Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, November 16, 2013

dear you


Dear you.
Kenapa, kita saling mengumpati rasa—menyembunyikan rindu yang diam-diam menyerbu.
Padahal, kita sama-sama mengerti, tentang rasa tak berperi.
Aku pernah bermimpi, ketika aku membuka mata—ada kuluman senyummu yang menyambutku, ada desah napasmu yang mengalir dengan lembut, seolah tidak pernah bosan menyeruakan, “Assalammualaikum,” setiap pagi.
Atau mungkin ketika aku tidak bangun juga, kamu akan mengelitik kakiku, mengusap rambut ikalku, tidak lupa mencium keningku. Dan aku mulai mengeluarkan suara manjaku, seperti anak kecil
yang tidak ingin bangun walau matahari mulai muncul.
Di satu sisi, aku ingin menjadi satu-satunya wanita yang membangunkanmu—dengan membuat secangkir expresso, favorit kita. Yang mana, kamu selalu mengizinkanku menjadi
orang pertama yang menyeruput kopimu. Lalu kita akan tertawa, melihat kopi yang tumpah di baju, karena kecerobohanku.
Aku selalu menyukai senyum gulamu yang menular, pijar hangatmu,
atau desahan-desahan manja saat kamu menolak untuk mandi pagi. Suasana sederhana seperti ini yang selalu membuatku tersenyum, setiap pagi.
Sayang, kita sudah melewati begitu banyak hal yang menciptakan kenangan, dengan ukiran-ukiran yang selalu kutuliskan dalam lubuk hatimu.
Aku tidak ingin, kita hanya semata kata yang tertulis kemarin. Aku yang ikhlas mencintaimu, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, tanpa syarat, tanpa predikat, tanpa jeda, tanpa paksa, tanpa tanggal kadaluarsa dan menerima. Semudah aku merapal namamu, di sepertiga malamku.
Aku tidak peduli, jika suatu hari nanti, ketika aku membuka mata rambutmu sudah memutih, kulitmu keriput, perutmu membuncit dan beberapa gigimu tanggal, seperti anak umur 6 tahun.
Kalau boleh egois, aku akan mencintaimu dalam suka maupun duka, dalam hujan ataupun senja, mencintaimu karena Tuhan yang memilihku untukmu, menciptakan sosokku yang sama persis dengan rusukmu, karena kita tetap satu. Dan jika suatu hari nanti, napasku sudah tidak lagi menjejaki raga ini, percayalah, percayalah sayang, aku akan tetap mencintaimu. Seperti halnya, aku mencintai diriku.  Yang jelas, untuk saat ini, mencintaimu adalah syarat mutlak yang membuatku lebih hidup. Tuhan tau, yang mana sebuah ketulusan, yang mana sebuah kepura-puraan.
Sayang, jika masih tidak percaya, berpeganganlah denganku, aku tidak akan pergi lagi. Aku akan duduk manis di pangkuanmu, untuk mencintaimu sepanjang Tuhan meridhoi kita. Jadi, cepatlah pulang, sayang. Aku menunggumu di ujung jalan, sebelum petang, untuk kucium tangan.

