Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Friday, November 23, 2012

bukan aku.




“Nadia pipis di celana, nadia pipis dicelana.”

Bukan aku, tentunya aku tidak pernah melakukan itu. Ku ingat-ingat lagi, ternyata itu Ervin, lelaki yang paling ku benci di dunia ini. sejak aku masih duduk di bangku SD. Lihat, betapa menyebalkannya dia, menjulurkan lidahnya sambil mengatakan itu. Sekarang, ia di hadapanku bertekuk lutut sambil menyodoriku cincin berlian dua puluh empat karat.
Bukan aku, yang seharusnya menerima permintaanmu untuk menjadikan aku ratu di kerajaan hatinya.
“Menikahlah denganku,” tatapan Ervin begitu meyakinkan. Ini gila, bawa aku ke rumah sakit jiwa SEKARANG!
“Kamu sakit?” tanyaku. Ku rasa dia belum minum obat.
Ervin menggeleng, “Nadia,” ucapnya. Aku yakin setelah memanggil namaku ia akan meneruskan kalimatnya dengan.. “Pipis di celana.” Dengan gaya yang selalu ia gunakan untuk meledekku. Tapi, prediksiku meleset. “Aku mencintaimu,” lanjutnya.
Cubit aku!
Tahu tidak? Selama 15 tahun aku hidup terus di hantui bayang-bayangmu. Dan selama itu aku tidak bisa menyimpan rindu dengan baik. Aku kualahan karena aku telah memendam perasaan untuk orang yang sama sekali tidak pernah mencintaiku. Sudah ku bilang, bahwa aku baik-baik saja. Tapi senyumku tidak bisa membohongi air mata yang mengalir di kedua belah pipi. Dengan mimpiku yang kau bawa pergi. Semua yang ku harapkan bahwa cintamu akan bersama.
“Aku tau kamu tidak akan percaya, tapi tolong mengertilah, aku sungguh mencintaimu.”
“Tidak seharusnya kamu katakan ini padaku, lihat jari manismu sudah terpenuhi satu cincin,” kataku. Aku mencoba menahan air mataku agar tidak tumpah. Dan aku tidak berhasil melakukan itu.
“Aku tidak perduli! Aku tidak mencintainya!” Teriak Ervin mencopot cincin yang melingkari jari manisnya. “Tolong jujur padaku. Bahwa kamu juga mencintaiku,” lirih Ervin menatapku.
Aku membantu Ervin berdiri, air mataku menderas. “Vin, bukan aku,” kataku.
Ervin baru saja ingin membantah kalimatku, tapi segera ku hentikan dengan meletakan satu jari di bibirnya.
“Bukan aku, yang tidak pernah mencintaimu.” Kataku. Ervin langsung memelukku, ini pertama kalinya, aku di peluk laki-laki yang ku cintai, ini pertama kalinya aku jujur dengan perasaanku sendiri.
“Marry me?” kata Ervin.
Aku mengangguk.

3 comments: