Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, January 22, 2014

mengapa hujan?

dear neptunus.

ini suratku kesekian selama aku menjabat sebagai agen neptunus. jabatan terhormat yang pernah kusandang sekaligus jabatan terbodoh bagi sebagian orang yang normal. oke, aku tidak normal.
nus, entah dari mana aku memulai. rasanya aku lelah. setelah kehilangan seorang agen yang paling kusayang. setelah radar kami tiba-tiba putus begitu saja karena keadaan.
beberapa minggu ini hujan tak henti-hentinya turun. dan hampir setiap malam aku pulang larut serta di guyur hujan. seolah hujan ingin menamparku bolak-balik, kemudian menyumpah-nyumpah "dasar gadis bodoh, cepat lupakan dia, cepat! terkutuk kau!" begitu serapahnya.
aku meratap deretan hujan yang mulai menutup pandangan di balik kacamata minusku. mengemis, "Tuan hujan, aku rindu sekali dengan dia. kumohon jangan membenciku. setidaknya biarkan rasa ini ada padaku.."
petir malah menyambar cakrawala pekat, suaranya nyaris menulikan gendang telingaku.
"Aku tidak akan membiarkan kau terus-terusan seperti ini, gadis bodoh!" entah sudah berapa kali ia menyebutku dengan sebutan gadis bodoh. ya, mungkin itu sebutan paling tepat untukku. gadis bodoh. gadis yang selalu merindukan seseorang yang juga dirindukan isterinya. gadis yang mencintai seseorang yang juga sangat dicintai isterinya.
"Aku ingin.." belum selesai aku melanjutkan kalimatku petir menyambar lagi. tuan hujan benar-benar murka. ia berkali-kali melemparkan petir itu padaku.
"Cepat lupakan dia!" ia benar-benar marah padaku.
aku ketakutan setengah mati. ini lebih seram dari pada bertemu dengan penyihir jahat di hutan belantara.
aku duduk tersungkur, pakaianku basah. aku merenung. sedetik kemudian aku tertawa. menggila sejadi-jadinya menertawakan ketololanku. detik berikutnya. aku mulai sesungukan..
nus, aku sulit sekali menghapusnya.. menghilangkan dia dari otak syarafku. memori otakku.
dan hujan pun terus-terusan mengiringi sesungukanku.

Sunday, January 5, 2014

[puisi] pelik


kalau saja hati bisa bicara
pada kata yang di anggap cinta.
mengenang senja yang selalu kita lalui bersama.

kalau saja rindu itu tidak terlalu pelik,
untuk ku palak sebuah peluk darimu.
dengan demikian aku tidak terlalu berkelit untuk rasa yang sulit.

kalau saja aku bisa menutup kedua mataku.
untuk tidak melihat senyummu yang candu! Rancu!
berdiri dengan egoku yang selangit tanpa harus menunggu.

cukup, rindu ini menjadi cambuk tersendiri bagiku. Menyiksaku untuk meminta temu dariku.
sayangnya, kita adalah sebuah kata yang tidak seharusnya hanya tertulis kemarin.

dimuat dalam web klubbuku.

kain satin usang




Kain satin yang usang.

Kain satin berwarna putih kecoklatan tergantung di dekat jendela.
Menghadap kaca di sebelah utara.
Menyisakan wajah dan telapak tangannya.
Sehari lima kali, dengan asa limpah pahala.

Kain satin putih kecoklatan termakan usia.
Polos dan sedikit lusuh.
Ada harapan di berikan setiap kali senyumnya muncul ke permukaan.
Di balik kacamata minusnya, tersimpan kerut-kerut yang mendandakan usianya mulai senja.

Kain satin yang di sebut mukena.
Simbol kemuliaan hatinya.
Menemaninya dalam simpuhan.
Saat ia melantunkan sajak Tuhan yang paling indah, bernama Qur’an.

Kain satin usang, menghiasi wajahnya yang sayu.
Membalut tubuh Ibu setelah berwudhu
Dibawanya untuk menghadap Mu.
Dengan doa yang terbalut khusyuk.

Kain satin putih kecoklatan, suatu hari aku pasti kuganti.

