Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, September 1, 2013

Delapan jam perjalanan







Sebentar lagi kita bertemu. Delapan jam dari sekarang sebelum mata kita beradu, mencumbu rindu. Ya, sudah terbayang semua hal yang akan kita lakukan bersama setelah berbulan-bulan aku pergi meninggalkanmu.
Aku berdiri dengan cropped tee dengan aksen terpotong yang kupadukan dengan rok dan jeans hitam juga blazer serta bowlers hat untuk menghilangkan kesan cropped tee yang tidak rapi jadi kelihatan formal, menggenggam selembar tiket single trip di tanganku. Potongan kertas ini yang akan mengantarkanku ke pelukanmu.
Aku meninggalkan secangkir kopi dan croisant yang kupesan di sudut café, dekat stasiun Tugu, karena kereta yang akan kutumpangi telah tiba. Dengan sengaja, aku mengambil jadwal keberangkatan malam. Kupikir selama perjalanan aku bisa tidur. Dan esoknya, kala aku terbangun aku sudah ada di kota yang berbeda.
Aku berjingkrak-jingkrak menuju gerbong-gerbong tua yang ditarik sebuah lokomotif. Aku melirik tiketku lagi, menyamakan nomer tempat duduk dengan tiketku. D-24. Aku duduk di peron, di antara bangku-bangku yang berhadap-hadapan dengan cahaya neon seadanya, dekat jendela.
Tidak lama kemudian, kereta pun berangkat. Aku memandang ke luar jendela, mataku mengitari siluet-siluet cahaya lampu yang terlihat kabur dari balik kaca film gelap.
Aku tersenyum dan mulai memejamkan mata. Sebentar lagi kita akan bertemu..
“Nah, sekarang kamu yang jaga!” seru Alsero. Kamu tersenyum ke arahku dan mengedipkan mata.
“Kamu aja deh, aku yang ngumpet,” balasku dengan nada menggoda.
Aku menyukai rambutnya yang jabrik, digel hati-hati untuk menimbulkan kesan agak berantakan.
“Baiklah, sekali aja ya, abis itu gantian kamu yang jaga!” kamu tersenyum lagi, mendekatkan wajahmu untuk menatap lekat-lekat wajahku yang merah padam kemudian mencolek hidungku, jail.
Aku mewanti-wanti. Takut kalau kamu mendengar degup jantungku yang hiperaktif. Aku segera mengambil sapu tangan untuk menutupi dua bolamata cokelatmu dan mengalihkan pandanganmu dari wajahku. Setidaknya, dengan begini, aku bisa dengan puas menikmati senyummu. Aku lebih suka diam-diam menatapmu dan mengagumimu secara sembunyi-sembunyi. Entah kenapa, setiap kali kita di hadap-hadapkan seolah perbendaharaan kataku berantakan. Dan aku selalu gugup.
Aku memberanikan diri untuk mencium pipimu sebelum tubuhmu kuputar-putar kemudian, dengan kesenanganku, aku berteriak, “Ayo, cari aku!”
Aku berlarian ke sana-ke mari sepuas hati untuk menghindarimu. Tawa kita bersahut-sahutan. Aku tergelak-gelak melihatmu yang sedang berusaha mencariku dengan mata masih tertutup. Sementara kamu gemas sekali ingin menemukanku.
“Awas ya, kamu! Kalau tertangkap, aku akan mencium kamu sampai gak ada sisanya!” begitu caramu mengancamku.
Bolamataku terbelalak, “Sini, kalo berani,” balasku. Aku tetap menjulurkan lidahku meski aku tau kamu tidak akan melihat tindakan bodoh itu.
Aku mundur beberapa langkah untuk menjauhkan diriku darimu. Dari sini, aku bisa melihatmu lebih lamatanpa kamu ketahui. Aku hanya terlalu nyaman dengan kehadiranmu di sampingku, hingga aku lupa siapa kamu sebenarnya.
