Tatapanku kosong saat ku lihat troli yang
membawa jasad yang tertutup kain putih berlumuran darah.
Jam menunjukan
pukul 2 dini hari.
Di balik
bolamataku yang cokelat kehitam-hitaman,
beberapa jam lalu, di sebuah ruangan yang cukup gelap, ku lihat celurit
yang bergelayut di lehernya, menembas dan memberi bekas hingga darah di
tubuhnya habis.
“Pak Adrian, apa
benar ini orangnya?” seorang polisi menarik tatapanku ke wajahnya, dengan kumis
tebal, seragam intel, dan sejumlah data akurat di tangannya.
Aku mengangguk, alih-alih
ku lihat malaikat menebar senyum padaku, hingga aku harus memejamkan mataku
untuk tidak melihatnya lagi.
Sungguh, aku
takut. Tapi apa daya, bolamataku mampu melihat hal yang tak kasat mata.
Apapun itu, aku
harus mensyukuri, indra yang lebih ini. Setidaknya tuhan memperlihatkan
kekuasaannya padaku. Agar aku mengingatNya.
“Apakah bapak
bisa memberikan keterangan selanjutnya mengenai korban?”
“Ya, silakan
Bapak ajukan pertanyaan.”
“Saya akan membuatkan
beberapa daftar pertanyaan dulu, setengah jam lagi kami tunggu di kantor,”
“Tolong di
bereskan saja Pak,” kataku.
Seharusnya, aku
yang ada di troli itu, tapi entah kenapa. Mang Diman menyelamatkanku dari
lelaki tidak waras itu.
Mang Diman yang
merelakan nyawanya untuk aku. Akan ku kenang beliau, yang mengabdi ke pada
keluargaku hingga puluhan tahun lamanya.
Aku tau, rasa
cemburu lelaki saiko itu, terhadapku, karena Rena lebih memilih menikah
denganku, dua hari yang lalu.
Di bandingkan kembali ke pelukan lelaki yang
suka main tangan.
Rasanya aku
ingin memecahkan kepala orang itu, menggeretnya ke tebing landai menghancurkan
tubuhnya dengan menggoyak-goyak jasadnya.
Tapi apa daya,
lelaki tidak waras itu sudah mati di dalam sel tahanan yang akan membuatnya
membusuk!
Ku lihat wajah
setannya, muak sudah melengkapi ubun-ubun kepala.
Dia akan mati perlahan, jasadnya akan
meronta, merintih, dan hatinya akan di koyak-koyak atas penyesalan.
Suara itu
menghisap halus seluruh khayalku.
Aku dengar
bisikan itu!
Ya, aku
mendengarnya dengan baik. Bisikan malaikat itu.
Di luar
kontrolku, kepalaku sudah mengangguk dengan sendirinya.
“Sayang, kamu
sudah di tunggu di kantor polisi sekarang.”
Satu-satunya
yang menarikku ke dunia dan memecah batu cemasku adalah senyum Rena.
No comments:
Post a Comment