Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, August 24, 2013

The soul



 The soul.

“Setiap orang membicarakan cinta. Mengapa kita malah kehilangan kata-kata. Aku, kamu. Bisakah menjadi kita? Dengan ikatan mulia, atas nama cinta.” Syaira.
Kurasakan cairan infus mulai menjalar ke seluruh tubuhku hingga perutku seperti menahan gejolak. Selang oksigen yang secara paksa di masukan ke lubang hidungku. Alat pengukur detak jantung juga menempel persis di dada sebelah kiriku. Bau obat yang selalu akrab dengan hidungku, dan di atas tempat tidur ini yang menjadi saksi, malaikat maut akan menjemputku ke ruang yang berbeda.
Sebentar. Kuingat-ingat dulu, aku baru saja masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang lalu. Kurasakan sesuatu yang hangat di dahiku, aku memaksa menyuruh sel syaraf sensorikku untuk membuka mata. Samar-samar aku melihatmu sedang mencium keningku. Tapi aku yakin. Sangat yakin, itu kamu.
 Senyummu menarikku ke tiga beberapa waktu lalu, di mana kita menyimpan sejuta cerita yang telah dilewatkan bersama.
“Sudah aku bilang, kan, kalau kamu tidak akan sanggup melewati hujan tanpa aku,” kata Andro sambil bertolak pinggang menghadapku.
Ini minggu ke tiga dari bulan November, bulan yang paling romantis di antara sebelas bulan yang lain. Air hujan mewarnai kota ini. Meluncur dari sela-sela atap sekolah. Kulihat wajah Andro tampak sangat rupawan. Alis matanya yang tebal, bibirnya yang kemerahan, tubuhnya yang six pack dan nyaris bertolak belakang dengan tubuhku yang kurus.
“Siapa bilang? Aku berani,” sanggahku menantangnya dengan seluruh keegoisan yang kupunya.
“Oke, coba kulihat? Seberapa beraninya kamu dengan air hujan yang dingin itu?” kerut-kerut di keningnya muncul yang menandakan ia ingin mengetahui seberapa nyaliku, dan itu yang membuatku tersenyum.
“Kalau aku bisa, kamu akan beri aku apa?” ku lemparkan senyum paling manis ke wajahnya.
“Yang kamu mau apa?” Andro malah berbalik menantang.
“Aku mau, teraktiran es krim selama satu minggu, setuju?”
Bolamata Andro terbelalak, “Hanya itu?” tantangnya membuatku mengingit bibir, “Tidak ada yang lain?”
Aku terdiam sejenak, untuk membayangkan hal apa yang ku inginkan dari Andro, berenang? Main bulu tangkis? Mengerjakan PR ku selama satu minggu? Atau mengantar jemput kesekolah setiap hari?
“Bagaimana kalau menjadi pacarku selama satu bulan?” pertanyaan Andro sukses membuatku sesak napas, seperti ada bongkahan es yang menyumbat tenggorokanku.
Kemudian aku tertawa
“Kamu ini sudah gila? kamu mau aku diintimidasi oleh Elly?” kataku membelalakan bolamata.
Senyum Andro keluar dari sudut bibirnya, aku seperti lebih membutuhkan senyumnya dari pada ratusan obat yang sudah mengakar di tubuhku.
“Itu konsekuensi dari taruhan ini,”
Mataku melotot ke arah Andro, tidak setuju dengan argumentasinya.
“Andro, kamu tau..” belum selesai aku bicara Andro sudah menelan kata-kataku dengan tatapannya yang cukup tajam tubuhnya yang terlalu dekat denganku membatku sedikit bergetar. “Aku bisa bicarakan nanti dengan Elly,” ucapnya pasti.
“Sekarang, aku ingin melihat seberapa nyalimu?” lanjutnya.
“Baiklah,” kataku tidak ambil pusing.
Kucopot kedua sepatuku lalu mulai aku mendekat ke ujung teras, gemercik air hujan sudah mulai membasahi sebagian rok abu-abuku. Aku tau Andro sudah tidak sabar melihat tindakan kuselanjutnya, karena itu aku bersiap mencelupkan kaki kananku.
“Andro!” teriak wanita yang suaranya akrab di telingaku dan sukses membuat konsentrasi aku dan Andro.
Elly menghampiri Andro dengan setengah berlari. “Ayo kita pulang! Mama sudah menunggu kita untuk makan malam bersama,” ucap Elly setelah sukses meraih tubuh Andro dan bergelayut di tangannya.
Aku cemburu, rasanya ingin sekali mengguyurkan air seember air es di kepalaku, karena air hujan di hadapanku belum cukup dingin untuk menyadarkanku.
“Aku mau main bersama Ara,” kata Andro sambil menatapku penuh harap.
Kemunculan senyum dari sudut bibirku menutupi kecemburuanku saat itu. “Besok kita masih bisa bermain lagi,” ucapku meyakinkan Andro.
“Lihat, senja mulai datang, sebaiknya kita cepat pulang.” Sergah Elly.
Kuperhatikan anggukan Andro perlahan. Ia seperti menyerah dengan keadaan. Aku masih terpaku dengan air hujan di hadapanku saat Andro mulai menjauh dariku. Satu detik kemudian aku menemukan tubuhku yang basah. Ku usap wajahku dengan kedua telapak tangan, berharap apa yang aku lakukan barusan bukan apa-apa. Aku berjalan ke tengah hujan, akan ku buktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa tanpa Andro.
Tubuhku bergetar, aku menggigil di tengah terpaan hujan. Bagaimana mungkin aku mencintai Andro? Tapi sungguh, aku mencintainya.
Seperti ada aliran hangat yang keluar dari lubang hidungku, turun ke baju seragamku, lalu jatuh ke tanah dan tercampur air hujan dan aku tau, itu darah. Dan saat itu juga aku menghakimi diriku sendiri. “Andro, aku tidak bisa tanpamu.” Ucapku pelan, dan pengelihatanku mulai kabur, aku jatuh.
***
“Bagiku, kamu adalah titipan tuhan yang harus ku jaga, titisan malaikat dari surga yang turun ke bumi untuk bertemu denganku. Jika kita di takdirkan untuk bersama maka cinta takan lari kemana. Jika tidak. Maka kenanglah aku sebagai bunga tidurmu.” Andro.
