Kematian
adalah sebuah hal yang mengerikan. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa detik
ini, ajal mendekapku.
Aku memasuki lorong hitam berkabut hijau.
Bersama dengan seseorang yang menjemputku dengan jubah hitamnya yang terjulur
panjang kelantai. Atau mungkin ia melayang tak punya kaki. Sehingga terlihat
jubahnya hanya terlerai-lerai. Aku pun merasakan itu. Bahwa kakiku sudah tak
lagi menapak.
Tiga tahun setelah kematianku aku di
tugasskan oleh Gerald, seorang ketua dari kumpulan dewa kematian. Untuk kembali
ke bumi.
Rachel
Pagi ini aku kembali menghirup udara dari
jendela kamarku. Bukan kamarku. Melainkan kamar rumah sakit yang selama sekian
tahun sudah menjadi kamarku.
Sel-sel kanker di otakku mulai menggerogoti setiap syaraf dalam
tubuhku. Menjalar, meluas dan menghantui. Aku selalu menikmati setiap
detik-detik napasku, sebelum akhirnya hidupku akan berakhir di tempat tidur
ini. Dan di kamar ini menjadi saksi bisu bahwa aku pernah bernapas.
Rasanya aku tak pernah sakit. Aku baik-baik
saja. Bahkan aku bias meloncat dan menari-nari. Tapi entah kenapa merry
melarangku untuk melakukan semua itu. Aku hanya boleh melakukan satu hal. Yaitu
bernyanyi. Itupun merry selalu menggingatkan bahwa aku tidak boleh menyanyikan
lagu terlalu banyak. Padahal dengan bernyanyi aku bisa melupakan segalanya.
Aku tak pernah punya teman, hanya Daddy yang
menjengukku setelah ia pulang bekerja. Tak ada liburan musim panas, atau
bermain salju pada musim dingin. Aku hanya terbaring di atas tempat tidur bodoh
ini. Atau sesekali duduk di atas kursi roda untuk menatap burung-burung yang
terbang bebas d pinggiran kolam taman.
“Apa boleh aku menyanyi sekarang?” tanyaku
pada Merry. Suster yang mendorong kursi rodaku.
“Tentu, tapi hanya satu lagu.” Kata Merry
sambil mengingatkanku.
“Kenapa tak ada hari bonus untukku? Aku ingin
bernyanyi hingga ratusan lagu” Pintaku menatap Meery dengan wajah memelas.
“Tidak, aku yakin kau tidak akan sanggup
untuk itu. Berani taruh, tiga lagu pun kau sudah lelah. Selanjutnya kau akan
menghabiskan obat penenang” tantang Merry.
“Oke. Akan ku buktikan padamu kalau aku tidak
akan menelam obat-obat menjijikan itu.”
“kalau gitu, selamat berjuang” kata Merry
dengan nada pasrah. Lalu ia meninggalkanku di atas kursi roda.
Ku lihat burung-burung yang terbang. Hinggap sana, hinggap sini dengan
sayapnya tanpa batasan. Tanpa harus tergantung dengan seberapa butir obat yang
mereka habiskan. Gemercik air kolam
menenangkanku. Aku suka tempat ini. Satu-satunya tempat dimana aku bias melihat
dunia. Bahkan aku tidak tau seperti apa dunia yang seperti orang-orang bilang.
Penyakit ini membuat sebagian memori otakku tak bisa mengingat banyak.
Dan aku mulai bernyanyi..
Elmerio.
Siapa gadis yang bernyanyi itu? Membuat
sebagian organ dalam tubuhku bergerak lebih cepat. Oh iya. Aku lupa. Aku tak
punya raga. Aku hanya sebuah jiwa yang melayang. Tapi aku bisa merasakan
perasaan yang aneh.
Aku mendekati gadis itu. Untuk bisa
mendengar lebih jelas suaranya yang syahdu. Ku lihat sepertinya burung-burung
ikut menari-nari mengiringi setiap nada indah yang keluar dari mulutnya.
“Ehh. Kamu siapa?” hentaknya kaget.
Aku juga kaget. Gadis ini bisa merasakan
kehadiranku. Lalu ia berhenti bernyanyi.
“Aku.. aku.. kau bisa melihatku?” tanyaku
menatap mata hazelnya yang cerah bila terkena sinar matahari sore. Tapi, garis-
garis wajahnya tak secerah matanya.
“Tentu saja. Kau memakai jubah hita., dan
rambutmu jabrik. Kau seperti hantu” ucapnya memandangi pakaianku.
Aku tersenyum. Dari sekian ribu manusia yang
aku jumpai di dunia ini. Tak ada satupun yang bisa melihatku. Bahkan orang
tuaku. Kecuali gadis bermata indah di hadapanku ini. Aku bukan hantu. Aku bukan
malaikat. Aku hanya jiwa yang melayang-layang di permukaan bumi. Sebelum aku
kembali ke dalam kantung jiwa. Bersama jiwa-jiwa yang lain aku harus mempunyai
perasaan cinta yang begitu kuat. Sayangnya. Selama aku hidup 18 tahun di dunia.
Aku belum pernah merasakan hal itu.
“Jadi, kamu pernah hidup?” Tanya Rachel.
Aku mengangguk “Iya, tiga tahun lalu sebelum kecelakaan
itu merenggut nyawaku.”
“Rachel.
Waktunya kau istirahat” seorang suster menghampirinya. Menarik kursirodanya
menjauhiku.
…
Rachel
“Bisakah
kau tidak mendorong terlalu cepat? Aku masih ingin bermain dengan temanku”
kataku meminta Merry mengembalikanku ke tempat tadi. Aku tak habis piker Merry
selalu melarangku ini-itu. Ia lebih kejam dari pada sosok ibu tiri. Atau
mungkin, ia adalah jelmaan dari Victoria?
Si cewek vampire yang menyeramkan.
“Teman katamu? Sudahlah, jangan bergurau lagi.
Setelah ini kau harus beristirahat” ujar Merry yang sepertinya mulai kesal
dengan tingkahku.
“Tapi El adalah temanku!” aku bersi keras
memberitahukan Merry bahwa aku ini juga punya seseorang itu.
Merry
membuka pintu kamar. Dan menyalakan lampu di ruangan yang mulai gelap itu.
“Sejak kapan kau punya teman? Hanya aku yang
kau bisa ajak bicara” sekali lagi Merry mengingatkanku. Bahwa selama aku hidup
ia adalah satu-satunya orang yang paling banyak aku ajak bicara. Selanjutnya
aku hanya diam atau mengeluh.
“Selamat istirahat” ucap Merry mengecup
keningku. Lalu ia meninggalkanku di ruangan yang aku tidak sukai ini. Sampai
detik ini. Aku tak pernah mengenal seorangpun yang bisa di katakana teman. Aku
hanya mengenal puluhan dokter yang capek menanganiku. Merry dan Daddy yang
sampai detik ini ia selalu bilang bahwa ia mencintaiku.. bahkan aku tidak
pernah tahu. Siapa ibuku. Daddy bilang, mommy berada di tempat paling indah di
atas sana.
GREEK. Suara jendela kamarku terbuka. Dan aku
menemukan El disana.
“El!!” teriakku kegirangan. Aku sudah hamper
frustasi saat Merry membawaku ke ruangan. Dan aku tidak akan bisa bertemu
dengannya. “Kau penuh kejutan!” kataku masih tak percaya terhadap fakta. Bahwa
El menerobos jendela hanya untuk menemuiku.
“Terimakasih. Tapi aku senang melakukannya
unukmu” ucap El penuh kepastian.
“Aku sedih. Merry tak mempercayaiku. Kalau
aku punya teman sepertimu.” Keluhku. Aku mulai menyukai rambut jabriknya.
“Rachel.. sudah ku bilang kau jangan banyak
bergurau. Kau harus istirahat” Merry membuka pintu kamar dengan wajah garang.
Ia mungkin kesal dengan tingkahku. Tapi aku tak perduli. Aku terlalu panik
kalau Merry melihat lelaki di kamarku.
“Baiklah” jawabku dengan tenggorokan seperti
tersendat. Lalu Merry menutup pintu lagi.
Aku menghela napas. “Tentu saja. Wanita itu
tak akan bisa melihatku” ujar El membuatku ternganga.
“El, kau hebat! Kau bisa tak tampak olehnya.
Bisakah kau mengejariku tentang hal yang menakjubkan itu?” pintaku. El hanya
menatapku dengan matanya yang kelam.
