Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Thursday, October 13, 2016

Dear Yoo Ra




Ketika aku memejamkan mataku, yang terbesit di dalam otak adalah namamu, entah mengapa semua hal yang kupikirkan selalu berkaitan denganmu,

apakah itu cara Tuhan untuk melibatkan kita?

Yoo Ra, pernah tidak kamu beranggapan bahwa aku penting? 

Atau setidaknya kamu menganggapku penting walaupun itu hanya sedikit dari pemikiranmu,

Yoo Ra, jika ini adalah surat terakhirku, maka ingatlah aku sesekali dalam kenanganmu, meski aku tau itu rasanya sulit bagimu.

Tidak ada apapun yang pernah kuharap darimu, Ra, ini begitu cukup memedihkan dibandingkan kita yang harus selalu bersama dan kamu sering kali meninggalkanku tanpa kejelasan.

Kita bahkan sudah saling mengenal, dan untuk memahamimu perlu waktu yang begitu lama, banyak hal yang sudah habis kuceritakan, hingga tak ingin menggambarkan sosokmu lagi di sini. 

Aku adalah seorang pemuja kerupawananmu, dari sini. Dan selalu berhasil mengumpatinya. Aku, wanita yang berkali-kali menggumam karena mengagumimu.

jika ini adalah perjalanan panjang yang begitu memilukan, aku mungkin tidak akan pulang dan mencari bahu lain yang lebih nyaman. atau tidak senyaaman bahumu,

Aku akan pergi setelah ini.

Aleina.

Wednesday, July 27, 2016

Langkah Kaki Kita





Dear Tuan G.

Entah sudah berapa surat yang pernah kubuat untukmu, dan ini suratku yang kesekian. Tadi aku termenung di depan layar laptopku sekian lama, aku baru saja selesai mengajar murid kita. Lalu pulang, dan melanjutkan pekerjaan. Dan disela-selanya aku menyempatkan waktu untuk sekedar menulis surat tentangmu.
Tuan yang bermata teduh, maukah kamu pergi denganku, akan kuperkenalkan ke duniakuke dunia yang awalnya hanya sebuah imajinasiku tapi sekarang akan menjadi imajinasi kita.
Hidup dengan sekelumit pelik kehidupan, kadang membuat kita egois. Membentengi hati dan pikiran dengan seluruh perspektif dasar manusia yang tidak ingin kalah. Maka dari itu, aku akan membawamu pergi.. kesebuah nirwana yang membuat hati menemukan titik kesederhanaannya.
Terlepas dari film perahu kertas yang di adaptasi dari novel DEE, aku merasa sepakat dengan kugy charmacamaleon. Bahwa setiap manusia mempunyai radar. dan radar itu menghubungkan setiap eletron-elektron pada atom tubuh manusia yang dengan cepat mengkonfirmasi tanpa peran mulut yang berucap.
Kadang radar juga membuat hati manusia melumer, ia akan membuatmu tersentuh lalu menjadi syahdu. Dan banyak hal lagi yang tanpa diminta sudah direaksikan secara harfiah oleh radar.
Tuan yang baik hati, perlu waktu yang cukup lama untuk mengenalmu. Perlu memusuhi ribuah ego untuk jauh mengetahui tentangmu. Ada banyak hal yang tidak perlu kamu jelaskan tapi cukup kumengerti. Hingga kita bisa sedekat ini. Dan memulai sesuatu dari titik nol. Lalu kita bangun bersama. Hingga kita bisa menciptakan sesuatu yang menurutku sangat bermanfaat untuk orang lain.
Iya, cendikia. Nama yang sederhana, dibuat dari hati yang sederhana pula. Belakangan ini aku banyak bersyukur. Tuhan mempertemukan kita, dan mungkin tidak mudah menemukan orang sepertimu, mungkin juga aku tidak akan bisa seperti ini dengan yang lain.
Sekarang, dengan resmi aku mentranslasikan radarku padamu. Percaya atau tidak, ini akan memudahkan kita untuk berkomunikasi. Dan ini lebih hebat dari email atau chat wa.
Kamu tau, Tuan? Hal yang paling menyedihkan adalah ketika berada disuatu tempat kita terlalu banyak berpura-pura. Dan di saat semua orang bersandiwara dengan kedoknya masing-masing. Aku bebas menjadi diriku sendiri, ketika berada di sampingmu.  Aku bebas bercerita ini itu, mengeluarkan ide-ide yang terkadang menurutmu aneh. Terkadang kita tertawa lepas, kita juga bisa menjadi dua orang yang serius berdiskusi, dan di sisi lain, entah mengapa, aku mulai berani bercerita masalalu, bercerita hal-hal yang kelam, yang tidak bisa kubagi dengan yang lain. Entah mengapa aku menceritakan banyak hal denganmu. Dan kamupun sebaliknya.
Aku hafal betul nada bicaramu, saat senang maupun khawatir, jenis makanan yang kamu suka, warna favoritmu, posisi tidur favorit, cara memegang sendok saat makan, sampai kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering kali meninggalkan barang-barang.
Pertemuan dua insan kebanyakan hanya berkutat pada status pacaran, sayang-sayangan, dan banyak hal yang membuat mereka tidak produktif karena dimabuk cinta. Tapi, kita berbeda. Kita lebih banyak berdiskusi soal investasi, tabungan jangka panjang yang aman, strategi pemasaran, ataupun soal presentase patner-patner bisnis kita, atau obrolan favoritku adalah spot-spot yang bagus buat jalan-jalan dan tempat mana lagi yang harus kita datangi untuk sekedar berbagi rezeki.

