Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, December 19, 2012

getir ini sebagai tanda khawatir.



Diantara kami hanya ada puisi dan sajak-sajak yang telah meninggalkan jejaknya.

Bait-bait malam yang tidak terlalu terang, kini hadir membawa getir yang menjadi tema perbincangan kami. Semoga tidak ada lagi getir yang menghampiri hati, setelah ini.

Vieority :
“Ada getar yang terlalu getir. Diam-diam senyummu seperti petir, menghajarku hingga ketar-ketir.”

Arieimmaduddin :
“Ada orang yang tidak takut oleh kilatan petir. Tapi ia takluk oleh rindu yang tak bisa di usir. Orang itu aku.”

Vieority :
“Pergi saja sana! Dengan kekasihmu yang tak getir hatinya. ini baru sambaran petir, bukan asa yang tak usir.”

Arieimmaduddin:
“Usah kau khawatir kekasihku yang telah lama di renggut cinta yang lebih getir. Aku di kalahkan oleh takdir.”

Vieority :
“Cukup, aku tak ingin lebih banyak menelan getirmu. Kalau takdir merenggutku pada sepi, aku pasti menunggumu.”

Arieimmaduddin :
“Tiada kata yang cukup mewakili bagi getir rindu yang belum cakap. Aku bosan ditaklukan oleh takdir.”

Vieority :
“Jadi, tuan akan pergi atau tetap di hati ini? menyingkirkan getir bersama takdir.”

Arieimmaduddin :
“Sudah lewat pukul sebelas malam, sayangku. Getir sudah sampai di titik nadir. Mengapa kau masih merisaukan takdir?”

Vieority :
“Rindu yang menggetir ini tak kenal waktu, tuan. Ya, aku risau, rasanya payau.”

Arieimmaduddin :
“Getir rindu ini enggan mengenal waktu, tapi ia selalu menuntut temu, usah kau risau, cahayaku hanyutlah dalam pelukanku.”

Malam menatap kami yang masih terdiam, setelah percakapan tadi.

 thanks to kak @arieimmaduddin

No comments:

Post a Comment