Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, November 19, 2017

Scorpio Kecil yang cerewet




Dear De ulin.

Masa kecil kita mungkin tak jauh beda. Kenapa seperti itu? Karena kita tidak dibesarkan dari keluarga yang berada.

Scorpio kecil, banyak hal yang perlu kita syukuri. Mungkin saat ini kamu belum mengerti bagaimana kehidupan. Yang kutahu rutinitasmu hanya bangun pagi (menemani ibu memetik jamur) mandi, sarapan, lalu berangkat kesekolah.

Dek, mungkin suatu hari saat kamu sudah dewasa jika kamu membaca tulisan ini kamu akan mengerti betapa aku menyayangimu. Betapa hal-hal yang kamu inginkan selalu terngiang dibenakku. Betapa setiap kali aku melihat anak kecil aku akan teringat pada adikku yang bergigi tanggal. 

Dek jika kamu merasa hingga detik ini ibu sangat amat menyayangimu, kamu jangan senang dulu,  sebab akupun merasakan hal yang sama. Dan anak-anak ibu yang lain merasakan hal yang serupa. Bagaimana tidak, jika enam anak ibu ditanya siapa yang paling disayang? Aku yakin kita akan berebut dan menyerukan "aku" aku tersenyum ketika menuliskan ini. Dan sungguh tidak tahu bagaimana cara ibu membagi-bagi kasih sayangnya secara adil (walau sering tak bijak karena ibu perempuan) kepada semua anaknya. 

Dek ulin, kita wajib bersyukur dengan semua yang telah Tuhan berikan. Meski saat ini kita berada dalam jarak ratusan kilometer, percayalah ratusan kilometer itu tak mengurangi sedikitpun rasa sayangku padamu. 

Adek kesayangan, meski kamu yang paling kecil menurutku kamu yang justru paling berharga untuk ibu. Sekarang,  kamu satu-satunya yang ibu miliki di rumah. Setelah satu-persatu dari kami pergi. Mencari kehidupan masing-masing.

Mungkin kamu tidak akan ingat,  waktu kamu kecil aku yang selalu menenangkanmu malam-malam menggendongmu dalam pelukanku lalu membacakan surat-surat pendek hingga kamu tertidur. Waktu itu ibu sudah lelah. Karena malam mulai larut. Atau ketika kamu menangis karena sesuatu,  aku buru-buru menggendongmu lalu mengajakmu keluar melihat kumpulan bintang dari depan rumah. Aku yang mengajarimu bernyanyi bintang kecil. Aku yang mengajarimu bernyanyi twingkle-twingkle. Hingga lagi-lagi kamu terlelap di bahuku. Waktu itu usiamu belum genap setahun. Dan belum bisa berjalan. Aku mengajarkanmu berjalan dengan cara "titah" aku mengajarkanmu berdiri dari jatuh. Hingga setahun kemudian aku harus pergi lagi meninggalkan rumah.



Dek, waktu kamu kecil ibu bilang mirip dengan aku waktu kecil. Cengeng, takut sama orang baru, dan sulit sekali menghadapi perpisahan. Kamu pasti menangis saat aku pergi ke jakarta dan selalu melarangku untuk pergi. Tapi saat mendengar kabarku pulang, kata ibu kamu yang tidak bisa tidur menungguku. Hingga saat aku tiba di rumah pukul dini hari kamu selalu ikut membukakan pintu meski hanya bersembunyi di balik punggung ibu. Lalu memelukku. Dan saat aku pulang kamu akan berceloteh tentang teman barumu, mengajakku bermain masak-masakan, membeli eskrim, atau pergi ke pasar malam dan membawa pulang gulali. Hanya seperti itu saja, kamu bahagia sekali. Lalu kamu memelukku berkali-kali. 

Dek, aku selalu menyuapimu makan (hingga sekarang jika aku pulang) aku selalu ingin membelikanmu mainan atau pakaian baru. Aku selalu ingin menguncir rambut panjangmu. Namun kamu tau? Sebelum ada kamu di dunia ini,  aku melakukan hal yang sama dengan kakakmu. 

Dek, rasanya aku ingin bermain denganmu lebih lama. Aku sangat terenyuh ketika kamu bilang "kenapa mba sayang banget sama aku?" dan aku tidak bisa menjelaskannya bagaimana rasa sayang ini.
Atau saat kamu bilang "mba aku mau ikut ke jakarta"
Yeah,  sometimes you can come, tapi untuk saat ini aku yang berharap padamu. Tolong jaga ibu baik-baik. Sebab tinggal kamu satu-satunya harapanku untuk menjaga ibu. Karna aku menjaga ibu dengan cara yang lain yaitu: doa. 


Dek, jadi anak tukang bambu sama tukang jamur ibu harus bangga. Sebab ibu menghidupimu dengan dua cara itu. Sebab tak adalagi yang bisa ibu lakukan untuk membesarkan anak-anaknya.

Dek, mungkin saat ini kamu belum mengerti apa yang kutulis. Saat ini juga kamu belum mengerti mengapa kamu ada di dunia ini. Sebab kamu masih 6 tahun. Tapi kamu mengerti saat ibu pergi keluar rumah tanpa kamu tahu. Kamu akan menangis. Waktu itu ibu sakit, kamu yang mengambilkan air hangat dari meja. Kamu yang memijit tangan lelah ibu. Kamu juga yang berbisik "ibu cepet sembuh ya" kamu tau dek? Rasanya aku ingin memutar waktuku sekali lagi aku ingin melakukan apa yang kamu lakukan. Tapi saat aku kecil, aku tidak ingat apapun. 

Dek, air mataku saat ini tumpah. Kumohon jadilah anak yang berbakti kepada ibu. Maaf aku tak bisa hadir di ulang tahunmu bulan lalu. Tapi aku mengirimimu hadiah.
Dek, selamat ulang tahun yang ke 6. Tetap jadi adek kesayangan dan selalu sederhana.

Saturday, October 21, 2017

Surat terakhir untukmu

Dear kamu.

Aku perempuan malang yang penuh dengan kenang.

  Salah satu penyebab airmata perempuan jatuh adalah ia tidak bisa menghapus kenangan kecil masalalu.

  Aku menuliskan ini mungkin adalah pamit. Cerita yang terakhir kutulis tentangmu. Cerita yang semula selalu menjadi impian-impian kita sebagaimana kamu adalah imajinasi indah yang berhasil kurangkai dalam kata. Dan kamu selalu menghiraukannya.

   Mungkin aku tidak seberuntung perempuan lain. Yang berhasil memadu kisahnya. Aku tak seperti peremupuan-perempuan pengagum dirimu,  yang terang-terangan mengungkap suka. Yang terang terangan memaksa hatimu. Aku yang hanya bisa memendam lalu diam-diam pergi karna tak lagi kuat memendam rindu sendirian. Aku tidak akan memaksa apapun.  Meminta apapun. Ya,  aku tidak mudah mengatakan cinta. Aku tidak piawai mengungkapkan perasaan. Rasanya lidahku terlalu kelu untuk mengatakannya.

   Tapi aku piawai merangkai kata-kata kiasan yang jika kau tau itu adalah aku sebenarnya. Tapi selalu ku kilah. Dan salahku. Aku hanya bisa diam.  Mengagumimu dari jauh. Memuji rupamu dan mengadu pada Tuhan. Mengapa perasaan ini Tuhan berikan padaku? Jika memang pada akhirnya kau adalah tempatku berlabuh. Aku ikhlas.

    Sebelum aku pergi dari hidupmu,  aku akan menyelesaikan satu-persatu masalah hatiku. Agar mereka tak lagi bertengkar.  Ada degup yang berdebar tiap kali kamu tersenyum dan itu menjadi masalahku. Mengapa Tuhan membiarkan aku bertemu denganmu secara tidak sengaja jika hanya untuk memuji Tuhan.  Bahwa Ia menciptakan sesuatu yang rupawan bernama kamu. Bahwa Ia adalah Zat yang tidak di ragukan lagi untuk mencipta.

   Kamu,  jika memang pertemuan kita tidak ada artinya dimatamu,  jika memang aku yang selalu ada di sisimu selama ini tidak berarti di matamu,  aku akan ikhlas. Dan diam-diam kepergian menghapus harapku yang kutaruh pada pelupuk matamu.

