Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Monday, August 29, 2011

photograflove4 :)

ku rasa tidak. dan aku berani bertaruh. karna hari ini gak ada sms masuk dari Jimmy yang menyatakan ia sakit. ya setidaknya ia menghubungiku. tapi ini kesempatanku untuk bebas tanpa lelaki over protektif itu. 
"besok juga nongol lagi" jawabku enteng. Benny tersontak keheranan mendengar jawabanku simpel ku. malah cenderung tidak perduli kedengarannya. ia segera membetulkan expressinya hingga normal kembali. lalu ber ooo-ria. 
"gimana ben, soal vila temen bokap lo itu?" Lin membuka topik baru yang membuatku lebih bersemangat untuk membicarakan hal ini. dari pada harus membahas Jimmy yang menjengkelkan itu. 
"sayang sekali yah..." jawab Benny ragu. ia menghentikan kata katanya dalam beberapa detik. seolah dengan sengaja membuat kami tidak sabar menunggu kelanjutan kalimatnya yang terpotong itu. atau lebih tepatnya sengaja ia potong. sebelumnya aku sudah meragu pada kalimat pertamanya. dan tidak tertutup kemungkinan kalau rencana ini gagal. Benny menarik napas perlahan. ia seperti ingin mengeluarkan sesuatu yang mengganjal ditenggorokan selama sekian tahun lamanya. dan hal itu yang membuatnya kini kesulitan dalam memilah kata. 
"bo.. bokap gue ngizinin kita." ada gemuruh riang dalam tawa lepas Benny. Lin spontan memelukku. tapi adegan peluk pelukan itu tidak diperagakan oleh Rifky Maupun Dino. 
"akhir minggu ini ya?" kini aku yang terdengar meragu. 
Dino mengangguk dengan pasti. aku menyenderkan tubuhku kebadan kursi. 
"elo ragu day?" tanya Rifky menggigit pisang coklat dipiringnya. 
"gue si pasti, tapi bokap gue ini.." 
aku gatau ini akunya yang kelewat jujur atau sengaja ngadain curhat colongan. hanya saja secara excontrol aku mengeluarkan kata kata itu. 
"bokap lo gampang kali day?" ujar Benny. 
"iya buktinya pas kita hanting bulan lalu bokap lo yang paling tebel duit jajannya diantara kita kita. iya gak man!" dino mengingatkanku acara hunting bulan lalu dilampung.
aku menengok Benny dan Rifky mengangguk serempak.
"gue gak yakin bokap gue setuju sama rencana ini" hawa ragu menyerang secara tiba tiba. faktanya papah tidak mewujudkan permintaanku untuk memiliki sony alpha 33. aku menghembuskan napas berat. terkadang loyalitas menghalangiku untuk melakukan sesuatu yang ku inginkan.
aku bisa membaca expresi Lin yang berubah menjadi kecewa. Dino juga membakar puntung rokoknya yang tadi baru setengah ia hisap untuk menahan rasa keterkecewaannya. padahal kemarin waktu di cafe aku yang paling bersemangat untuk membahas hal ini. bahkan aku rela mengendap endap kayak kucing abis nyolong ikan. untung gak digebuk pake sapu ijuk!
tapi setelah ulasan semalam yang aku perbincangkan dengan fia sebelum ia terlelap. fia berpesan bahwa: aku harus segera pulang dan menemui orang tuaku, khususnya papah. tanpa izin dari papah aku tidak akan bisa pergi hunting.
"bicarain baik baik lah day sama bonyok lo" saran Benny.
aku mengangguk. iya pasti akan ku bicarakan hal ini pada papah. who know? ada muzizat dibalik ini. wish me god!
"i am behind you dear!" Lin menyemangati perasaan galauku. dan sesuai janjiku pada fia, serta sahabat sahabatku. hari ini, aku harus pulang dan segera menemui papah untuk bicara.
aku mulai memasuki rumah, hemm.. sudah cukup lama aku tidak menginjakan kaki ku disini sehingga terasa awam hawanya. rumah ini tidak nampak berbeda hanya saja aku terbiasa melihat suasana rumah kakek dalam beberapa hari kemarin. kepulanganku disambut hangat oleh Bi Inem. kehadiran beliau seakan menjadi penghangat ditengah keluarga kami. walaupun usianya sudah tengah baya, tapi Bi Inem adalah sosok yang ceria.
suasana kamarku juga tidak berbeda tetap seperti sedia kala. nampak lebih rapih. aku tau Bi Inem setiap hari membersihkan ruangan ini. namun aku merasa telah bertahun tahun meninggalkan kamar ini.
aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku. 
tanpa tau orang seisi rumah sedang apa? dan dimana? kecuali Bi Inem yang sedang asik main sky alias menggosok pakaian. karena aku sempat melihatnya. peredaran darahku--aku biarkan melancar. aku juga menjadi relax di bandingkan sebelumya ketika aku melangkah dalam keadaan tersaruk-saruk hingga kamar. aku membutuhkan perasaan aman dan waras. 
Bi Inem memasuki kamarku dengan membawakan susu coklat. sebetulnya aku tidak memesan itu tapi Bi Inem selalu menyuguhkan nya untukku sejak kecil. 
"non day nampak pucat" putus Bi inem usai melihat keadaan wajahku yang sebenarnya sejak tadi gak karuan. 
tapi ku rasa aku baik-baik saja. tidak ada satu pun yang salah pada otak di kepalaku. bahkan sekiranya aku diiming-imingi alpha 33 aku masih sanggup berlari dalam jarak yang cukup membuat seorang pelari ngos-ngosan. 
"apa perlu bibi ambilkan obat?" Bi Inem nenawarkan jasanya. 
"aku gapapa ko bi, oh iyd papah mamah mana?" tanyaku dengan suara yang agak serak. dan aku bisa mendengar itu.
"bapak dan ibu pergi non" Bi inem nembuka tirai jendela kamarku. agar kamar ini terisi oleh butiran cahaya yang kian memerah. hari itu matahari siap tenggelam diufuk barat. dan pantulan cahayanya membuat kamarku menjingga.
"kemana?" sorot mataku curiga. dan suaraku parau.
"bilangnya mau ke surabaya mungkin besok siang udah balik" Bi Inem beranalisis.
ia tersenyum tapi tidak memamerkan giginya. wajahnya tetap kelihatan ramah, kulitnya lembut, layu dan terlihat lipatan lipatan membentuk keriput yang mulai menggelantung dibagian dekat pelipis mata.
aku membulatkan mulut. lalu ia segera pergi dari kamarku.
hari ini tidak terlihat tanda tanda kehidupan dari Jimmy. entah mengapa? perasaan bersalah mulai menghantuiku secara diam diam. saat aku menyayangi Jimmy mustahil aku akan bersikap logis padanya.
aku meraih camera di dasar tas sekolahku sampai aku menemukannya. ku tekan tombol lens, agar lensanya keluar secara 

otomatis, ku angkat kedua tangan dengan camera diujungnya. dan sejajar dengan wajahku sehingga aku bisa melihat gambar dalam layarnya. posisi tubuhku masih berbaring. aku menekan tombol zoom dari pilihan scene mode yang tersedia. ku alihkan camera dan memfokus pada objek yang ku gidik. dan aku mendapatkan gambar segelas susu coklat dalam kamera digital. dengan mode yang ini aku dapat menghasilkan foto dengan tingkat ketajaman dan kontras yang sangat baik. jarak fokusnya 5 cm dari objek. aku memutar mutar lensaku kembali. "klik" "cklik"
...

gambar yang kulihat masih nampak rabun. aku mengucak mataku agar keburaman segera menghilang. pengelihatanku sudah memulih. aku melihat keadaan sekitarku telah gelap. warnya jingga yang menjadi panorama menabjubkan dikamarku menghilang. tidak terasa aku terlelap begitu saja. aku berusaha mengumpulkan setengah dari nyawaku yang masih berkeliaran. kurasakan pipiku yang basah dan sembab.

apakah aku senelangsa itu? aku menangis dalam lelapku. apa aku sebegitunya untuk memilikh hal yang ku inginkan. kurasa tidak. mungkin aku yang telah membohongi perasaanku. sebenarnya keadaanku lebih buruk dari apa yang ku katakan pada Bi Inem. aku keluar dari kamar suasana rumah sepi. seperti tadi sore ketika aku menginjakan kaki dirumah. aku menuruni tangga dengan perlahan. aku merasa otakku sedang di pukul dengan pentungan kayu, dan aku mulai pusing. mungkin karena aku belum makan sejak pulang sekolah. pantas saja tubuhku bergemetar. aku melihat seseorang tengah menonton tv. gak mungkin papah atau mamah. sebab mereka sedang tidak ada. pak udin juga ga mungkin. jam segini pak udin nonton pertandingan bola di warung depan komplek. oh mungkin Bi Inem. iya, iya. ia sering nonton tv bersamaku. dan sesekali tertawa ketika melihat serial tv yang mendadak kocak.
aku menghampirinya. langkah ke tiga ku terhenti. aku salah sangka! itu bukan 
Bi Inem melainkan Jimmy. huft ku kira makhluk itu tidak akan mengangguku hari ini. ternyata prediksiku masih sebatas ikan teri! Jimmy malah dengan sengaja menemuiku. dan di rumah! tempat dimana aku tidak bisa lari ataupun bersembunyi! aku ingin segera ngibrit kekamar. tapi, sial seribu kali sial. aku terlambat! Jimmy lebih dahulu mengetahui keberadaanku dan ia sukses memanggilku "hai diana" sapanya riang, nada suaranya tidak lagi menggelegar seperti kemarin ketika ia terus terusan memarahiku. aku tersenyum kepaksa. 
"udah lama?" tanyaku, menempatkan diriku di sofa menghadap tv. aku langsung mengambil alih remote tv dan mengganti salurannya tanpa memperdulikan Jimmy. 
"sejak kamu tidur" gumamnya ikut duduk di sebelahku. mulutku membulat. 
"kamu gak tanya, kenapa tadi aku gak sekolah?" Jimmy meminta sebuah perhatian dariku. itu konyol. seharusnya Jimmy tidak menanyakan hal itu. mungkin nanti aku akan menanyakannya. ya.. kalo aku ingat.
"oh iya, aku lupa" desisku seraya menepuk jidat. aku berpura pura seperti orang tolol. dan lebih mirip lagi dengan orang yang baru sembuh dari amesia dadakan!
"sebegitukah pacarku?" erangnya. bagus lah kalau ia masih menganggapku pacar. ku kira Jimmy ikut amesia juga!
"menurut kamu? gimana?" aku sedikit mengangkat daguku.
Jimmy mendengus. "aku sudah mengiranya" lalu matanya menatap layar tv tanpa sedikitpun melirikku.
"ada apa kamu datang malem malem begini? ada perlu denganku?" tanyaku sedikit kasar. atau mungkin kedengarannya terlalu kasar. tapi, Jimmy tidak sama sekali menjawabnya. ia hanya melirikku dari sudut matanya yang tajam. aku bersikap biasa.
"kalo gak ada yang perlu dibicarakan, pulang lah. gak enak kalo kamu malem malem disini, lagi pula gak ada orang tua ku dirumah" menurutku ini kata kata yang paling tepat untuknya. kepalaku lebih pusing dari sebelumnya, rasa lapar menghilang bagai debu ditiup angin. dan aku merasa mual. 
kalimatnya. sekujur tubuhnya gemetar menahan marah. 
"Jimmy" nada suaraku memohon, sekaligus memelas. mungkin menurun hingga 3 oktaf. 
"ya" Jimmy tergerak kaget. seolah kata kataku barusan menyetrum tubuhnya. suara sahutannya juga ikut melembut dan datar. tidak ada intonasi tinggi pada frekuensinya. aku menatapnya cemas serta lemas. 
"aku gamau bertengkar lagi dengan kamu" 
aku hampir kehabisan napas. 
"me too" bisik Jimmy. ia melingkarkan lengannya ke tubuhku. aku memejamkan mataku. dam membiarkan Jimmy menyelimuti tubuhku dalam dekapannya. aku tau napasku megap megap. tapi, tak ku pedulikan. 
Jimmy melepaskan lengannya. padahal seharusnya Jimmy tau kalau aku menginginkan adegan itu. ia memegang keningku. 
"panas" nada suaranya khawatir. 
"kamu udah makan?" sorot mata Jimmy mendadak penuh prihatin. 
"aku cuma perlu istirahat. gak ada yang perlu di khawatirkan" 
"aku antar ke kamar mu" kata Jimmy yang berdiri dan beriap menarik tubuhku. aku merasa kedinginan, tapi tubuhku panas. darah di wajah seolah surut. aku terserang demam karena terlalu lelah bekerja.
"engga, aku ingin disini" tolakku.
aku mulai meletakan kepalaku ditangan sofa. Jimmy tidak sama sekali melarangku. ia hanya berdecak decak keheranan melihatku.
"kamu ingin aku pulang?" tanya Jimmy menekukan lututnya diatas karpet tepat disamping sofa dan menghadap wajahku. padahal sikap Jimmy biasa saja. tapi mengapa seolah aku seperti ditatapnya lekat lekat.
"kalau kamu ingin seperti itu" jawabku. sebenarnya ingin mengatakan "engga kamu disini aja" tapi terlalu gengsi untuk mengeluarkan kata kata itu. lantaran sebelumnya nada perkataanku meninggi dan berkesan menyuruhnya segera pergi dari rumahku. terkadang cinta membuatku tidak berpikir lebih rasional. otakku bahkan tidak logis dalam mengolah kata.
Jimmy membentangkan selimut yang diberikan Bi Inem diseluruh tubuhku. ia menyisiri rambut depanku dengan sela sela jari
nya. dan ia mulai bercerita tentang kegiatannya hari ini. kesimpulan yang ku ambil dari ceritanya adalah hari ini Jimmy ikut tournament band. meskipun aku tidak menyimak secara seksama. otakku terlalu ringsek untuk merespon cerita Jimmy. lalu aku tertidur begitu saja..
...

"sejak kapan kamu pulang day?" tanya papah setelah aku keluar dari kamar. saat aku membuka mata tubuhku sudah berada dikamar. entah siapa yang membawaku. yang jelas aku sudah merasa baikan. ya setidaknya tidak terlalu buruk dari semalam.
"kemarin" jawabku singkat.
sebenarnya aku tidak begitu menggubris pertanyaan dari papah barusan. hanya saja, aku menemuinya karena ingin membicarakan tentang satu hal yang sungguh sangat penting bagiku. tapi mungkin tidak sekarang atau detik ini. aku punya berbagai alasan untuk itu. dan alasan yang paling mendasar adalah keberanianku untuk mengatakannya. yah aku bisa dibilang pengecut. tapi seorang pengecut suatu saat bisa menjadi 
lebih dari seorang pemberani. itu si omongan Rifky yang aku kutip hehe.
aku segera menghambur ke pantry. menemui Bi inem dan meminta segelas susu coklat. aku duduk menghadap meja pantry dengan bertopang dagu. sementara Bi Inem sedang sibuk dengan kompornya.
"bibi tau gak jam berapa Jimmy pulang?" tanyaku seraya menyeruput susu coklat itu.
"jam..." Bi Inem coba mengingat-ingat, matanya terbelalak keatas sampai ia yakin untuk mengatakan sesuatu. "mungkin Bibi agak lupa, tapi sekitar jam 2 pagi" kata Bi Inem.
aku sempat melongong sejenak, Jimmy pulang selarut itu? aku tidak yakin ia mampu menyetir dengan benar. benakku.
"semalam mas Jimmi menitipkan ini" Bi Inem membuka lemari disamping kulkas dan mengeluarkan sesuatu yang segera disodorkannya untukku. alis ku terpatri. dihadapan kotak persegi panjang yang terbungkus kertas manila coklat dengan rapih. dan terlihat manis dengan pita merah kecil disudut kirinya. ku raih kotak itu lalu ku buka 
dan aku menemukan puppetto didalamnya. puppetto itu sejenis kalung tali yang digantungi orang orangan yang terbuat dari ukiran kayu yang unik. bentuknya kecil, sehingga terlihat imut dan menarik. senyum sumringah mengembang di wajahku.
"katanya waktu mas Jimmy mau ngasih itu non Diana udah tidur, jadi nitipnya sama Bibi" wajah Bi inem ikut merona sepertiku.
aku langsung meraih handphoneku, mencari nama "my boyfriend" di contac handphone dan lekas memencet tombol calling. setelah berbunyi tuut-tuut tiga kali Jimmy segera mengangkatnya.
"halo" kataku bersemangat. "dear?" tudingku karena belum ada sahutan dari sebrang.
"iya, ada apa Diana?" pekik jimmy dalan nada pelan dan santai.
"tengkyu dear. puppettonya bagus" nadaku terdengar kegirangan. mungkin bisa dibilang norak! ah biarin!
"oh ya? aku senang mendengarnya" nadanya melembut seperti beledu. aku meleleh.
"dari mana kamu tau aku suka puppetto"
"masa hal sekecil itu aja aku gatau" Jimmy meyakinkan. Aku tersenyum dalam hati mendengarnya. Sepertinya ia ingin meredam kemarahanku beberapa hari kemarin. Dasar cowok punya seribu satu cara untuk menaklukan hati perempuan lemah sepertiku.
"oh dear, gimana caraku membalas ini?" wajahku merona bagai bunga yang tengah bermekaran.
"Jimmy kamu tau dimana tasku?.. Aku udah.. Tapi gak ada.." suara seseorang terdengar samar samar ditelingaku. Agak kurang jelas sepertinya. Aku mempertajam pendengaranku dan aku penasaran.

No comments:

Post a Comment