Suara
sendu, syahdu mengelitik telingaku. Agar menikmati lagu itu lebih mendalam.
Kami berputar putar diatas udara malam yang dingin. Apakah ini perasaan yang
Gerald bilang kepadaku?
“Kau lelah?” tanyaku melihat wajahnya yang
makin memucat.
“Tidak. Aku sangat bahagia. Kau satu satunya
temanku” katanya. Kami duduk di atas tower gedung rumah sakit. Menikmati
semilir angin yang menembus raga rapuhnya. Mungkin aku tak waras. Membiarkan
gadis ini disini. Itu sama saja mendekatkannya pada kematian. Aku tau aku
bodoh.
Rachel.
Malam ini malam yang paling indah. Andaikan
tuhan mencabut nyawaku setelah ini. Aku rela. Sebab sekarang aku tau, dimana
titik kebahagiaanku selama ini. Bukan bernyanyi. Tapi El. Ia titik
kebahagiaanku.
Aku tak perduli seberapa dinginnya malam ini.
Aku tak perduli seberapa kejamnya angin malam untuk tubuh yang rentan ini. Aku
hanya ingin bahagia dengan El.
El melepaskah jubah hitamnya untuk menutupi
tubuhku. Lalu ia tetap memelukku. Membiarkan kepalaku melesat di dadanya yang
kekar. Bau kematian pada El sungguh tercium olehku. Jiwanya yang selalu tenang.
Memberikan keistimewaan tersendiri.
“Kau menginginkan sesuatu dariku?” Tanya El
sambil menikmati susu kotaknya. Entah itu di dapat dari mana. Ku kira hanya aku
yang menyukai susu kotak. Makhluk lain juga rupanya suka.
Aku meraih kotak susu itu dari tangannya. Dan
mulai menyeruput sedikit. “Mungkin” kataku lalu kembali menyeruput susu itu.
Aku masih di dalam dekapannya. “Kalau kau?” tanyaku.
“Iya.”
“Kalau boleh aku tahu. Tentang apa itu?”
“Perasaan”
“Aku rasa aku juga seperti itu” timpalku di
ikuti dengan anggukan El.
“Kau merasakan perasaan aneh?”
“Iya. Rasanya jantungku menari-nari atau
sesekali ingin loncat”
“Itu cinta.”
“Cinta? Apa itu? Sejenis makanan penutup.
Atau obat penenang merk baru?” tanyaku.
“Gerald bilang. Cinta itu tak bisa di
jabarkan dengan kata-kata. Tapi bisa di rasakan.” Kata El.
“Jadi sekarang aku sedang jatuh cinta?”
tanyaku.
El
tersenyum menyambut pertanyaanku yang sepertinya agak bodoh. Oke, pertanyaan
bodoh.
“Seperti itulah” ucap El.
El seperti malaikat dari surga yang di
datangkan untukku. Atau ia adalah malaikat maut yang berubah menjadi sosok yang
aku cintai. Hari hariku di rumah sakit tidak lagi menjadi mimpi buruk. El
selalu membuat kejutan, entah dengan membawaku ke atas perosotan pelangi. Atau
mengendarai awan sepanjang sore. Sekarang bertemu dengannya sudah menjadi
keharusan untukku. El seperti obat yang menenangkanku.
Elmerio.
“Kau sudah mengertikan sekarang?” Tanya
Gerald. Saat kami berada di dalam ruang dewa. Jutaan dewa terkumpul disini.
“Aku merasakannya. Ternyata indah” ujarku
mengeluarkan isi hatiku yang sebenarnya.
“Kalau gitu kau sudah boleh kembali” Gerald
tersenyum tipis.
“Maksudmu? Aku tak mengerti” tanyaku yang tak
paham maksud Gerald.
“Seperti yang ku katakan sebelumnya. Bahwa kau
harus punya cinta. Untuk di klasifikasikan oleh dewa. Agar kau bisa menjadi
dewa cinta. Setelah mendapatkan cinta dengan seseorang. Kau harus kembali ke
alammu” jelas Gerald.
“Lalu. Aku tidak bisa kembali ke bumi?”
tanyaku.
Gerald menggeleng. Dan reaksi itu membuatku
frustasi.
“Kau hanya akan menjadi dewa cinta di sini.
Tidak di bumi. Apakah kau mau menjadi jiwa yang melayang tak jelas di permukaan
bumi? Bertemu dengan para manusia yang tak punya hati?” Tanya Gerald.
“Tapi.. Gerald kau sudah gila! Aku
mencintainya. Mana mungkin aku bisa melupakannya secepat itu!” aku marah. Ku
tonjok dinding beton di ruang dewa.
“Bodoh. Aku hanya menyuruhmu mempunyai cinta.
Bukan menggilai cintamu sampai seperti ini.” Ucap Gerald lalu meninggalkanku. Aku
akan menjadi satu-satunya dewa cinta yang patah hati? Tidak!. Aku berteriak
seperti orang gila. Mengapa Gerald menyuruhku seperti ini? Aku lebih baik tidak
mencintai siapapun dari pada harus kehilangan Rachel. Aku sungguh mencintainya.
Rachel.
El kemana? Sudah tiga jam ia meninggalkanku.
Ia janji hari ini akan memberikan kejutan untukku. Aku merindukan El. Merry
bilang hasil diagnosa kali ini buruk. Kondisiku benar-benar tak stabil. Karena
itu aku harus memakai selang oksigen agar otakku bisa menerima udara. Aku hanya
terbaring di tempat tidur ini. Menunggu kedatangan El membawakanku kejutan.
“Akhirnya kau datang” lirihku saat El
menembus dinding kamarku.
“Aku disini. Jangan khawatir”
Ku lihat wajah El tak seperti biasanya. Ia
seperti baru saja mendapat kabar buruk. Atau mungkin ia sudah tau mengenai
kondisiku.
“Apa kau membawa kejutan itu?” tanyaku. Aku
sudah tidak sabar dengan kejutan hari ini.
El berjalan mendekatiku. Ia menggenggam erat
tanganku. Lalu membuka selang oksigen yang menutupi mulutku.
“Aku mencintaimu” ucapnya. Sorot matanya
begitu meyakinkan. Tangannya mendekap wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Aku
seperti melayang-layang. Dalam paduan dewa kematian. Seluruhnya terasa gelap.
Ini bukan seperti di kamarku. Ini di tempat yang aku tidak pernah lihat. Aneh.
Aku tak merasakan apapun. Hanya ragaku yang sudah terbaring di bawah sana. Dewa
kematian menuntunku berjalan. Dimana El? Aku sudah tak lagi melihatnya? El? Aku
tak melihatmu?.. aku menyukai kejutanmu! El..
Elmerio.
Kain putih itu sudah menutupi seluruh
tubuhnya. Ia sudah pergi. Tanpa aku.
Cinta, aku tetap di sini. Di hatimu. Walau
raga kita sudah tak bergerak. Tapi. Kau harus tau. Jiwaku ada di dalam jiwamu.
No comments:
Post a Comment