“kau mau yang lebih keren dari pada hal yang
tak kasat mata?” Tanya El.
“Apa?”
“Mari berpegangan denganku”
Aku beranjak dari tempat tidur. Menghampiri
El. Tubuhnya yang menjulang tinggi seolah mengintimidasi tubuhku. Aku menangkap
tangannya yang dingin. Ku peluk tubuh itu erat-erat. Satu detik kemudian. Aku
sudah terbang di udara bersama El.
Elmerio.
Inikah
rasanya? Di dalam bola matanya aku menemukan kembali kehidupanku? Di dalam
raganya, aku seolah menemukan surga tersendiri. Di atas langit gelap. Tanpa taburan
bintangpun aku masih bahagia. Karena yang ku peluk ini adalah bintang peling
terang.
“Apakah kau menyukainya?” tanyaku.
“Iyap. Apalagi hal ini ku lakukan bersamamu”
“Kalau kau ingin bernyanyi. Maka bernyanyilah
sesuka hatimu”
“Kau tidak melarangku?”
Aku tertawa menatap matanya yang polos.
“Tentu saja tidak. Aku bukan Merry” lalu kami
tertawa.
Rachel
bernyanyi dengan suaranya yang indah. Di
dalam pelukanku. Tubuh yang rantan itu memiliki jiwa yang bersemangat. Tuhan
berikan aku waktu lebih lama bersamanya.
Suara
sendu, syahdu mengelitik telingaku. Agar menikmati lagu itu lebih mendalam.
Kami berputar putar diatas udara malam yang dingin. Apakah ini perasaan yang
Gerald bilang kepadaku?
“Kau lelah?” tanyaku melihat wajahnya yang
makin memucat.
“Tidak. Aku sangat bahagia. Kau satu satunya
temanku” katanya. Kami duduk di atas tower gedung rumah sakit. Menikmati
semilir angin yang menembus raga rapuhnya. Mungkin aku tak waras. Membiarkan
gadis ini disini. Itu sama saja mendekatkannya pada kematian. Aku tau aku
bodoh.
Rachel.
Malam ini malam yang paling indah. Andaikan
tuhan mencabut nyawaku setelah ini. Aku rela. Sebab sekarang aku tau, dimana
titik kebahagiaanku selama ini. Bukan bernyanyi. Tapi El. Ia titik
kebahagiaanku.
Aku tak perduli seberapa dinginnya malam ini.
Aku tak perduli seberapa kejamnya angin malam untuk tubuh yang rentan ini. Aku
hanya ingin bahagia dengan El.
El melepaskah jubah hitamnya untuk menutupi
tubuhku. Lalu ia tetap memelukku. Membiarkan kepalaku melesat di dadanya yang
kekar. Bau kematian pada El sungguh tercium olehku. Jiwanya yang selalu tenang.
Memberikan keistimewaan tersendiri.
“Kau menginginkan sesuatu dariku?” Tanya El
sambil menikmati susu kotaknya. Entah itu di dapat dari mana. Ku kira hanya aku
yang menyukai susu kotak. Makhluk lain juga rupanya suka.
Aku meraih kotak susu itu dari tangannya. Dan
mulai menyeruput sedikit. “Mungkin” kataku lalu kembali menyeruput susu itu.
Aku masih di dalam dekapannya. “Kalau kau?” tanyaku.
“Iya.”
“Kalau boleh aku tahu. Tentang apa itu?”
“Perasaan”
“Aku rasa aku juga seperti itu” timpalku di
ikuti dengan anggukan El.
“Kau merasakan perasaan aneh?”
“Iya. Rasanya jantungku menari-nari atau
sesekali ingin loncat”
“Itu cinta.”
“Cinta? Apa itu? Sejenis makanan penutup.
Atau obat penenang merk baru?” tanyaku.
“Gerald bilang. Cinta itu tak bisa di
jabarkan dengan kata-kata. Tapi bisa di rasakan.” Kata El.
“Jadi sekarang aku sedang jatuh cinta?”
tanyaku.
El
tersenyum menyambut pertanyaanku yang sepertinya agak bodoh. Oke, pertanyaan
bodoh.
“Seperti itulah” ucap El.