Tanganmu meraba-raba sekitarmu yang kosong, aku sudah berhenti berlari sejak tadi dan bersembunyi di belakangmu. Kamu memperlambat langkahmu, berbalik badan dan dalam hitungan satu.. dua.. ti.. hap! Kamu berhasil menemukanku. Atau tepatnya aku yang menyerah. Tapi biar saja, aku tidak akan mengatakan hal itu padamu.
“Yeahh! Kena kamu!” katamu kegirangan. Kamu membuka saputangan yang menutupi matamu lalu memelukku. Erat sekali. Mencium kedua pipiku, keningku dan satu kali bonus untuk hidungku.
Aku mencari-cari bolamatamu dengan keingintahuan. “Kamu menang banyak hari ini,” gumamku.
“Oh ya?” kutemukan kamu yang berkacak pinggang, lalu melanjutkan, “Itu hukumannya buat orang yang sering ilang-ilangan kayak kamu,”
Aku menahan napas untuk mancerna kata-katanya, bukannya ilang-ilangan tapi kisah kita mungkin berbeda. Cepat atau lambat otak sadarku akan menghakimi perasaan bahwa kamu miliknya.
Aku tertawa datar, “kan kita lagi main petak-umpet,”
Kamu menggeleng pelan, menatapku hangat, sederhana namun tetap memesona. “Oliv, aku suka banget main petak-umpet, aku suka menebak-nebak atau bermain tebak-tebakan. Tapi, aku gak pernah bisa menebak makna di balik mata kamu,” katamu. Aku nyaris tidak pernah bisa menirukan cara bicaramu yang mengalun lembut dengan artikulasi sempurna. “Tolong jangan akrabkan aku dengan ketidak mengertian,” kamu melanjutkan.
Aku hanya bisa membalas kata-katamu dengan satu senyum setelah berhasil menela’ah semuanya.
Pada detik ke sekian aku baru bisa membalas, “Ini bukan soal permainan, ini soal perasaan. Sial memang. Kita harus benar-benar sadar yang mana yang jagoan dan yang mana yang pecundang,” aku tidak yakin saat aku mengatakan itu apakah nada bicaraku sudah benar atau belum. Yang jelas, detik ini aku masih merasakan gugup yang berlarut-larut.
“Kamu terlalu abu-abu buat aku,” suaramu terdengar gamang di telingaku.
“Pecundang selalu terlihat samar,” tambahku tidak peduli kalau aku mendapat tatapan menyipit darimu.
“Jangan bicara seperti itu,” lagi-lagi kamu mengeluarkan dekrit yang membuatku tidak berkutik. “Kamu mencintaiku, kan?” itu pertanyaan retoris yang tidak perlu kujawab. Ini terlalu rumit untuk dijabarkan.
Aku menghela napas, merelaksasikan semua perasaan dalam atmosfer hening. Rasanya aku tetap utuh jika dalam pelukanmu, walaupun itu adalah kesimpulan implusifku. Setidaknya kita pernah ada, kita pernah bersama. Walaupun pada akhirnya kita harus jadi orang lain.
***
Aku terbangun dengan dada sedikit sesak. Aku menggeser tubuhku yang kaku. Kereta sudah tiba di stasiun gambir, para penumpang mulai meninggalkan peron, termasuk aku.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, ini masih jam empat pagi. Taburan cahaya lampu kota terlihat lebih ramai dari pada yang kulihat dari balik kaca jendela. Aku menenten clutch bag-ku yang lumayan besar. Rencananya, aku akan menetap di kota ini selama liburan smester.
Aku pernah pergi atau melarikan diriyang jauh—jauh sekali darimu—tapi ternyata sejauh apapun aku melangkah, sekencang apapun aku berlari tempatku berpulang adalah dadamu.
Mataku mengitari ornamen stasiun yang didominasi warna hijau. Aku bergeming di tengah lalu lalang orang yang otaknya tidak jauh dari seputar selangkangan.
