Coretan cinta.
Oleh: Nona Sagitarius dan Tuan Capricorn
Hazel.
Seandainya saja, kau katakan itu
dari dulu.
Dulu, saat
kita masih memakai kostum yang sama, putih abu-abu. Di mana kita pernah
bercerita tentang banyak hal, tertawa karena wajahmu lucu, mengepel lantai
bersama saat kita terlambat datang ke sekolah dan hal yang paling kita suka
adalah mencoret-coret meja.
“Aryan,
pulang yuk!” ajakku menarik tangan Aryan. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 15
menit yang lalu. Murid-murid sudah meninggalkan mejanya. Sekolah hampir sepi.
Hanya ada beberapa anak yang menunggu jam Eskul mulai.
“Sebentar
lagi, ya,” Kata Aryan yang tak luput pandangannya dari meja.
Aku menghela
napas pelan, lagi-lagi dia mencoret-coret meja.
“Kalo Bu
Risda tau, pasti kamu diomelin!” Kataku mengingatkan. Bu Risda sebagai guru BP
paling galak sedunia, sudah beberapa kali memperingatkan aku dan Aryan yang
punya hobby mencoret-coret meja, dengan tinta dan tipe X. Sejak Bu Risda
memperingatkan kami yang terakhir kalinya, kami berjanji tidak akan
melakukannya lagi. Tapi, kini Aryan melakukannya kembali. Hal yang paling di
benci Bu Risda.
“Enggak
bakal. Aku kan nulisnya di kolong meja.” kata Aryan santai. “Besok kita udah gak
bisa lagi nyoret-nyoret meja,”
Baiklah, aku
sudah tidak perduli. Aku melipat tangan di dada, menggerutu, sambil menunggu
Aryan selesai mencoret-coret meja.
“Sudah,
selesai!” kata Aryan girang. Ku lihat senyum sumringah mengembang di wajahnya.
“Yaudah
pulang, yuk.” Kataku tidak sabar.
“Kamu yakin,
gak mau liat?” tanya Aryan sambil melirik mataku.
“Enggak!”
kataku dengan segenap egoku. “udah buruan, yuk. Nanti Mamaku nyariin.” Aku
meminta Aryan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kalau sampai ada guru yang
meliatnya mencoret-coret meja, kami bisa kena sangsi.
Sebenarnya, aku ingin sekali melihat tulisan
yang dibuat Aryan di kolong meja itu. Tapi Karen egoku... yah sudahlah.
“Yuk,” kata
Aryan mengajakku pulang. Kami berjalan beriringan sepanjang koridor.
Tidak terasa
ini adalah hari terakhir aku duduk bersama Aryan. Karena sudah tidak ada lagi
kegiatan belajar-mengajar. Hari senin, kami sudah menghadapi soal-soal ujian
nasional.
Seperti
biasa Aryan mengantarkanku pulang. “Makasi, ya. Ar.” Kataku ragu.
Ku lihat
senyum sumringah Aryan mulai mencuak dari sudut bibirnya yang kemerahan. Aku
biasa pulang-pergi sekolah bersama Aryan. Selama tiga tahun. Kemudian, aku
membayangkan kalau esok kita sudah tidak lagi bersama.
“Selamat
belajar dan semangat ujian!” Aryan menyemangatiku.
“Kamu juga,
ya!” kataku tak kalah semangat.
Setelah itu
Aryan pamit pulang. Aku masih terpaku saat motornya hilang di tikungan jalan.
***
Pukul 06.00,
aku berlarian sepanjang koridor. Melewati koridor utama, kemudian menuju
koridor kelasku. Aku sengaja datang pagi-pagi untuk melihat meja itu. Tidak
melihat coretan itu seperti dosa bagiku. Napasku terngengah-engah saat berada
di depan kelas 12 ipa 1. dan ternyata pintu itu, terkunci.