Dilemma

Dilemma
“Kurasa, kita cukup sampai di sini,” aku menghentikan langkahku, Suara serakku memecah keheningan. Dari bawah sinar lampu persimpangan yang seadanya, aku bisa melihat perubahan warna di wajahmu.
“Ke-kenapa?” katamu dengan terbata, Gerakan bolamatamu mencoba mencari-cari sesuatu di sekitar wajahku.
“Aku membuatmu tidak bahagia malam ini, Sayang?” nadanya terdengar khawatir. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri.
Perempuan mana, yang tidak bahagia ketika tau bahwa dirinya begitu dicintai lelaki yang dicintainya. Perempuan bodoh mana yang tidak bahagia, lelaki yang diinginkannya pun turut
menginginkannya.
“Terimakasih untuk malam ini, Juli. Aku menyukai konser musik klasik, dan juga es krim cokelatnya,” ada guratan-guratan halus di wajah Juli yang turut menatapku curiga, bertanya-tanya.
“Lalu, ada apa Sayang?” Aku menyukai suaranya yang lembut seperti beledu, begitu tenang, menyiratkan sejuta melodi indah yang membuatku lebih hidup.
Wajahku seperti kanvas kosong, yang mana, kehadiranmu membuat seribu expressi dengan sentuhan-sentuhan hangatmu, lalu mengukir kenangan tiap kebersamaan kita.
“Juli, tidak ada yang salah soal perasaan, hanya saja, waktu yang mempertemukan kita
terlambat. Aku tau, kamu tau—dan kita sama-sama tau, tapi untuk mengerti aja gak cukup,” mataku hampir berkaca-kaca, aku menarik napas perlahan—menyadari kehampaan yang kini bertubi-tubi menghantamku.
 “Kita perlu sama-sama berpikir jernih, mengatur ulang semua yang berantakan,” aku melanjutkan. Namun, kata-kata itu tertelan isakku.
Juli berjalan ke arahku, hingga tercipta yang begitu dekat. Mata kami bertemu,  saling mengumpati rindu. Ia melerai airmata dengan sebuah pelukan. Tapi, aku sadar ini tidak boleh terjadi. Aku menghindarinya.
Juli tidak menyerah, ia meraih tanganku, mengusap punggung tanganku dengan perlahan. Kali ini, aku menyerah. Rasanya aku ingin larut dalam setiap hembus napasnya.
“Tisya, aku menikmati setiap detik kebersamaan kita, Aku ngerasa nyaman sama kamu, kalau aja cinta ini bisa disederhanakan, cuma kamu dan aku, untuk bahagia. Dan tetaplah seperti ini,”
Kamu mengiklarkan sesuatu yang berhasil membuat hatiku menggelembung, kemudian
aku seperti ditabrak beton kokoh yang menghalangi kita.
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Aku mencintaimu,” aku bisa mendengar dengan jelas lirihanmu. Kalau tidak salah, ini kesepuluh kalinya kamu mengatakan hal itu untuk hari ini. Lampu mobil berseliweran melewati kami, bau basah sehabis hujan menjadi atmosfer sendu sempurna. Aku menyemai kristal-kristal
bening di mataku, menjadi sebentuk embun yang jatuh senada dengan sesungukan.
“Lupakan aku, kumohon.. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini,” aku menoleh, mataku kini menatap retinamu dengan nanar.
“Aku mencintaimu,” aku benar yakin kali ini yang ke sepuluh.
Aku masih bungkam, tidak ada satu katapun yang dapat merealisasikan keinginan kita.
Apa lagi untuk bersama. Kisah ini terlalu rumit, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan lipatan-lipatan kekecewaan.
“Aku mencintaimu, Latisya,” ini yang ke sebelas dan aku mulai menggila. Hebatnya, kamu selalu membuatku blingsatan dengan pertanyaan-pertanyaan tolol yang kubuat sendiri,
memaku sensorikku, menarik seluruh implus syaraf, untuk selalu mengingatmu.
"Aku tidak ingin menyakiti.. Karel," akhirnya kusebutkan juga nama itu di hadapannya, yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Roll film di otakku kembali mengingatkan, betapa baiknya Karel selama ini, betapa aku selalu melihat ketulusan dalam pijar bening di mata Karel.
Aku mencoba melepas genggamanmu, namun usahaku gagal, remasan tanganmu lebih kuat dari pada yang kupikirkan.
“Ini salahku, Sayang,” bahkan, disaat seperti ini pun aku tetap menyukai panggilan itu. Aku mengacak-ngacak rambutnya—seperti biasa yang kulakukan. Kemudian gerakan tanganku melambat, hingga menjadi belaian lembut pada tiap ruas rambut hitamnya. Padahal, aku baru saja menemukan sesuatu yang baru—bersamamu. Dan aku sangat bahagia. Senyumku menggetir, aku sempat mendesah sebelum tertawa dan membiarkan airmataku turun, membentuk garis sejajar dengan kenyataan. Sekali lagi, aku ditabrak oleh pilar-pilar rindu yang itu-itu saja.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, betapa sungguh.. Sungguh aku mencintaimu,” teriakku—namun yang kuteriakan adalah rangkuman airmata mewakili rasa.

NB: terinspirasi dari lagu kamelia-Irwansyah.