   Aku hanya bisa mendoakanmu dari jauh. Dari hal yang selama ini tidak kau tau. Dari pertemuan-pertemuan yang disengaja ataupun tidak. Aku yang selalu memikirkan dirimu entah sadar atau tidak nyatanya seperti itu.

  Aku akan sedikit menceritakan hak yg kualami. Entah kebetulan atau tidak. Beberapa tahun lalu, kamu pernah memutuskan untuk pergi dariku dengan alasan yang bisa kumengerti.  Tapi,  ada bagian kecil dalam dadaku yang selalu mengusih. Ia tidak mau mengerti.  Hingga aku berdoa. Aku tidak ingin kamu pergi dariku. Aku berdoa setiap aku mengingatmu.  Dan akhirnya. Tuhan seperti mengabulkan doaku. Kamu kembali dan tetap bersamaku. Rasa bahagia mana lagi yg bisa kupungkiri? Rasanya aku sangat-sangat bahagia.

   Sebelum nantinya tidak adalagi orang yang mendengar keluhmu,  sebelum nantinya kita tak saling kenal satu sama lain,  sebelum akhirnya aku tak punya keberanian lagi untuk menemuimu-karena tak sanggup lagi melihatmu,  sebelum nantinya aku benar-benar tidak ada dalam hidupmu: aku akan berterimakasih,  kamu pernah ada dan mengajari aku yg bodoh ini banyak hal.

  Kini,  aku tidak lagi bercerita tentangmu.banyak surat-suratku yang tak terbalas. Banyak hal yang belum kau jawab hingga...  Mungkin aku lelah. Aku sudah berusaha selalu ada di sisimu,  aku selalu berusaha mengerti setiap maksudmu. Aku selalu berusaha menerima dengan ikhlas bahwa kamu teman dalam kehidupan gelapku. Beberapa hal hanya bisa kubagi denganmu dan tidak dengan yg lain.

   Jika saat ini aku lelah..
Adakah bahumu? Bahumu yg selalu kucari?
 
   Jika saat ini aku lelah..  Adakah senyummu yang menyemangatiku? Adakah cemasmu mengkhawatirkanku? Adakah pedulimu?

  Jika tidak. Haruskah aku mencari yg lain?

  Sekali lagi,  aku perempuan yang hanya bisa memendam perasaan. Aku janji perlahan.  Setelah ini aku akan pergi dari hidupmu jika memang aku tak pernah lagi berarti..

Thursday, October 12, 2017

Lupa

Maka lupakan aku.  Dan lupakan segala tentang kita. Jika itu membuatmu bahagia.

Friday, October 6, 2017



Jika waktu berputar, dan aku harus mengulangi hidupku sekali lagi, aku akan tetap memilihmu, menemani hari-hariku meski jingga pada senja hanya sebentar.


 Kamu tau bagaimana aku memendam kekhawatiran?

   Aku berpura-pura tidak peduli.  Padahal sebenarnya sedang berusaha menutupinya.

Dan saat Aku menemukan senyummu lagi, ini seperti
 penawar khawatir. Dan perasaan itu mereda
 dalam hitungan sepersekian detik.

Sunggug,  Aku tidak punya alasan untuk
    menahan rindu.  Apa kamu punya?

Sebelum akhirnya kita berpisah, dan tak saling mengenal satu sama lain.  Aku ingin kenangan bersama menjadi satu-satunya memori untuk kau simpan. Agar, ketika kamu mengingatku kamu akan memejamkan mata dan tersenyum. "kita pernah ada"

Dan apakah, setelah aku benar-benar tidak ada. Masih ada hati yang kau bilang iklhas untuk merela?

  Banyak yang tidak bisa diungkapkan. Sebagaimana  Aku mencari tempat pulang..
Dan apakah itu adalah bahumu?

Jika nantinya aku jatuh cinta, aku ingin jatuh cinta padamu lagi, meski telah berkali-kali.

Monday, August 28, 2017

Pigura tentangmu..

Aku meniti sebuah pigura, kuamati baik-baik.

Sebuah foto yang berhasil menyeretku pada kenang pilu. Yang berhasil ku rekam dalam potongan ingatan.

Kau tau waktu itu, senyum merkah di sudut bibirmu seraya menatapku. Berkali-kali tatapanmu menggodaku untuk bicara,  entah apa yg ingin kubicarakan aku tidak peduli aku hanya ingin menatapmu lebih lama.

