Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, August 24, 2013

The soul



 The soul.

“Setiap orang membicarakan cinta. Mengapa kita malah kehilangan kata-kata. Aku, kamu. Bisakah menjadi kita? Dengan ikatan mulia, atas nama cinta.” Syaira.
Kurasakan cairan infus mulai menjalar ke seluruh tubuhku hingga perutku seperti menahan gejolak. Selang oksigen yang secara paksa di masukan ke lubang hidungku. Alat pengukur detak jantung juga menempel persis di dada sebelah kiriku. Bau obat yang selalu akrab dengan hidungku, dan di atas tempat tidur ini yang menjadi saksi, malaikat maut akan menjemputku ke ruang yang berbeda.
Sebentar. Kuingat-ingat dulu, aku baru saja masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang lalu. Kurasakan sesuatu yang hangat di dahiku, aku memaksa menyuruh sel syaraf sensorikku untuk membuka mata. Samar-samar aku melihatmu sedang mencium keningku. Tapi aku yakin. Sangat yakin, itu kamu.
 Senyummu menarikku ke tiga beberapa waktu lalu, di mana kita menyimpan sejuta cerita yang telah dilewatkan bersama.
“Sudah aku bilang, kan, kalau kamu tidak akan sanggup melewati hujan tanpa aku,” kata Andro sambil bertolak pinggang menghadapku.
Ini minggu ke tiga dari bulan November, bulan yang paling romantis di antara sebelas bulan yang lain. Air hujan mewarnai kota ini. Meluncur dari sela-sela atap sekolah. Kulihat wajah Andro tampak sangat rupawan. Alis matanya yang tebal, bibirnya yang kemerahan, tubuhnya yang six pack dan nyaris bertolak belakang dengan tubuhku yang kurus.
“Siapa bilang? Aku berani,” sanggahku menantangnya dengan seluruh keegoisan yang kupunya.
“Oke, coba kulihat? Seberapa beraninya kamu dengan air hujan yang dingin itu?” kerut-kerut di keningnya muncul yang menandakan ia ingin mengetahui seberapa nyaliku, dan itu yang membuatku tersenyum.
“Kalau aku bisa, kamu akan beri aku apa?” ku lemparkan senyum paling manis ke wajahnya.
“Yang kamu mau apa?” Andro malah berbalik menantang.
“Aku mau, teraktiran es krim selama satu minggu, setuju?”
Bolamata Andro terbelalak, “Hanya itu?” tantangnya membuatku mengingit bibir, “Tidak ada yang lain?”
Aku terdiam sejenak, untuk membayangkan hal apa yang ku inginkan dari Andro, berenang? Main bulu tangkis? Mengerjakan PR ku selama satu minggu? Atau mengantar jemput kesekolah setiap hari?
“Bagaimana kalau menjadi pacarku selama satu bulan?” pertanyaan Andro sukses membuatku sesak napas, seperti ada bongkahan es yang menyumbat tenggorokanku.
Kemudian aku tertawa
“Kamu ini sudah gila? kamu mau aku diintimidasi oleh Elly?” kataku membelalakan bolamata.
Senyum Andro keluar dari sudut bibirnya, aku seperti lebih membutuhkan senyumnya dari pada ratusan obat yang sudah mengakar di tubuhku.
“Itu konsekuensi dari taruhan ini,”
Mataku melotot ke arah Andro, tidak setuju dengan argumentasinya.
“Andro, kamu tau..” belum selesai aku bicara Andro sudah menelan kata-kataku dengan tatapannya yang cukup tajam tubuhnya yang terlalu dekat denganku membatku sedikit bergetar. “Aku bisa bicarakan nanti dengan Elly,” ucapnya pasti.
“Sekarang, aku ingin melihat seberapa nyalimu?” lanjutnya.
“Baiklah,” kataku tidak ambil pusing.
Kucopot kedua sepatuku lalu mulai aku mendekat ke ujung teras, gemercik air hujan sudah mulai membasahi sebagian rok abu-abuku. Aku tau Andro sudah tidak sabar melihat tindakan kuselanjutnya, karena itu aku bersiap mencelupkan kaki kananku.
“Andro!” teriak wanita yang suaranya akrab di telingaku dan sukses membuat konsentrasi aku dan Andro.
Elly menghampiri Andro dengan setengah berlari. “Ayo kita pulang! Mama sudah menunggu kita untuk makan malam bersama,” ucap Elly setelah sukses meraih tubuh Andro dan bergelayut di tangannya.
Aku cemburu, rasanya ingin sekali mengguyurkan air seember air es di kepalaku, karena air hujan di hadapanku belum cukup dingin untuk menyadarkanku.
“Aku mau main bersama Ara,” kata Andro sambil menatapku penuh harap.
Kemunculan senyum dari sudut bibirku menutupi kecemburuanku saat itu. “Besok kita masih bisa bermain lagi,” ucapku meyakinkan Andro.
“Lihat, senja mulai datang, sebaiknya kita cepat pulang.” Sergah Elly.
Kuperhatikan anggukan Andro perlahan. Ia seperti menyerah dengan keadaan. Aku masih terpaku dengan air hujan di hadapanku saat Andro mulai menjauh dariku. Satu detik kemudian aku menemukan tubuhku yang basah. Ku usap wajahku dengan kedua telapak tangan, berharap apa yang aku lakukan barusan bukan apa-apa. Aku berjalan ke tengah hujan, akan ku buktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa tanpa Andro.
Tubuhku bergetar, aku menggigil di tengah terpaan hujan. Bagaimana mungkin aku mencintai Andro? Tapi sungguh, aku mencintainya.
Seperti ada aliran hangat yang keluar dari lubang hidungku, turun ke baju seragamku, lalu jatuh ke tanah dan tercampur air hujan dan aku tau, itu darah. Dan saat itu juga aku menghakimi diriku sendiri. “Andro, aku tidak bisa tanpamu.” Ucapku pelan, dan pengelihatanku mulai kabur, aku jatuh.
***
“Bagiku, kamu adalah titipan tuhan yang harus ku jaga, titisan malaikat dari surga yang turun ke bumi untuk bertemu denganku. Jika kita di takdirkan untuk bersama maka cinta takan lari kemana. Jika tidak. Maka kenanglah aku sebagai bunga tidurmu.” Andro.
Lelaki macam apa aku ini? mementingkan egoku dan meninggalkan Ara begitu saja, di tengah lebatnya hujan kemarin. Lihat wajahnya pucat, tubuhnya semakin kurus, dan aku tidak melihat rona jingga dari bibirnya. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai terjadi apa-apa dengan gadis yang paling kucintai.
“Hai Ara,” ucapku saat melangkah menghampiri Ara, kulihat ia sedang serius dengan buku yang dibacanya. Kucium pipinya seperti biasa saat kami bertemu. “Are you okay?” tanyaku smbil memandangi wajah Ara.
Rupanya Ara cepat menangkap pertanyaanku, ia segera mengangguk tanpa melihat wajahku.
“Kamu terlihat pucat?” kali ini bolamataku mencoba menatap bolamata Ara lurus-lurus.
“Oh, aku belum makan siang,” kata Ara dengan suara parau dan sukses membuat aku tidak percaya dengan jawabannya. Kulihat Ara membatasi bukunya dengan telunjuk pada paragraph yang tengah ia baca. “Aku Cuma sedikit Flu.” Lanjutnya.
“Kalau gitu, ayo kita makan siang!” ujarku tidak perduli setuju atau tidak dengan usulanku, ku raih tangannya beberapa menit kemudian aku berhasil mendudukkannya di salah satu kursi di kantin.
“Kamu mau makan apa? Soto, bubur, nasi rames, atau bakso?” tanyaku sambil menunjuk sederet gerobak pedangang di kantin sekolah.
“Cukup teh manis hangat,” ucap Ara.
“Enggak, kamu harus makan.” Kataku.
Kutemukan Ara hanya memandangku dengan tatapan cemas. Aku langsung melangkah menuju pedagang soto, dan memesan satu porsi tanpa daun bawang yang seperti biasa dia pesan. Aku kembali ke hadapannya dengan membawa nampan yang berisi soto dan teh manis hangat. Dan kudengar Ara sedang berbicara di telpon, “Dia ada di hadapanku, kalau kamu mau kesini saja, tidak masalah.” Ucap Ara lalu mengakhiri percakapan. Kupastikan yang barusan menelpon Ara adalah Elly, tapi aku tidak peduli dengan itu.