Dilemma

Dilemma
“Kurasa, kita cukup sampai di sini,” aku menghentikan langkahku, Suara serakku memecah keheningan. Dari bawah sinar lampu persimpangan yang seadanya, aku bisa melihat perubahan warna di wajahmu.
“Ke-kenapa?” katamu dengan terbata, Gerakan bolamatamu mencoba mencari-cari sesuatu di sekitar wajahku.
“Aku membuatmu tidak bahagia malam ini, Sayang?” nadanya terdengar khawatir. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri.
Perempuan mana, yang tidak bahagia ketika tau bahwa dirinya begitu dicintai lelaki yang dicintainya. Perempuan bodoh mana yang tidak bahagia, lelaki yang diinginkannya pun turut
menginginkannya.
“Terimakasih untuk malam ini, Juli. Aku menyukai konser musik klasik, dan juga es krim cokelatnya,” ada guratan-guratan halus di wajah Juli yang turut menatapku curiga, bertanya-tanya.
“Lalu, ada apa Sayang?” Aku menyukai suaranya yang lembut seperti beledu, begitu tenang, menyiratkan sejuta melodi indah yang membuatku lebih hidup.
Wajahku seperti kanvas kosong, yang mana, kehadiranmu membuat seribu expressi dengan sentuhan-sentuhan hangatmu, lalu mengukir kenangan tiap kebersamaan kita.
“Juli, tidak ada yang salah soal perasaan, hanya saja, waktu yang mempertemukan kita
terlambat. Aku tau, kamu tau—dan kita sama-sama tau, tapi untuk mengerti aja gak cukup,” mataku hampir berkaca-kaca, aku menarik napas perlahan—menyadari kehampaan yang kini bertubi-tubi menghantamku.
 “Kita perlu sama-sama berpikir jernih, mengatur ulang semua yang berantakan,” aku melanjutkan. Namun, kata-kata itu tertelan isakku.
Juli berjalan ke arahku, hingga tercipta yang begitu dekat. Mata kami bertemu,  saling mengumpati rindu. Ia melerai airmata dengan sebuah pelukan. Tapi, aku sadar ini tidak boleh terjadi. Aku menghindarinya.
Juli tidak menyerah, ia meraih tanganku, mengusap punggung tanganku dengan perlahan. Kali ini, aku menyerah. Rasanya aku ingin larut dalam setiap hembus napasnya.
“Tisya, aku menikmati setiap detik kebersamaan kita, Aku ngerasa nyaman sama kamu, kalau aja cinta ini bisa disederhanakan, cuma kamu dan aku, untuk bahagia. Dan tetaplah seperti ini,”
Kamu mengiklarkan sesuatu yang berhasil membuat hatiku menggelembung, kemudian
aku seperti ditabrak beton kokoh yang menghalangi kita.
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Aku mencintaimu,” aku bisa mendengar dengan jelas lirihanmu. Kalau tidak salah, ini kesepuluh kalinya kamu mengatakan hal itu untuk hari ini. Lampu mobil berseliweran melewati kami, bau basah sehabis hujan menjadi atmosfer sendu sempurna. Aku menyemai kristal-kristal
bening di mataku, menjadi sebentuk embun yang jatuh senada dengan sesungukan.
“Lupakan aku, kumohon.. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini,” aku menoleh, mataku kini menatap retinamu dengan nanar.
“Aku mencintaimu,” aku benar yakin kali ini yang ke sepuluh.
Aku masih bungkam, tidak ada satu katapun yang dapat merealisasikan keinginan kita.
Apa lagi untuk bersama. Kisah ini terlalu rumit, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan lipatan-lipatan kekecewaan.
“Aku mencintaimu, Latisya,” ini yang ke sebelas dan aku mulai menggila. Hebatnya, kamu selalu membuatku blingsatan dengan pertanyaan-pertanyaan tolol yang kubuat sendiri,
memaku sensorikku, menarik seluruh implus syaraf, untuk selalu mengingatmu.
"Aku tidak ingin menyakiti.. Karel," akhirnya kusebutkan juga nama itu di hadapannya, yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Roll film di otakku kembali mengingatkan, betapa baiknya Karel selama ini, betapa aku selalu melihat ketulusan dalam pijar bening di mata Karel.
Aku mencoba melepas genggamanmu, namun usahaku gagal, remasan tanganmu lebih kuat dari pada yang kupikirkan.
“Ini salahku, Sayang,” bahkan, disaat seperti ini pun aku tetap menyukai panggilan itu. Aku mengacak-ngacak rambutnya—seperti biasa yang kulakukan. Kemudian gerakan tanganku melambat, hingga menjadi belaian lembut pada tiap ruas rambut hitamnya. Padahal, aku baru saja menemukan sesuatu yang baru—bersamamu. Dan aku sangat bahagia. Senyumku menggetir, aku sempat mendesah sebelum tertawa dan membiarkan airmataku turun, membentuk garis sejajar dengan kenyataan. Sekali lagi, aku ditabrak oleh pilar-pilar rindu yang itu-itu saja.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, betapa sungguh.. Sungguh aku mencintaimu,” teriakku—namun yang kuteriakan adalah rangkuman airmata mewakili rasa.

