Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Tuesday, December 31, 2013

resahmu.




Sepasang mata itu menatapku, aku hampir risih dilihatmu seperti ini. Aku diam, kamu juga tak mengeluarkan suaranya. Rasanya sudah sepuluh menit kamu hanya mengamatiku dalam jarak sedekat ini. Aku kesulitan bernapas, atau bisa jadi dalam beberapa detik aku akan mati. Itu yang paling buruknya.
Ah tidak-tidak, ia tidak mungkin membunuhku, aku tau kamu sangat mencintaiku. Otakku berputar-putar, mencari cara atas keadaan ini, tapi belum ada satupun rangkuman kata yang terbesit di kepalaku.
“Kenapa denganmu, sayang?” akhirnya ia bicara juga, setidaknya ini yang membuatku lega dalam beberapa detik. Tapi beberapa detik selanjutnya aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Kalau ditatap seperti ini terus, aku bisa gila mencintaimu.
Aku menggeleng, “Tidak ada harus kita bahas lagi,” gumamku. Tapi aku yakin kamu mendengar dengan jelas. Tatapannya menajam, tidak mengerti dengan kata-kataku. Dadaku makin disesaki keadaan. “Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini,” aku tersenyum getir, mencoba menutupi segala kegelisahanku.
 Kamu orang yang paling bisa membaca semua expressiku, sementara aku sebaliknya. Aku tidak pernah bisa membaca makna di balik setiap tatapanmu. Semuanya terlalu ambigu. Kecuali, saat berada dalam pelukanmu, aku sadar, akulah perempuan yang kamu miliki, sayang.
“Ini gak adil, hubungan ini bukan hanya terkait dengan perasaanmu saja. Tapi juga aku, memangnya kalau kita mengakhiri semuanya, kamu tidak mempedulikan bagaimana aku yang sudah mencintaimu?” tatapanmu kini makin mendalam, mencari retina, melucuti semua yang ada dibalik mataku.
Aku menimbang-nimbang apa yang harus aku ucapkan, “Aku hanya aksesorimu, aku hanya tempat pelarian dari semua perempuan yang pernah denganmu.” Aku menghela napas sejenak, “aku sangat kecewa,”
“Sya,” kamu menghela napas panjang, membalikan tubuhku yang kini menghadapmu. Mata kita beradu, aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi kalau setelah ini kita tidak bisa saling mengerti. “Tolong mengerti perasaanku, mereka sudah menjadi masalaluku, sementara kamu, saat ini, dan seterusnya adalah bagian dariku. Percayalah sayang. Kumohon..” kali ini nadanya benar-benar memohon.
Aku menggigit bibir, rasanya darah surut dari wajahku. Ada perasaan antiklimaks saat aku mendengar permohonannya. Aku ingin berkelit, mencoba tidak mendengar kata-katanya. Aku tertawa. Tidak lucu.
“Kita harus mengakhiri semuanya. Aku tidak mau lagi seperti ini. Terlalu banyak wanita yang mencintaimu, dan aku hanya bagian tidak penting yang harus segera kamu tinggalkan,” aku pesimis melihatmu.
Pandanganmu berubah bingung, kamu meraih tanganku dengan tatapan penuh harap. Aku tidak boleh luluh. Tidak boleh.
Satu detik kemudian, aku sudah berada dalam pelukanmu. Sungguh, hanya dalam pelukanmu aku percaya, kamu..
“Bagaimana kamu bisa meyakinkan aku? “ kali ini aku memberanikan diri untuk menatapku.
Kamu mengeluarkan sesuatu dari saku celanamu, sebuah cincin berlian menyembul dari kotak berwarna merah.
“Aku mencintaimu, menikahlah denganku.. kumohon..”

Saturday, December 28, 2013

menyapa seseorang.





