Mencintaimu,
bukan sesuatu yang kuharapkan terjadi. Tapi kenyataannya inilah kita, terkurung
dalam perasaan luka.
Kamu
seperti manusia yang datang dari dimensi waktu berbeda, yang tiba-tiba—tanpa
kuminta—kamu seperti menawarkan sebentuk cinta baru.
Rasanya
sudah lama sekali, tidak merasakan perasaan ini, setelah berkali-kali berkelit
dengan egoku sendiri. Ada degup jantung berbeda setiap kali suaramu mengalir
lembut di telingaku—yang diam-diam berhasil mencuri perhatianku.
Aku
mengenalmu sebagai lelaki bermata teduh dengan rambut depan yang menutupi
kening, senyum yang menular, di mana aku menikmati setiap gemuruh tawamu.
Kita
kayak sepatu dan kaus kaki, kita bisa hidup sendiri-sendiri dengan keegoisan
kita masing-masing. Kita dua benda yang berbeda, tapi karena tujuan kita
sama—sama-sama ingin melindungi kaki, maka kita saling melengkapi satu sama
lain, agar bisa selalu berjalan beriringan.
Hal
bodoh seperti apa yang kita lakukan, bercengkrama sepanjang malam, ngobrol dari
mulai dalam-dalamnya bumi sampai lintas galaxi. Seolah, kita tidak pernah ada
habisnya membahas sesuatu, sampai mata kita terkantuk-kantuk dan telepon
dibiarkan begitu saja. Dan, esok paginya, kita terbangun dengan mata seperti
panda betina.
Tuan
yang bermata teduh, kita sudah melewati hari demi hari bersama, menyamakan
pikiran, imajinasi, serta mimpi-mimpi kita. Dengan radar kita yang lebih hebat
dari sinyal telpon, "kita tetap berkonunikasi, walau kita tidak telpon
sama sekali," katamu di antara gelap yang menjadi atmosfer perbincangan kita.
Kamu yang selalu berhasil membuatku tersenyum setiap pagi, mengingat
kesederhanaanmu.
Aku
menyukai suaramu ketika melantunkan ayat-ayat suci itu, suara yang membentang,
menggetarkan seluruh syarafku untuk selalu mengingat-Nya.
Sayang,
aku tidak pernah meminta apapun darimu, dengan kamu yang tidak meninggalkan
lima waktumu saja sudah membuatku bahagia.
Kamu
yang ada, dan bersedia menjadi pendengar pertama dalam setiap keluh-kesahku.
Mendengar semua ocehanku yang agak bawel. Oh, oke, aku bawel. Denganmu, aku
baru merasa nyaman jadi diri aku sendiri. Aku lebih percaya diri untuk
mengikuti kata hati. Cuma kamu yang mengerti bahasa kode kita, kamu yang
memahami dan tau di mana menempatkan diri yang sesuai suasana hati.
Rasanya,
aku ingin sesekali duduk manis di hadapanmu, menemanimu yang sering bekerja
hingga larut malam, menyediakan segelas susu hangat, sebagai teman setiamu.
Kamu
dengan pekerjaanmu, aku dengan draft novelku. Dan kita saling bertukar pikiran dengan pekerjaan menyenangkan itu. Tapi, aku tau itu tidak akan pernah terjadi.
Sebab waktu kita tidak lama lagi. Setiap kali, aku mengingat nama kekasihmu—yang
baik hatinya—aku kayak baru aja di gaplok bolak-balik.
Sebagai
perempuan normal yang berakal, aku sadar, aku salah dan sama sekali tidak ada
niat untuk melukai siapapun di antara kalian. Mungkin, di matamu aku hanya
sosok gadis kecil—yang sangat bodoh—yang secara tidak sengaja masuk ke
kehidupanmu. Tapi apa daya hati yang tidak bisa membohongi kalau untuk detik
ini, aku ikhlas menyayangimu tanpa peduli siapa kamu. Ini kesalahan terindah
yang pernah kulakukan.
Anggap
saja, aku titipan Tuhan sementara yang ingin membuatmu bahagia. Bagiku, satu
detik bersamamu terasa begitu berharga. Aku tidak akan membuang-buang waktu
lagi untuk lebih lama bersikap egois dengan memendam rindu sendirian.
Kalau
saja cinta ini bisa disederhanakan hanya ada aku, kamu dan Tuhan yang
menyaksikan bagaimana perasaan kita. Terlebih perasaanku, yang selalu ingin
mencintaimu hari ini, esok dan seterusnya tanpa tanggal kadaluarsa.
Tapi
ini sejatinya sebuah petualangan, yang mana kita sering kali dikalahkan oleh
takdir. Padahal kisah ini berada di titik nadir. Kenapa yang lain bisa dengan
mudahnya mempermainkan perasaan mereka, sementara kita untuk bisa lebih lama
bersama saja mustahil. Sebab cinta yang disertai ketulusan saja, sering kali
salah. Dan setelah ini, kita akan menjadi orang lain. Menjalani kehidupan
masing-masing, dengan pilihan terbaik kita. Dan aku, akan disibukan dengan
perbaikan-perbaikan hati.
Hidup
kita adalah sebuah perjalanan, banyak yang datang dan pergi dan memberi banyak
kenangan hingga hidup tidak lagi terlihat monokrom, dan kamu adalah
me-ji-ku-hi-bi-ni-u untuk hidupku. Aku pasti akan merindukan semua hal tentang
kita. Sekali lagi, inilah kita yang diharuskan tegar untuk menghadapi tembok
bernama realita.
Jika
suatu hari nanti, ketika ada yang menanyakan apakah aku mengenalimu, aku juga
akan menjawab ya, sambil tersenyum dan mengingat semua kenangan kita. Jangan
khawatir sayang, jagoan harus tetap terlihat kuat. Jagoan harus merelakan
apapun miliknya. Seperti aku yang mulai belajar merelakanmu. Percayalah aku
akan baik-baik saja.
Terimakasih..
terimakasih untuk segala apapun. Aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu.
Terimakasih sayang, kamu telah datang ke dalam hidupku dan memberi warna baru.
Aku sangat menyanyangimu, sekalipun aku tau. Aku salah.
Nona
Sagitarius.
Kasih tak sampai.. aku suka ceritanya, dan gaya ceritanya. Hehehe tapi agak keganggu dengan kata "kayak" & "digaplok bolak balik" :D
ReplyDeleteBertolak belakang sama kata2 lain yg lembut. Kayaknya akan lebih enak kalo pake "seperti" & "ditampar" IMO ya mba.. :)
makasih yaa :) kalo 'digaplok' emang sengaja kok. Biar lebih kerasa sakitnya. :'D
ReplyDeleteKayak gini nih yang sakit, kalo udah berpapasan sama tembok realita. nice story mbak :)
ReplyDeletehehehe makasih revi okta. A sad story :')
ReplyDeleteBuat Nona Sagita [udah disingkat aja x)) ], Moga segera move on ya :))
ReplyDeleteAda satu typo, yang kutemukan, btw. Heheh.
nyingkat nama orang, bayar. :p
Deletehihi iya, aku gak ngeh itu XD makasi kak juun, doakan segera move on. :')
Takdir adalah pilihan kita, Nona :)
ReplyDeleteBtw, itu kata 'tau' diganti 'tahu' aja, Vie. Biar semuanya jadi EYD hihihi
kalau saja semudah itu, tapi enggak kak evi. Aku dikalahkan oleh takdir :')
Deletewew iya, harusnya pake tahu :3 tarahu.. Tarahu #eh hihi