Lelaki macam apa aku ini? mementingkan egoku dan meninggalkan Ara begitu saja, di tengah lebatnya hujan kemarin. Lihat wajahnya pucat, tubuhnya semakin kurus, dan aku tidak melihat rona jingga dari bibirnya. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai terjadi apa-apa dengan gadis yang paling kucintai.
“Hai Ara,” ucapku saat melangkah menghampiri Ara, kulihat ia sedang serius dengan buku yang dibacanya. Kucium pipinya seperti biasa saat kami bertemu. “Are you okay?” tanyaku smbil memandangi wajah Ara.
Rupanya Ara cepat menangkap pertanyaanku, ia segera mengangguk tanpa melihat wajahku.
“Kamu terlihat pucat?” kali ini bolamataku mencoba menatap bolamata Ara lurus-lurus.
“Oh, aku belum makan siang,” kata Ara dengan suara parau dan sukses membuat aku tidak percaya dengan jawabannya. Kulihat Ara membatasi bukunya dengan telunjuk pada paragraph yang tengah ia baca. “Aku Cuma sedikit Flu.” Lanjutnya.
“Kalau gitu, ayo kita makan siang!” ujarku tidak perduli setuju atau tidak dengan usulanku, ku raih tangannya beberapa menit kemudian aku berhasil mendudukkannya di salah satu kursi di kantin.
“Kamu mau makan apa? Soto, bubur, nasi rames, atau bakso?” tanyaku sambil menunjuk sederet gerobak pedangang di kantin sekolah.
“Cukup teh manis hangat,” ucap Ara.
“Enggak, kamu harus makan.” Kataku.
Kutemukan Ara hanya memandangku dengan tatapan cemas. Aku langsung melangkah menuju pedagang soto, dan memesan satu porsi tanpa daun bawang yang seperti biasa dia pesan. Aku kembali ke hadapannya dengan membawa nampan yang berisi soto dan teh manis hangat. Dan kudengar Ara sedang berbicara di telpon, “Dia ada di hadapanku, kalau kamu mau kesini saja, tidak masalah.” Ucap Ara lalu mengakhiri percakapan. Kupastikan yang barusan menelpon Ara adalah Elly, tapi aku tidak peduli dengan itu.
Tatapan Ara kembali pada mangkuk soto yang sudah kuletakan di hadapannya. Aku hanya menemani Ara disampingnya, dan memastikan kalau makanan itu habis. Usai makan kami kembali ke kelas, aku harus memapah tubuh Ara yang terlalu lambat untuk berjalan, sebelumnya aku sudah menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Ara mengelak, ia memilih mengikuti jam pelajaran sampai usai. Sebelum kami sampai kelas, ku rasakan tubuh Ara bergetar. Lututnya melemas hingga ia hampir terjatuh di lantai.
“Ara.. Ara..” panggilku, sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
“Aku baik-baik saja,” ucap Ara ku lihat senyum masih muncul di bibirnya. Tapi wajahnya sepuluh kali lebih pucat dari sebelumnya. Ku lihat aliran darah mulai keluar dari hidungnya dan sedetik kemudia ia sudah tak sadarkan diri.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ara terus memanggil-manggil namaku. Sementara handphoneku berdering ada panggilan dari Elly, aku tidak mempedulikannya. Kulihat Ara menggenggam erat tanganku, seperti ia tidak ingin kehilanganku. Ara.. andai kamu tau, seberapa besar aku tidak ingin kehilanganmu. Ucapku dalam hati.
Its okay.. its okay, I’m here..” ucapku.
Sampai di rumah sakit, Ara langsung dilarikan ke UGD. Satu jam aku menunggu, sampai ia dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut. Aku hampir ingin menonjok diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tidak tahu selama ini Ara menderita leukemia, atau kanker darah. Aggrrrhhh! Tinjuku melesat ke tembok rumah sakit dan membuat tanganku memar. Tubuh Ara sudah terbaring lemah di atas tempat tidur dengan baju rumah sakit. Aku memandang Ara dengan bisu. Sudah kutelpon kedua orang tuanya, dan mereka dalam perjalanan kemari.
Ara mulai membuka matanya, ia memanggil namaku, “Andro..” lirihnya.
“Iya sayang, aku disini.” Kataku, panggilannya seolah membuyarkan rasa frustasiku. Aku sangat sayang pada Ara.
“Taruhan kita belum selesai, kan? Besok kita main lagi.”
“Pasti.”
Ara menarik napas sejenak. Akan kubuktikan perasaanku padanya. Aku tidak ingin waktu terus menghabiskanku untuk memendam perasaan. “Ara..” ucapku.
Kulihat senyum Ara yang membuat hatiku terenyuh. “Aku mencintaimu, sungguh,” nadaku terdengar cukup pasti.
Ara menarik tanganku untuk memasukan jarinya ke sela-sela jariku.
“Andro..” panggilnya.
“Ya,” dengan sabar aku menunggu jawabannya.
“Aku..” kudengar napasnya terengah-engah untuk meneruskan kalimatnya. “Aku..”
Aku menunggu sampai satu menit, tapi tidak ada lagi kata yang terucap dari mulutnya. Ia hanya memandangku cukup lama. Tidak lama kemudian, kabel yang menghubungkan Ara dengan sebuah kotak mesin yang sekarang hanya berbunyi “tuuuuut…” dan layarnya menunjukan garis putih lurus tanpa ada grafik di sana.
“Ara, ara!” teriakku saat menemukan matanya telah tertutup. “Ara katakan kalau kamu juga mencintaiku!” kuguncang-guncang tubuhnya yang tidak bergerak. Tidak lama kemudian dokter dan beberapa suster datang dengan wajah panik. Salah satu suster memintaku untuk meninggalkan ruangan.
Orang tua Ara berlarian menghampiriku dan menanyakanku tentang kondisi Ara, aku tidak bisa menjawabnya. Dengan perasaan gundah yang melanda, lima belas menit kemudian, sebuah tempat tidur trolly sudah keluar dari ruangan dengan seseorang yang tubuhnya sudah tertutup kain putih.
Ara.. kau lah satu-satunya wanita yang kucintai.