Dear agen neptunus.
Hai, agen. Apa kabar? Tentunya lama sekali kita tidak bertemu. Aku juga tidak yakin bisa bertemu denganmu lagi atau tidak. Karena suatu keadaan, kita tidak bisa bertemu seleluasa dulu. Terakhir kali kudengar kabarmu, kamu sedang berada di pantai pangandaran, rumah kita, rumah neptunus, rumah yang selalu kujadikan tempatku membuang segala keluh-kesahku tentang bumi. Tapi, kamu menghilang lagi. Seperti terseret ombak dan tenggelam ke dasar laut, hingga tak terlihat.
Aku selalu berharap kamu baik-baik saja.
Ini sudah berada di penghujung tahun. Aku sudah menjalani tahun ini dengan menjadi orang yang sesederhana mungkin, sesederhana pijar matamu yang menatapku waktu itu. Banyak hal gila yang aku temui, banyak hal yang menghampiriku secara tiba-tiba, mendadak dan langsung terkonfirmasi begitu saja. Seperti halnya kamu.
Aku sudah menemukan tempatku, tempat orang-orang yang penuh kasih sayang, tempat berbagi ilmu, rumah kedua bagiku. Aku bahagia sekali bisa menjadi orang yang lebih baik untuk saat ini. Tapi, aku belum menemukan tempat yang tepat untuk sandaran hatiku, untuk berbagi sisa-sisa perasaan yang ada.
Aku harap, kita masih bisa berbagi soal kehidupan kita masing-masing, seperti halnya, kita dahulu yang berbagi apapun tanpa sungkan. Saat ini, aku kesulitan bercerita denganmu, aku tahu, aku sudah tidak lagi bisa meminta waktumu, entah, rasanya aku yang harus banyak memendam, atau aku mencari orang yang sepertimu, tapi semuanya masih terasa abu-abu.
Tidak ada manusia yang sempurna, sama seperti aku, aku terlalu mudah percaya dengan orang baru,  mungkin karena kepolosanku, atau mungkin juga aku menyamaratakan bahwa semua orang berpredikat sama, orang baik. Tapi kadang aku ketinggian menilai seseorang. Orang yang awalnya kunilai baik, ternyata tidak sebaik yang aku pikirkan. Semuanya kembali kepada politik kepentingan.
Bicara soal cinta, mungkin aku sudah lelah dan menyerah. Pacaran bukan solusi terbaik saat ini, beberapa minggu yang lalu, aku menjalani suatu hubungan yang kubilang aneh, dan bodohnya, aku masih saja percaya dengan cinta yang kuanggap tidak nyata, dengan perasaan rindu yang sangat tolol. Padahal, tidak mudah bagiku menerima seseorang baru yang akan memegangi tanganku dalam setiap perjalanan hidup yang panjang ini. Dan tidak mudah juga bagiku, melupakan seseorang yang sudah masuk dalam hidupku. Seperti halnya kita.
Terlalu banyak kenangan, kesederhanaan, tangis, kangen, tawa yang sudah kita lewati bersama. Dan semuanya terlalu indah. Tapi mengapa seseorang masuk ke dalam hidupku secara tiba-tiba, menyatakan cinta, memintaku jadi orang lain, kemudian saat aku tidak bisa, ia pergi meninggalkanku begitu saja, semudah itu rupanya ia melupakan janji-janji manisnya. Sekali lagi, aku terlalu bodoh.
Seseorang mencintai pasangannya, karena yang dicintai adalah dia, bukan orang lain. Jadi kenapa harus jadi orang lain dulu agar kita dicintai? Kalau ternyata jadi diri sendiri itu terasa lebih nyaman. Biarkan perempuan lain cantik karena makeup yang dipakainya merek nomer satu, biarkan perempuan lain cantik karena stilettonya paling mahal, atau roknya di atas lutut. Tapi, aku hanya perempuan sederhana, yang biasa-biasa saja. Yang tidak begitu menyukai make up, stiletto atau rok mini. Aku sedang berusaha membasuh wajahku dengan air wudhu minimal sehari lima kali. Itu saja. Sudah cukup bagiku.
Agen sayang, jalan kita mungkin berputar, dan kita tidak harus melulu meminta Tuhan untuk memutar jalan untuk kita. Sekarang, kita punya kehidupan masing-masing yang lebih dewasa, yang lebih realistis dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Dan di penghujung tahun ini, resolusiku masih sama. Aku ingin menikmati hidup dengan sederhana, aku ingin banyak berbagi pada anak-anak, atau pada siapapun yang kurasa membutuhkan. Aku masih jadi Nona perindu seperti biasa, yang menanti datangnya pelukan dari lengan seseorang.
Segitu dulu ya surat dariku, agen. Semoga kita tetap menjadi orang yang terbaik di antara orang-orang baik.

salam kangen.

