Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, July 14, 2013

sayup angin dan kepak merpati

Aggrrhhh. Baru kali ini mau ngereview buku gak nemu covernya.
-__-
Oke review dimulai walaupun asal asalan. Bodo deh, yang penting gak punya utang review.
Buku berjudul sayup angin kepak merpati. Udah kagak ada di goodreads (di getok sama mas ijul) gue gak tau harga pasaranya berapa, buku ini gue beli tahun lalu di jakarta book fair pas ketemu sama haqi achmad, dan harganya 10 ribu. Tadinya mau ngasih buat kak juli. Tapi di karenakan gue yang keburu pengen baca jadi gue santap duluan. Gara-gara endorsenya yang menggiurkan.
Well, gue gak setega itu ngasih buku abis gue baca buat kak juli. Buku itu gue baca di halaman pertama udah membosankan, oke gak masalah ini biasa adaptasi sama gaya penulis yang baru gue kenal. Sampe 25 halaman gue sendiri ngerasa bosen. Dan meninggalkan buku ini selama setahun tertumpuk di lemari begitu saja kebalap sama november rain (ini gratis), dunia trisa (ini dapet dari kak eva), sepatu dahlan (di beliin fahmy) banyak lagi deh buku yang ngelewatin atu buku ini.
Penulisnya namanya fani kristanti. Aku awam sama namanya. Kedengeran kulang populer di bandingkan jane austen (iyalah,) *di lempar galon sama kak harun yang abis siaran ngomongin bukunya jane austen. Dudududu~
Ide cerita cukup bagus, ada seorang dokter jiwa yang lagi pkl gitu, namanya shelma, terus dia nanganin pasien namanya ana, shelma suka sama aryan tapi udah punya pacar namanya feden, terus juga.. Akhirnya ana sembuh, shelma nikah sama aryan dan feden sama ana. Alesan feden mengakhiri hubungannya itu sepele banget "dulu sebelum kita ketemu aku udah sering ngeliat kamu dalam mimpi.." emang iya ya? Bisa gitu ketemu orang di dalem mimpi yang jelas visualisasinya aja kita belom tau.
Kalo gue malah ngerinya di mimpi ketemu malaikat ijroil. -..-
Well, gaya ceritanya ngebosenin banget, gak real. Bahasa yang digunakannya juga berbentuk bahasa puitis. Iya masa sepanjang hidup ngomongnya pake bahasa macem drama korea. Oh.. Jihoo.. Gitu yak?
Sekali-kali pake bahasa kenek metromini lagi nembak tukang jamu di tanah abang dong wkwkwkwk. Apa lagi ya? Emm, gue suka kelibet-libet sama percakapannya. Sehingga sering kali menimbulkan pertanyaan "hah? Ini siapa yang ngomong?" karena di tiap dialognya gak ada keterangan sama sekali.
Dan.. Liburan bikin gue beranjak lagi ke buku ini, karena udah di beli jadi wajib baca, yaudah deh. Bingung gue juga mau ngomong apa lagi. Wong cover bukunya aja kagak ketemu -___-
 dannn yang terakhir, besok udah masuk kerja, selamat menanti liburan tahun depan, tanggal merah, libur lebaran, apakek gitu yang libur-libur, kayaknya enak :3

Saturday, July 13, 2013

sebuah pilihan

Tuan yang berkacamata, hidup kita gak pernah mudah. Kadang kita dikasih pilihan yang gak sesuai dengan keinginan. Tapi kalo gak memilih, kita akan terus merasa terpuruk dan gagal. Tapi aku percaya, setiap manusia sudah ditempatkan sesuai porsinya.  Pada akhirnya, aku akan sadar. Yang mana yang benar-benar sebuah pilihan, Dan yang mana pilihan yang tidak tepat. Tinggal bagaimana kita menghadapi, berjuang demi hidup, demi sebuah cinta yang benar-benar kucari.

