Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Friday, December 14, 2012

Aku, Rena dan lelaki saiko!




 Tatapanku kosong saat ku lihat troli yang membawa jasad yang tertutup kain putih berlumuran darah.

Jam menunjukan pukul 2 dini hari.

Di balik bolamataku yang cokelat kehitam-hitaman,  beberapa jam lalu, di sebuah ruangan yang cukup gelap, ku lihat celurit yang bergelayut di lehernya, menembas dan memberi bekas hingga darah di tubuhnya habis.

“Pak Adrian, apa benar ini orangnya?” seorang polisi menarik tatapanku ke wajahnya, dengan kumis tebal, seragam intel, dan sejumlah data akurat di tangannya.

Aku mengangguk, alih-alih ku lihat malaikat menebar senyum padaku, hingga aku harus memejamkan mataku untuk tidak melihatnya lagi.

Sungguh, aku takut. Tapi apa daya, bolamataku mampu melihat hal yang tak kasat mata.

Apapun itu, aku harus mensyukuri, indra yang lebih ini. Setidaknya tuhan memperlihatkan kekuasaannya padaku. Agar aku mengingatNya.

“Apakah bapak bisa memberikan keterangan selanjutnya mengenai korban?”

“Ya, silakan Bapak ajukan pertanyaan.”

“Saya akan membuatkan beberapa daftar pertanyaan dulu, setengah jam lagi kami tunggu di kantor,”

“Tolong di bereskan saja Pak,” kataku.

Seharusnya, aku yang ada di troli itu, tapi entah kenapa. Mang Diman menyelamatkanku dari lelaki tidak waras itu.

Mang Diman yang merelakan nyawanya untuk aku. Akan ku kenang beliau, yang mengabdi ke pada keluargaku hingga puluhan tahun lamanya.

Aku tau, rasa cemburu lelaki saiko itu, terhadapku, karena Rena lebih memilih menikah denganku, dua hari yang lalu.

 Di bandingkan kembali ke pelukan lelaki yang suka main tangan.

Rasanya aku ingin memecahkan kepala orang itu, menggeretnya ke tebing landai menghancurkan tubuhnya dengan menggoyak-goyak jasadnya.

Tapi apa daya, lelaki tidak waras itu sudah mati di dalam sel tahanan yang akan membuatnya membusuk!

Ku lihat wajah setannya, muak sudah melengkapi ubun-ubun kepala.

Dia akan mati perlahan, jasadnya akan meronta, merintih, dan hatinya akan di koyak-koyak atas penyesalan.

Suara itu menghisap halus seluruh khayalku.

Aku dengar bisikan itu!

Ya, aku mendengarnya dengan baik. Bisikan malaikat itu.

Di luar kontrolku, kepalaku sudah mengangguk dengan sendirinya.

“Sayang, kamu sudah di tunggu di kantor polisi sekarang.”

Satu-satunya yang menarikku ke dunia dan memecah batu cemasku adalah senyum Rena.

No comments:

Post a Comment