Saya, di lima tahun yang lalu, sekarang, dan di lima tahun yang akan datang





Ovie nurbaity paring di lima tahun yang lalu, adalah seorang remaja polos yang setiap pagi masih di bangunin ibunya untuk pergi ke sekolah, saya selalu terburu-buru mengikat tali sepatu sambil menggigit roti atau pisang goreng buatan ibu, sering kali lupa mengerjakan PR atau telat datang ke sekolah dan konsekuensinya saya di hukum berdiri di koridor kelas. Sepulang sekolah, ibu selalu menyambut saya dengan senyum tulusnya. Ia selalu bisa menenangkan saya saat wajah saya lelah dengan pelajaran sekolah. Ia menawarkan makan siang, istirahat dan tidak lupa mengingatkan saya shalat. Sore harinya saya mengaji dengan semangat 45, malam hari saya belajar, menderes Al-qur’an atau membaca buku, atau jika tidak ada tugas sekolah, ibu membiarkan saya menonton TV, kemudian ibu selalu menemani saya sebelum tidur, ia menanyakan apakah saya sudah memakai lotion anti nyamuk atau belum? Selalu seperti itu. Ya, saya ingat, kejadiannya persis seperti itu.
Saya bukan remaja yang bebas keluar malam, saya tidak pernah di izinkan bergaul dengan banyak laki-laki, tapi di sekolah saya punya banyak teman laki-laki yang cukup dekat dengan saya dengan predikat teman, waktu itu Ibu bilang saya belum cukup umur untuk mengenal laki-laki. Padahal saya sudah mengenakan seragam putih biru. Dan saya menurut.
Sekarang, saya jauh dari orang tua, sarapan dan makan siang menjadi satu paket, tidur lewat dari jam satu malam hanya untuk membuat action plan, laporan, meeting, ataupun mengoreksi soal, saya menjadi wanita yang gila bekerja, dalam arti, untuk bekerja saya tidak pernah hitung-hitungan waktu. Saya di beri kesempatan untuk menjadi pimpinan cabang sebuah tempat konsultasi dan spesialis matematika dengan brand SINAU. Saya harus bangun pagi untuk kegiatan promosi, siang mengajar dan melayani orang tua yang konsultasi, malam hari saya memanfaatkan waktu luang saya untuk mengajar privat, saya benar-benar ingin memanfaatkan waktu luang saya dengan sebaik-baiknya. Saya seperti tidak kenal waktu untuk bekerja, tubuh saya seperti mesin, otak saya tidak berhenti berpikir, mencari ide-ide baru yang akan saya wujudkan besok. Saya tidak peduli dengan pergaulan remaja seumuran saya yang hidupnya tidak jauh dari salon atau mall. Saya lebih suka berbagi ilmu, mengikuti acara gathering dengan kelompok diskusi buku, saya lebih suka membicarakan peluang bisnis dari pada bergosip, saya lebih suka membaca artikel motivasi dari pada mengecat kuku.
Saya bersyukur sekali menemukan orang-orang sederhana yang hebat luar biasa di kantor. Saya bertemu dengan bos yang memiliki visi sama seperti saya. Kami sama-sama menyukai baca buku, menonton debat dan selalu mencari suasana baru, ide-ide baru yang bergerumul di kepala saya. Beliau bilang, di otak seorang yang memiliki sifat INTUISING INTROVET (itu sifat saya) banyak sekali ide cemerlang. Ya, betul. Saya merasakannya. Isteri pak bos yang saya panggil dengan sebutan ummi, ia alumni matematika UI, saya juga suka berdiskusi dengan dia. Bercerita apapun bahkan semalam, selesai kami berpesta es krim di kantor saya dan ummi menghabiskan waktu malam minggu kami dengan menonton seri harry potter terakhir. Kami sama-sama movie holic ternyata. Hehehe.
Ada mas budi yang selalu ribut sama saya tiap kali saya dateng ke kantor tapi dia orang yang baik, mas edi yang pemalu tapi ketika ngobrol dengan saya dia tidak lagi malu, mas wahyu, mas narto yang sudah saya anggap sebagai kakak saya, mas wiwit yang paling kocak, kak sem yang selalu stay cool di hadapan cewek, maaf saya gak mempan di gombalin :p mba wiwit yang doyan belanja. Kantor itu rumah ke dua bagi saya, entah setelah lelah satu minggu bekerja kantor pusat yang sekaligus rumah pak bos menjadi tempat berteduh saya. Saya menyukai nuansa islami di dalam kantor, yang mana—ketika meeting berlangsung dan saat itu adzan berkumandang, semua meninggalkan pekerjaannya, demi bersujud dan mengucap syukur yang sebesar-besarnya pada Allah atas rejeki hari ini.