 Aku ingat saat kita menggantungkan harapan-harapan itu dalam genggaman tangan. Atau saat aku menaruh lelahku pada bahumu, sebentar. Dan sepatumu selalu berjalan beriringan dengan sepatuku.

Hari itu aku sangat bahagia, aku mengerti bagaimana caranya berbagi. Aku mengerti bagaimana caranya memberi tanpa diminta. Aku mengerti,  sungguh.

Namun..


Jika pada kenyataanya kamu terlalu rumit untuk di pikirkan.   Maka, adakalanya aku berfikir untuk melepaskan..   Padaakhirnya, kita akan saling 'menemukan' entah siapa yang lebih dulu.


  Apakah setelah ini kita akan berpisah? Tak saling kenal satu sama lain, menghabisi rindu dengan berpura-pura menjadi orang lain?

  Apakah semua hal yang pernah kulakukan untukmu tidak pernah ada artinya?

  Mungkin iya, sebab aku tidak pernah meminta kau mengasihi.

  Aku tidak pernah hebat dalam hal apapun, aku yang tidak pernah pintar berpura-pura, dan aku yang tidak pernah berarti dimatamu ini sedang berusaha mengenyahkan segala pikiran tentangmu.

Tapi.. Pigura ingatan ini selalu membawaku kembali padamu.

Haruskah aku kembali?

Friday, July 21, 2017

Pamit (Sebab yang sembab)





Jika kau hapus aku dalam hidupmu. Seketika itu juga mungkin aku akan hilang. Lenyap. Dengan mudah.
Namun, jika aku yang menghapus kamu dalam hidupku, mungkin aku yang pandai bilang kemereka bahwa kamu sudah hilang. Dan menutupi segala perasaanku yang tak bisa menghilangkan kamu dari hidupku. Lalu berpura pura bersikap bahwa aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja tapi sebenarnya tidak.

Iya,  perempuan selalu menutupi perasaannya.  Seluruh selukbeluk rasa sakit hatinya.

Kini Kubiarkan kita berjalan masing-masing. Terpisah pada garis. Aku dengan harapku dan kamu dengan egomu

Mungkin,  ada bahu lain yang lebih nyaman dari bahumu.
Mungkin juga,  ada dada yang lebih bidang yang lebih hangat untuk memeluk.

Tapi apakah pencarian akan berujung pada kesempurnaan?
Apakah aku harus mencari lagi,  memahami lagi,  mencari tahu lagi seluk beluk yang lain. Sementara menerimamu adalah hal yang paling ku kilah.

Andrea, banyak jika dan maka yang selalu berpasangan. Karena mereka saling keterkaitan dan saling menemukan. Jika kau adalah jika dan aku adalah maka,  apakah kita akan terkait seperti sebuah kalimat terangkai yang ditulis oleh bolpoint? Sulit terhapus.

Melupakanmu.
Sebab tidak seutuhnya aku bisa. Bisa ku ulang memori otakku untuk menghapus segala kenangan yang telah kita buat. Sudah kujelaskan berulang ulang bahwa aku tidak mudah. Tidak semudah kamu melupakanku.

Waktu yang terus berputar ini tidak akan mengizinkanku membuat jeda. Pertemuan dan perpisahan membuat seluruhnya terasa bergejolak.

Jika kau ingin pergi. Maka aku yang akan lebih dulu pamit. Aku akan merelakan segala hal ada.  Melupakan semua hal yang pernah kulakukan untukmu,  tapi mengenang semua hal baik yang kau lakukan untukku.

Jika jalan kita memang berbeda, aku akan selalu berusaha menghapus sebab yang sembab yang tertuang oleh bulir dari sudut mata.

Maka, sulit rasanya. Iya,  kau benar. Sekalilagi,  kau benar. Dan aku selalu di ambang kesalahan.
Lalu,  bagaimana kata maaf bisa menghapus semuanya.

Dan setelah ini,  biarkanlah aku dengan hatiku.  Perlahan.  Menata satu persatu lagi. Biarkan aku membawa pulang puing-puing yang berserakan sebagai tanda perpisahan.