El seperti malaikat dari surga yang di
datangkan untukku. Atau ia adalah malaikat maut yang berubah menjadi sosok yang
aku cintai. Hari hariku di rumah sakit tidak lagi menjadi mimpi buruk. El
selalu membuat kejutan, entah dengan membawaku ke atas perosotan pelangi. Atau
mengendarai awan sepanjang sore. Sekarang bertemu dengannya sudah menjadi
keharusan untukku. El seperti obat yang menenangkanku.
Elmerio.
“Kau sudah mengertikan sekarang?” Tanya
Gerald. Saat kami berada di dalam ruang dewa. Jutaan dewa terkumpul disini.
“Aku merasakannya. Ternyata indah” ujarku
mengeluarkan isi hatiku yang sebenarnya.
“Kalau gitu kau sudah boleh kembali” Gerald
tersenyum tipis.
“Maksudmu? Aku tak mengerti” tanyaku yang tak
paham maksud Gerald.
“Seperti yang ku katakan sebelumnya. Bahwa kau
harus punya cinta. Untuk di klasifikasikan oleh dewa. Agar kau bisa menjadi
dewa cinta. Setelah mendapatkan cinta dengan seseorang. Kau harus kembali ke
alammu” jelas Gerald.
“Lalu. Aku tidak bisa kembali ke bumi?”
tanyaku.
Gerald menggeleng. Dan reaksi itu membuatku
frustasi.
“Kau hanya akan menjadi dewa cinta di sini.
Tidak di bumi. Apakah kau mau menjadi jiwa yang melayang tak jelas di permukaan
bumi? Bertemu dengan para manusia yang tak punya hati?” Tanya Gerald.
“Tapi.. Gerald kau sudah gila! Aku
mencintainya. Mana mungkin aku bisa melupakannya secepat itu!” aku marah. Ku
tonjok dinding beton di ruang dewa.
“Bodoh. Aku hanya menyuruhmu mempunyai cinta.
Bukan menggilai cintamu sampai seperti ini.” Ucap Gerald lalu meninggalkanku. Aku
akan menjadi satu-satunya dewa cinta yang patah hati? Tidak!. Aku berteriak
seperti orang gila. Mengapa Gerald menyuruhku seperti ini? Aku lebih baik tidak
mencintai siapapun dari pada harus kehilangan Rachel. Aku sungguh mencintainya.
Rachel.
El kemana? Sudah tiga jam ia meninggalkanku.
Ia janji hari ini akan memberikan kejutan untukku. Aku merindukan El. Merry
bilang hasil diagnosa kali ini buruk. Kondisiku benar-benar tak stabil. Karena
itu aku harus memakai selang oksigen agar otakku bisa menerima udara. Aku hanya
terbaring di tempat tidur ini. Menunggu kedatangan El membawakanku kejutan.
“Akhirnya kau datang” lirihku saat El
menembus dinding kamarku.
“Aku disini. Jangan khawatir”
Ku lihat wajah El tak seperti biasanya. Ia
seperti baru saja mendapat kabar buruk. Atau mungkin ia sudah tau mengenai
kondisiku.
“Apa kau membawa kejutan itu?” tanyaku. Aku
sudah tidak sabar dengan kejutan hari ini.
El berjalan mendekatiku. Ia menggenggam erat
tanganku. Lalu membuka selang oksigen yang menutupi mulutku.
“Aku mencintaimu” ucapnya. Sorot matanya
begitu meyakinkan. Tangannya mendekap wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Aku
seperti melayang-layang. Dalam paduan dewa kematian. Seluruhnya terasa gelap.
Ini bukan seperti di kamarku. Ini di tempat yang aku tidak pernah lihat. Aneh.
Aku tak merasakan apapun. Hanya ragaku yang sudah terbaring di bawah sana. Dewa
kematian menuntunku berjalan. Dimana El? Aku sudah tak lagi melihatnya? El? Aku
tak melihatmu?.. aku menyukai kejutanmu! El..
Elmerio.
Kain putih itu sudah menutupi seluruh
tubuhnya. Ia sudah pergi. Tanpa aku.
Cinta, aku tetap di sini. Di hatimu. Walau
raga kita sudah tak bergerak. Tapi. Kau harus tau. Jiwaku ada di dalam jiwamu.
No comments:
Post a Comment