Handphoneku bergetar, terpampang sebuah nama yang sama dengan panggilan terakhir.
Alsero cheri.
“Hallo, olivia, sudah sampai?” suaramu mengalun lembut di telingaku. Suara yang begitu akrab dan selalu terkonfirmasi sebagai teman karib dengan indra pendengaranku.
“Hei, Al, aku sudah sampai, aku di pintu keluar, kamu di mana?” balasku sambil memasukkan potongan tiket ke dalam mesin pintu keluar yang dingin dan kokoh.
“Aku di ujung jalan, dekat deretan pertokoan,” ucapnya.
“Oke, aku yang akan ke sana, tunggu sebentar ya,” balasku.
“Pastikan kalau dalam hitungan enam detik kamu sudah ada dalam pelukanku?” aku mendengar suaramu yang lebih ringan dari kalimat sebelumnya. Bertolakbelakang sekali dengan suaraku yang lazim di bilang parau.
“Dalam hitungan enam, aku akan menonjokmu!”
“Tidak, aku yang lebih dahulu akan menciummu,” katamu tidak mau kalah.
Aku keluar. Menyusuri deretan toko souvenir yang masih tutup. Hanya ada satu-dua mobil yang berseliweran dengan sorotan lampunya yang menangkap basah wajahku yang memucat. Aku baru ingat kalau aku melewati makan malamku. Aku yakin sekali kalau setelah ini kamu akan menggeretku ke sebuah warung sate ayam di pinggir jalan, tempat biasa kita menghabiskan waktu dengan asap bakaran daging ayam dan bumbu kacang favoritmu.
Aku melihat lelaki berdiri di sebrang jalan sambil memegangi ponselnya. Kupikir setelah mengakhiri pembicaraan tadi, kamu belum bisa melepaskan pandanganmy dari layar ponselmu yang masih menyala. Kamu mengalihkan pandanganmu ke arahku, lalu melambaikan tangan. Aku bisa melihat senyummu yang kontras dengan keadaan sekelilingmu.
Aku melangkah dengan cepat untuk menghampirimu. Tanpa pikir panjang aku berlari, menyebrang jalan—dan di saat yang bersamaan sebuah X-Trail dengan kecepatan penuh melintasi tubuhku, kepalaku beradu dengan aspal jalanan dan terseret beberapa meter. Aku merasakan perih yang amat sangat. Darah mulai bersimbah memenuhi tubuhku. Aku melihat kepanikan di wajahmu ketika berlari menghampiriku. Lututku lemas, badanku remuk, sakit kepala dan sesak napas berkombinasi menghantamku berkali kali.
“Olivia, bangun, sayang.. kumohon..”
Pendar-pendar cahaya lampu jalanan, di antara deretan pertokoan, dekat persimpangan di antara setumpuk rindu yang gaduh menjadi telaga perpisahan yang kemudian melukis bayang semu dalam lara cinta.
Setidaknya, sebelum aku pergi yang terakhir kali kulihat adalah ragamu, yang terakhir kali kudengar adalah suaramu. Dan aku sangat bahagia..


2 comments:

  1. aahh, sepertinya aku menemukan genre yg tepat untukmu, 'sadgenic', seperti rahne putri.
    cerita-ceritamu hampir semuanya tentang rindu tanpa titik temu, kehilangan dan bahkan kematian, hehee.
    tapi itulah gayamu Nona, sungguh aku menyukai setiap aksara yg tertulis di dalamnya.

    ReplyDelete
  2. ada kalanya di mana aku akan menuliskan sebuah kebahagiaan. Ya, suatu hari nanti. Mungkin begitu. Ini hanya soal teknis saja. Menurutku yang seperti ini lebih mudah dituliskan, Tuan. :) btw, makasih yaa. Sudah jadi pembaca blogku. Aku senang sekali setiap membaca komentarmu.

    ReplyDelete