Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Monday, September 5, 2011

photograflove 5 :)

aku tau itu suara perempuan. 
"tolong...carikan..jim.." suara itu tidak terlalu jelas. lalu terdengar suara "sssttt" seperti peringatan dan sehalus beledu. kini aku yakin itu benar perempuan. 
bunga yang tadi mekar kini tidak tumbuh seindah yang dibayangkan. ya bisa jadi terlalu banyak pestisida. seperti itulah tepatnya gambaran perasaanku sekarang. aku menutup flip handphoneku secara kasar. lalu menghambur kekamar dengan terisak isak dan langkah yang terseok seok. aku kalut. aku menjatuhkan diri dikamar. handphoneku ku lempar ke dalam basket sampah dikamarku. air mata mulai mengalir tanpa ku perintah. dan aku mulai sesungukan. sedetik ia sukses membuat hatiku bergetar. sedetik kemudian ia menghancurkan dengan ketololannya. sungguh manusia terkutuk. lalu untuk apa ia seolah ingin aku bahagia? sementara pada akhrnya aku akan menangis seperti ini. 
aku meremas puppetto sekuat mungkin. kesukaanku pada puppetto kini sirna dan hanya bentuk sebuah kebencian yang menyisa. padahal sudah lama aku menginginkannya. now i realize that it make i cry. dan secara kasar kulempar benda itu menyusul handphoneku yang terus bergetar. aku tau Jimmy pasti terus menghubungiku. drrt..drrt..drrt..drrtt. semakin handphone itu bergetar semakin membuat tangisku menjadi-jadi. dan setelah sekian kalinya bergetar kini handphone itu bisu. membuat perasaanku melega. aku bisa bernapas sekarang. 
"tok tok tok" seseorang dari luar menggedok pintu kamarku. 
"siapa?" sahutku. 
"non, mas Jimmy telepon. katanya mau bicara sama non Diana" sesuatu yang tajam dan panas menusukku tepat di tengah ulu hatiku. ketika mendengar namanya disebut aku bergeming dan menarik napas secara perlahan. menetralisir rasa perih di hatiku. 
"bilang aja aku gak ada di rumah" suaraku terdengar sangat parau meski aku telah berusaha berbicara senormal mungkin. 
"non Diana yakin?" suara Bi Inem dari balik pintu terdengar menyelidik..
mungkin Bi Inem bingung dengan sikapku yang dalam beberapa detik langsung berbalik 180 derajat.
"bilang saja, apa yang ku katakan barusan" ujarku.
pikiranku berkecamuk hebat. aku bisa seperti bom atom yang siap meledak. kapanpun. bila ada yang menyakiti perasaanku. aku labil. aku merasa seperti zombie. tidak terasa sudah hampir petang. ku rasa aku harus menyelesaikan tanggung jawabku. aku bangun dari tempat tidurku. mencuci wajahku dan menyisir rambutku. aku sempat berkaca di westafel. ku lihat wajahku yang sembab. aku seperti terlalu nelangsa. ku ikat rambutku dengan rapih. ya setidaknya terlihat lebih baik. semoga tidak ada yang melihat wajahku.
aku meraih kunci mobil dikotak bupet dekat TV, lalu aku langsung ngibrit ke garasi.
...

"cepat diminum day. wajahmu sudah memucat!" ujar Fia. ia segera menyetek kompor gas untuk merebus air. Fia tadi menyodorkanku secangkir teh hangat. mungkin Fia berharap secangkir teh itu bisa membuatku 
lebih baik. karena tadi setelah menyelesaikan pekerjaan. kepalaku terasa pening sekali. 
"ada apa Day? coba kamu cerita sama aku" Fia melirikku sesaat seraya tersenyum. lalu ia kembali berbalik untuk mengaduk sphageti didalam panci yang masih setengah matang. 
"aku cuma bingung, gimana caranya aku harus ngomong sama papah" aku kembali menyeruput teh hangatku. dan yap Fia benar. aku merasa lebih relax. "aku mau minta izin kalo aku mau hanting keluar kota" Fia berbalik badan. wajahnya dipenuhi hawa penasaran sehingga keningnya berkerut. "kemana?" tanya Fia bernada curiga. 
"bromo" aku mengangkat bahu. alis Fia makin bertaut. 
"aku takut papah gak ngijinin" ujarku menghela napas. berkeluh. 
"liat situasi aja Day. bicara dengan kesungguhan. om Tommy pasti ngasih ijin ko" Fia optimis, ia tersenyum memamerkan sederet giginya yang rapih. ia mulai meletakan sphageti pada piring lalu menuangkan sausnya yang baru dikeluarkan dari kulkas.
"akan ku coba" aku membusungkan dada.
"boleh pinjem hape sist?" pintaku. sebelum Fia berkomentar.
sorot mata Fia menyelidik. segelondong pertanyaan muncul pada wajah ovalnya.
"hape ku ketinggalan" aku lekas menjawab tatapannya. lalu senyumnya menggelitik. seolah ini yang ke sekian kalinya aku membuat kesalahan bodoh. bahkan aku tidak ingat apa yang kulakukan pada handphoneku beberapa jam yang lalu. iya aku rasa aku memang mulai memasuki usia lanjut.
Fia segera mengeluarkan hp dari saku celananya dalam hitungan beberapa detik. dan ia menjulurkan kearahku. aku segera meraihnya dengan senyum mempesona.
"ya halo!" Lin menjawab panggilanku dengan cepat.
"tempat biasa ya Lin, bilang yang lain juga"
"oke" jawab Lin sepakat. dan tanpa berkelit sedikitpun.
aku mengembalikan handphone Fia. "tengkyu" Fia mengangguk.
"aku cabut dulu ya, masih ada yang harus diselesaikan"
"oke, take care ya sista"
"yok duluan, bye"
aku ngeluyur kedalam mobil dan 
aku berhasil menginjakan kaki di sebuah cafe dalam waktu beberapa menit. mata Benny lebih cepat menangkapku sebelum aku melihatnya. ia melepas earphonenya dan setengah berbisik pada orang disampingnya. sampai mengajukan jempol tanda sepakat. barulah Benny turun dari mimbar kecil yang terletak dipojok cafe sebelah kanan dari pintu masuk utama. ia segera menghampiriku. 
"hai Day" sapa Benny riang. ia sempat celingak celinguk sejenak. 
"gue sendiri" aku memfonis kedatanganku bahwa yap aku singular. 
"oke, mau minum apa?" tanya Benny. membuat bolamataku terbelalak. 
"jadi job sampingan lo wittres?" ledekku geli. 
"kalo buat lo, gue mau deh jadi wittres" Benny ikut geli. 
"haha rayuan maut lu gak mempan, Ben!" lalu Benny cengar cengir. pamer gigi. ya seorang seperti Benny bisa selalu care sama siapapun. dan for information aja ya. Benny termasuk cowok yang gak suka dikejar. dalam arti Benny bukan banci yang mau digodain. dia lebih suka jiwa kelelakiannya dipahami perempuan.
aku duduk menghadap jendela. seperti tengah mengamati ruas jalan yang dipenuhi oleh mobil serta kendaraan lain yang membawa polusi. padahal pikiranku berkelana entah kemana. aku terngiang kata-kata Fia tadi. harus mengambil situasi yang tepat. saat membicarakan hal ini dengan papah. tapi kalau 'seandainya' tidak di izinkan gimana? kemungkinan diizinkan sangat kecil. karena aku baru saja membuat kesalahan beberapa hari yang lalu. soal kabur dari rumah itu, lalu posisiku sekarang berada di kelas 3. dimana aku harus benar benar konsen belajar. hal yang ini udah gak bisa di korting lagi. ditambah aku gak izin kalau aku kini bekerja di resto kakek. oh my god! setelah flashback ternyata banyak banget kesalahan yang aku buat.
satu pikiran lain melesat dalam benakku. kalau aku tidak mengikuti hunting. aku tidak akan bisa meraih impianku jadi seorang fotografer. kapan lagi? kalo gak sekarang. aku dihampiri 
sebuah masalah yang mendilema. belum lagi Jimmy, ku rasa masalah terus berkelit. mengikat paru-paruku agar aku sesak napas.
