“kapan
kamu bawa calonmu?” “kapan kawin?” pertanyaan nenek yang di tujukan kepadaku,
SPONTAN aku yang sedang melanjutkan tulisanku melejit kaget, kacamataku
mendadak turun dari batang hidungku. Untung gak kena serangan jantung mendadak.
SEHARUSNYA, pertanyaan tersebut di tanyakan pada orang yang berusia sudah cukup
umur untuk menikah. Aku baru lahir 18 tahun yang lalu, dimana, saat ini aku
masih senang bermain(kayaknya yang ini utama banget getoo), belajar, bekerja
dan menulis. But you know, aku tinggal di kampung halaman Ibuku, yang mana anak
perempuan seumuranku sudah menikah. Entah kenapa, memang budaya orang sini
seperti itu.
Seperti
dua sepupuku, yuli (sudah menikah di akhir tahun lalu padahal dia baru lulus
SMA di tahun yang sama), dan Kiki (yang akan menikah awal tahun depan, padahal
dia sekarang umurnya baru 16 tahun, dan masih duduk di kelas 2 SMA), dan tahu
tidak, ternyata tidak hanya kedua sepupuku saja, ibuku, dan seluruh
adik-adiknya menikah muda. Pantesan aja di umur 45 tahun ibu udah punya anak
berumur 27 tahun dan mempunyai seorang cucu. Bukannya aku menentang budaya ini.
tapi pertanyaanku adalah “Mau di kasih makan apa anakku kelak?” kalau saat ini
gaji ku sebulan Cuma untuk bayar kuliah “tok”. Bahkan aku sendiri belum bisa
menikmati uang hasil jerih payahku untuk jalan-jalan ke belanda menyusul kak
ciscatodi disana. (ihiyyy ngarep banget yang ini. moga-moga ujan duit!)
Nenek
bilang, kalau nikah sekarang, setidaknya ada yang mau ngasih kamu makan? What
the hell, fine, kalo aku nantinya di bilang cucu durhaka yang tidak sejalan
dengan neneknya. Tapi, ini demi kebaikan aku dan keluargaku. Walaupun aku ini
anak perempuan, tidak ada salahnya dong, kalau aku ingin membahagiakan kedua
orang tuaku. Termasuk nenekku. Kalau aku nikah sekarang apa nenek bisa menjawab
deretan pertanyaanku: siapa yang membahagiakan ibu dan bapakku? Siapa yang akan
membelikan mereka selembar tiket untuk pergi haji? Siapa yang akan membiayai
sekolah adik-adikku? Siapa yang akan merubah nasib?
Nenek,
dengar. insaAllah, Aku yang akan melakukan semua itu, walaupun sekarang aku
hanya bisa mengajar di sekolah SD dan hasilnya ku pergunakan untuk belajar di
kampusku. (mengajar untuk belajar) tidak salah bukan? Aku yakin suatu saat
pasti akan ada hasilnya. Ingat “manjada wajadda” siapa yang bersungguh-sungguh
pasti bisa.
Aku
akan memikirkan hal itu saat usiaku sudah cukup dewasa untuk di pinang oleh
seorang lelaki yang kelak jadi suamiku (hal ini masih ghaib karena tidak ada
yang tahu umur seseorang, dan siapa tahu besok aku akan mati. Ya, tidak tahu)
memang, Rosullullah membolehkan anak perempuan menikah saat usia muda,
setidaknya dia sudah baligh. Tapi, sekali lagi aku punya pertanyaan: apakah
semuanya selesai dengan menikah? Then, apakah cukup dengan menikah lalu aku
tidak memikirkan nasib anak-anakku kelak?
Siapapun
yang punya anak, pasti ia akan berpikir:
Ø
Mau makan apa anaknya hari ini? tidak ada
manusia di dunia ini yang rela anaknya tidak makan, sekalipun dia adalah seekor
singa yang paling buas.
Ø
Berapa jumlah uang yang harus di bayar untuk
membeli susu? Apa mau anak kita kelak hanya di beri susu yang berwarna bening?
Tentu tidak bukan!
Ø
Berapa banyak mainan yang akan di minta anaknya
kelak? Tentunya, diantara kita tidak ingin anaknya menangis karena meminta
sebuah mainan. Aku pun begitu.
Ø
Lalu biaya untuk sekolahnya hingga kuliahnya.
Ingat, anak-anak kedepan akan menjadi generasi penerus kita, guys. Jadi jangan
biarkan mereka buta pelajaran. Sebab nasib bangsa kita di tentukan dari berapa
anak yang mewakili Indonesia
pada ajang olimpiade di Beijing?
Siapa saja atlet yang akan mewakili Indonesia saat olimpiade?
Aku menghindari
pernikahan muda yang nantinya di warnai pertengkaran-pertengkaran karena
ketidak dewasaan dari kedua sejoli yang di ikat dengan tali pernikahan,
memangnya mau seumur-umur hidup ngontrak terus? Kita juga harus punya rumah,
setidaknya bisa nyicil rumah BTN kan??
sebab, banyak sekali perceraian yang menyebabkan anak-anak terlantar. Aku tidak
ingin itu terjadi padaku. Aku tidak ingin saat aku sudah menikah masih memikirkan
makan apa kita besok? Guys, bukan aku durhaka. Tapi ini sudah ku diskusikan
dengan ibuku. Dan beliau setuju dengan prinsip yang ku pegang. Bahwa, Allah
tidak akan mengubah nasib umatnya kecuali, umat itu sendiri yang mengubahnya.
Lain halnya
dengan keluarga bapak, yang selalu mengutamakan soal pendidikan. Bahkan
sepertinya “siapa yang berpendidikan itu lah yang punya harga diri” itu
semboyan yang tersirat dalam keluarga bapak. Agak ironis juga emang untuk yang
tidak kuliah, tapi ini adalah dorongan. Malu dong kalo gak kuliah? Bagaimanapun
caranya kita wajib kuliah. Pasti bisa, gak punya duit? Bisa jalur beasiswa.
Then, bukannya
sok ngebanggain, tapi om adjo(adik dari bapak) saat ini usianya sudah 43 tahun,
sudah cukup tua, bukan? Dan sekarang ia melanjutkan studi s2nya wow. Ini baru
aku harus salto dan bilang woooooow! Keren! Aku juga gak kalah semangat. Aku
bisa kok, jadi s2 si usia muda. Bahkan tergetku sebelum usiaku berkepala 3.
hemm kalo soal nikah? Jodoh sudah di tangan tuhan. Tinggal kita aja yang harus
bertawakal. Lalu gimana omongan nenek? Ah gak usah dengerin. Toh bukan dia yang
ngasih makan anakku kelak :p setuju? J
No comments:
Post a Comment