Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, August 21, 2013

aku, kamu dan kedai kopi favorit kita



Aku menepi di sebuah kafe. Memandang ke luar jendela yang menggambarkan langit jingganya, membiarkan aroma robusta berlarian, barista-barista handal hilir mudik sibuk dengan menu-menu andalannya, siluet-siluet manusia dengan gemuruh senda guraunya menyesaki gendang telingaku.
Aku memesan secangkir expresso dari seorang pramusaji wanita. Kemudian sembari menunggu pesananku, aku sengaja membuka moleskine-ku. Aku mengulum senyum—setelah merasakan diriku yang lama menguap. Rasanya hampa, sempurna—melihat foto-foto kita dengan seragam putih abu-abu yang menjadi saksi setiap pertemuan kita di sekolah, dengan wajah malu-malu.

Terakhir kudengar kabarmu, dua tahun lalu—tepatnya sebelum liburan sekolah tiba. Itupun hanya selewatan dari sahabat karibmu saat ia mengajakku kencan di sebuah resto. Dan aku berhasil menulikan telingaku untuk tidak mendengar apapun tentang kamu.

Tapi memang sial, beberapa dekade ini aku berhasil tersenyum lagi melihat foto terbarumu yang sekarang
terpampang jelas di dashboard laptopku. Lelaki bertubuh tinggi dengan stelan jas hitam dan serasi dengan dasi motif garis-garis biru yang kamu pilih. Tidak lupa dengan senyum gula yang selalu menempel di bibirmu. Aku melihat kacamata barumu, di foto itu—dan aku menyukainya teramat sanggat.

Dari dulu—sepertinya aku lebih tertarik dengan kacamatamu ketimbang kamu. Hihihi. Oh iya, aku lupa memberitahumu, kalau sekarang aku juga memakai kacamata—tepatnya lama sih, namun dulu aku tidak pernah tampil dengan kacamataku, di depanmu.

Maaf, aku tidak pernah mendengar omelanmu tentang kebiasaan membacaku sambil tiduran. Oke, itu kebiasaan burukku nomer dua, selain malas mandi.

Ahaa, pesanan kopiku sudah datang rupanya. Aku mengamati kepulan asap yang keluar dari cangkir kecil berwarna putih. Aku tau, kamu tidak pernah mengizinkanku menyeruput kopi. Kamu yang selalu memesankan cokelat hangat untukku—dari pada memilihkanku kopi. Kamu bilang, "jadilah anak baik,
Nona," dan setelah itu aku akan menggerutu. Tapi kamu selalu berhasil mencuri perhatianku,
membuatku gelagak tawaku mencuat, lalu, kita akan terdiam lagi—menunggu senja kembali ke peradabannya—dan selama itu, aku bebas mengamati setiap jengkal garis wajahmu.

Tuan, tadinya aku ingin mengirimmu Email, tapi berhubung aku tidak punya topik pembicaraan yang tepat, jadi aku mengurungkan niatku. Aku malah pergi ke kedai kopi ini—mencari inspirasi baru untuk draft tulisanku. Tapi kamu tau? Ujung-ujungnya, aku malah menulis ini. Entah kenapa, rasanya kita perlu bertemu, menyelaraskan sisa-sisa perasaan yang tertinggal kemarin.
Beberapanya sengaja kutinggal di sekolah, dengan coret- coretan yang selalu kita buat di kolong meja—sebagai kenangan manis kita. Dan mungkin sudah hilang, sebab sekolah selalu membuat peraturan untuk mengecat mejanya, setiap tahun ajaran baru.

Sebentar, aku menyeruput kopiku dulu. Slurrppp. Ahh..

Aroma khas kopi, cremer. Nikmat.

Kamu tidak akan mengomeliku, kan, Tuan?

Tuan yang berkacamata, seiring berjalannya waktu—segala sesuatunya bisa berubah, bahkan dalam hitungan detik. Ketika aku memejamkan mata dan semua, secara diam-diam bermetamorfosis menjadi sesuatu yang baru. Ya, begitu rasanya. Seperti halnya kita yang tidak henti-hentinya mencari jati diri kita sebenarnya dan memaknai kehidupan.

Aku tetap pada draft-draft tulisan bodohku—yang banyak menceritakan tentangmu. Dan kamu sibuk dengan pelbagai kegiatan kuliahmu. Kalau boleh jujur, aku suka melihatmu dengan helm kuning di sebuah proyek pembangunan yang aku sendiri tidak tahu daerahnya. Aku tidak pernah berubah, selalu lupa membawa payung ketika hujan. Oke, itu kebiasaan burukku nomer tiga. Dan tolong jangan jewer aku.

Sebagaimana hujan berkali-kali menunda pertemuan kita. Oh iya, aku lupa sekarang sudah musim kemarau, ya? Kalau begitu aku menunggu datangnya bulan november, bulan di mana kita berulang tahun.

Ku sesap kopiku lagi..

Tahun ini usiamu 20 kan? Angka yang bagus. Sebuah permulaan untuk mencapai titik dewasa. Semoga begitu, dan semoga aku pun sama. Tuan yang entah di mana. Aku tidak berharap banyak, tidak juga berharap tulisan ini kamu baca—tulisan gadis bodoh yang selalu bahagia menceritakan apapun tentangmu. Entahlah, seperti ada sesuatu yang menyekat kita. Dan aku juga tidak yakin kamu masih mengingatku atau tidak. Yang jelas, aku pernah mendoakan kita. Semoga kita baik-baik saja.

Kopiku hampir habis,dan sudah dingin. Aku pulang dulu ya, takut kalau ibu mencariku. Sampai bertemu di surat berikutnya.

Nona Sagitarius.

2 comments: