih terkenang sampai sekarang. Tak akan terlupakan di dalam benakkku.
      Aku ini adiknya Mas Bintang. Semarah apapun Mas Bintang. Ia tetap kakak ku. Seharusnya aku lebih sering bercerita. Dan sekaligus meminta pendapat pada Mas Bintang. Aku tersenyum lega. Satu masalah terlampaui. Thanks good!
                                                       ©©©
    “Halo” aku mengankat telepon dari ELANG. Iya dari elang. Sampai aku girang banget. Tapi aku gak bakalan nunjukin rasa kegiranganku.
      “Lagi apa?”
      “Jangan sok deket deh. Udah buruan mau ngomong apa?” aku sendiri bingung. Kenapa jadi judes megini sih?
     “Duiilee. lagi dapet ya neng. Kok galak banget si?” terdengar suara tawa Elang. pelan.
Aku tetap tidak ingin menunjukan rasa dag-dig-dug dan duer ku ke Elang.
     “Lo lagi kurang baik ya?”
     “Nah itu lo tau” aku masih dengan nada ketus ku.
     “Gue mau ngajak lo keluar”
     “Oh gitu? Sayangnya gue gak bisa”
     “Gak bisa ya? Tapi gue udah nyampe di rumah lo”
Keningku berkerut dan benar saja. Gak sampai dua menit setelah aku menutup telepon dari Elang. Mamah meneriaki ku. “TAMI ADA ELANG!”
Aku kontan ternganga hebat dibuatnya. Anak itu memang penuh kejutan.
Ia menyambutku dengan senyum sumringahnya. Sesaat aku cercengang. Karena aku menemukannya tengah menggendong Alba.
       “Kakak ko kesini gak bawa coklat si?” alba menanyai elang dengan pertanyaan tagihanya. arena biasanya kalo Mas Dylan yang kerumahku. Ia pasti membawakan coklat.
      “Alba nanti beli coklatnya sama mamah aja ya” kataku
     “Nih kakak mau beli coklatnya sama kak tami” elang melirikku. Aku spontan mengngguk. Kalo gak di iyakan Alba bakalan menangis dan terus merengek-rengek.
      “Mbak tami nanti pulangnya bawa coklat ya?” kata Alba dengan nada sedikit berharap. Aduh Alba siapa sih yang mau pergi? Aku kan belum mengiyakan ajakannya Elang.
     “Nyokap mana? Mau ngomong?” katanya menatapku.
     “Tuh” aku menunjuk ke arah mama dengan dagu ku.
     “Tante. Mau minta ijin ngajak tami pergi sebentar”
      “Mau kemana?” Tanya mamah. Keningku sedikit mengerut.
     “Cuma deket-deket sini doang kok”
     “Yasudah tapi jangan lama-lama ya”
     “Baik tante” ucap elang sengan nada amat santunya.
         Ia menyeretku hingga masuk ke mobilnya. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang membawa aku dan Elang menjauhi rumah di tengah keremangan cahaya rembulan yang malam ini tidak begitu terang benderang. Nyala lampu jalan di atas mobil itu membagikan cahaya yang berpendar-pndar ke sekelilingnya. Mobil itu berhenti seketika di pinggir lapangan rumput yang tidak jauh dari mulut kompleks.
        Elang keluar dari mobil di ikuti oleh ku. Ia bersandar di salah satu badan mobil. Memandang lapangan yang terbentang luas di hadapannya. Kemudian cowok itu maju beberapa langkah. meninggalkanku dari tempat sebelumnya, ia berdiri di samping badan mobil.butuh waktu bebeerapa saat terdiam sebelum aku mulai angkat bicara untuk memecahatmosfer keheningan yang tercipta saat ini.
          “Maafin gue” sepintas kata maaf yang sangat berat keluar di mulutku. Kata-kata itu seperti meluncur sendiri dari ujung lidahku. Lepas dari koordinasi otakku. Bebedah . komputer otakku pasti sedang rusak. Aku sendiri tidak mengerti apa yang ingin ia lalukan disini. Malam-malam begini ditengah hembusan angin yang mengalun. Ataupun sesekali mena,par wajahku.
Elang menoleh ke belakang dengan tatapan penuh tanda Tanya.
      “Kemarin-kemarin gue menghindar dari lo” tambahku menjawab pertanyaan yang tersirat dalam wajah elang.
Elang kini mengangguk. Tapi tak kunjung bicara.
     “Gue kira. elo yang ngebocorin semuanya ke Mas Bintang”  kataku gugup.
Ia malah tersenyum. “Emang ada ya potongan tampang gue yang mencerminkan tukang ngegosip” sambil menunjuk kearahnya.
      “Kecuali temen lo tu. Febry sama Elisa. Gue pikir kalo mereka sehari aja gak ngegosip mati kali ya?” kemudian ia terkekeh. Aku pun sama suasananya lebih mencair dari beberapa detik yang lalu. Memecah Atmosfer gugup, ragu serta malu.
    “Tam..” kali ini dengan nada serius.
    “Iya..”
Ia mendekatiku.
   “Ee.. gue..ee” katanya terbata.
       Aku menunggu lanjutan kata-katanya. Tapi ternyata ia tak junjung buka mulut. Entah mengapa, tiba-tiba hati ku berdebar aneh. Ada denyut aneh di jantungku. Denyut yang tidak biasa. Asing. Yang entah dari mana datangnya. Aku tidak mampu menahan gejolak  aneh yang membangkang nalarku. Perasaan itu semakin kuat. Sekarang bahkan nyaris menjadi keharusan.
        Senyumnya begitu simpatik. Tatapannya demikian mempesona. Begitu magis. Seolah ada daya tarik yang amat kuat bersorot di mata itu. Memukau siapa saja yang memandangnya. Ia malah mencium ku. Pipiku seketika meram padam. Perasaanku bergejolak aneh. Aku tersipu malu. Dan juga bercampur bimbang. Bahagia atau sedih? Yang jelas aku malah memikirkan Arza.
                                                       ©©©

No comments:

Post a Comment