Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, November 16, 2013

Hanif

Hanif by Reza Nufa.



Agama diciptakan Tuhan agar manusia damai dan bahagia. Lebih baik manusia tidak beragama sama sekali, kalau agama hanya menjadi kendaraan kebencian.

Itu kalimat pertama yang aku baca di buku ini dan sukses membuat keningku mengernyit.

Buku ini menceritakan perjalanan dua anak manusia yang mencari kebenaran atas agamanya. Hanif, seorang pemuda yang terlalu kritis dengan pikiran-pikirannya memandang agama. Ia menyukai segalamacam debat agama. Ia suka saat berdiskusi dengan salah satu dosennya. Suatu hari yang menjadi lawan debat adalah Bapaknya sendiri―saat mereka sedang menonton sebuah acara diskusi tentang refleksi keagamaan.

Hanif terlalu menggebu-gebu mengemukakan pendapatnya, sementara di sisi lain argumen Bapak bertolak belakang dan Bapak tetep kekeuh pada pemikirannya yang konservatif. Terjadilah pertengkaran di antara mereka..

Itu sebabnya kenapa Hanif memutuskan pergi―mencari sesuatu―yang entah, dia sendiri tidak mengetahuinya.

Di satu sisi, Idam, karib Hanif, sekaligus pengikut Hanif kemanapun Hanif pergi. Idam awalnya bukan model laki-laki heroik macam Hanif. Ia jauh lebih sederhana, jauh lebih tenang dibandingkan dengan karibnya, yang mana kesederhanaannya kadang membuat hanif mengecap Idam tidak punya pendirian. Ia begitu mengagumi sahabatnya, Idam selalu memikirkan Hanif sampai―kadang, ia tidak memikirkan dirinya sendiri.

Saat Hanif meninggalkannya, Idam sangat terpukul. Ia blingsatan, kenapa Hanif meninggalkannya tanpa konfirmasi ia boleh mengikutinya. Berbulan-bulan Hanif pergi mencari ketenangan pemikirannya, dan atas permintaan Disti dan Dinda―yang notabene sahabat Hanif juga―ia pun mencari Hanif dengan bermodal alamat yang diberikan Mang Uci.

Ketika Idam berhasil menemukan Hanif, Hanif malah bersandiwara, ia berpura-pura ikut pulang, padahal justru Hanif ingin kabur lagi. Saat itu juga, aku―sebagai pembaca―menyaksikan betapa Idam menjadi superkeren, ia bermetamorfosis menjadi superhero! Terjadi baku tonjok, pukulannya tepat mendarat di bibir Hanif dan bibir itu berdarah. Yang mengharukan pas di tonjok, Hanif bukan marah atau membalasnya, ia malah tersenyum. “Gue seneng lo udah berani mukul gue,” “Lo udah jadi diri lo sendiri,”

Kata-kata itu yang paling aku suka.

“Mungkin bagi lo, hidup lo sekarang sandiwara, sedih senang sama aja. Tapi, bagi orang lain yang ada di sekitar lo, hidup ini bukan sandiwara, Nif. Bapak lo itu bukan lagi pura-pura sakit! Dia sakit beneran!”

“Dan lagi, kalau emang lo pemain sandiwara, harusnya lo bisa bersandiwara buat nyenengin hati Bapak.” (hal 278)

“Perbedaan adalah hal-hal baru dalam hidup kita, Dis. Sedangkan cinta adalah hal yang sudah lama kita punya,” (hall 79)

“Jangan dulu merasa bahwa kebenaran di tangan kita, semua orang bilangnya sama, yakin sama agamanya. Padahal mereka dicekoki waktu kecilnya. Waktu kecil kita mana bisa membedakan yang mana yang salah dan yang mana yang benar? Bedain sapi sama kerbau aja mungkin kita kesulitan” (hal 66)

Kalimat di atas membuatku mematung, kemudian setelah menemukan penawarnya di halaman 334 bahwa Dogma pun diajarkan dengan kasih saying. Bukan paksaan. Kasih sayang itu yang kemudian membuat seorang anak merasa tak perlu mempertanyakan pelajaran apa yang diberikan orangtuanya.

Tuan penulis, jujur, buku ini sangat menarik. Sudut pandang yang diganti-ganti tidak membuat pembaca kebingungan, sebab, masing-masing aku (idam dan Hanif) mempunyai karakter yang kuat. Cerita yang diangkat cukup unik dan sederhana, mulai dari pake jeans yang di bilang celana orang kafir, cara pandang umat muslim mengenai perbedaa lebaran (nah yang ini adalah sebuah keresahan di hati setiap orang muslim, mengapa untuk mencapai kemenangan pun kita berbeda) cerita tentang kehidupan di pesantren (mungkin bagi para santri pernah mengalaminya, kebetulan aku bukan santri, tapi sangat tertarik dengan cerita teman-teman yang menjadi santri), masa kecil dua karib yang mencari kenikmatan di buah kecapi, sampai saat pengajian selesai Bapak menggendong Hanif kecil pulang.

Ini juga yang terjadi padaku. Di masa kecil, ketika orangtuaku mengaji,  aku malah berlarian , bermain atau bercerita hal-hal seru dan menarik di teras masjid. Begitu sudah lelah, permainanku berakhir di pangkuan Bapak yang sedang memegangi Al-Qur’an.  Ia menggeser Al-Qur’annya dan membiarkan dadanya menjadi sandaranku, kemudian aku terlelap begitu saja dan Bapak yang selalu menggendongku sampai rumah, ia tidak tega membangunkan putri kecilnya yang sedang terlelap, meski esok harinya aku marah-marah kerena sandal favoritku tertinggal di masjid.

Dalam buku ini tidak ada tokoh antagonis, yang menjadi musuh justeru pikiran manusia itu sendiri. Bagaimana seseorang yang beragama mempertahankan keimanannya tanpa takut berkurang imannya saat bersosialisasi dengan agama lain.

Kadang, orangtua selalu merasa benar dengan tindakannya. Padahal belum tentu juga mereka benar. Kalau saja golongan tidak menjadi sekat-sekat antara manusia pasti dunia ini jauh lebih baik―setidaknya jangan menjadikan agama sebagai perbedaan.

Orang yang paling sulit bahagia adalah yang punya banyak keinginan, namun tidak mampu mengelola harapan. Buku ini menjadi sebuah pelajaran berharga yang di petik dari kesederhanaan kita memandang agama, toleransi agama begitu penting dari pada yang saklek agamanya tapi ternyata egois.

Entah, setelah membaca bukumu, Tuan, aku ingin menjadi yang lebih sederhana lagi, yang lebih menikmati proses pencarian jati diri dalam kehidupan yang diwarnai dengan dzikir, solat serta iman, dan nantinya perjalanan kita akan berakhir di garis finish bernama kematian.

“Aku bangga pada setan yang bersedia menjadi musuh manusia, sekaligus aku malu pada manusia yang justru berperang sesamanya” (hal 277)

Rasanya, semua orang wajib membaca buku ini.

Tuan penulis, terimakasih telah mengenalkanku pada Hanif dan Idam. Mungkin, aku jatuh cinta pada kesederhanaan sosok Idam dan mungkin juga aku akan menjitak Hanif yang terlalu keras kepala. Persahabatan mereka patut diacungi jempol―yang susah senang sama-sama, bertahun-tahun bersama, saling rasa. Aku akan meneraktir sate kambing kalau sosok mereka beneran ada. Ini sungguhan.

Sekarang, aku punya dua jagoan baru, Idam dan Hanif.

Oh iya, selamat ulang tahun ya, Tuan penulis. :)
 




No comments:

Post a Comment