Sunday, July 9, 2017

Ketidakmengertian

 "Tidak kina, semua tidak seperti apa yang kau pikirkan," kata rasya. Hujan mulai mengguyur kami saat itu. Aku mencoba menjauhkan diri dari Rasya.
  Kupikir selama ini dengan jeda yang begitu lama kita bisa memahami arti jarak yang membentang yang membuat aku hampir kesulitan menata hatiku.
      "Aku ingin sendiri," balasku. Tapi rasanya hatiku mengatakan yang berkebalikan.  Aku justru menginginkan ia disini. Menemaniku.
       Kulihat rasya menggeleng. Bibirku mulai gemetar.  Aku berlari di tengah-tengah arus kendaraan.  Rasa sakit ini mulai memenuhi tubir dada. Aku merasakan sesak yang begitu amat.
      "Kalau kamu pikir kamu bisa hidup tanpa aku,  pergilaah," aku tak yakin rasya sungguh-sungguh mengatakan hal itu.
       "Iya,  baik. Aku akan pergi. Aku tidak akan lagi menunggumu dan berharap," kataku, aku hampir saja kehabisan suara. "Kamu egois,  rasya," lirihku pelan.  Tapi cukup menusuk rasya.
      "Aku tidak mengerti kenapa perempuan selalu dikelilingin atom negatif di kepalanya. Sedangkan aku harus selalu mengerti mereka tanpa mereka memberi tahu apa yang mereka mau," aku tak melihat sedikitpun senyum di bibirnya.  "Itu sebuah kecurangan,"
      "Mereka memang diciptakan seperti itu," aku tidak mengerti lagi apa yang kubicarakan.
       "Kina, kumohon jangan seperti ini. Aku tidak mengerti apa yang kau inginkan."
        Dan akhirnya aku juga tidak mengerti apa yang kuinginkan, rasya.  Aku hanya ingin bersamamu. Meski kadang mengatakan hal itu lebih rumit dari kalkulus. Perasaan itu seperti anak kecil yang merengek minta mainan baru. Tidak mau tahu.  Dan egois.
        Aku menggeleng,  rasya terlalu sibuk untuk bertemu denganku sekarang. Bahkan sebentar saja.
      "Rasya, aku selalu berpikir bahwa bersamamu adalah rasa bahagiaku, tapi jika menurutmu itu sesulit ini, aku tidak akan berada disini," aku mulai kesulitan bernapas.
     Entah mengapa,  aku harus bertahan selama ini.  Entah mengapaa aku yang harus menunggu rasya hingga bertahun-tahun. Sebab masih ada sebab yang membuatku terus bertahan.  Salah satunya: sebab aku jatuh cinta padamu meski telah berkali-kali.
        Kupikir melupakan seseorang tidak semudah yang dibicarakan orang orang. Hujan sejak tadi melumuri sekujur tubuhku. Hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah memendam perasaan.
      Rasya,  setelah banyak hal kita lewati bersama.  Setelah banyak hari yang hadapi dengan menutupi seluruh perasaanku.  Apakah ada satu waktu dimana kita bisa bersama. Dimana cinta itu menjadi atmosfer setiap pertemuan kita?
     Aku merasa luapan emosiku kini berubah menjadi bulir air mata.
      Aku tidak mengerti.  Sungguh. Aku tidak mengerti mengapa hal ini harus terjadi padaku. Kutemukan Rasya yang tidak lagi bicara. Ia hanya menatapku kosong.  Sedangkan aku selalu mencari kemengertian dalam setiap sudut wajah rupawannya.
      Aku berlari..  Aku ingin pergi sejauh mungkin. Jika waktu dan jarak bisa mengubah perasaan. Aku akan melakukan hal itu.  Tapi nyatanya, sejauh apapun aku berlari. Aku tidak menemukan titik temu dimana aku harus berhenti.
      Hingga akhirnya sebuah mobil sedan hitam menabrakku,  "Kinaaaaaaaa!!!" aku mendengar jeritan rasya.
     Rasya berlari dan menghampiri kakiku yang berlumuran darah.  Dia paham sekali aku takut dengan cairan berwarna merah itu. Sejak kecil aku mudah jatuh, entah tersunduk karang atau berlarian ketika bermain sepeda. Dan sekali lagi,  rasya yang selalu menyelamatkanku. Ia penyelamat bagiku seperti halnya superhero tanpa kostum.
    Darah mulai menjalar di sekujur kakiku, alih-alih aku tersenyum dan sibuk mengamati wajah rasya yang khawatir. Sudah empat tahun kita terpisah.  Sudah sekian lama aku mengamati senja seorang diri dari balik dek-dek kapal milik nelayan.
    Aku sungguh kangen rasya. Iya. Kangen berat.
    Ketidakmengertian ini membuat banyak hal menjadi semu. Sudah kah kita mengatakan satu hal yang memperjelas semuanya?
     "Kamu pasti akan baik-baik saja, kina, Sayang," rasya tidak bisa menyembunyikan khawatirnya. Ia memeluk tubuhku. Aku masih bisa mendengar sebuah sirine yang meraung-raung tidak jauh dari tempatku. Aku memegang tangan rasya.
     "Banyak yang tidak aku mengerti," lirihku.  Dan akhirnya semua tidak lagi terlihat. Gelap.
      Aku tidak bisa lagi melihatnya.