Orang-orang di sekitar yang membentuk karakter saya, mereka semua inspirasi saya, bahkan seorang investor yang saya kenal, ia lulusan arsitektur UI, dan jumlah uangnya tidak terhingga pun masih gila bekerja. Jadikan suatu pekerjaan adalah hobby, yang mana pekerjaan itu adalah kenikmatan yang kamu lakukan setiap hari.
Saya mencintai anak-anak, mereka lebih menginsirasi saya untuk lebih banyak berimajinasi,  bahkan saya merasa saya hidup di dua dunia, dunia pertama adalah dunia realita yang mana—saya harus selalu bekerja mati-matian, saya jadi wanita yang super keras, teratur dalam segala hal (sedang berusaha semua hal itu terprogram) kemudian saya menjadi benar-benar super pendiam, dan lembut ketika saya berada di dunia fiksi. Saya melankolis. Super melankolis. Saya bisa merangkai frasa yang membuat orang terharu, saya bahagia berada di dunia fiksi. memang kedengarannya aneh. Tapi saya merasa nyaman.
Oh ya, saya masih normal. Saya suka membelanjakan uang saya di mall dan sekalinya saya ke mall—saya bisa membelanjakan hampir separuh tabungan saya. Hehe.
Saya tidak terbiasa di manjakan dengan limpahan harta dari orang tua saya, saya lebih ingin hidup yang seadanya tapi mandiri, saya merasa di usia saya yang sekarang, saya mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Bahkan saya bisa membagi uang saya dengan orang tua saya sebagai bentuk terimakasih selama ini. Terutama ibu saya. Walaupun beliau tidak pernah meminta.
Saya mendapatkan bayaran jauh lebih tinggi dari yang saya perkirakan sebelumnya, dan cukup untuk biaya kuliah 8 smester nanti. (saya belum kuliah lho) Dan saya tidak pernah puas dengan gaji yang saya dapat, saya yakin saya bisa berkembang lebih dari ini. Tiga bulan kedepan saya sudah punya target menaikan gaji saya di angka yang gila. Dan saya yakin saya bisa. Hidup kita harus bertarget dan sistematis.
Lima tahun kedepan, ini kenapa saya membuat catatan seperti ini, karena bos saya meminta saya mempunyai dream. Ya, lima tahun kedepan saya harus sudah punya bisnis yang saya jalani sendiri. Tentunya dengan brand yang sama. Saya sudah harus memiliki rumah dan tabungan yang cukup untuk memberangkatkan kedua orangtua saya haji. Saya optimis untuk hal yang ini.
Beberapa hari yang lalu bos bilang “mbak ovie, kamu harus punya suami seorang pengusaha,” ucapnya saat kami sedang dalam perjalanan menuju cempaka mas, Jakarta timur. Saya dan patner kerja saya tertawa, “saya belum punya gambaran tentang suami saya pak,” balas saya sambil geleng-geleng kepala.
“Oh itu salah, bermimpilah punya suami yang kamu inginkan. Gambarkan itu dalam otakmu, insaAllah, Allah paringkan,” ujarnya.
Saya tersenyum, memiliki seorang suami itu terakhir, setelah saya siap, setelah kuliah saya selesai. Mungkin beliau lupa umur saya masih 19 tahun dua bulan yang lalu. Ah masa lupa, saya ingat meneraktir beliau sate kambing! (bahkan bos saya, saya yang teraktir -_-)
Saya terdiam, bagaimana sosok suami saya nanti, yang jelas syarat utamanya harus mengajak saya masuk surga. Itu poin utamanya. Tidak perlu ganteng, tidak perlu kaya-raya (karena saya bukan yang gila harta atau mata duitan) uang itu gak perlu di cari. Saya merasa uang yang lebih butuh saya ketimbang saya butuh uang. Saya ingin bangkit usaha sama-sama, beli rumah sama-sama, beli mobil (kalo perlu) sama-sama. Karena saya tidak ingin dianggap remeh dan saya juga tidak ingin meremehkan. Setidaknya, seperti itu gambaran impian saya lima tahun yang akan datang. Dan (lagi) saya menghabiskan waktu liburan saya di kantor. Saya sangat enjoy bekerja target.
 saya akan bekerja di rumah, mengurus anak, menulis dan tetap menjalankan bisnis saya. wong bos saya aja kantornya di kamar  :p