Coretan Cinta


 
Coretan cinta.
Oleh: Nona Sagitarius dan Tuan Capricorn

Hazel.
Seandainya saja, kau katakan itu dari dulu.
        
Dulu, saat kita masih memakai kostum yang sama, putih abu-abu. Di mana kita pernah bercerita tentang banyak hal, tertawa karena wajahmu lucu, mengepel lantai bersama saat kita terlambat datang ke sekolah dan hal yang paling kita suka adalah mencoret-coret meja.
“Aryan, pulang yuk!” ajakku menarik tangan Aryan. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Murid-murid sudah meninggalkan mejanya. Sekolah hampir sepi. Hanya ada beberapa anak yang menunggu jam Eskul mulai.
“Sebentar lagi, ya,” Kata Aryan yang tak luput pandangannya dari meja.
Aku menghela napas pelan, lagi-lagi dia mencoret-coret meja.
“Kalo Bu Risda tau, pasti kamu diomelin!” Kataku mengingatkan. Bu Risda sebagai guru BP paling galak sedunia, sudah beberapa kali memperingatkan aku dan Aryan yang punya hobby mencoret-coret meja, dengan tinta dan tipe X. Sejak Bu Risda memperingatkan kami yang terakhir kalinya, kami berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tapi, kini Aryan melakukannya kembali. Hal yang paling di benci Bu Risda.
“Enggak bakal. Aku kan nulisnya di kolong meja.” kata Aryan santai. “Besok kita udah gak bisa lagi nyoret-nyoret meja,”
Baiklah, aku sudah tidak perduli. Aku melipat tangan di dada, menggerutu, sambil menunggu Aryan selesai mencoret-coret meja.
“Sudah, selesai!” kata Aryan girang. Ku lihat senyum sumringah mengembang di wajahnya.
“Yaudah pulang, yuk.” Kataku tidak sabar.
“Kamu yakin, gak mau liat?” tanya Aryan sambil melirik mataku.
“Enggak!” kataku dengan segenap egoku. “udah buruan, yuk. Nanti Mamaku nyariin.” Aku meminta Aryan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kalau sampai ada guru yang meliatnya mencoret-coret meja, kami bisa kena sangsi.
Sebenarnya, aku ingin sekali melihat tulisan yang dibuat Aryan di kolong meja itu. Tapi Karen egoku... yah sudahlah.
“Yuk,” kata Aryan mengajakku pulang. Kami berjalan beriringan sepanjang koridor.
Tidak terasa ini adalah hari terakhir aku duduk bersama Aryan. Karena sudah tidak ada lagi kegiatan belajar-mengajar. Hari senin, kami sudah menghadapi soal-soal ujian nasional.
Seperti biasa Aryan mengantarkanku pulang. “Makasi, ya. Ar.” Kataku ragu.
Ku lihat senyum sumringah Aryan mulai mencuak dari sudut bibirnya yang kemerahan. Aku biasa pulang-pergi sekolah bersama Aryan. Selama tiga tahun. Kemudian, aku membayangkan kalau esok kita sudah tidak lagi bersama.
“Selamat belajar dan semangat ujian!” Aryan menyemangatiku.
“Kamu juga, ya!” kataku tak kalah semangat.
Setelah itu Aryan pamit pulang. Aku masih terpaku saat motornya hilang di tikungan jalan.
***
Pukul 06.00, aku berlarian sepanjang koridor. Melewati koridor utama, kemudian menuju koridor kelasku. Aku sengaja datang pagi-pagi untuk melihat meja itu. Tidak melihat coretan itu seperti dosa bagiku. Napasku terngengah-engah saat berada di depan kelas 12 ipa 1. dan ternyata pintu itu, terkunci.
Aku hampir putus asa. Tapi aku tak menyerah. Kucari Pak Yok seorang penjaga sekolah untuk meminta kunci ruang kelasku. Keberuntungan tidak berpihak kepadaku, Pak Yok tidak ada di sekitar sekolah. Dan bel sudah berbunyi.
Aku melangkah gontai menuju ruang ujian. Aku hanya berharap di ujian terakhir ini aku dapat mengerjakan soal dengan mudah. Hari ke dua juga sama. Aku tidak bisa masuk ke ruang kelasku. Aryan tidak mengajakku pulang dengannya. Ia meminta izin untuk fokus belajar selama ujian berlangsung. Ia hanya menyapa ketika bertemu denganku.
“Ayo, pulang bersamaku.” Kata Aryan mengajakku. Ini hari terakhir ujian. Aku tersenyum akhirnya Aryan mengajakku pulang bersama.
“Motorku sudah kangen, lama tidak dinaiki kamu.”
“Huh! Siang bolong gini masih aja gombal! Gak romantis banget gombal sambil panas-panasan.” Cibirku. Masih dengan egoku yang selangit itu. Dan disambut cengiran dari Aryan.
Kulihat sosok yang pendiam itu mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah, lalu ia menghampiriku. “Buruan, naik.” Ajak Aryan. “Kita mau makan Es krim, kan?”
“Makan Es krim?” kataku langsung bersemangat begitu Aryan menyebut makanan kesukaanku. Atau tepatnya, kesukaan kita.
“Iya, aku yang teraktir deh!” seru Aryan.
“Ada angin apaan nih? Baik bener.” Kataku.
“Jangan cerewet ya, buruan naik!”
Aku nyengir dan lekas menuruti perintah Aryan. Motor pun melaju dengan kecepatan sedang. Kita sudah ratusan hari berteman, menikmati fajar dan senja bersama, kita sudah lama mengenal hingga asa menyuruhku untuk menunggu sebuah kata yang terucap dari mulutmu. Tapi pertanyaan besar dalam otakku adalah; apa kita punya perasaan yang sama?
***
“Hazel, aku lulus!!” teriak Aryan sambil memelukku. Aku terpaku, senang, bahagia, serta sedih. Senang karena aku dan Aryan lulus, bahagia karena entah sengaja atau tidak Aryan memelukku. Sedih karena, aku akan berpisah dengannya.
“Aku lulus, Zel. Aku lulus.” Aryan mengguncang-guncang bahuku.
“Aku juga,” kataku sambil tersenyum.
Aryan memandangku, “Kamu kenapa, Zel?” tanya Aryan.
“Kita gak bisa duduk satu meja sambil nyoret-nyoret lagi.” Kataku sambil menundukan kepala. “Di tempat kuliahan, duduknya sendiri-sendiri.”
“Kita kan bisa nyoret-nyoret yang lain, dan kita bisa duduk di kafe berdua atau di 21 yang duduknya sebelahan.” Aryan mencoba meyakinkanku. “Lagi pula masih banyak yang bisa kita lakukan. Seperti bermain bulu tangkis, berenang, jalan-jalan.” Aryan menyebutkan sederet hal yang sering kami lakukan bersama. Aku memandang wajah Aryan, satu detik kemudian aku percaya bahwa banyak hal yang bisa kami lakukan bersama.
***

