Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Friday, March 31, 2017

Senja, dan pertemuan kita.

Langit senja melapisi angkuhnya gedung-gedung kota.

Aku berlarian sepanjang koridor, mengejar transit bus keduaku yang akan membawaku ke ujung kota. Ini hari jum’at, semua orang buru-buru ingin pulang.

Aku masih berlarian, stiletto ini membuat lariku tidak terlalu cepat. Aku berusaha sekeras mungkin ingin masuk bus, karena bus berikutnya tiba kira-kira sepuluh menit lagi. Dan aku tidak ingin menunggu lebih lama.

Dan.. syuuut! Aku berhasil masuk sebelum pintu bus tertutup.

Belum sempat aku bernapas, aku menemukan kemeja biru-muda di hadapanku. Persis di depanku. Aku bisa melihat dengan jelas garis-garisnya. Hingga model kancing yang sewarna dengan garis-garis kecil. Sesaat kemudian aku baru sadar kalau wajahku tepat berada di dada bidangnya.

Aku berusaha untuk mundur, tapi bus ini penuh sesak dengan orang pulang kerja. dan tubuhku di sanggah  oleh pintu kaca bus yang tertutup rapat-rapat.

Senjapun memudar, silih dengan malam yang hampir tiba.

Aku tertunduk, kupandangi sepasang sepatu kulit cokelatnya. sambil menghela napas, aku hanya ingin cepat sampai.

 ‘’Ludmila,”

Aku mendengar lirih seseorang memanggil namaku, pelan. Namun jelas. Itu ejaan namaku.

Aku memberanikan diriku untuk menatapnya. Aku menenukan sorot mata yang ku kenal. Aku menemukan garia alis yg kukenal. Aku juga menemukan sosok yang kukenal lama.
Ka-f-ka.
Aku berhasil mengeja dengan sempurna namanya.
Nama yang bertahun-tahun tak pernah hilang. Yang berkali-kali kulupakan namun berkali-kali pula muncul ke permukaan.

Aku berusaha mengatur napasku yang mulai sesak.

Jika pada saat ini kau mengetahui detak jantungku, kau pasti sudah menertawaiku karena sedetikpun aku tidak bisa melupakanmu. Karena pada saat ini pun perasaan itu masih sama. Masih pada rasa yang tak beranjak.

"kamu apa kabar?"

Lirihnya lagi. aku menemukan sebutir senyum. Senyum yang amat kukenal. Dan seluruhnya cair.

Aku mencintamu, sekali lagi, dalam angan yang sama.

No comments:

Post a Comment