Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, September 23, 2015

Menemukanmu..




Kita tidak akan pernah tau kapan, dan di mana akan bertemu...
Syaira duduk di kursi paling pojok, di gerbong pertama sebuah lokomotif. Ini perjalanan panjangnya sendirian.  Ia masih memikirkan seseorang yang tiba-tiba saja menghilang dari hidupnya. Seseorang yang pernah hadir menawarkan sebentuk senyum dan kini tidak ada kabar. Sudah berbulan-bulan lamanya. Entah alasannya apa. Ia tidak pernah mengerti.
Perempuan berambut ikal sebahu itu memutuskan untuk mengambil undangan sekolah kepenulisan yang diselenggarakan, di sebuah kota kenangan. Dengan berbagai alasan, salah satu alasannya adalah melupakan seseorang. Ia ingin berlari, pergi yang jauh. Agar ia bisa lupa. Sejenak. Ia ingin lebih tenang dalam satu atau dua hari. Ia berharap, sepulang dari sana ia akan lebih baik.
Sebuah peluit dari kepala lokomotif berbunyi. Lalu gerbong-gerbong tua di belakangnya mulai bergerak. Syaira menarik napas berkali-kali memastikan dirinya lebih baik dalam perjalanan ini. Setidaknya dalam sepuluh jam kedepan.
Kursi di sebelahnya kosong. Sepertinya seseorang membatalkan perjalanannya. Di tengah-tengah orang yang tidak dikenalnya. Ia memutuskan untuk membaca Imperium Sebuah novel karya robert harrissebagai teman perjalanan. Satu-dua jam pertama ia masih asyik menikmati halaman demi halaman, juga aroma khas kertas yang membuatnya berkali-kali terpesona pada wujud buku. Jam ketiga ia mulai merasa bosan. Gadis dengan kacamata berframe hitam itu melipat halaman buku, dan mengembalikan pada ransel merah muda tepat di sampingnya. Lalu menyeruput segelas teh yang di belinya dari seorang petugas yang menjual makanan dan minuman secara resmi.
Telponnya berdering.
“Hallo, syaira?” suara bariton itu terdengar di sambungan telepon. Dalam beberapa hari ini menghubunginya.
“Arial,” ia mendesis. Terdengar bunyi khas klakson kereta yang berdengung.
Bagaimana perjalananmu?”
“Tidak terlalu buruk—sejak kamu menelpon,” Syaira mulai tersenyum, ia tidak terlalu menyukai perjalanan sendirian. Atau lebih tepatnya ia tidak pernah akrab dengan kesendirian.
“Sebentar lagi kita bertemu, aku tidak sabar bertemu denganmu,” suara di ujung telpon terdengar begitu lembut. Begitu menenangkan.
Beberapa hari yang lalu, Arial menghubunginya. Dan mengatakan ia akan datang pada acara kepenulisan itu. Arial Hadinanta. Syaira hanya mengenalnya lewat barisan huruf yang tertera di kontak chat facebook. Juga di beberapa judul buku yang belakangan ini dilabeli bestseller. Sementara syaira hanya penulis pemula juga diam-diam mengagumi beberapa tulisan Arial. Tapi ia tidak pernah mengatakannya. Ia sudah lama mengenal nama Arial, sudah lama juga mengobrol seputar dunia tulis menulis. Namun belum pernah bertemu dengannya. Dan Arial janji untuk datang.
“Aku juga sedang dalam perjalanan. Nanti keretaku tiba pukul 19.22 di lempuyangan.” Lanjut Arial.
Ia mencari potongan tiketnya yang sudah di periksa dan dibolongkan oleh petugas kereta. Mencari jam tiba. 19.22. Lempuyangan, Yogjakarta. Di sana terpampang jelas jam keberangkatan dan tiba. Ia lekas meraih hanphonenya lagi menyocokan jam dengan apa yang barusan didengarnya.
“Syaira?”
“ial? Kamu naik kereta apa?” ia memanggil nama pendeknya.
“Jakatingkir,” balas Arial. “Kenapa Sya?”
Ia melihat single tripnya lagi. Jakatingkir.
“Gerbong?” ia penasaran.
“Gerbong—“ Arial memotong pembicaraan “sya, kita satu kereta? Aku di gerbong dua, kamu di mana?” Arial berbicara dengan cepat. Suaranya terdengar amat bahagia.
“Satu,” ucapku.
“Aku akan menemuimu,” ucap Arial pasti.
Syaria berdiri dari kursinya, berjalan melawan arus kereta. Sepatunya terasa berdentum dengan ubin kereta. Perasaannya mulai bergejolak, matanya mencari-cari sesuatu. Secara perlahan bibirnya membentuk senyum, senyum kecil yang membuat sekitarnya terlihat monokrom. Hingga langkahnya menjadi pelan dan terhenti si satu titik. Di hadapan lelaki dengan balutan jeans krem dan sweater hijau lumut. Dengan frame kacamata besar yang bertengger di hidungnya yang bangir.
Arial hadinanta, ia membuka pintu yang menuju ke gerbong lain dan sekarang ia berdiri persis di hadapan wanita yang beberapa detik yang lalu hanya menjadi simpang siur benaknya. Mereka bertemu di antara sambungan gerbong, diantara bebunyian rel yang beradu pada roda besi kreta. Dan semuanya seolah berjalan lambat.
“Hai, Nona penulis,” ucapnya.
Pipi gadis itu merona. Merah padam.
 Arial mengambil tangan Syaira dengan ponsel yang masih menyala. Arial memutuskan sambungan telepon itu.
“Ini udah gak perlu lagi,” ucap Arial lembut.
“Kamu naik dari cirebon jam berapa?” perempuan dengan dress cokelat muda itu sedang memcoba membuka pembicaraan. Memulai kata pertama yang akan menjadi obrolan mereka. Ini pertama kalinya ia melihat wajah innocent Arial. Ia bisa melihat warna hijau di sekitar dagu Arial. Sepertinya Arial baru saja bercukur pagi tadi.
“Jam satu,”
“Ial—“ Syaira menemukan suaranya yang tercekat, “bangku di sebelahku kosong, kamu mau pindah?” ia memberi Arial sebuah tawaran..
Bersambung...