“Pak Yok, boleh aku masuk gak?” tanyaku pada Pak Yok yang sedang merapihkan kebun sekolah. Terlihat lebatnya tanaman karena liburan tidak ada yang datang ke sekolah ini.
“Mau ngapain, Neng?” tanya Pak Yok.
“Buku catatan pribadi saya tertinggal di kolong meja.” Kataku berbohong. Padahal aku ingin sekali melihat tulisan itu.
“Neng Hazel mau ditemani?” Pak Yok meletakan gunting rumputnya.
Aku lekas menggeleng. “Eng..gak usah, Pak. Saya berani kok,” kataku. “Boleh pinjem kuncinya, Pak?” pintaku dengan nada rendah. Aku harap Pak Yok percaya padaku.
“Oh, boleh. Tapi nanti di kunci lagi, ya.” Kata Pak Yok.
Yes! Pak Yok memberikan kuncinya padaku.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Pak. Pasti.” Kataku berjanji.
Aku meraih seikat kunci yang diberikan Pak Yok. Tanpa berbicara lebih banyak aku langsung menghilang dari tempat itu.
Aku berjalan dengan tergesa-gesa sepanjang koridor sekolah. Langkah kakiku terdengar memantul. Aku terhenti di sebuah kelas berplang 12 Ipa 1. dan langsung kubuka kuncinya. Aku terpaku menatap sebuah meja di deretan paling belakang. Masih kuingat bagaimana senyum mu menyapaku, bagaimana tanganmu menjabat tanganku saat pertama kali kita bertemu di sebuah ruangan penuh kenangan.
Kulangkahkan kakiku menuju meja itu. Kupastikan setelah dari sini aku sudah tau, tentang hal konyol yang dibuat Aryan itu. Paling hanya gambar bebek dan spiderman yang seperti biasa ia gambarkan sebagai dua hal yang kami suka. Aku suka bebek karena bebek itu lucu. Sedangkan Aryan seorang penggila spiderman menurutnya superhero yang satu itu sangat keren. Aku sudah berada di hadapan meja yang hampir setiap hari kita coret-coret bersama. Entah itu contekan, tanda tangan, gambar aneh, atau sarana surat menyurat untuk aku dan Aryan. Kulihat tulisan Aryan yang jelek itu di balik meja.
 Aku suka sama kamu, Bebek.
By: spiderman.
Aryan.. jadi kamu..
Ini yang kunanti-nanti selama ini, Aku bangkit dari tempat itu dan segera mengembalikan kunci pada Pak Yok.
“Sudah, Neng?” tanya Pak Yok.
Aku hanya mengangguk.
“Ketemu bukunya?” Pak Yok penasaran.
“Gak ada, Pak. Mungkin aku lupa naronya.” Kataku.
“Coba dicari di rumah, siapa tau nanti ketemu.” Pak Yok memberi saran. Aku mengangguk lagi. Memang buku itu tak pernah ada. Aku tersenyum, tidak lama kemudian aku segera pamit pada Pak Yok.