Saturday, November 16, 2013

dear you


Dear you.
Kenapa, kita saling mengumpati rasa—menyembunyikan rindu yang diam-diam menyerbu.
Padahal, kita sama-sama mengerti, tentang rasa tak berperi.
Aku pernah bermimpi, ketika aku membuka mata—ada kuluman senyummu yang menyambutku, ada desah napasmu yang mengalir dengan lembut, seolah tidak pernah bosan menyeruakan, “Assalammualaikum,” setiap pagi.
Atau mungkin ketika aku tidak bangun juga, kamu akan mengelitik kakiku, mengusap rambut ikalku, tidak lupa mencium keningku. Dan aku mulai mengeluarkan suara manjaku, seperti anak kecil
yang tidak ingin bangun walau matahari mulai muncul.
Di satu sisi, aku ingin menjadi satu-satunya wanita yang membangunkanmu—dengan membuat secangkir expresso, favorit kita. Yang mana, kamu selalu mengizinkanku menjadi
orang pertama yang menyeruput kopimu. Lalu kita akan tertawa, melihat kopi yang tumpah di baju, karena kecerobohanku.
Aku selalu menyukai senyum gulamu yang menular, pijar hangatmu,
atau desahan-desahan manja saat kamu menolak untuk mandi pagi. Suasana sederhana seperti ini yang selalu membuatku tersenyum, setiap pagi.
Sayang, kita sudah melewati begitu banyak hal yang menciptakan kenangan, dengan ukiran-ukiran yang selalu kutuliskan dalam lubuk hatimu.
Aku tidak ingin, kita hanya semata kata yang tertulis kemarin. Aku yang ikhlas mencintaimu, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, tanpa syarat, tanpa predikat, tanpa jeda, tanpa paksa, tanpa tanggal kadaluarsa dan menerima. Semudah aku merapal namamu, di sepertiga malamku.
Aku tidak peduli, jika suatu hari nanti, ketika aku membuka mata rambutmu sudah memutih, kulitmu keriput, perutmu membuncit dan beberapa gigimu tanggal, seperti anak umur 6 tahun.
Kalau boleh egois, aku akan mencintaimu dalam suka maupun duka, dalam hujan ataupun senja, mencintaimu karena Tuhan yang memilihku untukmu, menciptakan sosokku yang sama persis dengan rusukmu, karena kita tetap satu. Dan jika suatu hari nanti, napasku sudah tidak lagi menjejaki raga ini, percayalah, percayalah sayang, aku akan tetap mencintaimu. Seperti halnya, aku mencintai diriku.  Yang jelas, untuk saat ini, mencintaimu adalah syarat mutlak yang membuatku lebih hidup. Tuhan tau, yang mana sebuah ketulusan, yang mana sebuah kepura-puraan.
Sayang, jika masih tidak percaya, berpeganganlah denganku, aku tidak akan pergi lagi. Aku akan duduk manis di pangkuanmu, untuk mencintaimu sepanjang Tuhan meridhoi kita. Jadi, cepatlah pulang, sayang. Aku menunggumu di ujung jalan, sebelum petang, untuk kucium tangan.

