Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Monday, May 1, 2017

Perempuan yang bermata sendu.


    Pagi ini aku terbangun di kamar ibu. Aku melihat samar-samar wajah ibu. Aku baru ingat,  aku sampai di rumah sekitar pukul tiga setelah hari-hari panjang yang kulalui dan harus kupertahankan sendiri.
    Melihat senyum diantara wajah lelahmu bu,  ada sedikit rasa getir bercampur haru. Ada yang menyayat hati dan bertanya-tanya. Mengapa kita harus berada dalam jarak sejauh ini..
   Banyak hal yang kupelajari darimu, aku sangat bahagia. Kau tidak perlu menjadi wanita karir yang selalu sibuk diluar.  Dari kecil,  aku selalu mendapat didikan darimu.  Aku ingat tanpa harus bersekolah tk,  kau orang pertama yang memberiku pensil dan buku, menggoreskan abjad namaku. Mengajari aku membaca hingga mengaji. Hingga aku hafal doa sederhana untuk mendoakanmu.
    Setelah aku beranjak dewasa,  kau yang mengajariku menutup aurat.  Kau bilang padaku bahwa aku harus menutup auratku dari lelaki. Aku ingat saat itu aku sedang kesakitan karena datang bulan pertama. Bahkan, kau mengajariku bagaimana caranya memakai pembalut.
    Kau pula yang mengajariku berbagi. Saat memberikan sesuatu yang kita punya,  bahkan cara terbaik berbagi adalah memberi sesuatu yang berharga dan yang orang lain butuhkan.
    Suatu hari,  saat senja mulai meninggalkan langit jingganya.  Ibu,  aku dan adik-adik bercengkrama,  bercanda-canda seperti biasa, ditemani wedang dan rebusan singkong kesukaanku. Ibu bilang,  bahwa rezeki yang kita dapatkan seperti orang yang memancing ikan.  Untuk menikmati gurihnya ikan di goreng, ikan harus di cuci dulu,  di buang sisik dan isi perutnya,  lalu dimasak.  Itu cara terbaik mengolah ikan agar bisa dimakan.
    Ibu mengaitkan hal itu dengan rezeki, kita harus pandai berbagi,  pandai mengikhlaskan apa yang sudah kita berikan pada orang lain. Ada hak orang lain dalam setiap rupiah yang kita dapatkan.
    Aku masih ingat itu.
    Bu, setelah banyak hal yang kita lalui bersama.  Hingga aku sedewasa ini, hingga suatu hari aku merasakan pahit getir hidup. Aku selalu ingat bagaimana caramu mengayangi kami,  enam anak dengan kasih yang sama. Aku selalu ingat bagaimana caramu memperjuangkan kami hingga kami bisa bertahan hidup. Iya kau selalu mengingatkan cara hidup sederhana, kau selalu mengingatkan ingat masih ada hari esok yang akan kita jalani dan kita perlu makan.
     Bu,  entah terbuat dari apa hatimu. Kau sangat baik. Aku tidak ingin melihat mata sendumu. Sungguh tak ingin.
     Rasanya,  aku ingin selalu di dekatmu. Melihatmu setiap pagi untuk kucium tangan. Untuk ku pijat kakimu saat kau kelelahan. Kadang aku iri dengan teman. Aku yang selalu memuji masakanmu setiap hari. Apapun yang kau buat adalah gizi bagi anak-anakmu.
   Ibu adalah dokter ketika aku sakit
   Ibu adalah chef handal ketika sedang masak
   Ibu adalah guru kehidupan yang selalu mengajariku bagaimana caranya kuat. Meski sering kali aku lemah.  Namun aku selalu berpura-pura kuat.
   Ibu,  kau segalanya.
  Kau yang selalu menelponku pagi-pagi, membangunkanku.  Siang untuk mengingatkan makan dan solat disela-sela pekerjaanku,  atau malam-malam saat aku masih saja berkutat dengan layar monitorku dengan segudang pekerjaan. Ya,  terkadang aku lelah, dan jika lelah tubuhku selalu meminta istirahat dengan mengisyaratkan demam. Lalu kau ngomel-ngomel.
     Tapi aku bahagia bu, meski hanya mendengar suaramu di sambungan telepon.
     Kau yang membuat aku hingga detik ini mempertahankan hidupku yang sekarang. Aku selalu ingat aku punya adik yang menjadi tanggung jawabku. Meski yang jadi taruhan adalah tidak bertemu denganmu.
   Bu,  kau tahu?  Aku tidak pernah tahan dengan perpisahan. Aku tahan melihat adik paling kecil menangis saat aku harus pergi.
Dan tangisku selalu pecah di dalam bis yang membawaku ke kota penuh keegoisan manusia.
 

   
  Dari aku.