Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, July 2, 2016

Mengenangmu






Jika nantinya aku jatuh cinta, aku ingin jatuh cinta padamu lagi, meski telah berkali-kali.
***
“Rasya, kalau kamu udah besar mau jadi apa?”
“Jadi apa yaa?” Kata Rasya sambil melipat tangan di dada, wajahnya seperti membayangkan sesuatu, tidak lama kemudian senyum nakalnya muncul.
Aku dan Rasya sering berjalan di pinggiran pantai berpasir putih, kalau pagi-pagi pada akhir pekan Ibu membolehkan ku bangun tidur langsung nyebur ke pinggiran dermaga yang masih bening airnya. Biasanya Rasya sudah nyolong start terlebih dahulu dari pada aku. Banyak sekali permainan yang bisa kami lakukan di sini selain berenang bermain pasir, kejar-kejaran hijau hitam, umpat karang, atau yang paling seru ikut Ayah mencari ikan dengan kapal motor yang bunyinya berisik itu. Tapi aku suka mendengar bunyi kapal motor Ayah. Sangat khas saat petang ketika menunggu Ayah pulang. Aku bisa dari kejauhan mendeteksi suaranya.  
“Jadi pilot,” jawab Rasya memamerkan giginya yang masih tanggal.
“Kok jadi pilot?”
“Memangnya kenapa kalau pilot?”
“Nanti kamu pergi jauh,” jawabku. Ada nada sedih yang tersirat dalam kalimatku.
“Kalau kamu?” nada Rasya polos.
“Aku ingin seperti Ibu yang selalu menunggu Ayah pulang dan memasak enak,” jawabku.
“Hanya itu?”
Aku mengangguk, “Ibu sangat bahagia ketika Ayah pulang, apalagi saat dipuji masakannya enak, Ibu bilang wanita selalu mencari kebahagiaan dari yang sederhana,”
“Aku tidak mengerti kamu ngomong apa?” alis Rasya bertaut, jelas saja. Umurku dan Rasya saat itu masih 7 tahun.
“Aku juga,” Kataku nyengir, gigiku masih ompong dan ada beberapa yang warnanya hitam.
Kami tinggal di sebuah pulau kecil di kabupaten lampung, Pahawang Besar. Tidak banyak penduduk kami yang menghuni pulau ini. Hanya berkisar seratus orang, mungkin. Mata pencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah nelayan, untuk itu aku tidak bosan-bosan makan ikan laut, Ibu bilang makan ikan membuat otak lebih cerdas.
Di kampung kami yang kecil ini karena jauh dari kota jadi belum ada listrik, jadi pakai genset itupun kalau malam hari baru bisa berfungsi.
Aku menatap Rasya diantara semilir angin pantai yang mengelus-elus pipi sejak tadi, “Aku tidak suka kamu jadi pilot,”
Alis Rasya bertaut, lalu ia bangkit dan berlari, “Jika kamu tidak ingin aku menjadi pilot, tangkap aku,” katanya. Kaki kecilnya berlari-lari menyusuri pinggiran pantai. Aku tidak mau kalah, aku mengejarnya sambil tertawa riang.
***
“Kinaa!” Teriak Rasya saat aku terjatuh diantara karang. Lututku mulai berdarah, ia menghampiriku dengan wajah penuh kecemasan.
Aku mulai menangis menahan perih di lutut, sementara Rasya meludahi lututku agar tidak mengeluarkan darah lagi. Mungkin ludah adalah obat merah pertama yang bisa menjadi penyembuh saat itu. Rasya membantuku berdiri, lalu ia menggendongku sampai rumah. Berkali-kali ia menenangkan dan memastikan bahwa aku tidak akan kenapa-kenapa.
Sepuluh tahun berlalu, kami baru saja lulus dari sekolah menengah akhir. Di pulau pahawang ini juga terdapat sekolah dari paud sampai SMA, hanya saja tidak ada perguruan tinggi di pulau kecil kami. Dan di saat itu pula kesedihan itu muncul kembali.
Sore itu, Rasya yang sudah beranjak dewasa mengajakku jalan-jalan di dekat dermaga. Melihat satu-persatu kapal nelayan yang mulai pergi mencari ikan sepanjang malam.
“Rasya, kamu masih mau adu balap renang sama aku?” tanyaku sambil tersenyum memandang wajah Rasya. Aku tidak ada habis-habisnya menikmati wajah rupawannya. Senyum gulanya. Alisnya yang bertaut.  Kamu adalah satu-satunya objek selalu menjadi pusara perhatianku.
“Gadis Desa yang cantik ini masih mau adu balap renang? Nanti malu kalo ada yang mau melamar kamu,” ujar Rasya, entah mengapa aku tidak suka mendengar kalimat terakhirnya.
Suasana sekitar mendadak hening, bunyi dek kapal yang beradu pada tombak dermaga menjadi lebih keras.  Aku memang tumbuh menjadi Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian laki-laki seumuranku, tapi aku sedikit tomboy, maksudku dalam beberapa hal.  Aku masih suka berenang, atau sesekali mencari rajungan bersama rasya. Sementara Rasya lebih  sabar dalam menghadapi kecerewetanku. Ia selalu pintar berdiskusi dalam segala hal.
“Kina, aku harus melanjutkan sekolahku,” lirih Rasya, ia memilih intonasi nada yang paling rendah untuk mengatakan hal ini padaku. “Aku diterima di perguruan tinggi penerbangan di kota,” lanjutnya.
Aku diam seribu bahasa. Lidahku kelu. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana hidupku tanpa Rasya. Belasan tahun kami tumbuh bersama. Aku hafal betul bagaimana caranya makan, bagaimana caranya membuat tertawa, kebiasaan-kebiasaan kecil yang selalu terkenang. Mungkin, atau bisa jadi baginya tidaklah penting. Tapi bagiku, itu adalah caraku mengenalnya. Bukan dengan bertanya kamu suka apa? Dan bagaimana?
Tapi, memerhatikan semua yang pernah kita jalani sejal lama, dan terekam dalam sebuah memori kenangan lalu otak yang mendeteksi  bahwa ia mengenalmu, dan benar-benar mengenalmu sekalipun aku buta.
Rasya memilin ruas jemariku dengan jemarinya, “Maafkan aku, Kinaa,”
Aku menggeleng.
Akhirnya, hal yang paling ku takutkan terjadi.
Rasya akan pergi dan aku harus menjalani hidupku sendiri. Air mataku tumpah. Rasya mulai memelukku dan membiarkan tenggelam dalam dada bidangnya. Ia mengelus kepalaku perlahan. Rasya yang amat tenang. Dan selalu bisa menenangkan apapun kondisiku. Lalu bagaimana jika aku menjalani hidupku tanpa Rasya?
Sekarang, ia hanyalah sebuah kenang.
Lalu, Air mata ini menetes lagi.




No comments:

Post a Comment