Dilemma

Dilemma
“Kurasa, kita cukup sampai di sini,” aku menghentikan langkahku, Suara serakku memecah keheningan. Dari bawah sinar lampu persimpangan yang seadanya, aku bisa melihat perubahan warna di wajahmu.
“Ke-kenapa?” katamu dengan terbata, Gerakan bolamatamu mencoba mencari-cari sesuatu di sekitar wajahku.
“Aku membuatmu tidak bahagia malam ini, Sayang?” nadanya terdengar khawatir. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri.
Perempuan mana, yang tidak bahagia ketika tau bahwa dirinya begitu dicintai lelaki yang dicintainya. Perempuan bodoh mana yang tidak bahagia, lelaki yang diinginkannya pun turut
menginginkannya.
“Terimakasih untuk malam ini, Juli. Aku menyukai konser musik klasik, dan juga es krim cokelatnya,” ada guratan-guratan halus di wajah Juli yang turut menatapku curiga, bertanya-tanya.
“Lalu, ada apa Sayang?” Aku menyukai suaranya yang lembut seperti beledu, begitu tenang, menyiratkan sejuta melodi indah yang membuatku lebih hidup.
Wajahku seperti kanvas kosong, yang mana, kehadiranmu membuat seribu expressi dengan sentuhan-sentuhan hangatmu, lalu mengukir kenangan tiap kebersamaan kita.
“Juli, tidak ada yang salah soal perasaan, hanya saja, waktu yang mempertemukan kita
terlambat. Aku tau, kamu tau—dan kita sama-sama tau, tapi untuk mengerti aja gak cukup,” mataku hampir berkaca-kaca, aku menarik napas perlahan—menyadari kehampaan yang kini bertubi-tubi menghantamku.
 “Kita perlu sama-sama berpikir jernih, mengatur ulang semua yang berantakan,” aku melanjutkan. Namun, kata-kata itu tertelan isakku.
Juli berjalan ke arahku, hingga tercipta yang begitu dekat. Mata kami bertemu,  saling mengumpati rindu. Ia melerai airmata dengan sebuah pelukan. Tapi, aku sadar ini tidak boleh terjadi. Aku menghindarinya.
Juli tidak menyerah, ia meraih tanganku, mengusap punggung tanganku dengan perlahan. Kali ini, aku menyerah. Rasanya aku ingin larut dalam setiap hembus napasnya.
“Tisya, aku menikmati setiap detik kebersamaan kita, Aku ngerasa nyaman sama kamu, kalau aja cinta ini bisa disederhanakan, cuma kamu dan aku, untuk bahagia. Dan tetaplah seperti ini,”
Kamu mengiklarkan sesuatu yang berhasil membuat hatiku menggelembung, kemudian
aku seperti ditabrak beton kokoh yang menghalangi kita.
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Aku mencintaimu,” aku bisa mendengar dengan jelas lirihanmu. Kalau tidak salah, ini kesepuluh kalinya kamu mengatakan hal itu untuk hari ini. Lampu mobil berseliweran melewati kami, bau basah sehabis hujan menjadi atmosfer sendu sempurna. Aku menyemai kristal-kristal
bening di mataku, menjadi sebentuk embun yang jatuh senada dengan sesungukan.
“Lupakan aku, kumohon.. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini,” aku menoleh, mataku kini menatap retinamu dengan nanar.
“Aku mencintaimu,” aku benar yakin kali ini yang ke sepuluh.
Aku masih bungkam, tidak ada satu katapun yang dapat merealisasikan keinginan kita.
Apa lagi untuk bersama. Kisah ini terlalu rumit, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan lipatan-lipatan kekecewaan.
“Aku mencintaimu, Latisya,” ini yang ke sebelas dan aku mulai menggila. Hebatnya, kamu selalu membuatku blingsatan dengan pertanyaan-pertanyaan tolol yang kubuat sendiri,
memaku sensorikku, menarik seluruh implus syaraf, untuk selalu mengingatmu.
"Aku tidak ingin menyakiti.. Karel," akhirnya kusebutkan juga nama itu di hadapannya, yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Roll film di otakku kembali mengingatkan, betapa baiknya Karel selama ini, betapa aku selalu melihat ketulusan dalam pijar bening di mata Karel.
Aku mencoba melepas genggamanmu, namun usahaku gagal, remasan tanganmu lebih kuat dari pada yang kupikirkan.
“Ini salahku, Sayang,” bahkan, disaat seperti ini pun aku tetap menyukai panggilan itu. Aku mengacak-ngacak rambutnya—seperti biasa yang kulakukan. Kemudian gerakan tanganku melambat, hingga menjadi belaian lembut pada tiap ruas rambut hitamnya. Padahal, aku baru saja menemukan sesuatu yang baru—bersamamu. Dan aku sangat bahagia. Senyumku menggetir, aku sempat mendesah sebelum tertawa dan membiarkan airmataku turun, membentuk garis sejajar dengan kenyataan. Sekali lagi, aku ditabrak oleh pilar-pilar rindu yang itu-itu saja.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, betapa sungguh.. Sungguh aku mencintaimu,” teriakku—namun yang kuteriakan adalah rangkuman airmata mewakili rasa.

NB: terinspirasi dari lagu kamelia-Irwansyah.