Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Friday, November 16, 2012

dua cangkir espresso.


“Aku merindukanmu.” Setelah nada suara itu ku dengar dan belum sempat otakku mencerna, telepon sudah terputus begitu saja.
Hal yang selalu ku lakukan sebelum tidur adalah menunggu telepon darimu, padahal hanya untuk mendengar suara jelekmu. Aku harap, suatu hari nanti, sebelum mimpi menjemputku, kau lah satu-satunya orang yang akan mengecup dahiku dan menyelimutiku.
Sebelum kepergianmu, yang membuat kita terpisah oleh jarak ribuan kilo meter dari tempatku berpijak. Kita selalu melewati hari bersama.
“Aku akan pulang untukmu, Nona.” Begitu caranya memanggilku, saat aku melihat wajahmu yang terakhir.
Entah kenapa, bandara menjadi satu-satunya tempat yang paling aku benci. Tembok beton yang besar itu, merenggutmu dariku. Setelah pelukan itu, aku ingin, jarum jam menyisakan waktu untukku, satu detik saja. Untuk lebih lama memandang wajahmu.
“Jaga diri baik-baik.” Ucapmu. Ku kira aku ini sedang pingsan, atau setidaknya tak sadarkan diri. Tolong bawa lari aku, untuk jauh dari kenyataan. Tapi sayang, realita menarikku hingga aku harus lebih tegar.
Berbulan-bulan rindu menyiksaku. Musim semi sudah berganti, musim panas pun sudah tidak tahu lagi kabarnya. Kini hanya rintik salju yang turun, menemani kecanduanku dalam mengamati wajahmu dari sebuah pigura yang berisi foto kita.
“Kamu ingat, tidak? Bagaimana kita pernah berlari-lari bersama mengelilingi kebun, menyusuri tepi sungai, hingga kau gapai tanganku saat aku tak bisa memanjat bukit.” Kataku pada foto kita. “Kamu ingat, tidak? Saat kita pernah tertawa bersama, menghabiskan Es krim coklat yang kita beli sepulang sekolah, lalu kau usap sekitar bibirku yang di penuhi coklat.” Ku tarik napasku pelan-pelan. Harap kau tak lupakan kenangan.
 Ini mimpi, tolong cubit aku. di kedai kopi favorit kita. Ah.. mungkin uap kopi ini membuat mataku buram, hingga aku berpikir yang tak keruan. Tapi sungguh, aku melihatmu. Kamu hadir dalam bentuk bukan sebuah bayangan. “Hey, apa kabarmu Nona? Apakah kau baik-baik saja?” katamu dengan dengan nada ceria. Ku lihat sunggingan senyummnu yang menggoda.
Tahukah, kalau aku menantimu dengan kecemasan dan ketidak pastian?
“Aku baik-baik saja.” Kataku berbohong.
Usai memesan kopi, kau tatap aku kembali. Seleranya selalu sama denganku. Secangkir espresso dengan gula diet. Sementara cangkir espressoku yang tinggal setengah, sudah menjerit-jerit sejak tadi karena melihat wajahmu yang rupawan. Tidak lama, pesananmu datang.
“Nona, maukah kau menjadi bagian dari hidupku?” tanyanya membuatku seolah kehilangan semua oksigenku.
“Untuk apa? Setelah ini kau akan meninggalkanku lagi.” ku ingat bahwa ia masih punya tanggung jawab kuliahnya di USA.
“Usah kau kawatir, Nona. Aku akan datang dengan rindu yang kau bawa pulang.”
Dua buah cangkir espresso yang menyaksikan bahwa rindu menarik kita pada titik temu.  Demikian, aku mencitaimu.

1 comment:

  1. loh kak? bukannya batasnya hanya sampai 350 kata, ini kayaknya kakak lebih dari 400 kata deh?

    ReplyDelete