Sebentar lagi kita bertemu. Delapan jam dari sekarang sebelum mata kita
beradu, mencumbu rindu. Ya, sudah terbayang semua hal yang akan kita lakukan
bersama setelah berbulan-bulan aku pergi meninggalkanmu.
Aku berdiri dengan cropped tee
dengan aksen terpotong yang kupadukan dengan rok dan jeans hitam juga blazer serta bowlers hat untuk
menghilangkan kesan cropped tee yang
tidak rapi jadi kelihatan formal, menggenggam selembar tiket single trip di
tanganku. Potongan kertas ini yang akan mengantarkanku ke pelukanmu.
Aku meninggalkan secangkir kopi dan croisant
yang kupesan di sudut café, dekat stasiun Tugu, karena kereta yang akan
kutumpangi telah tiba. Dengan sengaja, aku mengambil jadwal keberangkatan
malam. Kupikir selama perjalanan aku bisa tidur. Dan esoknya, kala aku
terbangun aku sudah ada di kota yang berbeda.
Aku berjingkrak-jingkrak menuju gerbong-gerbong tua yang ditarik sebuah
lokomotif. Aku melirik tiketku lagi, menyamakan nomer tempat duduk dengan
tiketku. D-24. Aku duduk di peron, di antara bangku-bangku yang berhadap-hadapan
dengan cahaya neon seadanya, dekat jendela.
Tidak lama kemudian, kereta pun berangkat. Aku memandang ke luar jendela,
mataku mengitari siluet-siluet cahaya lampu yang terlihat kabur dari balik kaca
film gelap.
Aku tersenyum dan mulai memejamkan mata. Sebentar lagi kita akan
bertemu..
“Nah, sekarang kamu yang jaga!” seru Alsero. Kamu tersenyum ke arahku dan
mengedipkan mata.
“Kamu aja deh, aku yang ngumpet,” balasku dengan nada menggoda.
Aku menyukai rambutnya yang jabrik, digel hati-hati untuk menimbulkan
kesan agak berantakan.
“Baiklah, sekali aja ya, abis itu gantian kamu yang jaga!” kamu tersenyum
lagi, mendekatkan wajahmu untuk menatap lekat-lekat wajahku yang merah padam
kemudian mencolek hidungku, jail.
Aku mewanti-wanti. Takut kalau kamu mendengar degup jantungku yang
hiperaktif. Aku segera mengambil sapu tangan untuk menutupi dua bolamata
cokelatmu dan mengalihkan pandanganmu dari wajahku. Setidaknya, dengan begini,
aku bisa dengan puas menikmati senyummu. Aku lebih suka diam-diam menatapmu dan
mengagumimu secara sembunyi-sembunyi. Entah kenapa, setiap kali kita di
hadap-hadapkan seolah perbendaharaan kataku berantakan. Dan aku selalu gugup.
Aku memberanikan diri untuk mencium pipimu sebelum tubuhmu kuputar-putar
kemudian, dengan kesenanganku, aku berteriak, “Ayo, cari aku!”
Aku berlarian ke sana-ke mari sepuas hati untuk menghindarimu. Tawa kita
bersahut-sahutan. Aku tergelak-gelak melihatmu yang sedang berusaha mencariku
dengan mata masih tertutup. Sementara kamu gemas sekali ingin menemukanku.
“Awas ya, kamu! Kalau tertangkap, aku akan mencium kamu sampai gak ada
sisanya!” begitu caramu mengancamku.
Bolamataku terbelalak, “Sini, kalo berani,” balasku. Aku tetap menjulurkan
lidahku meski aku tau kamu tidak akan melihat tindakan bodoh itu.
Aku mundur beberapa langkah untuk menjauhkan diriku darimu. Dari sini,
aku bisa melihatmu lebih lama—tanpa kamu ketahui.
Aku hanya terlalu nyaman dengan kehadiranmu di sampingku, hingga aku lupa siapa
kamu sebenarnya.
