Pagi
ini aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Aku di paksa untuk bangun
oleh alaram di handphoneku, ku pikir semalam aku tidak memasang alaram clock. Well, ku lihat layar hanphoneku,
ternyata bukan sebuah alaram yang biasa ku pasang. Tapi alaram ulang tahun yang ada di calendar alert handphoneku.
Aku
baru ingat sesuatu. Malas tidak lagi menyuruhku untuk menarik selimut di pagi
ini yang cukup dingin, ku tarik tubuhku ke laptop yang sejak semalam lupa ku
matikan. Lalu aku mulai menulis, menulis untuk mengingat-ngingat sesuatu yang
seharusnya tidak ku ingat lagi, di dua tahun yang lalu []
Dua
tahun yang lalu, saat aku masih memakai seragam putih abu-abuku. Aku sudah siap
berangkat kesekolah untuk hari kami ini yang sedemikian rupa pelajaran berbau
eksakta harus ku lewatkan. Tugas Fisika sudah menanti, buku matematika sudah
berteriak-teriak minta ku bawa sejak tadi, Kimia selalu ingin menjelajahi
seluruh tasku, beberapa catatan pun ikut merengek. Alhasil sebegitu banyak ku
bawa buku pelajaranku, aku harus menggunakan dua tas sekaligus, hari ini.
Aku
adalah tipikal siswa yang akan merasa bersalah jika aku tidak membawa satu saja
buku ku, karena itu akan menyulitkanku saat pelajaran, seperti dua kamus bahasa
inggris, dan bahasa france
wajib bawa. Mereka bahkan selalu memenuhi tas depanku. Meskipun berat, tapi
menurutku hari ini yang paling berat dari biasanya. Aku tetap bahagia,
hari-hariku di penuhi oleh puluhan sms dari dia yang selalu menyemangatiku.
Bahkan di sela-sela pelajaranpun, aku masih berharap handphoneku bergetar
berisi nama dia.
Aku
tidak akan menyebut namanya, sebab bila aku menyebut nama orang yang telah
membawa kabur separuh perasaanku selama dua tahun ini, aku yakin setelah ini
aku akan mengguyur diriku dengan seember air es dari kulkas.
Kita
berbeda sekolah, berbeda umur dan kita jarang sekali bertemu, karena itu aku
sangat senang bila dia mengirimiku SMS. Rasanya seluruh energi ku yang telah
tersedot oleh lelah, terisi kembali. Sepulang sekolah, aku langsung menghambur
ke tempat tidur, memencet nomer yang tertera di panggilan terakhir tanpa
mengganti baju seragamku terlebih dahulu atau mencopot sepatuku. Aku sengaja
membuat panggilanku menjadi privat
number. Aku ingin tahu apa dia mengenali suaraku? Oh iya saat itu aku baru
satu-dua.. hemmm kira-kira 4 hari setelah insiden penembakan itu (sebenarnya
ini bukan tindakan criminal, karena sampai saat ini aku masih hidup. Lebih
tepatnya ia mengungkapkan perasaannya), tapi sampai detik ini aku belum
memberikan jawabannya.
Ku
tunggu nada sambung yang menghubungkan teleponku ke teleponnya.
“Halo.”
Katanya, dengan suara yang sangat-sangat ku kenal.
I hear his voice! Teriakku dalam hati.
Ya, kalau aku boleh bilang, bahwa aku sangat-sangat, bahkan lebih dari sangat
untuk rindu pada suaranya.
“Hey,”
ucapku mencoba berbicara dengan nada biasa saja tapi yang terdengar adalah nada
gerogiku.
“Ovie?
What are you doing? Call me with private?”
tanyanya sukses membuatku malu. Aku ketahuan pake private.
Tapi,
aku cukup senang, dia mengenaliku. “I’m..
sorry , I’m sorry. I don’t know if this private.”
“Oh,
no problem.” Katanya santai. Bisa ku
dengar suaranya yang selalu membuatku luluh lantah.
“Well, happy birthday, Dear.” Ucapku
awalnya aku ingin mengucap akhir kalimatku dengan namanya, tapi sepertinya
otakku sedang tidak sejalan dengan mulutku.
“Thank you, Dear.” Balasnya yang juga
memanggilku Dear.
Aku
ingin menampar wajahku saat itu, rasanya tidak adil kalau aku memanggil dia
dengan panggilan itu sebelum aku menerimanya sebagai.. ah sudahlah. Akhirnya
aku menemukan rasa frustasiku lewat suaranya yang memanggilku.
“Can we talk bout the relation?”
tanyanya.
Aku
mengambil napasku sebelumku lepaskan pelan-pelan. Ku ingat-ingat kalau aku
masih hutang pertanyaan padanya, tapi aku belum siap. “No,
tidak sekarang. Give me a time for answer
it.” Ucapku perlahan. Aku harus menentukan pilihan apakah aku tetap begini
terus atau aku akan bersamanya melewati hari-hariku (mungkin) sepanjang hidupku
bersamanya?
“Okey, its okey.” Ucapnya. Ku dengar
nadanya tidak mempermasalahkan kalimatku sebelumnya. “terimakasi sudah
menelponku. And then.. I love you, Dear.”
Ucapnya sebelum otakku berhasil mencerna kalimatnya, telepon sudah putus begitu
saja.
Setelah
itu, aku baru sadar atas apa yang dia ucapkan. Dan kini, aku bisa merasakan
detak jantungku yang tidak keruan. Paru-paruku yang menggelembung hingga aku
sesak napas. Satu detik kemudian aku menemukan diriku yang sedang tertawa
dengan bolamataku yang terbelalak. “I
love you too.” Ucapku pada layar handphoneku yang sudah mati. Aku ingat hari
itu, dimana rasanya dunia dan seluruh isinya menjadi milikku.
Suara
cristina perry terdengar kembali dari
handphoneku. Menarikku pada realita. Ternyata itu bunyi alaram calendar ku yang
berbunyi kembali. Yeah. Alaram yang sama, di hari yang sama orang yang sama
pada tahun yang berbeda. ku ingat usianya kini sudah 19 tahun. Ku ambil
Handphoneku, di samping meja belajar, aku mencari namanya di contac phoneku, bukan di daftar
panggilan, sebab sudah lama sekali aku tidak menekan nomer itu, setelah aku
menemukan namanya yang sebelumnya aku tidak pernah sekalipun menghapus atau
mengganti nama itu dari list phonebook,
aku tidak jadi memencet tombol hijau. Aku kembali ke menu awal, untuk menuju calendar, dan menghapus Alert di tanggal 18 november. Dan.. “Happy birthday, for you.” Ucapku dalam
hati sambil meletakan handphoneku kembali.