Tuan penyabar, aku sering kali mengganggumu saat kamu sedang bekerja, atau menyuruhmu datang malam-malam ke kossanku untuk ngeprint pekerjaanku, dan banyak lagi. Atau aku memintamu menjemput di terminal tengah malam. Tapi kamu tidak pernah marah. Bahkan kamu mau menemaniku memasak sup iga untuk makan malam kita.
Entah bagaimana aku harus berterimakasih padamu.
Kamu juga yang mewujudkan beberapa mimpi-mimpiku. Kamu bersedia menemaniku touring pulau jawa, padahal itu ide paling nggak logis yang melintas begitu aja di kepalaku, kamu membuatku tidak takut naik kapal laut, ataupun paranoid pesawat dan langkah kaki ini membawaku dalam keseruan menjelajah lampung.
Kamu ingat kejadian beberapa minggu lalu, saat itu hujan turun di langit cibinong, aku baru saja kelar meeting dengan klien kita. Lalu aku mampir ke kantormu untuk pulang bersama. Kita berteduh di deretan pertokoan, sebelum kamu mengajaku mampir ke kedai kopi untuk menikmati secangkir expresso.
Lampu-lampu sorot mobil berseliweran dengan cepat menerobos hujan. Semua orang terburu-buru ingin pulang cepat.  Saat itu kamu memutuskan sesuatu, kamu memilih hal yang paling sederhana, yang sudah dipertimbangkan sekian lama. Hal yang awalnya adalah sebuah ego dan ambisiusme. Kamu memilih resign dari kantor lama kita demi hijrah ke tempat lain,  Dan dari sekian banyak pilihan yang kamu hadapi, Aku begitu terharu, dan sangat menghargai pilihanmu. Karena sukses tidak harus berkuliah di kampus yang mahal, sekarang kita sependapat. Tuhan masih merencanakan hal yang indah untukmu.
Tuan jika setiap langkah kaki kita adalah sebuah doa, aku berharap kita selalu melangkah ke arah yang lebih baik. Ke arah mimpi-mimpi indah yang pernah kita susun sempurna. Kita akan terus merencanakan mimpi-mimpi indah ini. Dan terus mewujudkannya dengan rasa optimis satu persatu. Namun tetap sadar bahwa kita adalah orang yang paling dibawah dengan kerendahan hati yang kita miliki.
Bersamamu, aku tidak pernah takut lagi bermimpi.