Sunday, September 13, 2015

Kunang-Kenang.




Jika kesedirian ini adalah seorang teman, maka biarkan aku tenang dan mengenangnya..

Aku baru saja memenyelesaikan bab 7 yang kutulis, masih bergelut dengan pra-antiklimaks dalam percakapan dua tokoh, aku juga masih kepusingan dengan rekonsiliasi faktur yang diberikan oleh dosen pajak.
Tiba-tiba saja, kamu menghubungiku. Mengajakku makan malam. Tentunya di traktir. Entah dalam perayaan apa. Aku mengiyakan.
Aku menemuimu dalam balutan jeans gelap juga polo T-shirt yang senada dengan jeansnya. kamu nampak begitu rupawan dengan rambut di gel hati-hati. Kamu menyambutku dengan senyum sumringah khas. Senyum yang sangat kukenal. Senyum yang begitu piawai menenangkan, menawar sekantung kesedihan.
kamu seorang karib.
Aku terdiam di jok belakang, menyemai beberapa paradigma yang berputar-putar di kepala bertanya-tanya tentangmu. Ini bukan kali pertama bertemu denganmu. Bahkan di pertemuan perdana kita dalam perjalanan ke Bandung, aku sudah menemukan sosok teman di dalam dirimu. Menemukan sebuah kenyamanan untuk berbagi.
Aku menyukai aroma parfum-mu yang tidak kuketahui jenis dan mereknya.
“Mau makan apa kita?” Kamu membuka awal pembicaraan.
Aku tersenyum di belakang punggungmu, seraya menjawab, “Bebas,”
Aku tidak punya rekomendasi pilihan makanan yang tepat di daerah sini. “Maunya dimana?”
“Kan elo yang punya wilayah,” kataku.
Beberapa kafe hampir tutup karena kehabisan menu-menu andalannya. Kami berbalik badan belum berhasil memasang wajah dalam kecewa.
“Gimana kalo sate kambing?”
“Sate kambing?” ulangnya.
“Iya. Lo nggak darah tinggi kan?”
Kita sepakat.
Aku kini duduk di hadapanmu. Dibatasi meja dan kursi-kursi yang mulai mencemburuiku karena menjadi teman dudukmu. Kamu memesan sepuluh tusuk sate kambing yang akan kita santap bersama, dengan dua piring nasi dan es teh manis kesukaanmu. Iya, kan?
Aku memberikan setengah porsi nasiku padamu, dan kamu menerimanya dengan semangat. Satu poin plus untuk seseorang yang bisa dikatakan karib, yaitu ketika bisa berbagi bahkan hanya dengan setengah piring nasi. Bahagia itu sederhana.
Kita bercerita mulai dari seluk beluk bumi sampai lintas galaxi. Sesekali kamu tertawa memamerkan sederet gigimu yang berantakan dan beberapa sendok, garpu dan tusuk sate siap menyerangku karna kamu begitu manis.
Sementara aku, terlalu sibuk duduk dihadapanmu, sibuk mengolah kata, memilih kalimat-kalimat yang akan kuucapkan agar terdengar membuatmu nyaman. Itu saja, tidak lebih.
