Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, July 17, 2016

Malam, Bekas Hujan dan obrolan sederhana kita


.
Aku menulis kisah ini sambil tersenyum. Untuk Tuan yang teramat pendiam.
Empat smester, aku menjalani kuliah sekedarnya dan sebisanya. Dan di smster ini cukup mengagetkan yang baru kusadari.  Awalnya aku dan Dania sedang ngobrol dengan teman sekelas lain namanya kim. jam perkuliahan sudah selesai sepuluh menit lalu. mereka sedang mengobrol merk cat rambut terbaru yang aku tidak begitu mengerti. Tidak lama seseorang dari ambang pintu datang. Aku tidak tau mau dia apa, dan tidak begitu memerhatikannya dengan jelas. Setelah lama perbincangan mereka aku melempar pertanyaan pada seseorang yang baru datang tadi.
“Ini emang temen sekelas kita juga ya?” tanyaku. Aku memerhatikan mata teduhnya.
Ia tidak menjawab.
“Iya ini temen sekelas kita, masa lo nggak tau?” balas Dania.
Aku merengut, mungkin iya. Sebab, kebiasaanku seringkali tidak peduli dengan orang sekitar. Aku hanya berbicara dengan teman sekedarnya.
“Lo Milea kan?” suaramu terdengar fasih di telingaku, sekilas aku menengok, belum sempat aku menjawab kamu sudah meneruskan, “Milea yang punya blog itu,” lanjutmu.
Aku hampir tidak pernah menunjukan blog pada laki-laki, maksudku di fakultas ekonomi, kebanyakan laki-laki sudah sibuk dengan pekerjaannya, ataupun kalau misalnya ada waktu senggang banyak lelaki yang lebih memilih bermain game dan merokok. Begitu kebanyakan di kampus.
“Gue Ardi”
Setelah aku mengetahui namamu, aku ingat sesuatu.
Di smester 3 lalu, teman kecil mengenalkanku pada seseorang namanya Ardi, ia bilang ada seseorang yang mau mengenalku karena aku suka menulis. Terakhir dia bilang mungkin kalian bisa jodoh. Aku hanya tertawa membalasnya.
Aku dan kamu berkenalan lewat BBM, saat itu belum banyak yang kita perbincangkan kecuali soal kepenulisan. Aku memberikanmu tautan link blogku. Saat itu aku tidak tau apakah kamu membacanya atau tidak sama sekali. Yang jelas kegemaranku menulis berawal dari blog. Kamu memberi tahuku bahwa kita satu kampus. Dan sempat kamu bilang “kapan-kapan kita ketemu ya!” dan kata-kata itu hanya kuanggap bercanda. Karena jujur, di kampus aku tidak begitu banyak mengenal laki-laki apalagi berkenalan dengan laki-laki. Teman sekelas aja belum tentu kuhafal namanya.
Aku ingat waktu itu aku sakit demam, buat anak kossan yang jauh dari orang tua, sakit adalah hal paling menyebalkan dan menyedihkan sebab, di saat sakit jauh dari siapa-siapa.
Aku mengupdate status bbm “Demam lagi”
Lalu tiba-tiba kamu mengomentari,
Kamu: Sakit kok update status, bukannya minum obat?
Aku berfikir siapa sih ni cowok, nggak minta di komen kok , lalu aku membalas sambil menggerutu,
Aku: Udah minum obat kok
Kamu: Oh udah minum obat
Aku: Iya
Aku terbiasa membalas chat seadanya, tanpa basa-basi karena kamu masih menyandang status Belum kenal dan itu harus kugaris bawahi.
Kamu:  yaudah istirahat ya besok juga sembuh, barusan aku kirimin alfatihah.
Tidak tahu kenapa, aku tersenyum membaca balasan chatmu.
Beberapa hari kemudian aku menghapus instalan bbm di handphone karena banyak alasan yang tidak bisa dijelaskan satu persatu, dan sejak itu aku mengilang darimu atau lebih tepatnya aku kehilanganmu.
Sekarang, tanpa di sengaja, kita bertemu dalam satu kelas yang sama, dan itu tidak akan pernah kusadari kalau kamu tidak menyebutku sebagai penulis blog. Tidak pernah. Dan rasanya kalimat kapan-kapan kita ketemu sekarang bukan lagi hal yang mustahil.
“Milea, ayo cabut!” kata Dania menyadarkanku dari lamunan. Aku baru saja mengingat kejadian itu, lalu aku berusaha mencari sosokmu di sepanjang lorong kampus, tapi aku tidak menemukannya.
Dania memintaku untuk menunggunya di depan toilet, aku memengang tas kecil miliknya menghadap tangga, kamu menghampiri, dan saat aku sadar itu kamu otakku langsung mentranslasikan kalimat, “Mau ikut bukber nggak?”
Sayangnya kamu menolak dengan sopan. Aku mengangguk.
Setelah cukup lama libur kuliah, sabtu kemarin kuliah perdana, banyak mahasiswa yang masih bermalas-malasan untuk pergi ke kampus, aku menelpon sindy dan mengomelinya tentang cabut kuliah karena mau ke papandayan. Dan akhirnya Dania tidak jadi karena diomelin bapaknya. Alhasil Dania masuk. Usai kuliah, aku Dania dan teman-teman lain memutuskan untuk menghilangkan penat dengan karaoke, itu kebiasaanku dengan Dania, setelah karaoke  aku menemukanmu di parkiran, dengan motor besarmu dan masih menggunakan helm. Awalnya aku tidak sadar itu kamu.