   
   

Monday, May 1, 2017

Perempuan yang bermata sendu.


    Pagi ini aku terbangun di kamar ibu. Aku melihat samar-samar wajah ibu. Aku baru ingat,  aku sampai di rumah sekitar pukul tiga setelah hari-hari panjang yang kulalui dan harus kupertahankan sendiri.
    Melihat senyum diantara wajah lelahmu bu,  ada sedikit rasa getir bercampur haru. Ada yang menyayat hati dan bertanya-tanya. Mengapa kita harus berada dalam jarak sejauh ini..
   Banyak hal yang kupelajari darimu, aku sangat bahagia. Kau tidak perlu menjadi wanita karir yang selalu sibuk diluar.  Dari kecil,  aku selalu mendapat didikan darimu.  Aku ingat tanpa harus bersekolah tk,  kau orang pertama yang memberiku pensil dan buku, menggoreskan abjad namaku. Mengajari aku membaca hingga mengaji. Hingga aku hafal doa sederhana untuk mendoakanmu.
    Setelah aku beranjak dewasa,  kau yang mengajariku menutup aurat.  Kau bilang padaku bahwa aku harus menutup auratku dari lelaki. Aku ingat saat itu aku sedang kesakitan karena datang bulan pertama. Bahkan, kau mengajariku bagaimana caranya memakai pembalut.
    Kau pula yang mengajariku berbagi. Saat memberikan sesuatu yang kita punya,  bahkan cara terbaik berbagi adalah memberi sesuatu yang berharga dan yang orang lain butuhkan.
    Suatu hari,  saat senja mulai meninggalkan langit jingganya.  Ibu,  aku dan adik-adik bercengkrama,  bercanda-canda seperti biasa, ditemani wedang dan rebusan singkong kesukaanku. Ibu bilang,  bahwa rezeki yang kita dapatkan seperti orang yang memancing ikan.  Untuk menikmati gurihnya ikan di goreng, ikan harus di cuci dulu,  di buang sisik dan isi perutnya,  lalu dimasak.  Itu cara terbaik mengolah ikan agar bisa dimakan.
    Ibu mengaitkan hal itu dengan rezeki, kita harus pandai berbagi,  pandai mengikhlaskan apa yang sudah kita berikan pada orang lain. Ada hak orang lain dalam setiap rupiah yang kita dapatkan.
    Aku masih ingat itu.
    Bu, setelah banyak hal yang kita lalui bersama.  Hingga aku sedewasa ini, hingga suatu hari aku merasakan pahit getir hidup. Aku selalu ingat bagaimana caramu mengayangi kami,  enam anak dengan kasih yang sama. Aku selalu ingat bagaimana caramu memperjuangkan kami hingga kami bisa bertahan hidup. Iya kau selalu mengingatkan cara hidup sederhana, kau selalu mengingatkan ingat masih ada hari esok yang akan kita jalani dan kita perlu makan.
     Bu,  entah terbuat dari apa hatimu. Kau sangat baik. Aku tidak ingin melihat mata sendumu. Sungguh tak ingin.
     Rasanya,  aku ingin selalu di dekatmu. Melihatmu setiap pagi untuk kucium tangan. Untuk ku pijat kakimu saat kau kelelahan. Kadang aku iri dengan teman. Aku yang selalu memuji masakanmu setiap hari. Apapun yang kau buat adalah gizi bagi anak-anakmu.
   Ibu adalah dokter ketika aku sakit
   Ibu adalah chef handal ketika sedang masak
   Ibu adalah guru kehidupan yang selalu mengajariku bagaimana caranya kuat. Meski sering kali aku lemah.  Namun aku selalu berpura-pura kuat.
   Ibu,  kau segalanya.
  Kau yang selalu menelponku pagi-pagi, membangunkanku.  Siang untuk mengingatkan makan dan solat disela-sela pekerjaanku,  atau malam-malam saat aku masih saja berkutat dengan layar monitorku dengan segudang pekerjaan. Ya,  terkadang aku lelah, dan jika lelah tubuhku selalu meminta istirahat dengan mengisyaratkan demam. Lalu kau ngomel-ngomel.
     Tapi aku bahagia bu, meski hanya mendengar suaramu di sambungan telepon.
     Kau yang membuat aku hingga detik ini mempertahankan hidupku yang sekarang. Aku selalu ingat aku punya adik yang menjadi tanggung jawabku. Meski yang jadi taruhan adalah tidak bertemu denganmu.
   Bu,  kau tahu?  Aku tidak pernah tahan dengan perpisahan. Aku tahan melihat adik paling kecil menangis saat aku harus pergi.
Dan tangisku selalu pecah di dalam bis yang membawaku ke kota penuh keegoisan manusia.
 

