Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Friday, November 30, 2012

denting pilu






Ada yang tau?

Kalau hujan mengundang kerinduan.
Dengan rintik yang membasahi kaca,
Membuat embun bercerita,
Bagaimana kita dengan rindu yang ada.

Ada yang tau?
Tentang perasaan awan.
Yang selalu bersabar mengumpulkan sejuta butir dirinya.
Untuk menghasilkan setetes hujan.

Ada yang tau?
Aku menunggumu dengan pilu.
Dalam denting-denting kerinduan
Yang mengusap lembut kalbumu.

Tapi, tidak ada yang tau,
Tentang kejujuran hati menyembunyikan perasaan,
Dengan betapa sulitnya, aku membuang waktuku.
Untuk mengerti kamu.

Rona jingga untukmu.


Namaku senja, sebuah rona yang menceritakan kisah kita. Sesuai dengan namaku, aku sangat menyukai langit jingga. Menghirup aromanya dalam-dalam dan melepaskannya ke pelukan malam.
Ku lihat sebuah bayangan wajahmu yang sukses menyelundup dari sel-sel otakku. Aku harus mengkerutkan kening, dan menahan gejolak perasaan yang lama tak mengalami perubahan. Lihat kita sudah tidak bersama lagi. tapi, bayanganmu masih ada disisi. Kini, aku menemukanmu. Dalam garis-garis jelas yang membentuk wajahmu, tanpa bingkai, tanpa kanvas, atau kuas yang seperti biasa ku gunakan untuk melukiskanmu.
“Senjaa!” panggilnya, setelah aku menemukannya di depan pintu rumahku dengan pakaian yang superkeren dan setangkai mawar di tangan.
Aku hampir tidak percaya, lelaki ini muncul di hadapanku. Sudah hampir enam tahun, orang ini selalu menempel di kepalaku. Ku dengar kabar terakhirnya ia sedang dalam perjalanan menuju Amerika, untuk melanjutkan kuliahnya di universitas of Cincinnati.
“Hai, how are you?” senyumnya seperti candu, desahan napasnya begitu lembut seperti beledu. Aku mencintai sosok itu, tanpa ada rasa jengah, sekalipun gundah menamparku. Dengan ingar bingar hati yang ingin mengakhiri, kau buat perasaanku meledak-ledak, seperti kembang api.
“Aku baik-baik saja. Kamu gimana? Aku kangen deh sama kita,”
Kita? Itu berarti aku dan kamu? Dengan segala kenangan yang menyelimuti setiap hembusan napasku.
Ku pandangi wajahnya dengan ketidakmengertian. Tapi, tidak ku temukan jawabannya di senyumnya yang rancu.
“Aku baik, bahkan dengan baik, aku mengingatmu.” Setelah nada terakhir itu, aku ingin sekali membanting pintu agar tidak lagi melihat wajahnya.
“Senja, sudah jelas, aku mencintaimu, apa perlu di jelaskan lagi?”
FAJAR DANISWARA, dengar, aku mencintaimu! Teriakku dalam hati.
Ia langsung memelukku, rasanya lututku melemas. Aku seperti kehabisan napas. Dengan sabar Fajar mendekapku, membelai rambutku, ia memberi suang kosong di dadanya untukku isi. Selanjutnya, aku seperti terbang ke awang-awang, semakin tinggi, semakin tinggi, satu dekade, satu dasawarsa, satu aneon, lalu sadar membuatku kembali lagi ke bumi. Aku bermimpi.

