Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, June 3, 2012

jiwa untuk cinta


Kematian adalah sebuah hal yang mengerikan. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa detik ini, ajal mendekapku.
   Aku memasuki lorong hitam berkabut hijau. Bersama dengan seseorang yang menjemputku dengan jubah hitamnya yang terjulur panjang kelantai. Atau mungkin ia melayang tak punya kaki. Sehingga terlihat jubahnya hanya terlerai-lerai. Aku pun merasakan itu. Bahwa kakiku sudah tak lagi menapak.
  Tiga tahun setelah kematianku aku di tugasskan oleh Gerald, seorang ketua dari kumpulan dewa kematian. Untuk kembali ke bumi.

Rachel
  Pagi ini aku kembali menghirup udara dari jendela kamarku. Bukan kamarku. Melainkan kamar rumah sakit yang selama sekian tahun sudah menjadi kamarku.
  Sel-sel kanker di otakku  mulai menggerogoti setiap syaraf dalam tubuhku. Menjalar, meluas dan menghantui. Aku selalu menikmati setiap detik-detik napasku, sebelum akhirnya hidupku akan berakhir di tempat tidur ini. Dan di kamar ini menjadi saksi bisu bahwa aku pernah bernapas.
  Rasanya aku tak pernah sakit. Aku baik-baik saja. Bahkan aku bias meloncat dan menari-nari. Tapi entah kenapa merry melarangku untuk melakukan semua itu. Aku hanya boleh melakukan satu hal. Yaitu bernyanyi. Itupun merry selalu menggingatkan bahwa aku tidak boleh menyanyikan lagu terlalu banyak. Padahal dengan bernyanyi aku bisa melupakan segalanya.
  Aku tak pernah punya teman, hanya Daddy yang menjengukku setelah ia pulang bekerja. Tak ada liburan musim panas, atau bermain salju pada musim dingin. Aku hanya terbaring di atas tempat tidur bodoh ini. Atau sesekali duduk di atas kursi roda untuk menatap burung-burung yang terbang bebas d pinggiran kolam taman.
  “Apa boleh aku menyanyi sekarang?” tanyaku pada Merry. Suster yang mendorong kursi rodaku.
  “Tentu, tapi hanya satu lagu.” Kata Merry sambil mengingatkanku.
  “Kenapa tak ada hari bonus untukku? Aku ingin bernyanyi hingga ratusan lagu” Pintaku menatap Meery dengan wajah memelas.
  “Tidak, aku yakin kau tidak akan sanggup untuk itu. Berani taruh, tiga lagu pun kau sudah lelah. Selanjutnya kau akan menghabiskan obat penenang” tantang Merry.
  “Oke. Akan ku buktikan padamu kalau aku tidak akan menelam obat-obat menjijikan itu.”
  “kalau gitu, selamat berjuang” kata Merry dengan nada pasrah. Lalu ia meninggalkanku di atas kursi roda.
  Ku lihat burung-burung yang terbang. Hinggap sana, hinggap sini dengan sayapnya tanpa batasan. Tanpa harus tergantung dengan seberapa butir obat yang mereka habiskan.  Gemercik air kolam menenangkanku. Aku suka tempat ini. Satu-satunya tempat dimana aku bias melihat dunia. Bahkan aku tidak tau seperti apa dunia yang seperti orang-orang bilang. Penyakit ini membuat sebagian memori otakku tak bisa mengingat banyak.
   Dan aku mulai bernyanyi..