NB: terinspirasi dari lagu kamelia-Irwansyah.

Hanif

Hanif by Reza Nufa.



Agama diciptakan Tuhan agar manusia damai dan bahagia. Lebih baik manusia tidak beragama sama sekali, kalau agama hanya menjadi kendaraan kebencian.

Itu kalimat pertama yang aku baca di buku ini dan sukses membuat keningku mengernyit.

Buku ini menceritakan perjalanan dua anak manusia yang mencari kebenaran atas agamanya. Hanif, seorang pemuda yang terlalu kritis dengan pikiran-pikirannya memandang agama. Ia menyukai segalamacam debat agama. Ia suka saat berdiskusi dengan salah satu dosennya. Suatu hari yang menjadi lawan debat adalah Bapaknya sendiri―saat mereka sedang menonton sebuah acara diskusi tentang refleksi keagamaan.

Hanif terlalu menggebu-gebu mengemukakan pendapatnya, sementara di sisi lain argumen Bapak bertolak belakang dan Bapak tetep kekeuh pada pemikirannya yang konservatif. Terjadilah pertengkaran di antara mereka..

Itu sebabnya kenapa Hanif memutuskan pergi―mencari sesuatu―yang entah, dia sendiri tidak mengetahuinya.

Di satu sisi, Idam, karib Hanif, sekaligus pengikut Hanif kemanapun Hanif pergi. Idam awalnya bukan model laki-laki heroik macam Hanif. Ia jauh lebih sederhana, jauh lebih tenang dibandingkan dengan karibnya, yang mana kesederhanaannya kadang membuat hanif mengecap Idam tidak punya pendirian. Ia begitu mengagumi sahabatnya, Idam selalu memikirkan Hanif sampai―kadang, ia tidak memikirkan dirinya sendiri.

Saat Hanif meninggalkannya, Idam sangat terpukul. Ia blingsatan, kenapa Hanif meninggalkannya tanpa konfirmasi ia boleh mengikutinya. Berbulan-bulan Hanif pergi mencari ketenangan pemikirannya, dan atas permintaan Disti dan Dinda―yang notabene sahabat Hanif juga―ia pun mencari Hanif dengan bermodal alamat yang diberikan Mang Uci.

Ketika Idam berhasil menemukan Hanif, Hanif malah bersandiwara, ia berpura-pura ikut pulang, padahal justru Hanif ingin kabur lagi. Saat itu juga, aku―sebagai pembaca―menyaksikan betapa Idam menjadi superkeren, ia bermetamorfosis menjadi superhero! Terjadi baku tonjok, pukulannya tepat mendarat di bibir Hanif dan bibir itu berdarah. Yang mengharukan pas di tonjok, Hanif bukan marah atau membalasnya, ia malah tersenyum. “Gue seneng lo udah berani mukul gue,” “Lo udah jadi diri lo sendiri,”

Kata-kata itu yang paling aku suka.

“Mungkin bagi lo, hidup lo sekarang sandiwara, sedih senang sama aja. Tapi, bagi orang lain yang ada di sekitar lo, hidup ini bukan sandiwara, Nif. Bapak lo itu bukan lagi pura-pura sakit! Dia sakit beneran!”