Sunday, July 17, 2016

Malam, Bekas Hujan dan obrolan sederhana kita


.
Aku menulis kisah ini sambil tersenyum. Untuk Tuan yang teramat pendiam.
Empat smester, aku menjalani kuliah sekedarnya dan sebisanya. Dan di smster ini cukup mengagetkan yang baru kusadari.  Awalnya aku dan Dania sedang ngobrol dengan teman sekelas lain namanya kim. jam perkuliahan sudah selesai sepuluh menit lalu. mereka sedang mengobrol merk cat rambut terbaru yang aku tidak begitu mengerti. Tidak lama seseorang dari ambang pintu datang. Aku tidak tau mau dia apa, dan tidak begitu memerhatikannya dengan jelas. Setelah lama perbincangan mereka aku melempar pertanyaan pada seseorang yang baru datang tadi.
“Ini emang temen sekelas kita juga ya?” tanyaku. Aku memerhatikan mata teduhnya.
Ia tidak menjawab.
“Iya ini temen sekelas kita, masa lo nggak tau?” balas Dania.
Aku merengut, mungkin iya. Sebab, kebiasaanku seringkali tidak peduli dengan orang sekitar. Aku hanya berbicara dengan teman sekedarnya.
“Lo Milea kan?” suaramu terdengar fasih di telingaku, sekilas aku menengok, belum sempat aku menjawab kamu sudah meneruskan, “Milea yang punya blog itu,” lanjutmu.
Aku hampir tidak pernah menunjukan blog pada laki-laki, maksudku di fakultas ekonomi, kebanyakan laki-laki sudah sibuk dengan pekerjaannya, ataupun kalau misalnya ada waktu senggang banyak lelaki yang lebih memilih bermain game dan merokok. Begitu kebanyakan di kampus.
“Gue Ardi”
Setelah aku mengetahui namamu, aku ingat sesuatu.
Di smester 3 lalu, teman kecil mengenalkanku pada seseorang namanya Ardi, ia bilang ada seseorang yang mau mengenalku karena aku suka menulis. Terakhir dia bilang mungkin kalian bisa jodoh. Aku hanya tertawa membalasnya.
Aku dan kamu berkenalan lewat BBM, saat itu belum banyak yang kita perbincangkan kecuali soal kepenulisan. Aku memberikanmu tautan link blogku. Saat itu aku tidak tau apakah kamu membacanya atau tidak sama sekali. Yang jelas kegemaranku menulis berawal dari blog. Kamu memberi tahuku bahwa kita satu kampus. Dan sempat kamu bilang “kapan-kapan kita ketemu ya!” dan kata-kata itu hanya kuanggap bercanda. Karena jujur, di kampus aku tidak begitu banyak mengenal laki-laki apalagi berkenalan dengan laki-laki. Teman sekelas aja belum tentu kuhafal namanya.
Aku ingat waktu itu aku sakit demam, buat anak kossan yang jauh dari orang tua, sakit adalah hal paling menyebalkan dan menyedihkan sebab, di saat sakit jauh dari siapa-siapa.
Aku mengupdate status bbm “Demam lagi”
Lalu tiba-tiba kamu mengomentari,
Kamu: Sakit kok update status, bukannya minum obat?
Aku berfikir siapa sih ni cowok, nggak minta di komen kok , lalu aku membalas sambil menggerutu,
Aku: Udah minum obat kok
Kamu: Oh udah minum obat
Aku: Iya
Aku terbiasa membalas chat seadanya, tanpa basa-basi karena kamu masih menyandang status Belum kenal dan itu harus kugaris bawahi.
Kamu:  yaudah istirahat ya besok juga sembuh, barusan aku kirimin alfatihah.
Tidak tahu kenapa, aku tersenyum membaca balasan chatmu.
Beberapa hari kemudian aku menghapus instalan bbm di handphone karena banyak alasan yang tidak bisa dijelaskan satu persatu, dan sejak itu aku mengilang darimu atau lebih tepatnya aku kehilanganmu.
Sekarang, tanpa di sengaja, kita bertemu dalam satu kelas yang sama, dan itu tidak akan pernah kusadari kalau kamu tidak menyebutku sebagai penulis blog. Tidak pernah. Dan rasanya kalimat kapan-kapan kita ketemu sekarang bukan lagi hal yang mustahil.
“Milea, ayo cabut!” kata Dania menyadarkanku dari lamunan. Aku baru saja mengingat kejadian itu, lalu aku berusaha mencari sosokmu di sepanjang lorong kampus, tapi aku tidak menemukannya.
Dania memintaku untuk menunggunya di depan toilet, aku memengang tas kecil miliknya menghadap tangga, kamu menghampiri, dan saat aku sadar itu kamu otakku langsung mentranslasikan kalimat, “Mau ikut bukber nggak?”
Sayangnya kamu menolak dengan sopan. Aku mengangguk.
Setelah cukup lama libur kuliah, sabtu kemarin kuliah perdana, banyak mahasiswa yang masih bermalas-malasan untuk pergi ke kampus, aku menelpon sindy dan mengomelinya tentang cabut kuliah karena mau ke papandayan. Dan akhirnya Dania tidak jadi karena diomelin bapaknya. Alhasil Dania masuk. Usai kuliah, aku Dania dan teman-teman lain memutuskan untuk menghilangkan penat dengan karaoke, itu kebiasaanku dengan Dania, setelah karaoke  aku menemukanmu di parkiran, dengan motor besarmu dan masih menggunakan helm. Awalnya aku tidak sadar itu kamu.
