Diantara kami hanya ada puisi dan
sajak-sajak yang telah meninggalkan jejaknya.
Bait-bait malam yang tidak terlalu
terang, kini hadir membawa getir yang menjadi tema perbincangan kami. Semoga
tidak ada lagi getir yang menghampiri hati, setelah ini.
Vieority
:
“Ada getar yang terlalu
getir. Diam-diam senyummu seperti petir, menghajarku hingga ketar-ketir.”
Arieimmaduddin
:
“Ada orang yang tidak takut
oleh kilatan petir. Tapi ia takluk oleh rindu yang tak bisa di usir. Orang itu
aku.”
Vieority
:
“Pergi
saja sana!
Dengan kekasihmu yang tak getir hatinya. ini baru sambaran petir, bukan asa
yang tak usir.”
Arieimmaduddin:
“Usah kau
khawatir kekasihku yang telah lama di renggut cinta yang lebih getir. Aku di
kalahkan oleh takdir.”
Vieority
:
“Cukup,
aku tak ingin lebih banyak menelan getirmu. Kalau takdir merenggutku pada sepi,
aku pasti menunggumu.”
Arieimmaduddin
:
“Tiada
kata yang cukup mewakili bagi getir rindu yang belum cakap. Aku bosan
ditaklukan oleh takdir.”
Vieority
:
“Jadi,
tuan akan pergi atau tetap di hati ini? menyingkirkan getir bersama takdir.”
Arieimmaduddin
:
“Sudah
lewat pukul sebelas malam, sayangku. Getir sudah sampai di titik nadir. Mengapa
kau masih merisaukan takdir?”
Vieority
:
“Rindu
yang menggetir ini tak kenal waktu, tuan. Ya, aku risau, rasanya payau.”
Arieimmaduddin
:
“Getir
rindu ini enggan mengenal waktu, tapi ia selalu menuntut temu, usah kau risau,
cahayaku hanyutlah dalam pelukanku.”
Malam menatap kami yang masih
terdiam, setelah percakapan tadi.
thanks to kak @arieimmaduddin
No comments:
Post a Comment