Awas ya, Aryan kalo ketemu akan ku jitak kepalamu! Kataku dalam hati. Aku begitu semangat untuk pulang ke rumah, setelah ini aku akan pergi ke rumahnya, mendobrak pintu kamarnya lalu akan ku maki dia habis-habisan.
“Hazel, ini handphone-mu, ketinggalan.” Kata Mama sambil membawa Handphone-ku.
Aku menepuk jidat. “Lupa, Ma,” Kataku.
“Banyak yang nelpon, tuh.” Kata Mama.
 Aku benar-benar tidak ingat dengan Handphoneku. Ku lihat ada 10 panggilan tak terjawab dari Aryan. Alisku terpaut. Aryan belum pernah memanggilku sampai puluhan kali seperti ini. Aku menelpon Aryan.
Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif. Berulang kali aku memanggil Aryan. Tapi, jawabannya sama.
Tidak aktif.
Kulihat Handphoneku bergetar, ada pesan suara dari Aryan. Ku dengarkan pesan suara itu. “Hazel, maaf, aku tidak memberi tahumu sebelumnya. Mungkin saat kamu mendengar pesan ini, aku sedang dalam penerbangan menuju USA, untuk melanjutkan kuliahku. Terimakasih, semoga kita bertemu kembali.”
Saat itu, pertama kalinya aku menangisi Aryan. Seorang yang terlalu kusayang. Air mataku meleleh, lututku lemas, aku sesungukan.
Aryan..
Banyak hal yang harus kita bicarakan..


Aryan.
Seandainya kau melihat coretan terakhirku, kisah kita mungkin akan berbeda.