Tuesday, July 9, 2013

mencintai dalam diam



Ada getar berbeda saat mata kita bertemu, saling menatap, mengumpati kagum, memuji dalam diam.
“Elvana.” Dan jantung ini bergejolak tiap kali kamu memanggil namaku.
“Ya?” sahutku pelan, kutatap pijar hangat itu, berkali-kali aku mencoba mengeja makna di matamu.
“Kamu masih ingat aku, kan?” suara bariton itu begitu akrab di telingaku.
Aku mendesah, menikmati setiap jengkal napas ini, membuat cemburu andromeda yang menjadi saksi keakraban kita.
“Mana bisa aku lupa sama kamu, jabrikk! Kamu cowok paling nyebelin sedunia.” Aku tertawa kecil melihat potongan rambutnya yang masih sama, seperti yang terakhir kali kulihat. Jabrik.
Aku bergeser ke sebelah kiri ketika sadar percakapan kami menghalangi sejumlah orang yang berlalu lalang. Aku menenteng beberapa kantung belanjaanku yang berisi roti dan buah pesanan, Alexi.
“Enam tahun kita gak ketemu, kamu gak kangen sama aku?” aku mendengar helaan napasnya yang sedikit berat.
Barangkali, ini hanya sebuah rasa yang naif, yang tidak bisa ku realisasikan dengan kata. Atau, aku yang salah menilai sosok laki-laki sempurna di hadapanku. Emelio. Tapi rasa ini begitu menjulang, menagih rindu, berkelebat hebat, dan selalu bermain petak-umpat dengan hatimu.
“Emelio, ku kira kamu di mana, ternyata di sini,” suara manja dari perempuan dengan potongan dress selutut yang bergelayut manja di lengan Emelio itu menarik sadarku.
“Sayang ini siapa?” tanyanya saai ia mulai sadar dengan sosokku yang terpaku.
Aku menghitung bilangan sampai enam dalam hati, kalau tidak salah, Emelio sempat menarik napas. Pijar matanya berubah cemas dan sedikit sendu, sebelum ia berkata, “Elvana, ini Kareen dan.. Kareen, ini Elvana, teman… sekolahku dulu.” Ucapnya setengah gugup.
Kami berjabat tangan, saling menyebutkan nama. Aku mencoba menarik seuntai senyum dari sudut bibirku.
“Sayang, kita harus mengambil pesanan cincin,” nada Kareen seperti mengingatkan.
Ini kedua kalinya aku menatapmu dengan frustasi, setelah yang pertama kamu meninggalkanku dengan kecupan di dahi, enam tahun lalu. Dan sekarang, saat kita di hadap-hadapkan kembali, aku kembali dibuatmu pilu.
Aku mencoba mencari sesuatu di matanya, tapi tidak ada yang kutemukan selain semburat sendu.
Bagaimana jika detik ini adalah diktik terakhir untuk kita? Dan bagaimana jika air mata yang tidak rela untuk kehilanganmu lagi?
“Ayolah Emelio, kita gak punya banyak waktu,” rengek Kareen.
Dan rasanya, waktu yang justru mencekik leherku karena aku terus-terusan mencintaimu dalam diam, dengan rasa yang kupendam sendirian.
“Elvana,” Aku mendengar desahanmu, “datang ya, ke pertunanganku?” nadanya penuh harap. Ia tersenyum ragu saat melihat perubahan warna di sekitar wajahku.
Aku hanya sanggup melontarkan senyumku menutupi sebagian sendu, sebelum setelah ini aku yang akan dihabisi rindu itu sendiri.
“Senang bertemu denganmu,” ia menambahkan sebelum mereka melambaikan tangan lalu menghilang di ujung blok.
“Aku kangen sama kamu!” ucapku, mencoba menjawab pertanyaan yang tadi sempat terabaikan.
Sekarang tinggal bagaimana aku yang lagi-lagi menelan sakit ini sendirian?

nb: jangan tanyain kapan dibuat kelanjutannya :D