Aku hampir
putus asa. Tapi aku tak menyerah. Kucari Pak Yok seorang penjaga sekolah untuk
meminta kunci ruang kelasku. Keberuntungan tidak berpihak kepadaku, Pak Yok
tidak ada di sekitar sekolah. Dan bel sudah berbunyi.
Aku
melangkah gontai menuju ruang ujian. Aku hanya berharap di ujian terakhir ini
aku dapat mengerjakan soal dengan mudah. Hari ke dua juga sama. Aku tidak bisa
masuk ke ruang kelasku. Aryan tidak mengajakku pulang dengannya. Ia meminta
izin untuk fokus belajar selama ujian berlangsung. Ia hanya menyapa ketika
bertemu denganku.
“Ayo, pulang
bersamaku.” Kata Aryan mengajakku. Ini hari terakhir ujian. Aku tersenyum
akhirnya Aryan mengajakku pulang bersama.
“Motorku
sudah kangen, lama tidak dinaiki kamu.”
“Huh! Siang
bolong gini masih aja gombal! Gak romantis banget gombal sambil panas-panasan.”
Cibirku. Masih dengan egoku yang selangit itu. Dan disambut cengiran dari
Aryan.
Kulihat
sosok yang pendiam itu mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah, lalu ia
menghampiriku. “Buruan, naik.” Ajak Aryan. “Kita mau makan Es krim, kan?”
“Makan Es
krim?” kataku langsung bersemangat begitu Aryan menyebut makanan kesukaanku.
Atau tepatnya, kesukaan kita.
“Iya, aku
yang teraktir deh!” seru Aryan.
“Ada angin
apaan nih? Baik bener.” Kataku.
“Jangan
cerewet ya, buruan naik!”
Aku nyengir
dan lekas menuruti perintah Aryan. Motor pun melaju dengan kecepatan sedang.
Kita sudah ratusan hari berteman, menikmati fajar dan senja bersama, kita sudah
lama mengenal hingga asa menyuruhku untuk menunggu sebuah kata yang terucap
dari mulutmu. Tapi pertanyaan besar dalam otakku adalah; apa kita punya
perasaan yang sama?
***
“Hazel, aku
lulus!!” teriak Aryan sambil memelukku. Aku terpaku, senang, bahagia, serta
sedih. Senang karena aku dan Aryan lulus, bahagia karena entah sengaja atau
tidak Aryan memelukku. Sedih karena, aku akan berpisah dengannya.
“Aku lulus,
Zel. Aku lulus.” Aryan mengguncang-guncang bahuku.
“Aku juga,”
kataku sambil tersenyum.
Aryan
memandangku, “Kamu kenapa, Zel?” tanya Aryan.
“Kita gak
bisa duduk satu meja sambil nyoret-nyoret lagi.” Kataku sambil menundukan
kepala. “Di tempat kuliahan, duduknya sendiri-sendiri.”
“Kita kan
bisa nyoret-nyoret yang lain, dan kita bisa duduk di kafe berdua atau di 21
yang duduknya sebelahan.” Aryan mencoba meyakinkanku. “Lagi pula masih banyak
yang bisa kita lakukan. Seperti bermain bulu tangkis, berenang, jalan-jalan.”
Aryan menyebutkan sederet hal yang sering kami lakukan bersama. Aku memandang
wajah Aryan, satu detik kemudian aku percaya bahwa banyak hal yang bisa kami
lakukan bersama.
***
“Pak Yok,
boleh aku masuk gak?” tanyaku pada Pak Yok yang sedang merapihkan kebun
sekolah. Terlihat lebatnya tanaman karena liburan tidak ada yang datang ke
sekolah ini.
“Mau
ngapain, Neng?” tanya Pak Yok.
“Buku
catatan pribadi saya tertinggal di kolong meja.” Kataku berbohong. Padahal aku
ingin sekali melihat tulisan itu.
“Neng Hazel
mau ditemani?” Pak Yok meletakan gunting rumputnya.
Aku lekas
menggeleng. “Eng..gak usah, Pak. Saya berani kok,” kataku. “Boleh pinjem
kuncinya, Pak?” pintaku dengan nada rendah. Aku harap Pak Yok percaya padaku.