   
  Dari aku.

Sunday, April 9, 2017

Tuesday, April 4, 2017

Harap pada matamu

Ketika kita bertemu.  Dan aku menemukan tatapan itu. Harapan kembali muncul. Aku merasa bahagia. Aku merasa bahwa aku adalah bagian darimu. Dari hidupmu.

Tapi ketika aku tak melihat sorot mata itu.
Semua yg awalnya kupikirkan. Hilang.
Tidak pernah ada aku,  dalam hidupmu.

Saturday, April 1, 2017

Kepada kamu yang sudah lama meninggalkanku..


Gambar diambil dari webtoon


Dear alsero cheri.
 Kupikir,  dengan menghilangnya aku dari hidupmu. Aku akan semakin cepat melupakanmu. Tapi nyatanya tidak.

Aku tidak peduli postingan ini kau baca atau tidak. Sungguh aku tidak peduli.

Sudah banyak hari yang kulewati tanpamu.  Dan aku selalu berpura-pura kita tak pernah ada. Atau mungkin kau juga melakukan hal yang sama?  Setelah kau goreskan kenang pada masalalu kita. Saat aku baru saja jatuh cinta,  aku harus kehilangan.

Sebagaimana, pelukan yang kau sudahi kemarin belum selesai tawar menawar dengan rindu.

Waktu itu,  hujan turun di hari minggu pagi.
Aku menunggumu di persimpangan jalan. Berharap hujan mereda dan kau segera menjemputku.

Waktu itu aku masih terlalu muda untuk percaya kita akan bertemu lagi.

Waktu itu juga,  aku masih terlalu bodoh untuk mengiyakan semua hal yang kau katakan padaku.

Tentang janji kita. Janji dua orang yang berseragam putih abu-abu.

Memang itu hal yang paling indah kurasa. Tak ada tempat yang saat ini kubilang nyaman selain bahumu.

Alsero cheri, kukira melupakanmu hanya akan memerlukan waktu yg tidak begitu lama.

Tapi luka yg belum sembuh itu-yang kupendam dalam-dalam kini mulai terasa pedih. Kupikir aku masih baik-baik saja.

Malam sebelum perpisahan denganmu,  aku mencoba berkali-kali menghubungimu. Lalu yg kudapat bukan kepastian.

Dan di sana,  aku mulai belajar merelakan. Merelakanmu.. Namun itu tidak mudah.

Kau benar,  saat hujan berhenti.  Payung biru tua menghampiriku. Aku melihat sekilas senyummu.

Senyum kamu yang kusayang dahulu dan (mungkin)  hingga sekarang.

Sudah banyak waktu yg kulewati tanpamu. Aku akan tetap bilang bahwa aku baik-baik saja. Kini aku beranjak dewasa. Dan banyak hal yang tidak kamu ketahui.

Kita akan baik-baik saja. Meski tidak bersama.
Aku bahagia mengetahui kabarmu.

Dan itu yang membuatku menuliskan surat ini.

Sekali lagi,  aku tidak pernah berharap kamu membaca ini.


Cheers,
Mademoiselle.


Friday, March 31, 2017

Senja, dan pertemuan kita.

Langit senja melapisi angkuhnya gedung-gedung kota.

Aku berlarian sepanjang koridor, mengejar transit bus keduaku yang akan membawaku ke ujung kota. Ini hari jum’at, semua orang buru-buru ingin pulang.

Aku masih berlarian, stiletto ini membuat lariku tidak terlalu cepat. Aku berusaha sekeras mungkin ingin masuk bus, karena bus berikutnya tiba kira-kira sepuluh menit lagi. Dan aku tidak ingin menunggu lebih lama.

Dan.. syuuut! Aku berhasil masuk sebelum pintu bus tertutup.

Belum sempat aku bernapas, aku menemukan kemeja biru-muda di hadapanku. Persis di depanku. Aku bisa melihat dengan jelas garis-garisnya. Hingga model kancing yang sewarna dengan garis-garis kecil. Sesaat kemudian aku baru sadar kalau wajahku tepat berada di dada bidangnya.

Aku berusaha untuk mundur, tapi bus ini penuh sesak dengan orang pulang kerja. dan tubuhku di sanggah  oleh pintu kaca bus yang tertutup rapat-rapat.

Senjapun memudar, silih dengan malam yang hampir tiba.

Aku tertunduk, kupandangi sepasang sepatu kulit cokelatnya. sambil menghela napas, aku hanya ingin cepat sampai.

 ‘’Ludmila,”

Aku mendengar lirih seseorang memanggil namaku, pelan. Namun jelas. Itu ejaan namaku.

Aku memberanikan diriku untuk menatapnya. Aku menenukan sorot mata yang ku kenal. Aku menemukan garia alis yg kukenal. Aku juga menemukan sosok yang kukenal lama.
Ka-f-ka.
Aku berhasil mengeja dengan sempurna namanya.
Nama yang bertahun-tahun tak pernah hilang. Yang berkali-kali kulupakan namun berkali-kali pula muncul ke permukaan.

Aku berusaha mengatur napasku yang mulai sesak.

Jika pada saat ini kau mengetahui detak jantungku, kau pasti sudah menertawaiku karena sedetikpun aku tidak bisa melupakanmu. Karena pada saat ini pun perasaan itu masih sama. Masih pada rasa yang tak beranjak.

"kamu apa kabar?"

Lirihnya lagi. aku menemukan sebutir senyum. Senyum yang amat kukenal. Dan seluruhnya cair.

Aku mencintamu, sekali lagi, dalam angan yang sama.

Monday, March 27, 2017

Kepada kacamata, dan mata yang berkaca-kaca..



Kepada kacamata,  dan mata yang berkaca-kaca

Tidak semua hal yang pergi bisa dilepas dengan mudah meski peluk telah berakhir.

Aku menatapmu nanar, ini akhir dari semua? Apakah kau tidak berharap sesuatu dariku?  Seperti aku yang selalu berharap sesuatu darimu.

Entah siapa yang memulai, entah tatapanmu yang menarik perhatianku lebih dulu,  atau aku yang terlalu mudah jatuh cinta padamu. Meski,  tidak semudah dengan yg lain.

Kau mengajariku banyak hal.  Hingga aku sedewasa ini.  Tapi,  mungkin kau lupa. Mengajariku untuk melupakanmu. Sebagaimana seiring berjalannya langkah kaki kita, kau tak pernah melepas genggaman tanganku.

Ya, aku yang salah.

Aku yg terlalu mudah..

Aku yg selalu melihat tempat 'pulang' pada bahumu. Aku yg selalu mengadu bagaimana aku hari ini.

Dan sekarang. Ketika kau tidak ada lagi.. Ketika aku tidak bisa melihat bahumu.. Dan aku sadar saat itu juga, aku tak bisa pulang..

Kepada kacamata,  dan mata yang berkaca-kaca.

Ada setetes embun yg memenuhi pigura berkaca dalam satu dua detik terasa mengalir. Ia kusebut air mata..

Note: terinspirasi dari lagunya gisel - cara lupakan dirimu.