Elmerio.
  Siapa gadis yang bernyanyi itu? Membuat sebagian organ dalam tubuhku bergerak lebih cepat. Oh iya. Aku lupa. Aku tak punya raga. Aku hanya sebuah jiwa yang melayang. Tapi aku bisa merasakan perasaan yang aneh.
   Aku mendekati gadis itu. Untuk bisa mendengar lebih jelas suaranya yang syahdu. Ku lihat sepertinya burung-burung ikut menari-nari mengiringi setiap nada indah yang keluar dari mulutnya.
  “Ehh. Kamu siapa?” hentaknya kaget.
  Aku juga kaget. Gadis ini bisa merasakan kehadiranku. Lalu ia berhenti bernyanyi.
  “Aku.. aku.. kau bisa melihatku?” tanyaku menatap mata hazelnya yang cerah bila terkena sinar matahari sore. Tapi, garis- garis wajahnya tak secerah matanya.
  “Tentu saja. Kau memakai jubah hita., dan rambutmu jabrik. Kau seperti hantu” ucapnya memandangi pakaianku.
  Aku tersenyum. Dari sekian ribu manusia yang aku jumpai di dunia ini. Tak ada satupun yang bisa melihatku. Bahkan orang tuaku. Kecuali gadis bermata indah di hadapanku ini. Aku bukan hantu. Aku bukan malaikat. Aku hanya jiwa yang melayang-layang di permukaan bumi. Sebelum aku kembali ke dalam kantung jiwa. Bersama jiwa-jiwa yang lain aku harus mempunyai perasaan cinta yang begitu kuat. Sayangnya. Selama aku hidup 18 tahun di dunia. Aku belum pernah merasakan hal itu.
  “Jadi, kamu pernah hidup?” Tanya Rachel.
 Aku mengangguk “Iya, tiga tahun lalu sebelum kecelakaan itu merenggut nyawaku.”
“Rachel. Waktunya kau istirahat” seorang suster menghampirinya. Menarik kursirodanya menjauhiku.
 Rachel
“Bisakah kau tidak mendorong terlalu cepat? Aku masih ingin bermain dengan temanku” kataku meminta Merry mengembalikanku ke tempat tadi. Aku tak habis piker Merry selalu melarangku ini-itu. Ia lebih kejam dari pada sosok ibu tiri. Atau mungkin, ia adalah jelmaan dari Victoria? Si cewek vampire yang menyeramkan.
 “Teman katamu? Sudahlah, jangan bergurau lagi. Setelah ini kau harus beristirahat” ujar Merry yang sepertinya mulai kesal dengan tingkahku.
  “Tapi El adalah temanku!” aku bersi keras memberitahukan Merry bahwa aku ini juga punya seseorang itu.
Merry membuka pintu kamar. Dan menyalakan lampu di ruangan yang mulai gelap itu.
  “Sejak kapan kau punya teman? Hanya aku yang kau bisa ajak bicara” sekali lagi Merry mengingatkanku. Bahwa selama aku hidup ia adalah satu-satunya orang yang paling banyak aku ajak bicara. Selanjutnya aku hanya diam atau mengeluh.
  “Selamat istirahat” ucap Merry mengecup keningku. Lalu ia meninggalkanku di ruangan yang aku tidak sukai ini. Sampai detik ini. Aku tak pernah mengenal seorangpun yang bisa di katakana teman. Aku hanya mengenal puluhan dokter yang capek menanganiku. Merry dan Daddy yang sampai detik ini ia selalu bilang bahwa ia mencintaiku.. bahkan aku tidak pernah tahu. Siapa ibuku. Daddy bilang, mommy berada di tempat paling indah di atas sana.
  GREEK. Suara jendela kamarku terbuka. Dan aku menemukan El disana.
  “El!!” teriakku kegirangan. Aku sudah hamper frustasi saat Merry membawaku ke ruangan. Dan aku tidak akan bisa bertemu dengannya. “Kau penuh kejutan!” kataku masih tak percaya terhadap fakta. Bahwa El menerobos jendela hanya untuk menemuiku.
  “Terimakasih. Tapi aku senang melakukannya unukmu” ucap El penuh kepastian.
  “Aku sedih. Merry tak mempercayaiku. Kalau aku punya teman sepertimu.” Keluhku. Aku mulai menyukai rambut jabriknya.
  “Rachel.. sudah ku bilang kau jangan banyak bergurau. Kau harus istirahat” Merry membuka pintu kamar dengan wajah garang. Ia mungkin kesal dengan tingkahku. Tapi aku tak perduli. Aku terlalu panik kalau Merry melihat lelaki di kamarku.
  “Baiklah” jawabku dengan tenggorokan seperti tersendat. Lalu Merry menutup pintu lagi.
  Aku menghela napas. “Tentu saja. Wanita itu tak akan bisa melihatku” ujar El membuatku ternganga.
  “El, kau hebat! Kau bisa tak tampak olehnya. Bisakah kau mengejariku tentang hal yang menakjubkan itu?” pintaku. El hanya menatapku dengan  matanya yang kelam.
  “kau mau yang lebih keren dari pada hal yang tak kasat mata?” Tanya El.
  “Apa?”
  “Mari berpegangan denganku”
 Aku beranjak dari tempat tidur. Menghampiri El. Tubuhnya yang menjulang tinggi seolah mengintimidasi tubuhku. Aku menangkap tangannya yang dingin. Ku peluk tubuh itu erat-erat. Satu detik kemudian. Aku sudah terbang di udara bersama El.