Saturday, January 4, 2014

dua cangkir expresso





Dua cangkir expresso
Harus bagaimana lagi? Ketika aku sudah tidak mampu menahan bendungan yang bersemayan di bawah pelupuk mataku—keluar dari dasar kalbu—mengeruyak rindu yang sedari tadi menggebu, mengingat kepergianmu.
Aku duduk di kursi paling pojok, menatap kaca bernuansa vitange yang di guyur hujan. Aku memejam sejenak, membiarkan kekosongan ini menggerogoti asa yang bertengkar dengan frasa imajinasi senyummu.
“Aku pasti kembali,” ucapmu sambil menatapku tanpa jeda dengan kesungguhan yang dibinarkan oleh bolamata cokelatmu.
“Di, kalo kita bisa bersama, buat apa sih kita buang-buang waktu dengan perpisahan seperti ini?” di wajahku, sudah tidak tergambar emosi apapun kecuali, sendu sempurna.
“Ini hanya sebentar, sayang. Percayalah,” jemari Dio berhasil mengisi tiap ruas jariku.
Aku menatap setiap jengkal wajahnya melalui sela-sela kepulan asap dua cangkir expresso, favorit kita.
“Gak ada satupun orang yang menginginkan perpisahan, jarak gak bisa ngasih kepastian hubungan kita,” aku mulai frustasi ketika tidak menemukan apapun di matanya.
“Adela, tolong mengerti aku. Ini cuma empat tahun, setelah menyelesaikan beasiswa itu, aku pasti kembali.” Nadanya terdengar penuh kesabaran. Dio lebih hati-hati lagi ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Tapi waktu bisa merubah rasa, setelah nantinya kamu kembali, aku gak yakin semua akan sama seperti sekarang,” aku berkelit, menyadari kehampaan mulai menyerbuku. Bolamataku panas, dihantam kenyataan.
“Selama kita saling percaya, jarak bukan apa-apa, kemanapun aku pergi, nantinya tetep akan kembali ke kamu.” Katanya, lalu ia menyesap kopinya.
Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali agar air mataku tidak tumpah.
“Adela sayang, tolong jangan buat aku semakin berat untuk ninggalin kamu,” lirihnya. Senyumnya mengkhawatirkanku.
Aku terpaku, membisu, dan tidak tau aoa yang harus kuteriakkan. Kecuali, jangan pergi.
Dio melirik jam tangannya. Matahari mulai tergelincir menarik rona senja yang bergelayut di sepanjang cakrawala. “Aku boarding satu jam lagi,” Dio bangkit dari kursinya menggeser tubuhnya ke arahku, kemudian mencium pipiku.
Kumohon.. jangan pergi..
“Jaga dirimu baik-baik,” Dio meletakan kedua tangannya di antara bahuku, menegarkanku.
Kemudian yang aku lihat, punggungmu mulai menjauhiku, meninggalkanku pada kekosongan.
Ketika kamu pergi, yang pertama kali tidak rela adalah air mata.
***
Sudah 92.275.200 detik, aku menunggumu. Ingatan itu seperti puzzle—semakin lama—semakin dengan baik, aku mengingatmu. Aku yang selalu memunguti sisa-sisa rindu yang setiap pagi mulai berserakan.
Berulang kali, aku memploklamirkan lelahku, dengan janji yang di iklarkan air mata, untuk tidak menangisimu. Aku jengah dengan perasaan rindu yang itu-itu saja, tanpa tau bagaimana aku harus membaginya.
Aku kembali menyesap cangkir expressoku yang mulai dingin. Seperti biasa, aku duduk di sudut café, memesan dua cangkir expresso dan berharap, kalau Dio akan datang dan menyesap cangkirnya.
Angin malam membuat mata sembabku sayup-sayup. Entah, sudah berapa lama aku di sini, tapi yang jelas, beberapa cangkir yang menempel pada rak-rak tua, sudah menyuruhku untuk pergi dari tempat ini.
Banyak sekali kenangan yang tidak mungkin kulupakan begitu saja, tentang kita, tentang rasa, asa dan mimpi-mimpi kita.
“Dio, cepatlah kembali, aku tidak tau bagaimana caranya mengatasi rindu ini sendiri,” kataku dalam hati.
Aku mengeluarkan puluhan struk pembayaran kopi sebelumnya, meletakannya di atas meja, kemudian menuliskan sesuatu..
“Nona, café ini segera tutup,” ujar seorang pelayan tanpa kusadari sudah berdiri di sampingku.
Aku mengangguk, kemudian berdiri dan membayar bil.
Sekali lagi aku meninggalkan segelas cangkir yang masih utuh di sudut café itu.
Dio tidak akan pernah datang. Aku bergegas pergi dari tempat itu. Lampu jalan menutupi sebagian wajah senduku. Aku melangkah gontai sepanjang trotoar. Butiran air mata keluar, merangkum kata cinta, mewakili rasa.
***

22.10 aku masih menunggumu

Adela fraya.






di muat dalam proyek antologi menunggu.