Tatapan Ara kembali pada mangkuk soto yang sudah kuletakan di hadapannya. Aku hanya menemani Ara disampingnya, dan memastikan kalau makanan itu habis. Usai makan kami kembali ke kelas, aku harus memapah tubuh Ara yang terlalu lambat untuk berjalan, sebelumnya aku sudah menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Ara mengelak, ia memilih mengikuti jam pelajaran sampai usai. Sebelum kami sampai kelas, ku rasakan tubuh Ara bergetar. Lututnya melemas hingga ia hampir terjatuh di lantai.
“Ara.. Ara..” panggilku, sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
“Aku baik-baik saja,” ucap Ara ku lihat senyum masih muncul di bibirnya. Tapi wajahnya sepuluh kali lebih pucat dari sebelumnya. Ku lihat aliran darah mulai keluar dari hidungnya dan sedetik kemudia ia sudah tak sadarkan diri.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ara terus memanggil-manggil namaku. Sementara handphoneku berdering ada panggilan dari Elly, aku tidak mempedulikannya. Kulihat Ara menggenggam erat tanganku, seperti ia tidak ingin kehilanganku. Ara.. andai kamu tau, seberapa besar aku tidak ingin kehilanganmu. Ucapku dalam hati.
Its okay.. its okay, I’m here..” ucapku.
Sampai di rumah sakit, Ara langsung dilarikan ke UGD. Satu jam aku menunggu, sampai ia dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut. Aku hampir ingin menonjok diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tidak tahu selama ini Ara menderita leukemia, atau kanker darah. Aggrrrhhh! Tinjuku melesat ke tembok rumah sakit dan membuat tanganku memar. Tubuh Ara sudah terbaring lemah di atas tempat tidur dengan baju rumah sakit. Aku memandang Ara dengan bisu. Sudah kutelpon kedua orang tuanya, dan mereka dalam perjalanan kemari.
Ara mulai membuka matanya, ia memanggil namaku, “Andro..” lirihnya.
“Iya sayang, aku disini.” Kataku, panggilannya seolah membuyarkan rasa frustasiku. Aku sangat sayang pada Ara.
“Taruhan kita belum selesai, kan? Besok kita main lagi.”
“Pasti.”
Ara menarik napas sejenak. Akan kubuktikan perasaanku padanya. Aku tidak ingin waktu terus menghabiskanku untuk memendam perasaan. “Ara..” ucapku.
Kulihat senyum Ara yang membuat hatiku terenyuh. “Aku mencintaimu, sungguh,” nadaku terdengar cukup pasti.
Ara menarik tanganku untuk memasukan jarinya ke sela-sela jariku.
“Andro..” panggilnya.
“Ya,” dengan sabar aku menunggu jawabannya.
“Aku..” kudengar napasnya terengah-engah untuk meneruskan kalimatnya. “Aku..”
Aku menunggu sampai satu menit, tapi tidak ada lagi kata yang terucap dari mulutnya. Ia hanya memandangku cukup lama. Tidak lama kemudian, kabel yang menghubungkan Ara dengan sebuah kotak mesin yang sekarang hanya berbunyi “tuuuuut…” dan layarnya menunjukan garis putih lurus tanpa ada grafik di sana.
“Ara, ara!” teriakku saat menemukan matanya telah tertutup. “Ara katakan kalau kamu juga mencintaiku!” kuguncang-guncang tubuhnya yang tidak bergerak. Tidak lama kemudian dokter dan beberapa suster datang dengan wajah panik. Salah satu suster memintaku untuk meninggalkan ruangan.
Orang tua Ara berlarian menghampiriku dan menanyakanku tentang kondisi Ara, aku tidak bisa menjawabnya. Dengan perasaan gundah yang melanda, lima belas menit kemudian, sebuah tempat tidur trolly sudah keluar dari ruangan dengan seseorang yang tubuhnya sudah tertutup kain putih.
Ara.. kau lah satu-satunya wanita yang kucintai.

4 comments:

  1. akhir2 ini lebih suka nulis cerita sedih nih kak. :')

    ReplyDelete
  2. hemm, bukan kah kamu sekarang ini sedang bahagia? ah, mungkin aku yg salah menyangkanya, hehee..

    ReplyDelete
  3. ah Tuan capricorn, lagi-lagi kamu menebak-nebak tentangku. Kamu tau? Suasana hati seseorang tidak bisa di tebak. Eh cepat cek inboxmu. Barusan aku mengirim sesuatu. Semoga kamu tersenyum melihatnya.

    ReplyDelete