Aku memberanikan diri untuk menatapmu, “Menurut lo, salah gak sih kalo kita jengah dengan sesuatu?” aku berusaha membenarkan kalimatku yang berantakan. “Emmgue menghindari sesuatuyang mungkin menurut gue harus gue tinggalin,”
Sebelum ia berhasil menjawab, aku menambahkan lagi. “Gue suka tiba-tiba ngilang, bukan semata-mata gue menghindari semuanya, tapi menenangkan diri. Dan kadang gue sering kali ngerasa sendirian,”
Kamu tersenyum. Dan aku tidak berhasil membaca makna di balik senyummu.
“Gue juga sering gitu. Tapi dalam sendiri itu, kita ngerasa damai. Dan disaat itu gue punya temen,” kalimatnya menggantung.
Alisku bertaut, ia selalu berhasil memancing keingintahuanku. Aku menunggu kalimat selanjutnya.
“Temen berpikir adalah sepi, kita bisa menciptakan seseuatu kalau kita lagi sendiri.” Kali ini, aku bisa dengan baik mencerna kata-katanya.
Aku tersenyum. Dan mengangguk satu-dua kali. Lalu menghabiskan nasi yang diaduk sambal kecap dipiringku. Kita kekenyangan.
Aku selalu memaknai hal-hal kecil yang sederhana, yang bisa kulakukan untuk sebuah kebahagiaan baru, sebuah senyum yang menular. Juga membentuk sebuah hati yang ikhlas.
Pertemanan yang dimulai dengan rasa nyaman, lalu kemengertian dan pengertian untuk menjaga satu-sama lain.
Kita keasyikan ngobrol sampai warung satenya tutup. Setelah itu, sebelum kamu mengakhiri pertemuan ini dengan sift malammu, kamu mengajakku jalan-jalan. Sebuah hal yang amat kusukai apalagi jika dilakukan dengan teman yang membuatku nyaman.

"Gue suka jalan-jalan, terus berhenti di atas jembatan liat banyak lampu jalanan, itu keren," kataku saat kita sedang berkeliling jalanan, sesuai permintaanku.
"Iya, lampunya rame ya,"
Aku mengangguk.
"Kayak kunang-kunang," lanjutmu.
"Gue pernah liat kunang kunang, waktu gue di jawa, udah lama banget," aku mengenang sesuatu.
"Gue juga, dulu kunang-kunang gue simpen dalem botol. kalo tubuhnya di pencet itu keras,"
Aku keheranan. Lalu tertawa, kamu memencet kunang-kunang.
"Iya kunang-kunang bagus ya, coba kalo ada."
"Dia hidup, dalam gelap. Dan, selalu bercahaya sendiri. Kadang, kita gak perlu jadi Bintang, cukup jadi hal yang sederhana yang bikin kita menikmati bahagia kita. seperti kunang yang tenang,"
Aku tersenyum, kamu bahkan tidak melihat senyumku.
Kunang-kunang yang tenang dan terkenang.


Banyak kebaikanmu yang belum bisa kubalas dengan sempurna. Banyak pula pertanyaan yang selalu ada dalam benakku mengapa kamu begitu baik, dan lebih banyak lagi maaf untuk kesalahan yang selalu berulang-ulang.
Oh iya, terimakasih ya untuk sate kambingnya, dan untuk menjadi teman penyembuh sepi malam ini.