“Oh, boleh.
Tapi nanti di kunci lagi, ya.” Kata Pak Yok.
Yes! Pak Yok
memberikan kuncinya padaku.
Aku
mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Pak. Pasti.” Kataku berjanji.
Aku meraih
seikat kunci yang diberikan Pak Yok. Tanpa berbicara lebih banyak aku langsung menghilang
dari tempat itu.
Aku berjalan
dengan tergesa-gesa sepanjang koridor sekolah. Langkah kakiku terdengar
memantul. Aku terhenti di sebuah kelas berplang 12 Ipa 1. dan langsung kubuka
kuncinya. Aku terpaku menatap sebuah meja di deretan paling belakang. Masih kuingat
bagaimana senyum mu menyapaku, bagaimana tanganmu menjabat tanganku saat
pertama kali kita bertemu di sebuah ruangan penuh kenangan.
Kulangkahkan
kakiku menuju meja itu. Kupastikan setelah dari sini aku sudah tau, tentang hal
konyol yang dibuat Aryan itu. Paling hanya gambar bebek dan spiderman yang
seperti biasa ia gambarkan sebagai dua hal yang kami suka. Aku suka bebek
karena bebek itu lucu. Sedangkan Aryan seorang penggila spiderman menurutnya
superhero yang satu itu sangat keren. Aku sudah berada di hadapan meja yang
hampir setiap hari kita coret-coret bersama. Entah itu contekan, tanda tangan,
gambar aneh, atau sarana surat menyurat untuk aku dan Aryan. Kulihat tulisan
Aryan yang jelek itu di balik meja.
Aku suka sama kamu, Bebek.
By:
spiderman.
Aryan.. jadi kamu..
Ini yang kunanti-nanti
selama ini, Aku bangkit dari tempat itu dan segera mengembalikan kunci pada Pak
Yok.
“Sudah,
Neng?” tanya Pak Yok.
Aku hanya
mengangguk.
“Ketemu
bukunya?” Pak Yok penasaran.
“Gak ada,
Pak. Mungkin aku lupa naronya.” Kataku.
“Coba dicari
di rumah, siapa tau nanti ketemu.” Pak Yok memberi saran. Aku mengangguk lagi.
Memang buku itu tak pernah ada. Aku tersenyum, tidak lama kemudian aku segera
pamit pada Pak Yok.
Awas ya, Aryan kalo ketemu akan ku jitak
kepalamu! Kataku dalam hati. Aku begitu semangat untuk pulang ke rumah,
setelah ini aku akan pergi ke rumahnya, mendobrak pintu kamarnya lalu akan ku
maki dia habis-habisan.
“Hazel, ini
handphone-mu, ketinggalan.” Kata Mama sambil membawa Handphone-ku.
Aku menepuk
jidat. “Lupa, Ma,” Kataku.
“Banyak yang
nelpon, tuh.” Kata Mama.
Aku benar-benar tidak ingat dengan
Handphoneku. Ku lihat ada 10 panggilan tak terjawab dari Aryan. Alisku terpaut.
Aryan belum pernah memanggilku sampai puluhan kali seperti ini. Aku menelpon
Aryan.
Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif. Berulang
kali aku memanggil Aryan. Tapi, jawabannya sama.
Tidak aktif.
Kulihat
Handphoneku bergetar, ada pesan suara dari Aryan. Ku dengarkan pesan suara itu.
“Hazel, maaf, aku tidak memberi tahumu sebelumnya. Mungkin saat kamu mendengar
pesan ini, aku sedang dalam penerbangan menuju USA, untuk melanjutkan kuliahku.
Terimakasih, semoga kita bertemu kembali.”
Saat itu,
pertama kalinya aku menangisi Aryan. Seorang yang terlalu kusayang. Air mataku
meleleh, lututku lemas, aku sesungukan.
Aryan..
Banyak hal
yang harus kita bicarakan..