Tanganmu meraba-raba sekitarmu yang kosong, aku sudah berhenti berlari
sejak tadi dan bersembunyi di belakangmu. Kamu memperlambat langkahmu, berbalik
badan dan dalam hitungan satu.. dua.. ti.. hap! Kamu berhasil menemukanku. Atau
tepatnya aku yang menyerah. Tapi biar saja, aku tidak akan mengatakan hal itu
padamu.
“Yeahh! Kena kamu!” katamu kegirangan. Kamu membuka saputangan yang
menutupi matamu lalu memelukku. Erat sekali. Mencium kedua pipiku, keningku dan
satu kali bonus untuk hidungku.
Aku mencari-cari bolamatamu dengan keingintahuan. “Kamu menang banyak
hari ini,” gumamku.
“Oh ya?” kutemukan kamu yang berkacak pinggang, lalu melanjutkan, “Itu
hukumannya buat orang yang sering ilang-ilangan kayak kamu,”
Aku menahan napas untuk mancerna kata-katanya, bukannya ilang-ilangan
tapi kisah kita mungkin berbeda. Cepat atau lambat otak sadarku akan menghakimi
perasaan bahwa kamu miliknya.
Aku tertawa datar, “kan kita lagi main petak-umpet,”
Kamu menggeleng pelan, menatapku hangat, sederhana namun tetap memesona. “Oliv,
aku suka banget main petak-umpet, aku suka menebak-nebak atau bermain tebak-tebakan.
Tapi, aku gak pernah bisa menebak makna di balik mata kamu,” katamu. Aku nyaris
tidak pernah bisa menirukan cara bicaramu yang mengalun lembut dengan
artikulasi sempurna. “Tolong jangan akrabkan aku dengan ketidak mengertian,”
kamu melanjutkan.
Aku hanya bisa membalas kata-katamu dengan satu senyum setelah berhasil
menela’ah semuanya.
Pada detik ke sekian aku baru bisa membalas, “Ini bukan soal permainan,
ini soal perasaan. Sial memang. Kita harus benar-benar sadar yang mana yang
jagoan dan yang mana yang pecundang,” aku tidak yakin saat aku mengatakan itu
apakah nada bicaraku sudah benar atau belum. Yang jelas, detik ini aku masih
merasakan gugup yang berlarut-larut.
“Kamu terlalu abu-abu buat aku,” suaramu terdengar gamang di telingaku.
“Pecundang selalu terlihat samar,” tambahku tidak peduli kalau aku
mendapat tatapan menyipit darimu.
“Jangan bicara seperti itu,” lagi-lagi kamu mengeluarkan dekrit yang
membuatku tidak berkutik. “Kamu mencintaiku, kan?” itu pertanyaan retoris yang
tidak perlu kujawab. Ini terlalu rumit untuk dijabarkan.
Aku menghela napas, merelaksasikan semua perasaan dalam atmosfer hening. Rasanya
aku tetap utuh jika dalam pelukanmu, walaupun itu adalah kesimpulan implusifku.
Setidaknya kita pernah ada, kita pernah bersama.
Walaupun pada akhirnya kita harus jadi orang lain.
***
Aku terbangun dengan dada sedikit sesak. Aku menggeser tubuhku yang kaku.
Kereta sudah tiba di stasiun gambir, para penumpang mulai meninggalkan peron,
termasuk aku.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, ini masih jam empat pagi. Taburan cahaya
lampu kota terlihat lebih ramai dari pada yang kulihat dari balik kaca jendela.
Aku menenten clutch bag-ku yang lumayan besar. Rencananya, aku akan menetap di
kota ini selama liburan smester.
Aku pernah pergi atau melarikan diri—yang jauh—jauh
sekali darimu—tapi ternyata sejauh apapun aku melangkah, sekencang
apapun aku berlari tempatku berpulang adalah dadamu.
Mataku mengitari ornamen stasiun yang didominasi warna
hijau. Aku bergeming di tengah lalu lalang orang yang otaknya tidak jauh dari
seputar selangkangan.