Friday, November 23, 2012

epilog



Ini cerita yang seharusnya tidak ku tuliskan. selama dua tahun, 730 hari, 17.520 jam, dan 1.051.200 detik, yang seharusnya tidak ku jalani dengan berpura-pura bahagia. Sebagaimana cerita ini sudah berakhir, tidak ada lagi klimaks, tidak ada lagi tanda tanya, tidak ada lagi koma, dan seluruhnya sudah menjadi titik yang tidak berkesinambungan.
Tapi rasanya, pena di tanganku masih mau menari-nari diatas kertas, membuat cerita tentang kita, menulis bait-bait yang seharusnya tidak kau ungkit. Ku bilang hubungan kita sudah rumit, bahkan limit. Tapi, masih saja kau berkelit.
“Tolong lepas aku,” kataku, dan tidak perduli rela atau tidaknya air mata ini. memaksa kedua lenganmu menyudahi pelukan di tubuhku. Aku tidak ingin terjerat (lagi).
Kau seperti bayangan kelam yang selalu menempel di telapak kaki, dan tak pernah pergi. Mengakrabkan ku pada suara hati menahan perih dan rintih. Dan seberapa jauh aku melangkah, kau adalah titik temu di antara rindu.
Berapa banyak kata cinta yang telah kau nyatakan? Dua puluh? Tiga puluh? Atau mungkin seratus.
“Tidak, aku terlalu mencintaimu,” katamu, mungkin ini yang keseratus. Kau jangan membuatku iri, pada andromeda di langit utara.
Sekali lagi, masih ku temukan namamu yang tertulis di penaku, seberapa lama lagi aku sanggup menuliskan mu? Sementara aku tidak bisa membaca perasaanmu.. Ku tatap pijar matamu yang meluluhkan ku, asa kisah ini akan berakhir bahagia. Sayang, kenyataan seolah menamparku sebagai manusia biasa dan terkait dengan realita.
“Biarkan aku pergi, untuk mencari cintaku sendiri.” Gubrisku.
“Aku mencintaimu.” Oke, kali ini, aku yakin ini yang keseratus. Tapi bukan itu jawaban yang kunantikan darimu.
“Aku tidak ingin mencintaimu, kalau kau sendiri belum yakin dengan perasaanmu,” ucapku lalu pergi meninggalkanmu.
Ku tarik garis dari sudut kertas putih. sekali lagi, ku temukan diriku, menuliskan namamu dengan kata-kata yang terangkai dalam satu bait. Kisah ini berakhir dengan, Sungguh.. sungguh aku mencintaimu.. sungguh aku rindu padamu..

bukan aku.




“Nadia pipis di celana, nadia pipis dicelana.”

Bukan aku, tentunya aku tidak pernah melakukan itu. Ku ingat-ingat lagi, ternyata itu Ervin, lelaki yang paling ku benci di dunia ini. sejak aku masih duduk di bangku SD. Lihat, betapa menyebalkannya dia, menjulurkan lidahnya sambil mengatakan itu. Sekarang, ia di hadapanku bertekuk lutut sambil menyodoriku cincin berlian dua puluh empat karat.
Bukan aku, yang seharusnya menerima permintaanmu untuk menjadikan aku ratu di kerajaan hatinya.
“Menikahlah denganku,” tatapan Ervin begitu meyakinkan. Ini gila, bawa aku ke rumah sakit jiwa SEKARANG!
“Kamu sakit?” tanyaku. Ku rasa dia belum minum obat.
Ervin menggeleng, “Nadia,” ucapnya. Aku yakin setelah memanggil namaku ia akan meneruskan kalimatnya dengan.. “Pipis di celana.” Dengan gaya yang selalu ia gunakan untuk meledekku. Tapi, prediksiku meleset. “Aku mencintaimu,” lanjutnya.
Cubit aku!
Tahu tidak? Selama 15 tahun aku hidup terus di hantui bayang-bayangmu. Dan selama itu aku tidak bisa menyimpan rindu dengan baik. Aku kualahan karena aku telah memendam perasaan untuk orang yang sama sekali tidak pernah mencintaiku. Sudah ku bilang, bahwa aku baik-baik saja. Tapi senyumku tidak bisa membohongi air mata yang mengalir di kedua belah pipi. Dengan mimpiku yang kau bawa pergi. Semua yang ku harapkan bahwa cintamu akan bersama.
“Aku tau kamu tidak akan percaya, tapi tolong mengertilah, aku sungguh mencintaimu.”
“Tidak seharusnya kamu katakan ini padaku, lihat jari manismu sudah terpenuhi satu cincin,” kataku. Aku mencoba menahan air mataku agar tidak tumpah. Dan aku tidak berhasil melakukan itu.
“Aku tidak perduli! Aku tidak mencintainya!” Teriak Ervin mencopot cincin yang melingkari jari manisnya. “Tolong jujur padaku. Bahwa kamu juga mencintaiku,” lirih Ervin menatapku.
Aku membantu Ervin berdiri, air mataku menderas. “Vin, bukan aku,” kataku.
Ervin baru saja ingin membantah kalimatku, tapi segera ku hentikan dengan meletakan satu jari di bibirnya.
“Bukan aku, yang tidak pernah mencintaimu.” Kataku. Ervin langsung memelukku, ini pertama kalinya, aku di peluk laki-laki yang ku cintai, ini pertama kalinya aku jujur dengan perasaanku sendiri.
“Marry me?” kata Ervin.
Aku mengangguk.

Monday, November 19, 2012

alaram clock.



Pagi ini aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Aku di paksa untuk bangun oleh alaram di handphoneku, ku pikir semalam aku tidak memasang alaram clock. Well, ku lihat layar hanphoneku, ternyata bukan sebuah alaram yang biasa ku pasang. Tapi alaram ulang tahun yang ada di calendar alert handphoneku.
Aku baru ingat sesuatu. Malas tidak lagi menyuruhku untuk menarik selimut di pagi ini yang cukup dingin, ku tarik tubuhku ke laptop yang sejak semalam lupa ku matikan. Lalu aku mulai menulis, menulis untuk mengingat-ngingat sesuatu yang seharusnya tidak ku ingat lagi, di dua tahun yang lalu []
Dua tahun yang lalu, saat aku masih memakai seragam putih abu-abuku. Aku sudah siap berangkat kesekolah untuk hari kami ini yang sedemikian rupa pelajaran berbau eksakta harus ku lewatkan. Tugas Fisika sudah menanti, buku matematika sudah berteriak-teriak minta ku bawa sejak tadi, Kimia selalu ingin menjelajahi seluruh tasku, beberapa catatan pun ikut merengek. Alhasil sebegitu banyak ku bawa buku pelajaranku, aku harus menggunakan dua tas sekaligus, hari ini.
Aku adalah tipikal siswa yang akan merasa bersalah jika aku tidak membawa satu saja buku ku, karena itu akan menyulitkanku saat pelajaran, seperti dua kamus bahasa inggris, dan bahasa france wajib bawa. Mereka bahkan selalu memenuhi tas depanku. Meskipun berat, tapi menurutku hari ini yang paling berat dari biasanya. Aku tetap bahagia, hari-hariku di penuhi oleh puluhan sms dari dia yang selalu menyemangatiku. Bahkan di sela-sela pelajaranpun, aku masih berharap handphoneku bergetar berisi nama dia.
Aku tidak akan menyebut namanya, sebab bila aku menyebut nama orang yang telah membawa kabur separuh perasaanku selama dua tahun ini, aku yakin setelah ini aku akan mengguyur diriku dengan seember air es dari kulkas.
Kita berbeda sekolah, berbeda umur dan kita jarang sekali bertemu, karena itu aku sangat senang bila dia mengirimiku SMS. Rasanya seluruh energi ku yang telah tersedot oleh lelah, terisi kembali. Sepulang sekolah, aku langsung menghambur ke tempat tidur, memencet nomer yang tertera di panggilan terakhir tanpa mengganti baju seragamku terlebih dahulu atau mencopot sepatuku. Aku sengaja membuat panggilanku menjadi privat number. Aku ingin tahu apa dia mengenali suaraku? Oh iya saat itu aku baru satu-dua.. hemmm kira-kira 4 hari setelah insiden penembakan itu (sebenarnya ini bukan tindakan criminal, karena sampai saat ini aku masih hidup. Lebih tepatnya ia mengungkapkan perasaannya), tapi sampai detik ini aku belum memberikan jawabannya.
Ku tunggu nada sambung yang menghubungkan teleponku ke teleponnya.
“Halo.” Katanya, dengan suara yang sangat-sangat ku kenal.