Wednesday, September 2, 2015

sepenggal kenangan di Kampus Fiksi 13





Ini perjalanan panjang pertama saya sendirian. Single trip, sebuah lokomotif dan beberapa gerbong dibelakangnya mengantarkan saya ke sebuah kota kenangan. Yogjakarta.
Sebelumnya, saya mengirim salah satu cerpen saya yang berjudul Dua Cangkir Expresso dan sebuah cerpen itu mengantarkan saya pada undangan acara kampus fiksi yaitu; tempat di mana para penulis belajar. Jadi Maciwa dengan fakultas Fiksi jurusan Menulis. Kenapa saya bilang maciwa, karena menurut alat pendeteksi umur milik doraemon, ya.. Begitulah. Hahaha. Tapi saya malah dibilang anak SMA sama salah satu maciwa yang duduk di sebelah saya -__-. Kalau kalian penulis, pasti tau banget dong, satu-satunya kampusnya bagi para penulis keren. Jadi mungkin saya tidak perlu menjelaskan lagi silakan kalian coba kepoin twitternya @kampusfiksi
Setibanya di stasiun Lempuyangan saya dijemput oleh perwakilan dari Diva press, saya tiba sekitar pukul 8 malam, dan langsung disambit  maksudnya disambut hangat oleh para panitia, mimin kampus fiksi, Mahasiswanya dari berbagai macam daerah yang juga mengikuti kampus fiksi. Saya tidak sama sekali merasa canggung. Kampus fiksi menemukan saya pada beberapa teman seperti Iken Vidya, juga Heruka yang sudah sekian tahun berteman di dunia maya kini bisa bertatap muka dan bercengkrama.
Esoknya, kampus Fiksi dibuka oleh antrean panjang dari para pesertatermasuk saya yang menunggu giliran mandi (mungkin juga jadi penyanyi kamar mandi) padahal masih jam 5 pagi. Antusias banget. Kelas pertama kami di isi oleh sambutan hangat dari pak Edi selaku rektor kampus fiksi.
Materi kedua kami sudah ditugaskan membuat outline cerpen, yang langsung dipraktikan dalam materi berikutnya selama tiga jam. Antusiasme para Maciwa berlomba-lomba membuat cerpen dalam waktu singkat memunculkan macam-macam expressi. Mulai dari ngantuk, tegang, juga wajah-wajah absurd mereka kalo lagi mikir. Saya sendiri bolak-balik kamar mandi, bolak balik minum atau memutar-mutar ujung pulpen demi mendapatkan rangkaian kata yang lebih tepat. Waktu habis dan cerpen-cerpen alakadarnya itu dikumpulkan.
Malamnya, cerpen kami dibahas oleh mentor-mentor yang sudah ditentukan. Di situ saya baru merasakan cerpen saya di coret-coret dengan tinta merah mirip mahasiswa tingkat akhir yang  bertemu dengan dosen pembimbing. Segalamacam typo tulisan terdeteksi dengan mudahnya oleh mentor, kesalahan penulisan dan yang peling penting sebuah penulisan cerpen atau cerita apapun itu harus mempunyai pesan moral yang membuat pembaca belajar akan sesuatu. Kalo bahasa anak SD-nya dalam kerangka karangan itu amanat.