Elmerio.
Inikah rasanya? Di dalam bola matanya aku menemukan kembali kehidupanku? Di dalam raganya, aku seolah menemukan surga tersendiri. Di atas langit gelap. Tanpa taburan bintangpun aku masih bahagia. Karena yang ku peluk ini adalah bintang peling terang.
  “Apakah kau menyukainya?”  tanyaku.
  “Iyap. Apalagi hal ini ku lakukan bersamamu”
  “Kalau kau ingin bernyanyi. Maka bernyanyilah sesuka hatimu”
  “Kau tidak melarangku?”
  Aku tertawa menatap matanya yang polos.
  “Tentu saja tidak. Aku bukan Merry” lalu kami tertawa.
Rachel bernyanyi dengan suaranya yang indah.  Di dalam pelukanku. Tubuh yang rantan itu memiliki jiwa yang bersemangat. Tuhan berikan aku waktu lebih lama bersamanya.
Suara sendu, syahdu mengelitik telingaku. Agar menikmati lagu itu lebih mendalam. Kami berputar putar diatas udara malam yang dingin. Apakah ini perasaan yang Gerald bilang kepadaku?
  “Kau lelah?” tanyaku melihat wajahnya yang makin memucat.
  “Tidak. Aku sangat bahagia. Kau satu satunya temanku” katanya. Kami duduk di atas tower gedung rumah sakit. Menikmati semilir angin yang menembus raga rapuhnya. Mungkin aku tak waras. Membiarkan gadis ini disini. Itu sama saja mendekatkannya pada kematian. Aku tau aku bodoh.

Rachel.
  Malam ini malam yang paling indah. Andaikan tuhan mencabut nyawaku setelah ini. Aku rela. Sebab sekarang aku tau, dimana titik kebahagiaanku selama ini. Bukan bernyanyi. Tapi El. Ia titik kebahagiaanku.
  Aku tak perduli seberapa dinginnya malam ini. Aku tak perduli seberapa kejamnya angin malam untuk tubuh yang rentan ini. Aku hanya ingin bahagia dengan El.
  El melepaskah jubah hitamnya untuk menutupi tubuhku. Lalu ia tetap memelukku. Membiarkan kepalaku melesat di dadanya yang kekar. Bau kematian pada El sungguh tercium olehku. Jiwanya yang selalu tenang. Memberikan keistimewaan tersendiri.
  “Kau menginginkan sesuatu dariku?” Tanya El sambil menikmati susu kotaknya. Entah itu di dapat dari mana. Ku kira hanya aku yang menyukai susu kotak. Makhluk lain juga rupanya suka.
  Aku meraih kotak susu itu dari tangannya. Dan mulai menyeruput sedikit. “Mungkin” kataku lalu kembali menyeruput susu itu. Aku masih di dalam dekapannya. “Kalau kau?” tanyaku.
  “Iya.”
  “Kalau boleh aku tahu. Tentang apa itu?”
  “Perasaan”
  “Aku rasa aku juga seperti itu” timpalku di ikuti dengan anggukan El.
  “Kau merasakan perasaan aneh?”
  “Iya. Rasanya jantungku menari-nari atau sesekali ingin loncat”
  “Itu cinta.”
  “Cinta? Apa itu? Sejenis makanan penutup. Atau obat penenang merk baru?” tanyaku.
  “Gerald bilang. Cinta itu tak bisa di jabarkan dengan kata-kata. Tapi bisa di rasakan.” Kata El.
  “Jadi sekarang aku sedang jatuh cinta?” tanyaku.
El tersenyum menyambut pertanyaanku yang sepertinya agak bodoh. Oke, pertanyaan bodoh.
  “Seperti itulah” ucap El.
  El seperti malaikat dari surga yang di datangkan untukku. Atau ia adalah malaikat maut yang berubah menjadi sosok yang aku cintai. Hari hariku di rumah sakit tidak lagi menjadi mimpi buruk. El selalu membuat kejutan, entah dengan membawaku ke atas perosotan pelangi. Atau mengendarai awan sepanjang sore. Sekarang bertemu dengannya sudah menjadi keharusan untukku. El seperti obat yang menenangkanku.