I hear his voice! Teriakku dalam hati. Ya, kalau aku boleh bilang, bahwa aku sangat-sangat, bahkan lebih dari sangat untuk rindu pada suaranya.
“Hey,” ucapku mencoba berbicara dengan nada biasa saja tapi yang terdengar adalah nada gerogiku.
“Ovie? What are you doing? Call me with private?” tanyanya sukses membuatku malu. Aku ketahuan pake private.
Tapi, aku cukup senang, dia mengenaliku. “I’m.. sorry , I’m sorry. I don’t know if this private.”
“Oh, no problem.” Katanya santai. Bisa ku dengar suaranya yang selalu membuatku luluh lantah.
Well, happy birthday, Dear.” Ucapku awalnya aku ingin mengucap akhir kalimatku dengan namanya, tapi sepertinya otakku sedang tidak sejalan dengan mulutku.
Thank you, Dear.” Balasnya yang juga memanggilku Dear.
Aku ingin menampar wajahku saat itu, rasanya tidak adil kalau aku memanggil dia dengan panggilan itu sebelum aku menerimanya sebagai.. ah sudahlah. Akhirnya aku menemukan rasa frustasiku lewat suaranya yang memanggilku.
Can we talk bout the relation?” tanyanya.
Aku mengambil napasku sebelumku lepaskan pelan-pelan. Ku ingat-ingat kalau aku masih hutang pertanyaan padanya, tapi aku belum siap.  No, tidak sekarang. Give me a time for answer it.” Ucapku perlahan. Aku harus menentukan pilihan apakah aku tetap begini terus atau aku akan bersamanya melewati hari-hariku (mungkin) sepanjang hidupku bersamanya?
Okey, its okey.” Ucapnya. Ku dengar nadanya tidak mempermasalahkan kalimatku sebelumnya. “terimakasi sudah menelponku. And then.. I love you, Dear.” Ucapnya sebelum otakku berhasil mencerna kalimatnya, telepon sudah putus begitu saja.
Setelah itu, aku baru sadar atas apa yang dia ucapkan. Dan kini, aku bisa merasakan detak jantungku yang tidak keruan. Paru-paruku yang menggelembung hingga aku sesak napas. Satu detik kemudian aku menemukan diriku yang sedang tertawa dengan bolamataku yang terbelalak. “I love you too.” Ucapku pada layar handphoneku yang sudah mati. Aku ingat hari itu, dimana rasanya dunia dan seluruh isinya menjadi milikku.
Suara cristina perry terdengar kembali dari handphoneku. Menarikku pada realita. Ternyata itu bunyi alaram calendar ku yang berbunyi kembali. Yeah. Alaram yang sama, di hari yang sama orang yang sama pada tahun yang berbeda. ku ingat usianya kini sudah 19 tahun. Ku ambil Handphoneku, di samping meja belajar, aku mencari namanya di contac phoneku, bukan di daftar panggilan, sebab sudah lama sekali aku tidak menekan nomer itu, setelah aku menemukan namanya yang sebelumnya aku tidak pernah sekalipun menghapus atau mengganti nama itu dari list phonebook, aku tidak jadi memencet tombol hijau. Aku kembali ke menu awal, untuk menuju calendar, dan menghapus Alert di tanggal 18 november. Dan.. “Happy birthday, for you.” Ucapku dalam hati sambil meletakan handphoneku kembali.