Aryan.
Seandainya kau melihat coretan
terakhirku, kisah kita mungkin akan berbeda.
Lima tahun
lalu, saat kita masih mengenakan seragam putih abu-abu. Apa kamu masih ingat
setiap cerita yang kita buat? Tentu, aku mengingatnya, coret-coretan kecil di
setiap meja, yang menunjukan bahwa kita pernah ada. Bahkan aku tidak perduli
seberapa galaknya Bu Risda, aku melakukan ini hanya karena aku ingin bersamamu
lebih lama. Waktu itu aku sedikit kecewa, karena kamu mengelak untuk melihat
tulisanku, padahal, jika kamu melihatnya, akan ku ungkapkan semua perasaanku
saat itu.
Aku suka sama kamu, bebek.
By: spiderman.
Aku tidak
bisa menyalahkanmu. Rasanya, aku ingin sekali memaki diriku karena tak punya
nyali untuk mengungkapkan isi hati. Sungguh, sungguh aku mencintaimu, sungguh
aku menginginkanmu. Dan mungkin sekarang sudah terlambat.
Tiba-tiba suara
Mama menghapus lamunanku, “Kamu gak lupa bawa passport, kan? Dan sudah hubungi
Hazel?”
Aku
menggeleng, “Belum, Ma,” Aku mengumbar senyumku di balik rasa gundahku. Ku
ambil Handphone di saku celana, kucari namanya di dalam contact list dan
langsung ku telepon.
“Kemana anak
ini? Di saat-saat kayak gini malah ilang,” gerutuku.
“Pasti lagi
ngebo!” pikirku jengkel.
Sampai
jadwal penerbangannya tiba, telpon itu tak kunjung diangkat. Aku menoleh ke arah belakang saat menuju
terminal keberangkatan, berharap ada seseorang yang berlari menghampiriku lalu
menciumku, seperti adegan beberapa Film layar lebar. Tapi, tidak seperti yang
kubayangkan. Hanya pesan suara yang bisa kutinggalkan sebagai tanda perpisahan,
setelah itu, aku akan menjauh darimu. Akan kutebus semua dosaku untuk tidak
menghubungimu.
Maafkan aku..
***
Kini, Aku
kembali ke Tanah kelahiranku, Indonesia. Setelah lima tahun menetap di USA, dan
meninggalkan cerita cintaku bersamanya. Bisa kucium lagi bau tanah yang
tercampur ke egoisan sederet gedung-gedung bertingkat yang berdiri di atasnya.
“Sayang,
abis ini kita langsung ke apartemen ku saja, ya?” tanya gadis yang selalu
bergelayut di tanganku. Aku mulai jengah dengannya.
“Kamu aja, saya
mau ke rumah orang tua saya,” Kataku cukup tegas.
“Kita tidak
jadi beli cincin?”
“Minggu
depan saja,” Kataku sambil lalu. Tidak kuhiraukan lagi dia. Aku tidak sengaja
menabrak seorang wanita yang tengah berjalan menggeret kopernya.
“Maaf, Maaf.
Saya tidak melihat, saya terburu-buru.” Ucapnya meminta maaf. Aku sedikit
kaget, saat mendengar suara itu. Suara yang lama ku kenal baik. Ya, dia Hazel,
sahabat terbaikku. Tapi sesungguhnya hati kecilku menginginkannya lebih dari
pada itu.
“Hazel? Benar
kah kau Hazel?” ucapku begitu penasaran padanya. Ia tersadar, kulihat
expressinya lebih kaget dari pada aku, “Aryan.. kamu Aryan, kan?” katanya
mengingat-ngingat kembali tentang aku. ku lihat ia nampak lebih dewasa di
bandingkan dulu, aku tersenyum sambil memandangi wajahnya yang masih cantik.
Aku duka senyumnya, aku suka sorot matanya, aku suka hidungnya, dan aku suka
segalanya dari Hazel. Tapi..