Elmerio.
  “Kau sudah mengertikan sekarang?” Tanya Gerald. Saat kami berada di dalam ruang dewa. Jutaan dewa terkumpul disini.
  “Aku merasakannya. Ternyata indah” ujarku mengeluarkan isi hatiku yang sebenarnya.
  “Kalau gitu kau sudah boleh kembali” Gerald tersenyum tipis.
  “Maksudmu? Aku tak mengerti” tanyaku yang tak paham maksud Gerald.
 “Seperti yang ku katakan sebelumnya. Bahwa kau harus punya cinta. Untuk di klasifikasikan oleh dewa. Agar kau bisa menjadi dewa cinta. Setelah mendapatkan cinta dengan seseorang. Kau harus kembali ke alammu” jelas Gerald.
  “Lalu. Aku tidak bisa kembali ke bumi?” tanyaku.
 Gerald menggeleng. Dan reaksi itu membuatku frustasi.
  “Kau hanya akan menjadi dewa cinta di sini. Tidak di bumi. Apakah kau mau menjadi jiwa yang melayang tak jelas di permukaan bumi? Bertemu dengan para manusia yang tak punya hati?” Tanya Gerald.
  “Tapi.. Gerald kau sudah gila! Aku mencintainya. Mana mungkin aku bisa melupakannya secepat itu!” aku marah. Ku tonjok dinding beton di ruang dewa.
  “Bodoh. Aku hanya menyuruhmu mempunyai cinta. Bukan menggilai cintamu sampai seperti ini.” Ucap Gerald lalu meninggalkanku. Aku akan menjadi satu-satunya dewa cinta yang patah hati? Tidak!. Aku berteriak seperti orang gila. Mengapa Gerald menyuruhku seperti ini? Aku lebih baik tidak mencintai siapapun dari pada harus kehilangan Rachel. Aku sungguh mencintainya.

Rachel.
  El kemana? Sudah tiga jam ia meninggalkanku. Ia janji hari ini akan memberikan kejutan untukku. Aku merindukan El. Merry bilang hasil diagnosa kali ini buruk. Kondisiku benar-benar tak stabil. Karena itu aku harus memakai selang oksigen agar otakku bisa menerima udara. Aku hanya terbaring di tempat tidur ini. Menunggu kedatangan El membawakanku kejutan.
  “Akhirnya kau datang” lirihku saat El menembus dinding kamarku.
  “Aku disini. Jangan khawatir”
 Ku lihat wajah El tak seperti biasanya. Ia seperti baru saja mendapat kabar buruk. Atau mungkin ia sudah tau mengenai kondisiku.
  “Apa kau membawa kejutan itu?” tanyaku. Aku sudah tidak sabar dengan kejutan hari ini.
 El berjalan mendekatiku. Ia menggenggam erat tanganku. Lalu membuka selang oksigen yang menutupi mulutku.
  “Aku mencintaimu” ucapnya. Sorot matanya begitu meyakinkan. Tangannya mendekap wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Aku seperti melayang-layang. Dalam paduan dewa kematian. Seluruhnya terasa gelap. Ini bukan seperti di kamarku. Ini di tempat yang aku tidak pernah lihat. Aneh. Aku tak merasakan apapun. Hanya ragaku yang sudah terbaring di bawah sana. Dewa kematian menuntunku berjalan. Dimana El? Aku sudah tak lagi melihatnya? El? Aku tak melihatmu?.. aku menyukai kejutanmu! El..

Elmerio.
  Kain putih itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Ia sudah pergi. Tanpa aku.
  Cinta, aku tetap di sini. Di hatimu. Walau raga kita sudah tak bergerak. Tapi. Kau harus tau. Jiwaku ada di dalam jiwamu.

No comments:

Post a Comment