Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, January 1, 2012

cerpen: longdistance of friendship

                                                 Longdistance of friendship



   Cap cip cup kembang kuncup!
  “Tito jaga!” surak Aci.
  “Ih Tito kan gamau jaga. Ica aja yang jaga.” Gerutu Tito.
  “Lho kok Tito curang? Kan Tito yang kalah” tambah Ica.
  “Pokoknya Tito gamau jaga.” Tito bersi keras.
  “Tito jahat kalo gitu!” putus Ica.
  “Kalian yang jahat. Tito kan gamau jaga. Kalo kalian jahat nanti aku bilangin Papaku lho. Nanti kalian engga aku undang ke pesta ulang tahun aku” ancam Tito.
  “Eh jangan dong. Aku kan mau kepesta ulang tahun kamu. Kita baikan aja ya?” ajak Ica rau-ragu.
  “Yaudah kalo gitu kita main lagi yaa!” seru Tito sambil bersalaman kelingking bersama Ica dan Aci.
  Namanya juga anak kecil. Kami engga tau yang mana yang benar, yang mana yang salah. Yang kami ingat hanya. Main, jajan, dan besenang-senang. Meskipun kami sering berantem dan tidak jarang salah satu dari kami mengadu pada orang tua kami. Tiga detik kemudian kami baikan. Hanya karena sebuah permen.
   Namaku Ica. Raisya Aurelia. Kini usiaku 21 tahun. Setelah itu kami terpisah dengan Tito yang ikut orang tuanya ke paris. Sementara aku dan Aci hanya berhubungan via telepon dengan Tito. Itu pun belum tentu enambulan sekali. Saat usia beranjak dewasa dan mulai mengenal situs internet kami berkomunikasi via E-mail.
   Usai lulus sekolah menengah akhirku. Aku mendapat beasiswa ke perth university. Dan Aci meneruskan kuliahnya di Jakarta. Aku selalu mengingat sahabatku Tito dan Ica. Aku rindu mereka. Bahkan aku tidak punya sahabat sebaik Aci. Walapun aku hanya ingat Tito waktu kecil. Aku tetep kengen banget sama Tito. Dulu aku suka meper ice cream yang kami beli bersama di bajunya Tito. Aku tertawa. Lalu Tito menangis. Dasar anak kecil.
  Aku udah engga sabar nih ketemu Tito sama Aci. Kira-kira mereka gimana ya??.
  Tito mengirim E-mail bahwa ia sudah mendarat di Jakarta. Dan ia ingin bertemu dengan aku dan Aci. Aku pasti engga nolak dong mau ketemu sahabatku.
  “Hai Ica, Aci. Aku kangen deh sama kalian!” kata Tito dengan suaranya yang sudah seperti orang dewasa. Kami langsung berpelukan. Aku juga kangen. Apalagi sama Tito. Aku enggak pernah nyangka lho kalo anak kecil, bau, ingusan, cengeng, kurus, jelek. Kaya Tito. Bisa jadi kayak supermodel gitu. Apalagi Tito udah kayak bule! Tito ganteng. Sejak saat itu aku mulai suka sama Tito.
  Kami sering kongkow bareng. Pergi kemana-mana bareng. Aku seneng banget bisa ketemu Tito hampir setiap hari. Jantung aku mau copot rasanya kalo liat senyum Tito.
  Suatu hari Aci bilang bila ia juga suka sama Tito. Tentu aku tidak akan mengatakan hal yang sama padanya. Aku limbung. Aku suka sama Tito. Aci suka sama Tito. Aku ingin rasanya memiliki Tito. Mendapat pelukan cinta dari Tito. Tapi aku gamau liat Aci sedih.
  Saat aku baru saja sampai di rumah Tito untuk mengajaknya nonton bareng di bioskop. Aku melihat Aci dan Tito sedang asik menonton Tv di ruang tamu rumah Tito. Lalu tv itu tiba-tiba dimatikan oleh Aci.
  “Lho, Aci kok kamu matiin Tvnya? Kan Tito lagi nonton?” katanya sambil mengambil alih remote tv.
  “Aku mau ngomong sama Tito”
Aku yang tadinya mau masuk malah sembunyi di balik pintu yang setengah terbuka.
  “Iya. Aci mau ngomong apa?” sahut Tito santai.
  “Aci suka sama Tito” katanya sambil tertunduk. “Aci sayang sama Tito” lanjutnya. “Tito jangan pergi ya dari Aci”
 Aku terceguk. Seperti ada sebongkah es yang menyumbat tenggorokanku.
  “Iya.. Tito sayang kok sama Aci” aku melihat senyum Tito mengarah ke Aci dengan lembutnya. Bahkan aku belum pernah melihat Tito menetapku seperti Tito menatap Aci. Aku terkulai lemas di sandaran tembok samping.
   Dengan langkah lemas aku pulang. Blingsatan gak karuan di kamar. Aku kalut terhadap situasi yang baru saja terjadi. Bahkan aku tidak percaya. Aku.. aku mulai merasakan sesak yang teramat di dalam dadaku.
  “Titoooooooooooooooooooooooooooooo!” teriakku kemudian tersadar. Aku mimpi. Aku mengatur frekuensi napasku yang masih terengah engah, seperti lari ratusan kilometer dengan menggunakan sepetu hak tinggi. Itu sangat menyiksa. Aku tidak bisa berpikir lebih jernih.
  Aci menelponku dan mengatakan kalau siang ini kita akan pergi bersama Tito. Aku rasa aku harus menghapus air mataku. Mengumpulkan keberanian untuk tersenyum di hadapan Tito. Aku tau aku menempatkan perasaanku pada cinta yang salah. Cinta ini seperti boomerang untukku. Dan dan seharusnya aku mengubur semua perasaanku hingga aku bisa melupakan Tito.

2 comments:

  1. Walaupun ini karya sastra, coba penggunaan tanda baca dan besar kecilnya huruf diperbaiki. Ide ceritanya sudah cukup bagus, cuma perlu sedikit tambahan aja biar ga terlalu flat. Kembangkan terus ide ceritanya yaaa : )

    ReplyDelete
  2. hemm,, coba lebih dijelaskan lagi proses ceritanya..
    jadinya pasti akan lebih menarik..
    semangat..

    ReplyDelete