Jika nantinya aku jatuh cinta,
aku ingin jatuh cinta padamu lagi, meski telah berkali-kali.
***
“Rasya, kalau
kamu udah besar mau jadi apa?”
“Jadi apa yaa?”
Kata Rasya sambil melipat tangan di dada, wajahnya seperti membayangkan
sesuatu, tidak lama kemudian senyum nakalnya muncul.
Aku dan Rasya
sering berjalan di pinggiran pantai berpasir putih, kalau pagi-pagi pada akhir
pekan Ibu membolehkan ku bangun tidur langsung nyebur ke pinggiran dermaga yang
masih bening airnya. Biasanya Rasya sudah nyolong start terlebih dahulu dari
pada aku. Banyak sekali permainan yang bisa kami lakukan di sini selain berenang
bermain pasir, kejar-kejaran hijau hitam, umpat karang, atau yang paling seru
ikut Ayah mencari ikan dengan kapal motor yang bunyinya berisik itu. Tapi aku
suka mendengar bunyi kapal motor Ayah. Sangat khas saat petang ketika menunggu
Ayah pulang. Aku bisa dari kejauhan mendeteksi suaranya.
“Jadi pilot,”
jawab Rasya memamerkan giginya yang masih tanggal.
“Kok jadi
pilot?”
“Memangnya
kenapa kalau pilot?”
“Nanti kamu
pergi jauh,” jawabku. Ada nada sedih yang tersirat dalam kalimatku.
“Kalau kamu?”
nada Rasya polos.
“Aku ingin
seperti Ibu yang selalu menunggu Ayah pulang dan memasak enak,” jawabku.
“Hanya itu?”
Aku mengangguk,
“Ibu sangat bahagia ketika Ayah pulang, apalagi saat dipuji masakannya enak,
Ibu bilang wanita selalu mencari kebahagiaan dari yang sederhana,”
“Aku tidak
mengerti kamu ngomong apa?” alis Rasya bertaut, jelas saja. Umurku dan Rasya
saat itu masih 7 tahun.
“Aku juga,”
Kataku nyengir, gigiku masih ompong dan ada beberapa yang warnanya hitam.
Kami tinggal di
sebuah pulau kecil di kabupaten lampung, Pahawang Besar. Tidak banyak penduduk
kami yang menghuni pulau ini. Hanya berkisar seratus orang, mungkin. Mata
pencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah nelayan, untuk itu aku tidak
bosan-bosan makan ikan laut, Ibu bilang makan ikan membuat otak lebih cerdas.
Di kampung kami
yang kecil ini karena jauh dari kota jadi belum ada listrik, jadi pakai genset
itupun kalau malam hari baru bisa berfungsi.
Aku menatap
Rasya diantara semilir angin pantai yang mengelus-elus pipi sejak tadi, “Aku
tidak suka kamu jadi pilot,”
Alis Rasya
bertaut, lalu ia bangkit dan berlari, “Jika kamu tidak ingin aku menjadi pilot,
tangkap aku,” katanya. Kaki kecilnya berlari-lari menyusuri pinggiran pantai.
Aku tidak mau kalah, aku mengejarnya sambil tertawa riang.
***
“Kinaa!” Teriak
Rasya saat aku terjatuh diantara karang. Lututku mulai berdarah, ia
menghampiriku dengan wajah penuh kecemasan.
Aku mulai
menangis menahan perih di lutut, sementara Rasya meludahi lututku agar tidak
mengeluarkan darah lagi. Mungkin ludah adalah obat merah pertama yang bisa
menjadi penyembuh saat itu. Rasya membantuku berdiri, lalu ia menggendongku
sampai rumah. Berkali-kali ia menenangkan dan memastikan bahwa aku tidak akan
kenapa-kenapa.
Sepuluh tahun
berlalu, kami baru saja lulus dari sekolah menengah akhir. Di pulau pahawang
ini juga terdapat sekolah dari paud sampai SMA, hanya saja tidak ada perguruan
tinggi di pulau kecil kami. Dan di saat itu pula kesedihan itu muncul kembali.
Sore itu, Rasya
yang sudah beranjak dewasa mengajakku jalan-jalan di dekat dermaga. Melihat
satu-persatu kapal nelayan yang mulai pergi mencari ikan sepanjang malam.
“Rasya, kamu
masih mau adu balap renang sama aku?” tanyaku sambil tersenyum memandang wajah
Rasya. Aku tidak ada habis-habisnya menikmati wajah rupawannya. Senyum gulanya.
Alisnya yang bertaut. Kamu adalah
satu-satunya objek selalu menjadi pusara perhatianku.
“Gadis Desa yang
cantik ini masih mau adu balap renang? Nanti malu kalo ada yang mau melamar
kamu,” ujar Rasya, entah mengapa aku tidak suka mendengar kalimat terakhirnya.
Suasana sekitar
mendadak hening, bunyi dek kapal yang beradu pada tombak dermaga menjadi lebih
keras. Aku memang tumbuh menjadi Gadis
yang selalu menjadi pusat perhatian laki-laki seumuranku, tapi aku sedikit tomboy,
maksudku dalam beberapa hal. Aku masih
suka berenang, atau sesekali mencari rajungan bersama rasya. Sementara Rasya
lebih sabar dalam menghadapi
kecerewetanku. Ia selalu pintar berdiskusi dalam segala hal.
“Kina, aku harus
melanjutkan sekolahku,” lirih Rasya, ia memilih intonasi nada yang paling
rendah untuk mengatakan hal ini padaku. “Aku diterima di perguruan tinggi
penerbangan di kota,” lanjutnya.
Aku diam seribu
bahasa. Lidahku kelu. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana hidupku tanpa
Rasya. Belasan tahun kami tumbuh bersama. Aku hafal betul bagaimana caranya
makan, bagaimana caranya membuat tertawa, kebiasaan-kebiasaan kecil yang selalu
terkenang. Mungkin, atau bisa jadi baginya tidaklah penting. Tapi bagiku, itu
adalah caraku mengenalnya. Bukan dengan bertanya kamu suka apa? Dan bagaimana?
Tapi,
memerhatikan semua yang pernah kita jalani sejal lama, dan terekam dalam sebuah
memori kenangan lalu otak yang mendeteksi
bahwa ia mengenalmu, dan benar-benar mengenalmu sekalipun aku buta.
Rasya memilin
ruas jemariku dengan jemarinya, “Maafkan aku, Kinaa,”
Aku menggeleng.
Akhirnya, hal
yang paling ku takutkan terjadi.
Rasya akan pergi
dan aku harus menjalani hidupku sendiri. Air mataku tumpah. Rasya mulai
memelukku dan membiarkan tenggelam dalam dada bidangnya. Ia mengelus kepalaku
perlahan. Rasya yang amat tenang. Dan selalu bisa menenangkan apapun kondisiku.
Lalu bagaimana jika aku menjalani hidupku tanpa Rasya?
Sekarang, ia
hanyalah sebuah kenang.
Lalu, Air mata
ini menetes lagi.
No comments:
Post a Comment