Kadang, mencintaimu tidak
memerlukan alasan yang cukup.
Betapa kau tidak tahunya,
Betapa kau tidak mengertinya,
seperti apa, aku menguatkan diriku agar tidak selali bertengkar dengan egoku.
“Kita sampai disini aja ya, aku
ingin kamu segera melupakanku,” Arfi menatapku dengan sorot mata yang redup.
“Kenapa? Aku.. aku..” rasanya
seluruh kata-kataku tertelan begitu saja oleh gundah.
Diam-diam, resahku datang.
Membelenggu kalbu di atas tetesan air mata yang mulai merebak.
“Tidak perlu aku jelaskan lagi, sayang,
kita sudah tidak bisa bersama.”
Mencintaimu adalah satu-satunya hal
paling tolol yang pernah aku lakukan.
Sewajarnya, Arfi tidak mau
menyakitiku, karena setelah ini ia akan pergi meninggalkanku, selamanya.
“Dengar Disa, aku sangat-sangat
mencintaimu,” ku dengar kesungguhannya, Arfi meletakan wajahku di kedua telapak
tangannya, “Aku tidak akan membiarkanmu mati konyol karena perbuatan orang
tuaku,”
Kenapa?
Kenapa harus aku yang mencintaimu?
Kenapa tidak miliaran wanita lain
yang sanggup bersanding denganmu?
Kenapa aku?
Arfi adalah keturunan pembunuh
berdarah biru. Aku tau, keluarganya tidak akan segan-segan memutilasiku kalau
aku berani mendekati Arfi.
Tapi tahukah? Kalau aku
sungguh-sungguh mencintainya?
“Aku pergi ya, jaga dirimu baik-baik,”
ini saatnya, perpisahan itu terjadi di antara aku dan arfi.
Sungguh menyayat-nyayat hatiku,
sebagaimana aku kehilangan separuh napasku.
Seiring dengan kepergiannya, hujan
mulai turun menyelimuti kota,
entah, sepertinya langit mengerti perasaanku.
Ku lihat Arfi sudah menghilang di
tikungan. Di tengah orang-orang yang berlalu lalang aku meringkuk, meremas
lututku dan memeluk kakiku seerat mungkin.
“Are you okay?” tanya seseorang
yang mendapatiku tengah menggigil.
Ku temukan diriku dalam keadaan
cukup waras untuk menatap wajah lelaki itu yang sangat rupawan.
“Aku tidak akan membiarkan wanita
secantikmu menggigil kedinginan disini, ku antar kamu pulang,” katanya tegas.
No comments:
Post a Comment