Bagi sebagian
orang, petang adalah pulang. Tapi bagi kami, petang adalah jeda tenang, antara
kepergian dan kepulangan.
Beberapa waktu
yang lalu kamu menemuiku lagi. Kali ini aku yang menghubungimu terlebih dahulu.
Menanyai kabar di sela-sela kesibukanmu. Tanpa basa-basi, tanpa ragu. Aku yang
memintamu menemaniku, malam ini. Selepas aku bekerja. Sementara kamu masih
dengan jadwal sift malammu yang belum berubah.
Aku berlarian
menuruni tangga, menemuimu yang sudah menungguku satu-dua menit di depan pintu.
Seperti biasa yang kita lakukan untuk sekedar bertatap muka, tertawa, lalu
bercerita panjang kali lebar dengan jeda sebuah meja di sudut pilihan kafe
baru.
“Mau steak?” tanyaku.
“Gue follower aja deh,” aku masih bisa
mendengar suaramu dengan jelas walaupun deru mesin kendaraan bercampur dengan
klakson mobil berada di sekeliling kita.
Akhirnya kita
melipir di sebuah warung steak, Rawamangun. Saat itu hujan pertama di bulan
oktober. Melalui kaca-kaca vitange, sambil menunggu pesanan datang. Aku memandang
ke luar jendela. Menikmati aroma debu yang mulai tersiram air.
“Coba lo merem
deh, dan nikmatin hujan,” kataku.
Kamu mengangguk
dan menuruti.
“Nyium bau
debu gak?”
“Iya,” katamu,
“Lo suka bau debu?”
Aku mengangguk.
Mataku terpejam. “Apalagi hujan pertama. Beda rasanya,” balasku.
Setelah aku
membuka mata, aku segera menemukan senyum sumringahmu.
“Dapet sift
malem gak ngantuk apa?” tanyaku.
Kamu menggidikkan
bahu, sambil menuangkan saus belibis pada chicken tereyaki-mu. “Di jalanin aja,”
“Jaga
kesehatan ya,” ada nada khawatir dalam kalimatku yang susah payah kututupi. “Kondisi
malem itu gak bagus buat melek,” aku menegaskan argumentasiku dengan lebih
logis dan bisa diterima dibandingkan perspektif sebelumnya.
“Ini lagi di
jalanin, sambil di nikmati, juga disyukuri,”
Aku menyodorkan
tissue padamu, agar kamu tidak lagi mengelap bekas saus di bibirmu dengan kaus.
Tanpa sadar, aku selalu memerhatikan setiap tingkah lakumu. Cara kamu makan
yang sembarangan, dan terburu-buru. Cara kamu menyetir motor yang selalu pengen
cepet sampai, pagi-pagi kamu datang menjemputku, dan yang kamu tanyakan saat
pertama bertemu denganku adalah “Lo punya sisir gak?” aku langsung berpikiran
bahwa kamu belum mandi dan semua itu berhasil membuatku mengulum senyum.
“Semua anak
STM selalu bikin kaus mereka jadi tissue?”
Kamu terkekeh
mendengar pertanyaanku. “Iya gitu. Mereka simple sih, kaus bisa jadi tissue
makan, lap keringet sampe anduk mandi. Its
okay, mereka seneng-seneng aja,”
Kali ini aku
yang tertawa.
“Pantes mereka
gak bisa rapih,” kataku.
“Kebanyakan
sih gitu, orang dari cara berpakaian aja beda. Gue sendiri gak bisa make dasi
dengan benar,”
“Pake dasi?”
“Iya, mana ada
coba anak STM yang pake dasi? Orang tiap hari kerja rodi,” balasmu.
Aku menyeruput
cappucino float punyamu dengan cuek. Setelah
kupikir-pikir, mungkin ada benarnya juga. Kamu sendiri bekerja sebagai IT di
suatu perusahaan provider yang menurutku
tidak terlalu bertemu banyak orang jadi tidak akan berpengaruh dengan
penampilanmu. Toh, yang berhasil menatapmu dengan seksama hanya layar-layar
komputer.
“Oh iya gimana
kuliah lo?”
“Gue resign
dari kampus,”
“lho?”
Aku menemukan
senyummu lagi, ini seperti penawar khawatir. Dan perasaan itu mereda dalam
hitungan sepersekian detik.
“Hidup itu
mencari, kalo tersesat sama pencarian gapapa kan?”
Aku mencoba
mencerna kata-katamu barusan.
“Masih banyak
dosen, kampus, dan jurusan yang mau gue singgahi,” lanjutmu.
“Ka, hidup
kita ini pilihan, yang jadi masa depan kita adalah keputusan kita hari ini,”
“Yang gue
omongin barusan juga gue pikirin dulu,”
“Ini pasti
kepengaruh buku yang gue kasih itu ya?” aku ingat beberapa hari lalu aku
memberimu buku sebagai hadiah ulang tahunmu.
“Enggak
kepengaruh, tapi emang suka aja sama kata-katanya,”
Aku membulatkan
mulut. Hujan masih menjadi atmosfer pertemuan kita. Aku menikmati menit-menit
terakhir dari pertemuan ini sebelum kita meninggalkan meja dengan sebuah buku
bil.
“Jangan
khawatir, semua masih proses. Ketemu elo juga sebuah proses dari pertemanan,
makasih ya, udah jadi temen makan malem gue,” katamu.
Aku mengangguk
dan tersenyum.
Setelah ini
aku pulang, dan kamu harus pergi. Waktu yang sedikit ini membuat kita
benar-benar harus saling mengerti dimana harus menggunakan waktu sebaik-baiknya
untuk bercerita. Kini aku meenganggapmu teman cerita. Dan aku bersedia menjadi
pendengar yang baik.
“Nanti
kerjanya yang semangat ya,” aku berhasil membuat satu senyum lagi keluar dari
sudut bibirmu yanng menjadi sebuah kebahagiaan yang sederhana untukku.
Aku mengikuti
langkahmu, keluar dari sudut kafe.. menikmati sisa-sisa hujan.
Super sekali , ada yg gw dapet dari kisah itu
ReplyDeleteApa yg di dapet? Heheh
ReplyDelete