Aku memberikan kunci motorku pada kim karena aku malas nyetir motor, dan lebih tepat lagi karena setelah ini aku akan mengalami perjalanan yang cukup panjang untuk pulang ke kossan. Halim-pamulang sepertinya bisa di tempuh pakai pesawat biar cepet. Dan jauh lebih tepat lagi, aku ingin mengenalmu. Dalam perjalanan, Aku bisa melihat punggungmu dari jarak sedekat ini, aku bisa mulihat tas ransel yang kamu gunakan untuk kuliah, aku bisa melihat jaket hitam yang melapisi kaus abu-abu, celana jeans dan sepatu sports berlogo centang logo yang dulu di pakai dewa yunani, gaya berpakaianmu sangat casual. kami berbicara sekedarnya, masih ada kesan malu-malu yang menjadi atmosfer. Aku  menanyai hal-hal sederhana layaknya orang baru kenal. Aku bisa menyebutmu pendiam. Atau mungkin Tuan pendiam. Kamu tau? Aku menulis ini sambil tersenyum, kamu berhasil menarik satu senyum dari ujung bibir penulis kisah ini.
Kami melipir ke tukang soto ceker langganan Dania, beberapa teman sudah memutar balikkan motornya menuju tukang soto, saat itu lagit setengah mendung, pamulang sedikit becek karena sisa-sisa hujan.
“Kayaknya ban motor gue kempes deh,”
“Pasti karena gue?”
Kamu tertawa “Iya, kayaknya,” sementara aku jengkel lalu memukul pundakmu dengan gemas.
“Yudah kita cari bengkel!” seruku. Aku lebih mempedulikan ban motormu dari pada soto yang super enak itu.
Kami menyusuri satu-persatu bahu jalan dengan pelan, dan belum menemukan bengkel, saat melihat pom bensin aku mengarahkannya ke tempat refil nitrogen.
“Gue bawa uang Cuma dua ribu, uang aku di kim,” sedangkan harga tambah nitrogen tiga ribu (beneran ini bukan promosi nitrogen)
Lalu aku sadar kalau tas tanganku juga nyangkut di motor yang dibawa kim. Aku bernegosiasi dengan tukangnya, dan setelah negosiasi antara cewek dan tukang tambal di acc motor itu kembali terisi.
Kami tertawa ngakak saat kamu bilang “Negosiasi cewek ke abang tambal ban selalu di acc,”
“Cewek gitu ya,”
Saat kami kembali, dengan curang dania dan teman-teman lainnya sudah duduk di meja yang hanya cukup dengan mereka, sementara aku dan kamu tidak di beri ruang duduk.
“Disini udah penuh, kaliah duduk di sana aja yang masih lega,” ujar kim
Mereka emang sengaja bikin aku duduk berdua denganmu. Dengan cuek kamu melenggang duduk. Memesan soto. Aku mengikuti.
Aku memerhatikan caramu makan dengan lahap, kamu berhasil menghabiskan nasi, soto daging, telur asin yang kucomot kuningnya plus nambah sate usus, sekaligus.
“Laper mas? Abis nguli ya?” ledekku.
“Iya nih, abis nguli ah,” Sementara soto cekerku belum habis. Dengan sabar kamu menunggu.
Setelah makan soto, kami memutuskan untuk kembali ke tukang nitrogen tadi karena tas tanganku sudah kembali. Aku berniat mengembalikan kekurangan isi nitrogen.
“Ini ban motornya di tambal aja bang!” seruku pada abang tambal.
“Ini ban ngga kuat kalo dipake perjalanan jauh,”
Aku mengingat jarak pamulang ke rumahmu itu jauh, sama seperti ke kossanku, mungkin.
Sambil menunggu ban motor di tambal kami duduk bersebelahan.
“Mau?”Aku menawarkanmu minum.
“Nggak ah,” tapi kamu mengambil  botol minumku.
Aku menautkan alis, “Enggak tapi diambil,”
Kamu terseyum dan aku baru sadar, dari jarak pandang yang sedekat ini kamu.. manis. Dengan lengkungan alismu yang mirip seseorang. Tanpa terasa senyummu menular. Bicara kami masih sederhana, seputar kampus, dan ada yang menarik.. kamu mulai banyak cerita tentang siapa dirimu, masa kecilmu, adikmu dan.. beberapa nasihat agama kudapati walaupun secara sepintas.
“smester depan kamu ambil apa?”
“Ekonomi syariah, kalo kamu?”
“Pajak,”
“Berarti smster depan kita nggak sekelas ya?”
Aku mengangguk sambil menggigit bibir.
Tukang tambal memberi konfirmasi kalau ia sudah selesai menambal, kamu menghampiri. Aku dibelakangmu berjalan pelan sambil membawakan helm hitammu.
“Nih nambelnya pake uang aku aja, kan aku yang bikin ban motor kamu bocor,” kataku sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.
Kamu mengambilnya, lalu menggenggamnya, membawanya ke samping kantung celana jeans gelapmu dan.. “Nih, aku sulap uangnya jadi ada dua,”
Aku tertawa, tanpa sadar aku mengelitik pinggangnya gemas. “Kamu curang, tadi bilang ngga bawa duit, huh!”
Kamu mengembalikan uang di tanganku, “Uangnya simpen aja,” katamu lembut. Aku menurut.
Sepanjang perjalanan pulang, kami masih mengobrol, kali ini tidak lagi malu-malu. Aku menemukan seorang karib di dalam dirimu. Sungguh. Kamu meneduhkan.
Terimakasih ya, untuk malam minggu di tukang tambalnya. Bekas-bekas hujan di pamulang menyaksikan obrolan sederhana aku dan kamu.

