Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Thursday, December 13, 2012

kenapa aku?



Kadang, mencintaimu tidak memerlukan alasan yang cukup.

Betapa kau tidak tahunya,

Betapa kau tidak mengertinya, seperti apa, aku menguatkan diriku agar tidak selali bertengkar dengan egoku.

“Kita sampai disini aja ya, aku ingin kamu segera melupakanku,” Arfi menatapku dengan sorot mata yang redup.
“Kenapa? Aku.. aku..” rasanya seluruh kata-kataku tertelan begitu saja oleh gundah.

Diam-diam, resahku datang. Membelenggu kalbu di atas tetesan air mata yang mulai merebak.

“Tidak perlu aku jelaskan lagi, sayang, kita sudah tidak bisa bersama.”

Mencintaimu adalah satu-satunya hal paling tolol yang pernah aku lakukan.

Sewajarnya, Arfi tidak mau menyakitiku, karena setelah ini ia akan pergi meninggalkanku, selamanya.

“Dengar Disa, aku sangat-sangat mencintaimu,” ku dengar kesungguhannya, Arfi meletakan wajahku di kedua telapak tangannya, “Aku tidak akan membiarkanmu mati konyol karena perbuatan orang tuaku,”

Kenapa?

Kenapa harus aku yang mencintaimu?

Kenapa tidak miliaran wanita lain yang sanggup bersanding denganmu?


Kenapa aku?

Arfi adalah keturunan pembunuh berdarah biru. Aku tau, keluarganya tidak akan segan-segan memutilasiku kalau aku berani mendekati Arfi.

Tapi tahukah? Kalau aku sungguh-sungguh mencintainya?

“Aku pergi ya, jaga dirimu baik-baik,” ini saatnya, perpisahan itu terjadi di antara aku dan arfi.

Sungguh menyayat-nyayat hatiku, sebagaimana aku kehilangan separuh napasku.

Seiring dengan kepergiannya, hujan mulai turun menyelimuti kota, entah, sepertinya langit mengerti perasaanku.

Ku lihat Arfi sudah menghilang di tikungan. Di tengah orang-orang yang berlalu lalang aku meringkuk, meremas lututku dan memeluk kakiku seerat mungkin.

“Are you okay?” tanya seseorang yang mendapatiku tengah menggigil.

Ku temukan diriku dalam keadaan cukup waras untuk menatap wajah lelaki itu yang sangat rupawan.

“Aku tidak akan membiarkan wanita secantikmu menggigil kedinginan disini, ku antar kamu pulang,” katanya tegas.

Tangan besar itu menarik tanganku. Membawaku dengan hati-hati hingga ke rumahku, bahkan aku tidak tau siapa itu.

No comments:

Post a Comment