Lima tahun lalu, saat kita masih mengenakan seragam putih abu-abu. Apa kamu masih ingat setiap cerita yang kita buat? Tentu, aku mengingatnya, coret-coretan kecil di setiap meja, yang menunjukan bahwa kita pernah ada. Bahkan aku tidak perduli seberapa galaknya Bu Risda, aku melakukan ini hanya karena aku ingin bersamamu lebih lama. Waktu itu aku sedikit kecewa, karena kamu mengelak untuk melihat tulisanku, padahal, jika kamu melihatnya, akan ku ungkapkan semua perasaanku saat itu.
Aku suka sama kamu, bebek.
By: spiderman.
Aku tidak bisa menyalahkanmu. Rasanya, aku ingin sekali memaki diriku karena tak punya nyali untuk mengungkapkan isi hati. Sungguh, sungguh aku mencintaimu, sungguh aku menginginkanmu. Dan mungkin sekarang sudah terlambat.
Tiba-tiba suara Mama menghapus lamunanku, “Kamu gak lupa bawa passport, kan? Dan sudah hubungi Hazel?”
Aku menggeleng, “Belum, Ma,” Aku mengumbar senyumku di balik rasa gundahku. Ku ambil Handphone di saku celana, kucari namanya di dalam contact list dan langsung ku telepon.
“Kemana anak ini? Di saat-saat kayak gini malah ilang,” gerutuku.
“Pasti lagi ngebo!” pikirku jengkel.
Sampai jadwal penerbangannya tiba, telpon itu tak kunjung diangkat.  Aku menoleh ke arah belakang saat menuju terminal keberangkatan, berharap ada seseorang yang berlari menghampiriku lalu menciumku, seperti adegan beberapa Film layar lebar. Tapi, tidak seperti yang kubayangkan. Hanya pesan suara yang bisa kutinggalkan sebagai tanda perpisahan, setelah itu, aku akan menjauh darimu. Akan kutebus semua dosaku untuk tidak menghubungimu.
Maafkan aku..
***
Kini, Aku kembali ke Tanah kelahiranku, Indonesia. Setelah lima tahun menetap di USA, dan meninggalkan cerita cintaku bersamanya. Bisa kucium lagi bau tanah yang tercampur ke egoisan sederet gedung-gedung bertingkat yang berdiri di atasnya.
“Sayang, abis ini kita langsung ke apartemen ku saja, ya?” tanya gadis yang selalu bergelayut di tanganku. Aku mulai jengah dengannya.
“Kamu aja, saya mau ke rumah orang tua saya,” Kataku cukup tegas.
“Kita tidak jadi beli cincin?”
“Minggu depan saja,” Kataku sambil lalu. Tidak kuhiraukan lagi dia. Aku tidak sengaja menabrak seorang wanita yang tengah berjalan menggeret kopernya.
“Maaf, Maaf. Saya tidak melihat, saya terburu-buru.” Ucapnya meminta maaf. Aku sedikit kaget, saat mendengar suara itu. Suara yang lama ku kenal baik. Ya, dia Hazel, sahabat terbaikku. Tapi sesungguhnya hati kecilku menginginkannya lebih dari pada itu.
“Hazel? Benar kah kau Hazel?” ucapku begitu penasaran padanya. Ia tersadar, kulihat expressinya lebih kaget dari pada aku, “Aryan.. kamu Aryan, kan?” katanya mengingat-ngingat kembali tentang aku. ku lihat ia nampak lebih dewasa di bandingkan dulu, aku tersenyum sambil memandangi wajahnya yang masih cantik. Aku duka senyumnya, aku suka sorot matanya, aku suka hidungnya, dan aku suka segalanya dari Hazel. Tapi..
“Sayang, ini siapa?” tanya Fana menyusulku. Suaranya menarikku ke realita.
“Ini.. Hazel, dia sahabat saya waktu SMA,” ucapku.
Fana langsung menjabat tangan Hazel seraya berkata, “Aku Fana, calon tunangannya Aryan,” Ucap Fana tersenyum, bisa ku lihat rasa kecewa menyatu dalam senyumnya.
“Apa kabar, Zel?” ucapku mencoba menghalau suasana canggung.
“Baik,” ucapnya singkat. Harusnya kita bisa lebih dari sekedar menanyakan kabar. Aku hanya bisa melepas rindu seadanya.
“Maaf, saya buru-buru.” Kata Hazel bergegas menarik kopernya.
Aku meraih tangannya, “Nomermu masih yang dulu, kan?” tanyaku mencegah kepergiannya sesaat.
Hazel hanya mengangguk.
***
Sampai kapan kita akan menunggu datangnya senja dan bait malam tanpa bersama? Sekali lagi, harus kuakui, aku hanya mencintai Hazel.
“Maafkan aku, Nona.” Ucapku sembari menyodorkan Es krim yang kubeli. Aku memintanya bertemu saat jam makan siang di sekolah, dan Hazel menyetujuinya.