“Sayang, ini
siapa?” tanya Fana menyusulku. Suaranya menarikku ke realita.
“Ini..
Hazel, dia sahabat saya waktu SMA,” ucapku.
Fana langsung
menjabat tangan Hazel seraya berkata, “Aku Fana, calon tunangannya Aryan,” Ucap
Fana tersenyum, bisa ku lihat rasa kecewa menyatu dalam senyumnya.
“Apa kabar,
Zel?” ucapku mencoba menghalau suasana canggung.
“Baik,”
ucapnya singkat. Harusnya kita bisa lebih dari sekedar menanyakan kabar. Aku
hanya bisa melepas rindu seadanya.
“Maaf, saya
buru-buru.” Kata Hazel bergegas menarik kopernya.
Aku meraih
tangannya, “Nomermu masih yang dulu, kan?” tanyaku mencegah kepergiannya
sesaat.
Hazel hanya
mengangguk.
***
Sampai kapan
kita akan menunggu datangnya senja dan bait malam tanpa bersama? Sekali lagi,
harus kuakui, aku hanya mencintai Hazel.
“Maafkan
aku, Nona.” Ucapku sembari menyodorkan Es krim yang kubeli. Aku memintanya
bertemu saat jam makan siang di sekolah, dan Hazel menyetujuinya.
“Aku Cuma
kecewa,” ia meraih Es krim Coklat di tanganku ia sama sekali tidak menatapku.
Kami tiba di depan kelas, saat ini sekolah libur. Aku langsung memposisikan
diriku di tempat duduk yang sama.
“Aku yang
merusak persahabatan, Kita,”
“Persahabatan
katamu? Yang benar saja! Jangan berlagak bodoh, menyembunyikan perasaan itu,”
kulihat Hazel mengerang. Hazel menyusulku, ia duduk di sampingku sekarang.
Aku
menundukan wajahku, “Aku salah, Maaf, aku terlalu mencintaimu,”
“Mencintaiku?
Dengan wanita yang menjadi tunanganmu?”
“Tidak, aku
lebih mencintaimu!”
“Jangan
bergurau!”
“Sungguh,”
rasanya lelah, menyimpan perasaan yang terlalu lama tak terungkap.
Kami
bertengkar, sepuluh menit tak saling bicara meredam semua jengah, gundah dan
perasaan yang tak tentu arah.
“Aku tau,
kamu juga mencintaiku,” kataku menatap matanya lama sekali, hingga satu jawaban
ku temukan dari anggukan kepalanya.
Beberapa
minggu kemudian, aku tidak sengaja aku bertemu Hazel di sebuah toko perhiasan,
dan saat itu aku bersama Fana. Fana menyambut Hazel dengan ramah mereka bertemu
dengan berciuman pipi.
“Kebetulan banget,
ya, Zel. Kita ketemu lagi.” Kata Fana.
“Iya
kebetulan,”
“Kita berdua
akan menikah, kamu datang, ya, nanti ku suruh Aryan mengirimkan undangannya,”
kata Fana. Hazel melirikku sejenak, kutemukan ada rona kecewa dalam bola mata
cokelatnya.
“Oh ya? Selamat
kalau gitu, aku tunggu undangannya ya, Ar,” kata Hazel menutupi perasaannya.
“Kamu mau
beli cincin untuk tunanganmu juga?” tanya Fana tersenyum.
“Enggak,
Cuma liat-liat aja, mau cari yang lain, maaf ganggu,” Hazel pamit dan segera
meninggalkan tempat itu. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku,
ini yang kesekian kali, aku menyakiti perasaannya.
“Sayang
menurut kamu model yang ini bagus gak?” tanya Fana.
“Kita
pulang.” Aku terlalu kesal untuk menanggapinya.