Aku memberikan kunci motorku pada kim karena aku malas nyetir motor, dan lebih tepat lagi karena setelah ini aku akan mengalami perjalanan yang cukup panjang untuk pulang ke kossan. Halim-pamulang sepertinya bisa di tempuh pakai pesawat biar cepet. Dan jauh lebih tepat lagi, aku ingin mengenalmu. Dalam perjalanan, Aku bisa melihat punggungmu dari jarak sedekat ini, aku bisa mulihat tas ransel yang kamu gunakan untuk kuliah, aku bisa melihat jaket hitam yang melapisi kaus abu-abu, celana jeans dan sepatu sports berlogo centang logo yang dulu di pakai dewa yunani, gaya berpakaianmu sangat casual. kami berbicara sekedarnya, masih ada kesan malu-malu yang menjadi atmosfer. Aku  menanyai hal-hal sederhana layaknya orang baru kenal. Aku bisa menyebutmu pendiam. Atau mungkin Tuan pendiam. Kamu tau? Aku menulis ini sambil tersenyum, kamu berhasil menarik satu senyum dari ujung bibir penulis kisah ini.
Kami melipir ke tukang soto ceker langganan Dania, beberapa teman sudah memutar balikkan motornya menuju tukang soto, saat itu lagit setengah mendung, pamulang sedikit becek karena sisa-sisa hujan.
“Kayaknya ban motor gue kempes deh,”
“Pasti karena gue?”
Kamu tertawa “Iya, kayaknya,” sementara aku jengkel lalu memukul pundakmu dengan gemas.
“Yudah kita cari bengkel!” seruku. Aku lebih mempedulikan ban motormu dari pada soto yang super enak itu.
Kami menyusuri satu-persatu bahu jalan dengan pelan, dan belum menemukan bengkel, saat melihat pom bensin aku mengarahkannya ke tempat refil nitrogen.
“Gue bawa uang Cuma dua ribu, uang aku di kim,” sedangkan harga tambah nitrogen tiga ribu (beneran ini bukan promosi nitrogen)
Lalu aku sadar kalau tas tanganku juga nyangkut di motor yang dibawa kim. Aku bernegosiasi dengan tukangnya, dan setelah negosiasi antara cewek dan tukang tambal di acc motor itu kembali terisi.
Kami tertawa ngakak saat kamu bilang “Negosiasi cewek ke abang tambal ban selalu di acc,”
“Cewek gitu ya,”
Saat kami kembali, dengan curang dania dan teman-teman lainnya sudah duduk di meja yang hanya cukup dengan mereka, sementara aku dan kamu tidak di beri ruang duduk.
“Disini udah penuh, kaliah duduk di sana aja yang masih lega,” ujar kim
Mereka emang sengaja bikin aku duduk berdua denganmu. Dengan cuek kamu melenggang duduk. Memesan soto. Aku mengikuti.
Aku memerhatikan caramu makan dengan lahap, kamu berhasil menghabiskan nasi, soto daging, telur asin yang kucomot kuningnya plus nambah sate usus, sekaligus.
“Laper mas? Abis nguli ya?” ledekku.
“Iya nih, abis nguli ah,” Sementara soto cekerku belum habis. Dengan sabar kamu menunggu.
Setelah makan soto, kami memutuskan untuk kembali ke tukang nitrogen tadi karena tas tanganku sudah kembali. Aku berniat mengembalikan kekurangan isi nitrogen.
“Ini ban motornya di tambal aja bang!” seruku pada abang tambal.
“Ini ban ngga kuat kalo dipake perjalanan jauh,”
Aku mengingat jarak pamulang ke rumahmu itu jauh, sama seperti ke kossanku, mungkin.
Sambil menunggu ban motor di tambal kami duduk bersebelahan.
“Mau?”Aku menawarkanmu minum.
“Nggak ah,” tapi kamu mengambil  botol minumku.
Aku menautkan alis, “Enggak tapi diambil,”
Kamu terseyum dan aku baru sadar, dari jarak pandang yang sedekat ini kamu.. manis. Dengan lengkungan alismu yang mirip seseorang. Tanpa terasa senyummu menular. Bicara kami masih sederhana, seputar kampus, dan ada yang menarik.. kamu mulai banyak cerita tentang siapa dirimu, masa kecilmu, adikmu dan.. beberapa nasihat agama kudapati walaupun secara sepintas.
“smester depan kamu ambil apa?”
“Ekonomi syariah, kalo kamu?”
“Pajak,”
“Berarti smster depan kita nggak sekelas ya?”
Aku mengangguk sambil menggigit bibir.
Tukang tambal memberi konfirmasi kalau ia sudah selesai menambal, kamu menghampiri. Aku dibelakangmu berjalan pelan sambil membawakan helm hitammu.
“Nih nambelnya pake uang aku aja, kan aku yang bikin ban motor kamu bocor,” kataku sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.
Kamu mengambilnya, lalu menggenggamnya, membawanya ke samping kantung celana jeans gelapmu dan.. “Nih, aku sulap uangnya jadi ada dua,”
Aku tertawa, tanpa sadar aku mengelitik pinggangnya gemas. “Kamu curang, tadi bilang ngga bawa duit, huh!”
Kamu mengembalikan uang di tanganku, “Uangnya simpen aja,” katamu lembut. Aku menurut.
Sepanjang perjalanan pulang, kami masih mengobrol, kali ini tidak lagi malu-malu. Aku menemukan seorang karib di dalam dirimu. Sungguh. Kamu meneduhkan.
Terimakasih ya, untuk malam minggu di tukang tambalnya. Bekas-bekas hujan di pamulang menyaksikan obrolan sederhana aku dan kamu.

Vieority.

No comments:

Post a Comment