“Aku Cuma kecewa,” ia meraih Es krim Coklat di tanganku ia sama sekali tidak menatapku. Kami tiba di depan kelas, saat ini sekolah libur. Aku langsung memposisikan diriku di tempat duduk yang sama.
“Aku yang merusak persahabatan, Kita,”
“Persahabatan katamu? Yang benar saja! Jangan berlagak bodoh, menyembunyikan perasaan itu,” kulihat Hazel mengerang. Hazel menyusulku, ia duduk di sampingku sekarang.
Aku menundukan wajahku, “Aku salah, Maaf, aku terlalu mencintaimu,”
“Mencintaiku? Dengan wanita yang menjadi tunanganmu?”
“Tidak, aku lebih mencintaimu!”
“Jangan bergurau!”
“Sungguh,” rasanya lelah, menyimpan perasaan yang terlalu lama tak terungkap.
Kami bertengkar, sepuluh menit tak saling bicara meredam semua jengah, gundah dan perasaan yang tak tentu arah.
“Aku tau, kamu juga mencintaiku,” kataku menatap matanya lama sekali, hingga satu jawaban ku temukan dari anggukan kepalanya.
Beberapa minggu kemudian, aku tidak sengaja aku bertemu Hazel di sebuah toko perhiasan, dan saat itu aku bersama Fana. Fana menyambut Hazel dengan ramah mereka bertemu dengan berciuman pipi.
“Kebetulan banget, ya, Zel. Kita ketemu lagi.” Kata Fana.
“Iya kebetulan,”
“Kita berdua akan menikah, kamu datang, ya, nanti ku suruh Aryan mengirimkan undangannya,” kata Fana. Hazel melirikku sejenak, kutemukan ada rona kecewa dalam bola mata cokelatnya.
“Oh ya? Selamat kalau gitu, aku tunggu undangannya ya, Ar,” kata Hazel menutupi perasaannya.
“Kamu mau beli cincin untuk tunanganmu juga?” tanya Fana tersenyum.
“Enggak, Cuma liat-liat aja, mau cari yang lain, maaf ganggu,” Hazel pamit dan segera meninggalkan tempat itu. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku, ini yang kesekian kali, aku menyakiti perasaannya.
“Sayang menurut kamu model yang ini bagus gak?” tanya Fana.
“Kita pulang.” Aku terlalu kesal untuk menanggapinya.
Aku tau, sudah sepantasnya Hazel marah−bahkan membenciku, bagaimana tidak? Aku mengatakan cinta kepadanya saat aku ingin menikah dengan perempuan lain, sehancur apa perasaannya? Entah, terlalu sulit untuk di gambarkan. Ku coba menghubungi Hazel, telepon, BBM, emailku pun tak di jawab. Aku hampir Frustasi, sudah tidak ada waktu lagi. Hingga hari pernikahanku pun tiba. Aku terpaksa harus menjalani ini demi rasa hormatku kepada kedua orangtuaku, dan orang tua Fana yang sudah puluhan tahun menjadi kerabat dekat keluarga.
Seluruhnya, persiapan pernikahan sudah disiapkan, tanpa campur tanganku, aku hanya mengucap iya, dan mengangguk ketika ditanya soal tetekbengek pernikahan ini. hingga akhirnya, saat ini, Fana, kedua orang tuaku, orang tua Fana dan para undangan untuk menungguku mengucapkan iklar janji setia dengan ikatan yang suci.
Aku segera bangkit dari tempat dudukku, kucopot tudung putih yang mengikatkan aku dan Fana, “Saya tidak siap,” kataku.
Fana segera mencegahku dengan memegani lenganku, “Tapi kita mau menikah,”
“Saya tidak pernah bilang bahwa saya siap menikah denganmu, saya tidak mencintaimu.” Kataku akhirnya, semuanya terlepas, aku tidak harus lagi berpura pura untuk mencintai Fana. Orang tuaku pasti marah padaku, juga kecewa dengan apa yang ku lakukan.
Aku mencopot Jas hitam di badanku, ku gulung kemeja putihku, ku ambil kunci mobil dan segera pergi dari tempat itu. Aku terus menghubungi Hazel, tapi sama, tidak ada jawaban. “Bebek, kamu dimana?” aku hampir frustasi dengan keadaan yang ku buat sendiri. Ku cari dia di apartemennya, kosong. Ku telpon orang tuanya. Ibunya bilang, ia menuju singapur untuk pindah kantor disana. Aku langsung menuju bandara, mengejar Hazel, aku harap ini sebagai penebus dosa. Nasib baik tidak berpihak padaku. Penerbangan menuju singapur sudah diberangkatkan 30 menit yang lalu.