Di hari kedua lebih keren lagi, kami disuguhkan materi keredaksian yaitu bagaimana proses penyeleksian naskah dari mulai naskah masuk sampai cetak. Saya baru tahu, redaksi adalah otak dari sebuah penerbit yang memilah naskah yang akan masuk dalam antrean terbit, editing, sampai revisi-revisi pada penulis.
Materi penyambungnya adalah marketing dari sebuah buku yang terbit, materi kali ini disampaikan oleh marketing buku namanya Mas Aconk, beliau menceritakan bagaimana buku yang kita tulis bisa sampai ada di rak buku Gramedia. Tempat dan posisi buku yang ditempati itu ada targetnya tersendiri, juga bagaimana buku bisa masuk dalam kateggori bestseller atau rekomended. Dan yang paling sedih ketika buku tidak mencapai target penjualan akan di retur setengah dengan buku baru. Saya tidak membayangkan bagaimana naskah yang sudah kita tulis susah payah, berhari-hari mikirin ide naskah sampe kena insomnia ujung-ujungnya ngabisin sekardus indomie di dapur *eh. Ngadepin editor, revisi lagi-revisi lagi, sampe kita jumpalitan kesenengan kalo naskah itu layak terbit jadi buku, setelah cetak dan dikirim ke toko buku, naskah itu harus diretur setengah karena tidak mencapai target penjualan. Ini yang saya pikirkan selama Mas Aconk menyampaikan materi. Sebab marketing adalah ujung tombak dari segala macam jenis perindustrian termasuk soal penjualan buku yang kita tulis nantinya. Untungnya, dari Mas Acong sendiri memberi konsekuensi. Bahwa menulis yang dicari pembaca adalah menulis yang sesuai dengan keinginan pembaca, menulis yang kita bisa, menulis yang sesuai dengan idealisme pembaca yang tentunya membuat para pembaca ingin membeli buku kita.
Sedangkan menurut Pak Edi di pesan terakhirnya dalam acara kampus Fiksi angkatan 13 ini, menulis yang berkualitas. Maka, penulis wajib sepenuhnya memahami bahwa ia haruslah seseorang yang berjiwa pembelajar, nan cerdas. Bukan pengkhayal kosong belaka.
Juga menurut Mas Saifullanalumni Kampis Fiksi angkatan pertama, seseorang yang lahir harus mempunyai thinking skill hingga untuk menulis ia hanya cukup mengembangkan writing skills-nya karena pada pondasinya ia menggabungkan proposi yang sesuai antara thingking skills dan writing skills untuk menghasilkan karya yang mendobrak pembaca dari seorang pemikir.
Saya belajar banyak hal baru, yang kemudian menjadi prinsip baru yang saya pegang dalam hidup saya, juga dalam menulis, bahwa carilah perspektif-perspektif dengan berpikir lebih hingga menghasilkan karya yang dierima dan bisa mempengaruhi pembaca. Menulis tanpa berpikir hanya sebagai packaging.
Rasanya waktu putar seperti sebuah sircuit. Begitu cepat. Perkenalan sesaat kami berujung pada perpisahan. Jika kepergian tidak selalu diinginkan, maka kepulangan selalu menjadi penantian. Hingga hari terakhir, setelah memeluk erat Nyak Iken, Mita, dan khusnul,  dalam perjalanan menuju stasiun Lempuyangan. Kami mengatasi perpisahan ini dengan sebuah rasa percaya, kalau waktu akan membuat schedule temu lagi.
 Mas Kiki juga berpesan, sebelum mempelajari bahasa asing, pelajarilah bahasa yang paling dekat dulu. Yaitu bahasa yang ada di sekitar kita, ragam jenis bahasa yang ada di Indonesia, betawi, sunda, jawa, madura, sebab keseharian kita bertemu dengan orang-orang dari berbagai macam daerah. Bukan langsung ketemu dengan orang jerman atau cina.
Saya tersenyum tapi senyum itu sesaat berubah jadi jengkel karena ada pawai atau orang joget-joget di jalan hingga saya ketinggalan kreta. Saya yang cengeng langsung cemas hingga menangis karena krtinggalan kreta sementara besok saya harus bekerja.  Mas Kiki Heruka dan Reza Nufa memastikan saya pulang sore ini. Mereka mencarikan saya tiket pengganti hingga akhirnya saya bisa pulang.
Di Kampus Fiksi saya mendapatkan sesuatu yang tidak bisa ditebus dengan apapun, saya mendapatkan teman-teman dengan berbagaimacam karakter, petuah, pelajaran, euforia dari panitia dan pembawa acara, hingga pengalaman pertama ketinggalan kreta. Tapi penuh kenangan di Kota yang selalu saya kenang juga.
Pesan saya, besok-besok kalo ngadain pawai joget-joget itu jangan di jalan. Jadi gak bikin orang ketinggalan kreta. Sekali lagi terimakasih KF 13, DIVA PRESS, juga Mas Kiki, Reza NuFa, Heruka.  Dan sebuah senyum di kota penuh kenangan.

   

  21.45 Nona Vieority

Jakarta, 2 september 2015.