Aku tau,
sudah sepantasnya Hazel marah−bahkan membenciku, bagaimana tidak? Aku
mengatakan cinta kepadanya saat aku ingin menikah dengan perempuan lain,
sehancur apa perasaannya? Entah, terlalu sulit untuk di gambarkan. Ku coba
menghubungi Hazel, telepon, BBM, emailku pun tak di jawab. Aku hampir Frustasi,
sudah tidak ada waktu lagi. Hingga hari pernikahanku pun tiba. Aku terpaksa
harus menjalani ini demi rasa hormatku kepada kedua orangtuaku, dan orang tua
Fana yang sudah puluhan tahun menjadi kerabat dekat keluarga.
Seluruhnya,
persiapan pernikahan sudah disiapkan, tanpa campur tanganku, aku hanya mengucap
iya, dan mengangguk ketika ditanya soal tetekbengek pernikahan ini. hingga
akhirnya, saat ini, Fana, kedua orang tuaku, orang tua Fana dan para undangan
untuk menungguku mengucapkan iklar janji setia dengan ikatan yang suci.
Aku segera bangkit
dari tempat dudukku, kucopot tudung putih yang mengikatkan aku dan Fana, “Saya
tidak siap,” kataku.
Fana segera
mencegahku dengan memegani lenganku, “Tapi kita mau menikah,”
“Saya tidak
pernah bilang bahwa saya siap menikah denganmu, saya tidak mencintaimu.” Kataku
akhirnya, semuanya terlepas, aku tidak harus lagi berpura pura untuk mencintai
Fana. Orang tuaku pasti marah padaku, juga kecewa dengan apa yang ku lakukan.
Aku mencopot
Jas hitam di badanku, ku gulung kemeja putihku, ku ambil kunci mobil dan segera
pergi dari tempat itu. Aku terus menghubungi Hazel, tapi sama, tidak ada
jawaban. “Bebek, kamu dimana?” aku hampir frustasi dengan keadaan yang ku buat
sendiri. Ku cari dia di apartemennya, kosong. Ku telpon orang tuanya. Ibunya
bilang, ia menuju singapur untuk pindah kantor disana. Aku langsung menuju
bandara, mengejar Hazel, aku harap ini sebagai penebus dosa. Nasib baik tidak
berpihak padaku. Penerbangan menuju singapur sudah diberangkatkan 30 menit yang
lalu.
Suara sepatu
kubertengkar dengan ubin koridor. Aku terus menaiki tangga, menyusuri koridor.
Hingga aku berdiri di depan kelas 12 ipa 1, dengan napas terengah-engah dan
keringat yang bercucuran. Ku buka pintu ruang kelas, aku mulai duduk di tempat
seperti biasa ku singgahi. Ku pandangi puluhan coret-coretan yang pernah kita
buat, terdengar helaan napas, ku ambil sebuah bolpoint dari saku celanaku,
berharap Bu Risda tidak melihat aku melakukan ini. lalu, aku mulai
mencoret-coret meja. Setidaknya, dengan ini, aku bisa mengenangnya.
Nona Sagitarius.
Perempuan cerewet ini sedang
menekuni dunia penulisan, cerpen pertamanya di muat di sebuah buku antologi
cerpen yang berjudul karena dinda yang di terbitkan oleh penerbit indie. Suka
dengan hal yang di kemas dalam Fiksi, menyukai badminton.
Tuan Capricorn (@nugrahadiii)
Seorang
pria bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang serta rambut sedikit ikal
berwarna hitam. Anak tertua dari 3 bersaudara yang berstatus sebagai mahasiswa
Departemen Matematika IPB. Memiliki kepribadian melankolis phlegmatis, sehingga
agak sensitif akan suatu keadaan sekitar. Menyukai hal-hal yang berkaitan
dengan sajak kecil dan puisi. Hobinya adalah membaca buku (terutama novel &
komik), menonton film dengan berbagai genre dan mendengarkan musik yang nyaman
didengar (terutama lebih menyukai musik-musik western & lagu indie).
Nb: cerita ini dituliskan setahun yang lalu dalam proyek duet kami.
Nb: cerita ini dituliskan setahun yang lalu dalam proyek duet kami.
No comments:
Post a Comment