“Aku
merindukanmu.” Setelah nada suara itu ku dengar dan belum sempat otakku
mencerna, telepon sudah terputus begitu saja.
Hal yang selalu
ku lakukan sebelum tidur adalah menunggu telepon darimu, padahal hanya untuk
mendengar suara jelekmu. Aku harap, suatu hari nanti, sebelum mimpi menjemputku,
kau lah satu-satunya orang yang akan mengecup dahiku dan menyelimutiku.
Sebelum
kepergianmu, yang membuat kita terpisah oleh jarak ribuan kilo meter dari
tempatku berpijak. Kita selalu melewati hari bersama.
“Aku akan pulang
untukmu, Nona.” Begitu caranya memanggilku, saat aku melihat wajahmu yang
terakhir.
Entah kenapa,
bandara menjadi satu-satunya tempat yang paling aku benci. Tembok beton yang
besar itu, merenggutmu dariku. Setelah pelukan itu, aku ingin, jarum jam
menyisakan waktu untukku, satu detik saja. Untuk lebih lama memandang wajahmu.
“Jaga diri
baik-baik.” Ucapmu. Ku kira aku ini sedang pingsan, atau setidaknya tak
sadarkan diri. Tolong bawa lari aku, untuk jauh dari kenyataan. Tapi sayang,
realita menarikku hingga aku harus lebih tegar.
Berbulan-bulan
rindu menyiksaku. Musim semi sudah berganti, musim panas pun sudah tidak tahu
lagi kabarnya. Kini hanya rintik salju yang turun, menemani kecanduanku dalam
mengamati wajahmu dari sebuah pigura yang berisi foto kita.
“Kamu ingat,
tidak? Bagaimana kita pernah berlari-lari bersama mengelilingi kebun, menyusuri
tepi sungai, hingga kau gapai tanganku saat aku tak bisa memanjat bukit.”
Kataku pada foto kita. “Kamu ingat, tidak? Saat kita pernah tertawa bersama,
menghabiskan Es krim coklat yang kita beli sepulang sekolah, lalu kau usap
sekitar bibirku yang di penuhi coklat.” Ku tarik napasku pelan-pelan. Harap kau
tak lupakan kenangan.
Ini mimpi, tolong cubit aku. di kedai kopi
favorit kita. Ah.. mungkin uap kopi ini membuat mataku buram, hingga aku
berpikir yang tak keruan. Tapi sungguh, aku melihatmu. Kamu hadir dalam bentuk
bukan sebuah bayangan. “Hey, apa kabarmu Nona? Apakah kau baik-baik saja?”
katamu dengan dengan nada ceria. Ku lihat sunggingan senyummnu yang menggoda.
Tahukah, kalau
aku menantimu dengan kecemasan dan ketidak pastian?
“Aku baik-baik
saja.” Kataku berbohong.
Usai memesan
kopi, kau tatap aku kembali. Seleranya selalu sama denganku. Secangkir espresso
dengan gula diet. Sementara cangkir espressoku yang tinggal setengah, sudah
menjerit-jerit sejak tadi karena melihat wajahmu yang rupawan. Tidak lama,
pesananmu datang.
“Nona, maukah
kau menjadi bagian dari hidupku?” tanyanya membuatku seolah kehilangan semua
oksigenku.
“Untuk apa?
Setelah ini kau akan meninggalkanku lagi.” ku ingat bahwa ia masih punya
tanggung jawab kuliahnya di USA.
“Usah kau
kawatir, Nona. Aku akan datang dengan rindu yang kau bawa pulang.”
Dua buah cangkir
espresso yang menyaksikan bahwa rindu menarik kita pada titik temu. Demikian, aku mencitaimu.
loh kak? bukannya batasnya hanya sampai 350 kata, ini kayaknya kakak lebih dari 400 kata deh?
ReplyDelete