"pesanan anda datang nona!" gumam Benny. membuyarkan semua lamunanku. Benny benar-benar jadi witters sekarang. mataku bergidik kearahnya. Benny tersenyum sok imut. seolah merasa aku sedang mengamati setiap gerakannya.
"thanks"
"okay. ada apa si Day? ko lo tau tau nyuruh anak anak mendadak ngumpul disini?" Benny mengajukan semacam penyelidikan. ia menempatkan diri disampingku.
"gak seru kalo gue ceritanya sekarang" aku menatap Benny genit. lalu ia keki.
"ah elo Day. bikin orang makin penasaran aja!" ujarnya berkeluh.
walkisah Lin datang, sementara Dino dan Rifky datang berbarengan. selang beberapa menit kedatangan Lin.
"ada apa Day?" tanya Lin membuka pembicaraan.
"gue minta tolong buat Rifky sama Dino yang ngeberesin surat ijin dari sekolah" mereka segera mengangguk.
"Ben, mobil lo nganggurkan?" kini aku melirik 
Benny sedikit tajam. agar ada sebuah penekanan supaya Benny cepat menganggu.
"ada" gumam Benny.
"oke bagus" aku bersunggut-sunggut.
"Lin bagian lo gampang" Lin sepertinya sedikit tercengang. mendengar nada suaraku yang menyebut namanya.
"jaga rahasia ini dari Jimmy"
"sip" jawab Lin pasti. sebab Jimmy bisa menjadi propokator nantinya. dan dia salah satu penghambat. walaupun itu baru kemungkinan. dan aku gak mungkin juga untuk mengajak orang seperti Jimmy. yang ada malah nanti dia melarang larang ku lagi. mungkin menurutnya lebih baik aku ini diikat. lalu dimasukin kamar. ya seperti itulah gambaran caranya menatapku. maka itu, aku harus lebih antusias lagi!
"ahh, gue tau nih.." kata Benny. "pasti lo udah dapet ijin dari bokap lo kan?"
aku menyeringai. "belum, mungkin bokap gue malah gak ngijinin"
semua terkejut "hah?"
"terus lo kenapa maju selangkah? cari mati ni anak!" Rifky mengerang. sementara bola mataku malah terbelalak hebat. 

"dapet atau gak dapet ijin, gue tetep berangkat" aku bersi keras pada ideologiku. tapi wajah Lin menggambarkan secercah rasa khawatir.
"oke gini" lanjut ku "kita berangkat lusa, mudah mudahan aja bisa. dan.. Ben.." aku memandang Benny. "lo bisa ambil gue di depan komplek, oke?" Benny mengangguk lagi, wajahnya sangat antusias.
"Day, surat ijin kan harus dapet tanda tangan orang tua?" tanya Dino, aku membelak.
"aduh man! masa gitu doang otak lu mampet si? si Diana ini kan gak bego kayak lo. kalo soal pemalsuan tanda tangan doang mah udah gak perlu dipikirin lagi!" Rifky mewakili jawabanku. tapi, penjelasannya membuat aku seolah menjadi benar benar anak bandel. ya gambarannya seperti itulah. aku cuma nyengir kuda.
"gue berani taruh, bokapnya Diana pasti gak ngijinin" kata Dino dengan gaya sok nya.
"berani berapa?" tantang Rifky.
"eh kok jadi bahan taruhan gini si?" protes Lin.
"kantong kering aja lu, brani taruhan!" desis Benny.
"gue gocap!" putus Rifky. rupanya Rifky mengabaikan omongan Lin dan Benny.
ia mengeluarkan dompet.
"oke kalo gitu, gocap nih!" Dino pun tak kalah saing. ia menyodorkan uang selembar 50 ribuan.
"kita liat lusa man!" seru Rifky. "liat gimana caranya diana keluar rumah!" ujar Rifky.
"gue berharap diana keluar ngendap-ngendap. celingak celinguk kayak maling kutang!" kali ini Dino memamerkan gaya maling kutang beneran.
ah makin ngelantur aja mereka!
"terus gimana day?" tanya Lin menatapku. Lin memotong pembicaraan mereka yang gak jelas itu.
"tenang aja, keputusan gue udah bulat!" ujarku.
Lin hanya mengangguk, sementara Benny bungkam, Rifky dan Dino ngelantur gak jelas. setelah sepakat dengan rencananya masing masing aku segera pulang. dan berharap besok akan lebih baik.
...

"aku mau ngomong sama kamu day!" tegas Jimmy setelah ia berhasil meraih pergelangan tanganku. sebelumnya, ia seperti orang blingsatan mencariku, napasnya masih terengah-engah.

"aku rasa gak ada yang perlu dibicarakan" ku tatap Jimmy dengan dagu mengejang.
"day, please" nada suaranya melemah seolah memohon supaya aku mendengarkan cerita mengarang nya. ku alihkan pandanganku kearah lapangan. seolah tidak ada orang disampingku.
"hal ini bisa dibicarakan baik-baik, aku gamau ada kejanggalan diantara kita" padahal dia sendiri yang membuat sesuatu itu jadi janggal, aku merasa tidak menyuruhnya untuk presentasi tentang kejadian ditelpon itu kan. otakku terlalu overload untuk mengingatnya. dan banyak things yang harus ku pikirkan. dan ternyata Jimmy kini menjabarkannya secara ilmu ngibul.
"kamu harus tau Day, yang di telpon itu tante aku" aku menoleh lalu memandangi wajah Jimmy dengan mata menyelidik. bibirku mengerucut. wajahku muram.
"kamu harus percaya. tunggu... tunggu.. biar ku telpon tanteku" Jimmy berusaha memuktikan. ia mencari sesuatu di handphonenya. aku bergidik melihat reaksinya yang seperti itu. 
aku menutup layar handphone Jimmy dengan telapak tanganku. kemudian dengan ringan ku katakan.
 "gak perlu repot-repot gitu jim.." kataku. jimmy tersenyum lega. 
"aku gak bodoh kok, tapi aku baru tau ya kalo keponakan sama tantenya manggi kamu-aku ckckck" lidahku berdecak dan kepalaku geleng-geleng. 
aku harus percaya, aku harus tau, bagaimana caranya aku bisa percaya kalo aku mendengar perjelasan macam ikan teri seperti itu? tadinya aku sempat frustasi menghadapi orang seperti Jimmy, banyak banget begini begitunya dan akhir akhir ini aku agak kurang percaya. aku bisa melihat expresi gelagepan Jimmy. tanpa tapi tapi lagi aku langsung meninggalkannya begitu saja. berlenggak lenggok sepanjang koridor sekolah tanpa merasa berdosa sedikitpun dan aku anggap tidak ada yang terjadi barusan. 
mungkin nanti malam ada "something" yang harus ku bicarakan dengan papah. meski kelihatannya agak berat. dan aku tau dihadapan papah aku akan sulit berkata kata. yang pasti lagi, aku harus merahasiakan hal ini dari Jimmy. aku akan panik dan khawatir kalau Jimmy nanti bakal mengeluarkan semacam dekrit yang melarangku untuk pergi hunting. kadang aku sering berfikir, sebenarnya Jimmy itu pacarku atau bukan? atau hanya status aja? diluar itu? masih 'may be' yeah, mungkin aku sudah agak gila kalau memikirkan tentangnya. aku butuh kebebasan! 
"gimana? kalian udah minta ijin? respon kepsek apa?" wajahku cukup antusias untuk menanyakan hal ini pada Dino dan Rifky. 
"beres, yang ini buat lo! tadi juga gue udah ngasih prinout an lomba.. so kepsek percaya" kata Dino dengan bangganya. ia menjulurkan salah satu kertas, dari beberapa lembar yang dipegangnya. 
"oke, thanks, besok pokoknya udah dapet tanda tangan ortu ya!" seru ku. 
"kalo elo gimana day?" tanya Rifky yang juga mengkhawatirkan aku. 
"beres gue mah!" Rifky tersenyum muram dan dagu Dino berkerut Ragu. 
"nanti malem gue ke rumah lu ya buat ambil.." Dino belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
"ada pulpen?" sanggahku. aku lekas merebut pulpen dari tangan Rifky. "nah gampang kan?" aku tersenyum mempesona. dan segera menjulurkan pulpen serta kertas yang sudah ku palsukan tandatangan papah.
reaksi keduanya melongo. seolah aku baru saja melakukan aksi anarkis dipasar malem.
"gile bener lo, Day!" seru Dino.
"Dengan begini, ntar malem lo gak perlu lagi ke rumah gue kan! sayang bensin motor lu!" desisku.
"oke oke" Rifky tak mau ambil pusing. "tapi, gue harap lo ngomong sama bokap lo, siapa tau dapet ijin"
"gue coba deh ntar malem"
"harus!" ujar Rifky. aku menyerengitkan alis. Dino tersenyum datar.
"pokoknya, lo jangan keluar rumah kalo bokap lo gak ngijinin!" sambung Rifky. aku tersenyum rupanya Rifky memperhatikan ku.
"thank. udah khawatir sama gue"
"elo si, gue gak khawatirin Day, orang macem lo mah terjun dari tebing juga gapapa"
"terus"
"gue khawatir gocap gue masuk ke kantong Dino" 
Rifky menunjuk Dino, ia lalu nyengir kuda. sialan!
...

aku menarik salah satu kursi di pantry.
"ada apa sist?" tanyaku penasaran. sebab fia tadi menelpon dan memintaku untuk datang menemuinya. dan ia tidak menjelaskan for what i come in here.
"hemm, jangan bilang disini deh, dikamarku aja yuk!" seru Fia, ia menarik tanganku. aku mengikutinya dengan anggukan pelan.
kami memasuki kamar. aku duduk di pinggir tempat tidur yang menghadap persis ke jendela mengamati Fia. ia tengah sibuk mencari sesuatu di dasboard meja belajarnya yang identik dengan warna biru itu. lalu Fia menjulurkan sesuatu padaku. setelah ia berhasil menemukan benda yang ia cari itu, daguku bergetar. aku tau itu backpack mini yang imut dan ramping.
"aku tau disana pasti kamu perlu ini"
dari sekian orang yang aku kenal, Fia lah satu-satunya orang yang mengerti aku. bahkan orang tuaku sampai Jimmy pun seolah gak peduli dengan ku. aku memandangnya penuh haru
aku tau, Fia pasti mendukungku secara moral. 
"tengkyuu banget sist!" 
Fia kembali tersenyum anggun. 
"sama-sama, Bay de way, om Tommi bilang apa?" 
aku pilu. disodori pertanyaan seperti itu. entah gimama cara aku menjawabnya. seenggaknya buat ngeles sedikitpun aku gak bisa. 
"aku masih ragu.." lalu aku bergeming sesaat. reaksi Fia berubah menjadi curiga. ia mengerutkan keningnya. 
"why?" tanya Fia, ia menatapku setengah garang, seperti ada yang koslet pada diriku. 
"mungkin baru manti malam, aku akan bicara dengan papah" 
tapi itu masih baru satu kemungkinan, ribuan kemungkinan yang lain bisa saja terjadi seandainya dugaan Fia benar cips otakku mulai koslet. aku lebih memilih kemungkinan yang lain. 
Fia berdeham. nada bicaraku seolah spektis baginya. 
"aku harap kamu ga macem-macem ya, Day!" pesan Fia, ia tersenyum. ketegangan dalam raut wajahnya menurun. 
"kamu hati-hati ya besok! i pray for you sist" Fia memelukku. aku kembali haru dengan perhatiannya. 
"oke, siap bos!" aku menaruh simpati padanya. "oh iya ini punya kamu?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. aku menunjuk Backpack itu. 
Fia menggeleng. 
"lalu?" alisku bertaut. 
"punya gebetan aku hehehe" wajahnya tersipu malu ketika menyebut kata 'gebetan' 
"wihhh" aku geleng-geleng kepala. baru gebetan aja udah baik banget mau minjemin cameranya. apalagi kalo udah jadi pacar ya? beruntungnya Fia! 
"kalo udah jadian, kabarin ya!" 
"ah kamu ini ngeledek aja" wajahnya merah merona. 
"okay. tengkyuu banget hari ini, aku harus packing dulu. besok on the way" 
"good luck!" 
"bye.." 
aku menutup kamar Fia dengan senyum kegirangan. sekarang aku udah punya modal untuk mencekrak-cekrik dengan lensa yang dipinjamkan gebetannya Fia. hemm siapapun gebetannya Fia. thanks banget! 
... 

i think the god verry loving me! yeah. aku udah dipinjemin camera EOS 60D yang menabjubkan. aku juga sempat terkejut. bahkan lebih dari yang aku pikirkan.
sebelum menuju rumah, aku mengecek tabunganku di Atm. tanpa ku minta kakek mentransfer sejumblah uang ke tabunganku. lalu kakek bilang di telepon. "manfaatkan uang itu sebaik-baiknya. dan jaga dirimu Day!" hiks.. aku begitu haru mendengar ucapannya. lelaki setua kakek saja masih mengerti perasaanku. mengerti apa yang aku inginkan. tapi, kenapa orang tuaku tidak? papah malah bersikap seolah tidak peduli dengan anaknya.
aku mengumpulkan segenggam keberanian yangku punya. walau bagaimanapun juga aku harus segera membicarakannya. ini soal masa depanku.
"pah.." panggilku ragu.
papah tidak langsung menjawab. atmosfer ketegangan mulai memporak porandakan jiwa heningku. bibirku gemetar.
"pah.." ini yang keduakalinya aku mengeluarkan suara yang kupaksa. agar keluar dari pita suaraku.
"hemm.." akhirnya papah menyahut. tapi matanya masih fokus menatap layar laptop. ia sangat serius dengan pekerjaannya. saat itu aku memberanikan diri masuk ke ruang 
papah. entah apa yang akan terjadi nanti. semua itu ku pasrahkan. 
"aku.. eee.. aku.." sesuatu seperti mengganjal ditenggorokanku. entah itu apa. 
"ada apa?" wajah papah mendongak ke arahku. 
nadanya masih santai tapi tubuhku mulai bergetar mendengarnya. 
"aku.. aku mau.. minta ijin" aku menarik napas pelan. ada guncangan hebat dalam dadaku. 
"besok aku dan teman teman akan pergi hunting" akhirnya aku bisa berbicara dengan segenap nyaliku ini. alis papah perpatri. 
"itu penting gak menurut kamu?" pertanyaan papah membuat leherku seperti tercekik. kemudian isi perutku bergejolak. kenapa aku disodori pertanyaan seperti itu sih? seandainya papah merespon dengan baik pasti papah akan berkata seperti ini "oh ya? kapan? dimana? kamu butuh uang berapa? semoga beruntung ya disana" aku harap papah bakalan open seperti itu. sementara aku hanya bungkam sekarang. 
"kegiatan yang tidak terlalu penting tolong dikurangi, sebab kamu sudah kelas duabelas"
aku tau itu. aku tau bahwa aku sudah di penghujung tahun sekolahku. semestinya hal itu tidak perlu diperbincangkan lagi.
"tapi pah" aku mencoba mengelak.
"untuk apa pake tapi tapi lagi day?" dan papah dengan cepat menyela omonganku.
"Day hanya ingin melakukan hal yang Day suka" lirihku. wajah Papah antusias. aku meringis dan hampir menangis.
"apa gunanya aku bekerja seperti Papah kalau hal itu tidak aku suka?"
gugat ku.
"lho bekerja toh buat kamu juga" Papah mengerang.
"Day gak mau pah" bantahku.
"pokoknya papah gamau tau, kamu harus konsen belajar"
dan saat itu harapanku hancur. aku kehilangan segala dukungan dari orang tuaku. aku merasakan sebuah arus kecil yang membelah pipiku.
"papah egois" aku lari ke kamar dalam keadaan sesungukan. tidak ada yang mengerti keinginanku, impianku dan semua hal yang aku harapkan. bahkan cita citaku. kini aku butuh bahu untuk menumpahkan air mata ini.
... 

No comments:

Post a Comment