Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Thursday, February 20, 2014

mencintaimu karena sebuah alasan sederhana.




Air hujan yang jatuh selalu ikhlas.
Aku menatapi kaca jendela yang basah karena hujan. Menyemai wajahku yang sedari tadi sendu. Aku mengigit bibir. Wajahku pias oleh keadaan. Tanganku mencengkram gordyn bermotif polkadot. Entah sudah berapa lama aku mematung di sini. Menerawang ke rintik hujan yang tetap saja ikhlas walaupun ia sudah dipisahkan dari awan.
“Syaira, come on, aku ingin bicara sesuatu padamu,” suara messo sopran itu menarik sadarku.
Aku menghela napas sejenak, menghembuskannya perlahan, memejamkan mata sekaligus menulikan telinga.
Kosong.
Aku kosong.
Aku ingin kosong. Bukan hampa kuterima. Apalagi—saat mendengar suaramu—suara yang selalu  terkonfirmasi sebagai nada yang amat karib dengan gendang telingaku.
Aku makin kuat meremas gordyn.
“Sayang..” lirihmu. Kamu mencoba menggenggam tanganku—memisahkan dari gordyn yang sudah kusut.
Dari semalam, aku sudah menolak untuk bertemu denganmu. Aku menolak semua ajakanmu, dari mulai menonton film, bermain badminton, jalan-jalan, bahkan aku menolak untuk kamu ajak ke kedai kopi—sebagai tempat favorit kita—yang selalu kita pakai untuk bercengkrama, bercerita panjang kali lebar, atau sekerdar menatap wajahmu, menikmati mata cokelat pejal, wajah yang terlihat teduh dan sesimpul senyum yang bias membuat sekitarmu terlihat monokrom. Kamu sempurna.
Kamu membelikan tubuhku yang sedari tadi menegang. Kini, di hadapanku, aku bias melihat setiap garis-garis wajahmu, ada bagian yang berwarna kehijauan di sekitar wajahmu—sepertinya kamu baru saja menghabiskan sepuluh menit waktumu untuk bercukur tadi pagi. Celana jeans yang senada dengan Kemeja biru yang digulung selengan—aku seperti baru saja meneguk puluhan gelas vermouth. Mabuk berat.
“Apakah kamu merasa tidak nyaman denganku, sayang?” suaramu membentuk artikulasi sempurna, mengalun pelan, dan segera ditangkap oleh otak sadarku.
Aku menggeleng. “Aku baik-baik saja.”
“Kamu tidak pernah pintar memainkan drama, sayang,” kamu berhasil membaca bolamataku yang membendung sesuatu.
Bibir pucatku bergetar untuk mengatakan sesuatu. Kamu menatapku lagi, kali ini lebih-lebih mendalam. Tatapanmu berbeda dari pria-pria lain.
“Apakah kamu bahagia sekarang?” kini giliran aku yang bertanya.
“Ya, aku bahagia,” balasmu, aku merasakan sesuatu yang amat pedih menyayat-nyayat hatiku. “Tapi, tidak sebahagia ketika aku bersamamu. Aku tetap mencintaimu. Dan kamu tetap jadi wanita yang pertama untuk kucintai.”
Beru kali ini aku merasa di pahami dan memahami seseorang hingga sedalam ini. Aku tak pernah berpikir panjang. Bahwa apa yang tak terucap terkadang tak lagi penting. Bahwa ketidakhadiranmu sekalipun bukan berarti perpisahan. Bahwa tidak memilikimupun bukan berarti kalah.
Bukan inginku mencintaimu hingga sedalam ini.
Aku tersenyum getir. Air mataku sudah tak terbendung lagi, pecah berantakan meluber , melalui pelupuk mata, sejurus dengan sayatan-sayatan pedih tadi.
“Mencintai itu sebuah pilihan,” kataku.
“Kalau memang iya, aku sudah memilihmu. Aku ingin kamu, bukan yang lain. Hanya saja kamu datang terlambat, datang saat yang tidak tepat—saat aku sudah berjanji dengan yang lain,” aku berusaha mencerna kata-katanya.
Aku tertawa getir. Menertawai ketololanku. “Aku memang jam karet,”
Tapi ini bukan lelucon.
Mau dilihat dari sudut manapun, posisiku tetap saja salah. Tetap tidak benyenangkan—tidak bahagia, setulus apapun aku mencintaimu, sebesar apapun kamu mencintaiku, tidak ada satu alasanpun yang membenarkan sebersamaan kita.
Aku menatap sisa-sisa senyum yang belum pudar dari wajahmu. Entah bagaimana teknisnya, aku begitu mengagumi apapun tentangmu, semua hal yang berhubungan denganmu.
Kamu meraih tanganku, memilin jemariku dengan ruas jemarimu. “Kadang mencintaimu tak perlu alasan yang cukup—yang berkelit kelit. Mencintaimu kerena sebuah alasan sederhana.”
Yang bahagia adalah yang ikhlas, seperti air hujan.
“Aku mencintaimu,” ucapku.
“Aku juga,”