Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Monday, November 19, 2012

alaram clock.



Pagi ini aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Aku di paksa untuk bangun oleh alaram di handphoneku, ku pikir semalam aku tidak memasang alaram clock. Well, ku lihat layar hanphoneku, ternyata bukan sebuah alaram yang biasa ku pasang. Tapi alaram ulang tahun yang ada di calendar alert handphoneku.
Aku baru ingat sesuatu. Malas tidak lagi menyuruhku untuk menarik selimut di pagi ini yang cukup dingin, ku tarik tubuhku ke laptop yang sejak semalam lupa ku matikan. Lalu aku mulai menulis, menulis untuk mengingat-ngingat sesuatu yang seharusnya tidak ku ingat lagi, di dua tahun yang lalu []
Dua tahun yang lalu, saat aku masih memakai seragam putih abu-abuku. Aku sudah siap berangkat kesekolah untuk hari kami ini yang sedemikian rupa pelajaran berbau eksakta harus ku lewatkan. Tugas Fisika sudah menanti, buku matematika sudah berteriak-teriak minta ku bawa sejak tadi, Kimia selalu ingin menjelajahi seluruh tasku, beberapa catatan pun ikut merengek. Alhasil sebegitu banyak ku bawa buku pelajaranku, aku harus menggunakan dua tas sekaligus, hari ini.
Aku adalah tipikal siswa yang akan merasa bersalah jika aku tidak membawa satu saja buku ku, karena itu akan menyulitkanku saat pelajaran, seperti dua kamus bahasa inggris, dan bahasa france wajib bawa. Mereka bahkan selalu memenuhi tas depanku. Meskipun berat, tapi menurutku hari ini yang paling berat dari biasanya. Aku tetap bahagia, hari-hariku di penuhi oleh puluhan sms dari dia yang selalu menyemangatiku. Bahkan di sela-sela pelajaranpun, aku masih berharap handphoneku bergetar berisi nama dia.
Aku tidak akan menyebut namanya, sebab bila aku menyebut nama orang yang telah membawa kabur separuh perasaanku selama dua tahun ini, aku yakin setelah ini aku akan mengguyur diriku dengan seember air es dari kulkas.
Kita berbeda sekolah, berbeda umur dan kita jarang sekali bertemu, karena itu aku sangat senang bila dia mengirimiku SMS. Rasanya seluruh energi ku yang telah tersedot oleh lelah, terisi kembali. Sepulang sekolah, aku langsung menghambur ke tempat tidur, memencet nomer yang tertera di panggilan terakhir tanpa mengganti baju seragamku terlebih dahulu atau mencopot sepatuku. Aku sengaja membuat panggilanku menjadi privat number. Aku ingin tahu apa dia mengenali suaraku? Oh iya saat itu aku baru satu-dua.. hemmm kira-kira 4 hari setelah insiden penembakan itu (sebenarnya ini bukan tindakan criminal, karena sampai saat ini aku masih hidup. Lebih tepatnya ia mengungkapkan perasaannya), tapi sampai detik ini aku belum memberikan jawabannya.
Ku tunggu nada sambung yang menghubungkan teleponku ke teleponnya.
“Halo.” Katanya, dengan suara yang sangat-sangat ku kenal.
I hear his voice! Teriakku dalam hati. Ya, kalau aku boleh bilang, bahwa aku sangat-sangat, bahkan lebih dari sangat untuk rindu pada suaranya.
“Hey,” ucapku mencoba berbicara dengan nada biasa saja tapi yang terdengar adalah nada gerogiku.
“Ovie? What are you doing? Call me with private?” tanyanya sukses membuatku malu. Aku ketahuan pake private.
Tapi, aku cukup senang, dia mengenaliku. “I’m.. sorry , I’m sorry. I don’t know if this private.”
“Oh, no problem.” Katanya santai. Bisa ku dengar suaranya yang selalu membuatku luluh lantah.
Well, happy birthday, Dear.” Ucapku awalnya aku ingin mengucap akhir kalimatku dengan namanya, tapi sepertinya otakku sedang tidak sejalan dengan mulutku.
Thank you, Dear.” Balasnya yang juga memanggilku Dear.
Aku ingin menampar wajahku saat itu, rasanya tidak adil kalau aku memanggil dia dengan panggilan itu sebelum aku menerimanya sebagai.. ah sudahlah. Akhirnya aku menemukan rasa frustasiku lewat suaranya yang memanggilku.
Can we talk bout the relation?” tanyanya.
Aku mengambil napasku sebelumku lepaskan pelan-pelan. Ku ingat-ingat kalau aku masih hutang pertanyaan padanya, tapi aku belum siap.  No, tidak sekarang. Give me a time for answer it.” Ucapku perlahan. Aku harus menentukan pilihan apakah aku tetap begini terus atau aku akan bersamanya melewati hari-hariku (mungkin) sepanjang hidupku bersamanya?
Okey, its okey.” Ucapnya. Ku dengar nadanya tidak mempermasalahkan kalimatku sebelumnya. “terimakasi sudah menelponku. And then.. I love you, Dear.” Ucapnya sebelum otakku berhasil mencerna kalimatnya, telepon sudah putus begitu saja.
Setelah itu, aku baru sadar atas apa yang dia ucapkan. Dan kini, aku bisa merasakan detak jantungku yang tidak keruan. Paru-paruku yang menggelembung hingga aku sesak napas. Satu detik kemudian aku menemukan diriku yang sedang tertawa dengan bolamataku yang terbelalak. “I love you too.” Ucapku pada layar handphoneku yang sudah mati. Aku ingat hari itu, dimana rasanya dunia dan seluruh isinya menjadi milikku.
Suara cristina perry terdengar kembali dari handphoneku. Menarikku pada realita. Ternyata itu bunyi alaram calendar ku yang berbunyi kembali. Yeah. Alaram yang sama, di hari yang sama orang yang sama pada tahun yang berbeda. ku ingat usianya kini sudah 19 tahun. Ku ambil Handphoneku, di samping meja belajar, aku mencari namanya di contac phoneku, bukan di daftar panggilan, sebab sudah lama sekali aku tidak menekan nomer itu, setelah aku menemukan namanya yang sebelumnya aku tidak pernah sekalipun menghapus atau mengganti nama itu dari list phonebook, aku tidak jadi memencet tombol hijau. Aku kembali ke menu awal, untuk menuju calendar, dan menghapus Alert di tanggal 18 november. Dan.. “Happy birthday, for you.” Ucapku dalam hati sambil meletakan handphoneku kembali.

No comments:

Post a Comment