Vieority.

Saturday, July 9, 2016

Gelas Kaca Dan Luka




Kepada gelas-gelas kaca dan harapan-harapan yang menuai luka.

Kutuangkan keinginan sederhana yang menyangkut persoalan kita dan sejuta angan yang belum tersampaikan.
Kau kembali lagi, setelah lama tak menjejaki tubuh ini dengan pelukan. Semudah kamu pergi tanpa peduli dengan sebuah hati yang berkali-kali memungkiri. Dengan rotasi dunia yang terus berputar seperti sebuah sircuit. Terkecuali perasaanku yang masih di awang pilu.
Kau kembali?

Kembali lagi kepada masalalu, membuka kenangan yang hampir tidak bisa kulupakan setiap detiknya. Namun kau tetap bisu.

Kepada gelas-gelas kaca yang selalu merajalela.

Aku duduk tersungkur dalam penantian panjang yang tak berujung, dan disitulah mulai lelah menghampiri. Aku menantimu dalam relung sepi yang begitu menyayat hati.
Entah sudah berapa lama kita saling mengenal? Sudah berapa waktu yang kita habiskan untuk saling memuji kepiawaian masing-masing.
Aku lelah dengan semua harapan-harapan indah yang pernah kususun dalam angan.  Hal ini bukan sebuah pilihan, bukan lagi semudah kamu yang pergi lalu kembali begitu kau lakukan terus menerus hingga aku tak punya pilihan lain.
Aku tak pernah mencoba hal lain.
Dan saat kau kemballi, aku di urung limbung.
Bahwa ia yang mencintaimu akan selalu menuaikan seluruh rasanya untukmu tanpa kamu minta.
Dan kau tau?
Aku mencintaimu..

peri, perahu, dan dermaga lain




Dear Tuan penulis,

Sudah berapa dekade aku tidak menulis surat untukmu, Tuan? Ku harap kau selalu baik-baik saja. Aku tersenyum ketika membaca recent update postingan blog lampau yang berisi beberapa surat cinta yang pernah kubuat untukmu, dan aku bahagia sekali saat mendapat sebuah balasan darimu, itu adalah sebuah penghargaan bagiku, Tuan.

Lama tiada dialog romantisme dari aksara yang kita buat, aku telah melalang buana. Gadis penyuka teh ini tidak lagi berlarut-larut dengan drama queen yang seperti kebanyakan sebelumnya. Aku sedikit lebih dewasa dari pada yang kau kenal dulu.

Kali ini aku akan mengajakmu berpetualang kedunia peri, seperti halnya khayalan kita yang seringkali melalang buana sampai menembus andromeda. Berpeganganlah,

Di dunia peri, tidak ada sesuatu yang mustahil, semua bisa dilakukan berdasarkan hati. Di suratku sebelumnya, kalau tidak salah aku menuliskannya beberapa tahun yang lalu, sudah sukup usang tapi aku masih ingat aku mengajarkanmu beberapa mantra sakti dari seorang penyihir kecil, kau tau? Waktu itu aku baru selesai menonton film harry potter yang terakhir. Matra-mantra itu berfungsi sebagai  petuah untuk hidup kita.

Kalau di dunia peri, mungkin tidak jauh berbeda, dimana mereka hidup karena satu kekuatan bernama cinta. Peri-peri yang kurang kasih sayang, mereka akan sakit lalu perlahan mati, sedangkan peri yang bertahan mereka adalah yang memiliki kekuatan bernama kasih.

Kau mau belajar dari peri=peri itu tuan? Kalau iya biar kutunjukan caranya. Tenang, mereka tidak akan menggigitmu.

Akweyra, peri yang selalu memberikan kasih sayang setiap senja datang. Ia tidak pernah berhenti mencintai senja meski jingganya hanya sebentar. Kau tau, Tuan, betapa indahnya jika kita mencintai orang yang mencintai kita? Tapi, kemungkinan itu saja belum cukup. Akweyra hanya mencintai senja secara diam-diam. Mengaguminya pada cakrawala yang membentang, memuji kemegahannya. Berkali-kali ia membuat surat cinta untuk senja, namun tak pernah dibalaskan, ia tidak pernah mengatakan apapun pada senja, hanya mengimpannya sendirian.. tapi Akweyra tetap mengaguminya.

Sailendraf, peri perempuan yang banyak memberi bunga pada setiap orang yang jatuh cinta, ia menabur bunga sebagai alunan rasa dari kepegasan pertanyaan-pertanyaan kepastian yang selalu diminta oleh perempuan. Ia selalu mengerti bagaimana perempuan hidup dari air mata dan untuk airmata, ia bahkan selalu ada disisi perempuan yang dalam penantian panjang.. meski ia tahu cinta perempuan itu tidak mungkin terbalaskan.. Sailendraf terlalu mencintai lorong-lorong penantian yang ia taburi bunga setiap hari, dan ia tahu bunga itu akan layu..

Annasyila, peri paling cantik di dunia peri, hanya saja kecantikannya itu adalah sebuah luka, yang mana setiap laki-laki tidak pernah mengerti betapa susahnya berjalan di atas heels 15 cm demi melihat kaki yang jenjang, betapa pedihnya mata-mata perempuan yang dipakai lens warna-warni agar nampak indah, betapa perihnya wajah perempuan yang terkena SPF demi mendapatkan kulit bersinar. Terlebih dari mereka-mereka yang mengikuti operasi plastik. Lalu Annasyila selalu terlihat murung setiap kali menemui lelaki. Mengapa mereka membuatnya harus terlihat cantik dan menyakiti dirinya?

Tuan, tiga peri itu kuperkenalkan padamu, aku ingin kau berteman padanya. Menjaganya agar mereka menyayangimu dengan penuh kasih. Jangan kau pikirkan apa dan bagaimana cara berkenalan pada mereka, cukup pejamkan matamu lalu tersenyum, dan itu akan membuatmu lebih baik.

Aku harap, kau memiliki rasa kasih sayang yang lebih untuk orang-orang sekelilingmu, agar peri-peri yang kutitipkan untukmu bahagia. Kalau saja setiap manusia yang hidup di dunia ini mempunyai termometer rasa yang mana perasaan manusia bisa di presentasikan, agar mereka bisa tolak Ho (dalam bahasa ilmu statistik ini dinamakan signifikan) atau setidaknya sinyal agar jika kita mencintai seseorang dan orang itu mencintai kita, kita akan tetap stay buat dia. Jika tidak.. perahu ini akan mencari dermaga-dermaga lain.

Di suratku kali ini, agak sedikit kekanak-kanakan, memang. Aku sudah janji tidak akan membahas soal pekerjaan yang sekiranya membosankan.

Menuliskan surat ini memang membuatku mengulum senyum, aku ingin menemui lagi laki-laki bertubuh tinggi dengan gaya casual dan yang punya selera membaca jenis buku fiksi ilmiah, atau sejenis diksi yang kritis agaknya.

Tuan, segitu dulu ya surat dariku..
Aku senang jika kau mau membacanya.
Terlebih, aku senang, jika kau mau menulis lagi..

Cheers, Nona Sagitarius.