“Dan lagi, kalau emang lo pemain sandiwara, harusnya lo bisa bersandiwara buat nyenengin hati Bapak.” (hal 278)

“Perbedaan adalah hal-hal baru dalam hidup kita, Dis. Sedangkan cinta adalah hal yang sudah lama kita punya,” (hall 79)

“Jangan dulu merasa bahwa kebenaran di tangan kita, semua orang bilangnya sama, yakin sama agamanya. Padahal mereka dicekoki waktu kecilnya. Waktu kecil kita mana bisa membedakan yang mana yang salah dan yang mana yang benar? Bedain sapi sama kerbau aja mungkin kita kesulitan” (hal 66)

Kalimat di atas membuatku mematung, kemudian setelah menemukan penawarnya di halaman 334 bahwa Dogma pun diajarkan dengan kasih saying. Bukan paksaan. Kasih sayang itu yang kemudian membuat seorang anak merasa tak perlu mempertanyakan pelajaran apa yang diberikan orangtuanya.

Tuan penulis, jujur, buku ini sangat menarik. Sudut pandang yang diganti-ganti tidak membuat pembaca kebingungan, sebab, masing-masing aku (idam dan Hanif) mempunyai karakter yang kuat. Cerita yang diangkat cukup unik dan sederhana, mulai dari pake jeans yang di bilang celana orang kafir, cara pandang umat muslim mengenai perbedaa lebaran (nah yang ini adalah sebuah keresahan di hati setiap orang muslim, mengapa untuk mencapai kemenangan pun kita berbeda) cerita tentang kehidupan di pesantren (mungkin bagi para santri pernah mengalaminya, kebetulan aku bukan santri, tapi sangat tertarik dengan cerita teman-teman yang menjadi santri), masa kecil dua karib yang mencari kenikmatan di buah kecapi, sampai saat pengajian selesai Bapak menggendong Hanif kecil pulang.

Ini juga yang terjadi padaku. Di masa kecil, ketika orangtuaku mengaji,  aku malah berlarian , bermain atau bercerita hal-hal seru dan menarik di teras masjid. Begitu sudah lelah, permainanku berakhir di pangkuan Bapak yang sedang memegangi Al-Qur’an.  Ia menggeser Al-Qur’annya dan membiarkan dadanya menjadi sandaranku, kemudian aku terlelap begitu saja dan Bapak yang selalu menggendongku sampai rumah, ia tidak tega membangunkan putri kecilnya yang sedang terlelap, meski esok harinya aku marah-marah kerena sandal favoritku tertinggal di masjid.

Dalam buku ini tidak ada tokoh antagonis, yang menjadi musuh justeru pikiran manusia itu sendiri. Bagaimana seseorang yang beragama mempertahankan keimanannya tanpa takut berkurang imannya saat bersosialisasi dengan agama lain.

Kadang, orangtua selalu merasa benar dengan tindakannya. Padahal belum tentu juga mereka benar. Kalau saja golongan tidak menjadi sekat-sekat antara manusia pasti dunia ini jauh lebih baik―setidaknya jangan menjadikan agama sebagai perbedaan.

Orang yang paling sulit bahagia adalah yang punya banyak keinginan, namun tidak mampu mengelola harapan. Buku ini menjadi sebuah pelajaran berharga yang di petik dari kesederhanaan kita memandang agama, toleransi agama begitu penting dari pada yang saklek agamanya tapi ternyata egois.

Entah, setelah membaca bukumu, Tuan, aku ingin menjadi yang lebih sederhana lagi, yang lebih menikmati proses pencarian jati diri dalam kehidupan yang diwarnai dengan dzikir, solat serta iman, dan nantinya perjalanan kita akan berakhir di garis finish bernama kematian.

“Aku bangga pada setan yang bersedia menjadi musuh manusia, sekaligus aku malu pada manusia yang justru berperang sesamanya” (hal 277)

Rasanya, semua orang wajib membaca buku ini.

Tuan penulis, terimakasih telah mengenalkanku pada Hanif dan Idam. Mungkin, aku jatuh cinta pada kesederhanaan sosok Idam dan mungkin juga aku akan menjitak Hanif yang terlalu keras kepala. Persahabatan mereka patut diacungi jempol―yang susah senang sama-sama, bertahun-tahun bersama, saling rasa. Aku akan meneraktir sate kambing kalau sosok mereka beneran ada. Ini sungguhan.

Sekarang, aku punya dua jagoan baru, Idam dan Hanif.

Oh iya, selamat ulang tahun ya, Tuan penulis. :)