Handphoneku bergetar, terpampang sebuah nama yang sama
dengan panggilan terakhir.
Alsero cheri.
“Hallo, olivia, sudah sampai?” suaramu mengalun lembut di
telingaku. Suara yang begitu akrab dan selalu terkonfirmasi sebagai teman karib
dengan indra pendengaranku.
“Hei, Al, aku sudah sampai, aku di pintu keluar, kamu di
mana?” balasku sambil memasukkan potongan tiket ke dalam mesin pintu keluar
yang dingin dan kokoh.
“Aku di ujung jalan, dekat deretan pertokoan,” ucapnya.
“Oke, aku yang akan ke sana, tunggu sebentar ya,”
balasku.
“Pastikan kalau dalam hitungan enam detik kamu sudah ada
dalam pelukanku?” aku mendengar suaramu yang lebih ringan dari kalimat
sebelumnya. Bertolakbelakang sekali dengan suaraku yang lazim di bilang parau.
“Dalam hitungan enam, aku akan menonjokmu!”
“Tidak, aku yang lebih dahulu akan menciummu,” katamu
tidak mau kalah.
Aku keluar. Menyusuri deretan toko souvenir yang masih
tutup. Hanya ada satu-dua mobil yang berseliweran dengan sorotan lampunya yang
menangkap basah wajahku yang memucat. Aku baru ingat kalau aku melewati makan
malamku. Aku yakin sekali kalau setelah ini kamu akan menggeretku ke sebuah
warung sate ayam di pinggir jalan, tempat biasa kita menghabiskan waktu dengan
asap bakaran daging ayam dan bumbu kacang favoritmu.
Aku melihat lelaki berdiri di sebrang jalan sambil
memegangi ponselnya. Kupikir setelah mengakhiri pembicaraan tadi, kamu belum
bisa melepaskan pandanganmy dari layar ponselmu yang masih menyala. Kamu mengalihkan
pandanganmu ke arahku, lalu melambaikan tangan. Aku bisa melihat senyummu yang
kontras dengan keadaan sekelilingmu.
Aku melangkah dengan cepat untuk menghampirimu. Tanpa pikir
panjang aku berlari, menyebrang jalan—dan di saat yang bersamaan sebuah
X-Trail dengan kecepatan penuh melintasi tubuhku, kepalaku beradu dengan aspal
jalanan dan terseret beberapa meter. Aku merasakan perih yang amat sangat. Darah
mulai bersimbah memenuhi tubuhku. Aku melihat kepanikan di wajahmu ketika berlari
menghampiriku. Lututku lemas, badanku remuk, sakit kepala dan sesak napas
berkombinasi menghantamku berkali kali.
“Olivia, bangun, sayang.. kumohon..”
Pendar-pendar cahaya lampu jalanan, di antara deretan
pertokoan, dekat persimpangan di antara setumpuk rindu yang gaduh menjadi
telaga perpisahan yang kemudian melukis bayang semu dalam lara cinta.
Setidaknya, sebelum aku pergi yang terakhir kali kulihat
adalah ragamu, yang terakhir kali kudengar adalah suaramu. Dan aku sangat
bahagia..
aahh, sepertinya aku menemukan genre yg tepat untukmu, 'sadgenic', seperti rahne putri.
ReplyDeletecerita-ceritamu hampir semuanya tentang rindu tanpa titik temu, kehilangan dan bahkan kematian, hehee.
tapi itulah gayamu Nona, sungguh aku menyukai setiap aksara yg tertulis di dalamnya.
ada kalanya di mana aku akan menuliskan sebuah kebahagiaan. Ya, suatu hari nanti. Mungkin begitu. Ini hanya soal teknis saja. Menurutku yang seperti ini lebih mudah dituliskan, Tuan. :) btw, makasih yaa. Sudah jadi pembaca blogku. Aku senang sekali setiap membaca komentarmu.
ReplyDelete