Suara sepatu kubertengkar dengan ubin koridor. Aku terus menaiki tangga, menyusuri koridor. Hingga aku berdiri di depan kelas 12 ipa 1, dengan napas terengah-engah dan keringat yang bercucuran. Ku buka pintu ruang kelas, aku mulai duduk di tempat seperti biasa ku singgahi. Ku pandangi puluhan coret-coretan yang pernah kita buat, terdengar helaan napas, ku ambil sebuah bolpoint dari saku celanaku, berharap Bu Risda tidak melihat aku melakukan ini. lalu, aku mulai mencoret-coret meja. Setidaknya, dengan ini, aku bisa mengenangnya.


Nona Sagitarius.
Perempuan cerewet ini sedang menekuni dunia penulisan, cerpen pertamanya di muat di sebuah buku antologi cerpen yang berjudul karena dinda yang di terbitkan oleh penerbit indie. Suka dengan hal yang di kemas dalam Fiksi, menyukai badminton.


             Tuan Capricorn (@nugrahadiii)
           Seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang serta rambut sedikit ikal berwarna hitam. Anak tertua dari 3 bersaudara yang berstatus sebagai mahasiswa Departemen Matematika IPB. Memiliki kepribadian melankolis phlegmatis, sehingga agak sensitif akan suatu keadaan sekitar. Menyukai hal-hal yang berkaitan dengan sajak kecil dan puisi. Hobinya adalah membaca buku (terutama novel & komik), menonton film dengan berbagai genre dan mendengarkan musik yang nyaman didengar (terutama lebih menyukai musik-musik western & lagu indie). 

Nb: cerita ini dituliskan setahun yang lalu dalam proyek duet kami.