Dear Tuan G.
Entah sudah berapa surat yang pernah kubuat untukmu, dan ini suratku yang
kesekian. Tadi aku termenung di depan layar laptopku sekian lama, aku baru saja
selesai mengajar murid kita. Lalu pulang, dan melanjutkan pekerjaan. Dan
disela-selanya aku menyempatkan waktu untuk sekedar menulis surat tentangmu.
Tuan yang bermata teduh, maukah kamu pergi denganku, akan kuperkenalkan
ke duniaku—ke
dunia yang awalnya hanya sebuah imajinasiku tapi sekarang akan menjadi
imajinasi kita.
Hidup dengan sekelumit pelik kehidupan, kadang membuat kita egois.
Membentengi hati dan pikiran dengan seluruh perspektif dasar manusia yang tidak
ingin kalah. Maka dari itu, aku akan membawamu pergi.. kesebuah nirwana yang
membuat hati menemukan titik kesederhanaannya.
Terlepas dari film perahu kertas yang di adaptasi dari novel DEE, aku
merasa sepakat dengan kugy charmacamaleon. Bahwa setiap manusia mempunyai
radar. dan radar itu menghubungkan setiap eletron-elektron pada atom tubuh
manusia yang dengan cepat mengkonfirmasi tanpa peran mulut yang berucap.
Kadang radar juga membuat hati manusia melumer, ia akan membuatmu
tersentuh lalu menjadi syahdu. Dan banyak hal lagi yang tanpa diminta sudah direaksikan
secara harfiah oleh radar.
Tuan yang baik hati, perlu waktu yang cukup lama untuk mengenalmu. Perlu
memusuhi ribuah ego untuk jauh mengetahui tentangmu. Ada banyak hal yang tidak
perlu kamu jelaskan tapi cukup kumengerti. Hingga kita bisa sedekat ini. Dan
memulai sesuatu dari titik nol. Lalu kita bangun bersama. Hingga kita bisa
menciptakan sesuatu yang menurutku sangat bermanfaat untuk orang lain.
Iya, cendikia. Nama yang sederhana, dibuat dari hati yang sederhana pula.
Belakangan ini aku banyak bersyukur. Tuhan mempertemukan kita, dan mungkin
tidak mudah menemukan orang sepertimu, mungkin juga aku tidak akan bisa seperti
ini dengan yang lain.
Sekarang, dengan resmi aku mentranslasikan radarku padamu. Percaya atau
tidak, ini akan memudahkan kita untuk berkomunikasi. Dan ini lebih hebat dari
email atau chat wa.
Kamu tau, Tuan? Hal yang paling menyedihkan adalah ketika berada disuatu
tempat kita terlalu banyak berpura-pura. Dan di saat semua orang bersandiwara
dengan kedoknya masing-masing. Aku bebas menjadi diriku sendiri, ketika berada
di sampingmu. Aku bebas bercerita ini
itu, mengeluarkan ide-ide yang terkadang menurutmu aneh. Terkadang kita tertawa
lepas, kita juga bisa menjadi dua orang yang serius berdiskusi, dan di sisi
lain, entah mengapa, aku mulai berani bercerita masalalu, bercerita hal-hal
yang kelam, yang tidak bisa kubagi dengan yang lain. Entah mengapa aku
menceritakan banyak hal denganmu. Dan kamupun sebaliknya.
Aku hafal betul nada bicaramu, saat senang maupun khawatir, jenis makanan
yang kamu suka, warna favoritmu, posisi tidur favorit, cara memegang sendok
saat makan, sampai kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering kali meninggalkan
barang-barang.
Pertemuan dua insan kebanyakan hanya berkutat pada status pacaran, sayang-sayangan,
dan banyak hal yang membuat mereka tidak produktif karena dimabuk cinta. Tapi,
kita berbeda. Kita lebih banyak berdiskusi soal investasi, tabungan jangka
panjang yang aman, strategi pemasaran, ataupun soal presentase patner-patner
bisnis kita, atau obrolan favoritku adalah spot-spot yang bagus buat
jalan-jalan dan tempat mana lagi yang harus kita datangi untuk sekedar berbagi
rezeki.
Tuan penyabar, aku sering kali mengganggumu saat kamu sedang bekerja,
atau menyuruhmu datang malam-malam ke kossanku untuk ngeprint pekerjaanku, dan
banyak lagi. Atau aku memintamu menjemput di terminal tengah malam. Tapi kamu
tidak pernah marah. Bahkan kamu mau menemaniku memasak sup iga untuk makan
malam kita.
Entah bagaimana aku harus berterimakasih padamu.
Kamu juga yang mewujudkan beberapa mimpi-mimpiku. Kamu bersedia
menemaniku touring pulau jawa, padahal itu ide paling nggak logis yang melintas
begitu aja di kepalaku, kamu membuatku tidak takut naik kapal laut, ataupun
paranoid pesawat dan langkah kaki ini membawaku dalam keseruan menjelajah lampung.
Kamu ingat kejadian beberapa minggu lalu, saat itu hujan turun di langit
cibinong, aku baru saja kelar meeting dengan klien kita. Lalu aku mampir ke
kantormu untuk pulang bersama. Kita berteduh di deretan pertokoan, sebelum kamu
mengajaku mampir ke kedai kopi untuk menikmati secangkir expresso.
Lampu-lampu sorot mobil berseliweran dengan cepat menerobos hujan. Semua
orang terburu-buru ingin pulang cepat.
Saat itu kamu memutuskan sesuatu, kamu memilih hal yang paling
sederhana, yang sudah dipertimbangkan sekian lama. Hal yang awalnya adalah
sebuah ego dan ambisiusme. Kamu memilih resign dari kantor lama kita demi
hijrah ke tempat lain, Dan dari sekian
banyak pilihan yang kamu hadapi, Aku begitu terharu, dan sangat menghargai
pilihanmu. Karena sukses tidak harus berkuliah di kampus yang mahal, sekarang
kita sependapat. Tuhan masih merencanakan hal yang indah untukmu.
Tuan jika setiap langkah kaki kita adalah sebuah doa, aku berharap kita
selalu melangkah ke arah yang lebih baik. Ke arah mimpi-mimpi indah yang pernah
kita susun sempurna. Kita akan terus merencanakan mimpi-mimpi indah ini. Dan
terus mewujudkannya dengan rasa optimis satu persatu. Namun tetap sadar bahwa
kita adalah orang yang paling dibawah dengan kerendahan hati yang kita miliki.
Bersamamu, aku tidak pernah takut lagi bermimpi.