Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, June 3, 2012

jiwa untuk cinta part2


Suara sendu, syahdu mengelitik telingaku. Agar menikmati lagu itu lebih mendalam. Kami berputar putar diatas udara malam yang dingin. Apakah ini perasaan yang Gerald bilang kepadaku?
  “Kau lelah?” tanyaku melihat wajahnya yang makin memucat.
  “Tidak. Aku sangat bahagia. Kau satu satunya temanku” katanya. Kami duduk di atas tower gedung rumah sakit. Menikmati semilir angin yang menembus raga rapuhnya. Mungkin aku tak waras. Membiarkan gadis ini disini. Itu sama saja mendekatkannya pada kematian. Aku tau aku bodoh.

Rachel.
  Malam ini malam yang paling indah. Andaikan tuhan mencabut nyawaku setelah ini. Aku rela. Sebab sekarang aku tau, dimana titik kebahagiaanku selama ini. Bukan bernyanyi. Tapi El. Ia titik kebahagiaanku.
  Aku tak perduli seberapa dinginnya malam ini. Aku tak perduli seberapa kejamnya angin malam untuk tubuh yang rentan ini. Aku hanya ingin bahagia dengan El.
  El melepaskah jubah hitamnya untuk menutupi tubuhku. Lalu ia tetap memelukku. Membiarkan kepalaku melesat di dadanya yang kekar. Bau kematian pada El sungguh tercium olehku. Jiwanya yang selalu tenang. Memberikan keistimewaan tersendiri.
  “Kau menginginkan sesuatu dariku?” Tanya El sambil menikmati susu kotaknya. Entah itu di dapat dari mana. Ku kira hanya aku yang menyukai susu kotak. Makhluk lain juga rupanya suka.
  Aku meraih kotak susu itu dari tangannya. Dan mulai menyeruput sedikit. “Mungkin” kataku lalu kembali menyeruput susu itu. Aku masih di dalam dekapannya. “Kalau kau?” tanyaku.
  “Iya.”
  “Kalau boleh aku tahu. Tentang apa itu?”
  “Perasaan”
  “Aku rasa aku juga seperti itu” timpalku di ikuti dengan anggukan El.
  “Kau merasakan perasaan aneh?”
  “Iya. Rasanya jantungku menari-nari atau sesekali ingin loncat”
  “Itu cinta.”
  “Cinta? Apa itu? Sejenis makanan penutup. Atau obat penenang merk baru?” tanyaku.
  “Gerald bilang. Cinta itu tak bisa di jabarkan dengan kata-kata. Tapi bisa di rasakan.” Kata El.
  “Jadi sekarang aku sedang jatuh cinta?” tanyaku.
El tersenyum menyambut pertanyaanku yang sepertinya agak bodoh. Oke, pertanyaan bodoh.
  “Seperti itulah” ucap El.
  El seperti malaikat dari surga yang di datangkan untukku. Atau ia adalah malaikat maut yang berubah menjadi sosok yang aku cintai. Hari hariku di rumah sakit tidak lagi menjadi mimpi buruk. El selalu membuat kejutan, entah dengan membawaku ke atas perosotan pelangi. Atau mengendarai awan sepanjang sore. Sekarang bertemu dengannya sudah menjadi keharusan untukku. El seperti obat yang menenangkanku.

Elmerio.
  “Kau sudah mengertikan sekarang?” Tanya Gerald. Saat kami berada di dalam ruang dewa. Jutaan dewa terkumpul disini.
  “Aku merasakannya. Ternyata indah” ujarku mengeluarkan isi hatiku yang sebenarnya.
  “Kalau gitu kau sudah boleh kembali” Gerald tersenyum tipis.
  “Maksudmu? Aku tak mengerti” tanyaku yang tak paham maksud Gerald.
 “Seperti yang ku katakan sebelumnya. Bahwa kau harus punya cinta. Untuk di klasifikasikan oleh dewa. Agar kau bisa menjadi dewa cinta. Setelah mendapatkan cinta dengan seseorang. Kau harus kembali ke alammu” jelas Gerald.
  “Lalu. Aku tidak bisa kembali ke bumi?” tanyaku.
 Gerald menggeleng. Dan reaksi itu membuatku frustasi.
  “Kau hanya akan menjadi dewa cinta di sini. Tidak di bumi. Apakah kau mau menjadi jiwa yang melayang tak jelas di permukaan bumi? Bertemu dengan para manusia yang tak punya hati?” Tanya Gerald.
  “Tapi.. Gerald kau sudah gila! Aku mencintainya. Mana mungkin aku bisa melupakannya secepat itu!” aku marah. Ku tonjok dinding beton di ruang dewa.
  “Bodoh. Aku hanya menyuruhmu mempunyai cinta. Bukan menggilai cintamu sampai seperti ini.” Ucap Gerald lalu meninggalkanku. Aku akan menjadi satu-satunya dewa cinta yang patah hati? Tidak!. Aku berteriak seperti orang gila. Mengapa Gerald menyuruhku seperti ini? Aku lebih baik tidak mencintai siapapun dari pada harus kehilangan Rachel. Aku sungguh mencintainya.

Rachel.
  El kemana? Sudah tiga jam ia meninggalkanku. Ia janji hari ini akan memberikan kejutan untukku. Aku merindukan El. Merry bilang hasil diagnosa kali ini buruk. Kondisiku benar-benar tak stabil. Karena itu aku harus memakai selang oksigen agar otakku bisa menerima udara. Aku hanya terbaring di tempat tidur ini. Menunggu kedatangan El membawakanku kejutan.
  “Akhirnya kau datang” lirihku saat El menembus dinding kamarku.
  “Aku disini. Jangan khawatir”
 Ku lihat wajah El tak seperti biasanya. Ia seperti baru saja mendapat kabar buruk. Atau mungkin ia sudah tau mengenai kondisiku.
  “Apa kau membawa kejutan itu?” tanyaku. Aku sudah tidak sabar dengan kejutan hari ini.
 El berjalan mendekatiku. Ia menggenggam erat tanganku. Lalu membuka selang oksigen yang menutupi mulutku.
  “Aku mencintaimu” ucapnya. Sorot matanya begitu meyakinkan. Tangannya mendekap wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Aku seperti melayang-layang. Dalam paduan dewa kematian. Seluruhnya terasa gelap. Ini bukan seperti di kamarku. Ini di tempat yang aku tidak pernah lihat. Aneh. Aku tak merasakan apapun. Hanya ragaku yang sudah terbaring di bawah sana. Dewa kematian menuntunku berjalan. Dimana El? Aku sudah tak lagi melihatnya? El? Aku tak melihatmu?.. aku menyukai kejutanmu! El..

Elmerio.
  Kain putih itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Ia sudah pergi. Tanpa aku.
  Cinta, aku tetap di sini. Di hatimu. Walau raga kita sudah tak bergerak. Tapi. Kau harus tau. Jiwaku ada di dalam jiwamu.

No comments:

Post a Comment