Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Thursday, October 8, 2015

Petang dan kepulangan.




Bagi sebagian orang, petang adalah pulang. Tapi bagi kami, petang adalah jeda tenang, antara kepergian dan kepulangan.
Beberapa waktu yang lalu kamu menemuiku lagi. Kali ini aku yang menghubungimu terlebih dahulu. Menanyai kabar di sela-sela kesibukanmu. Tanpa basa-basi, tanpa ragu. Aku yang memintamu menemaniku, malam ini. Selepas aku bekerja. Sementara kamu masih dengan jadwal sift malammu yang belum berubah.
Aku berlarian menuruni tangga, menemuimu yang sudah menungguku satu-dua menit di depan pintu. Seperti biasa yang kita lakukan untuk sekedar bertatap muka, tertawa, lalu bercerita panjang kali lebar dengan jeda sebuah meja di sudut pilihan kafe baru.
“Mau steak?” tanyaku.
“Gue follower aja deh,” aku masih bisa mendengar suaramu dengan jelas walaupun deru mesin kendaraan bercampur dengan klakson mobil berada di sekeliling kita.
Akhirnya kita melipir di sebuah warung steak, Rawamangun. Saat itu hujan pertama di bulan oktober. Melalui kaca-kaca vitange, sambil menunggu pesanan datang. Aku memandang ke luar jendela. Menikmati aroma debu yang mulai tersiram air.
“Coba lo merem deh, dan nikmatin hujan,” kataku.
Kamu mengangguk dan menuruti.
“Nyium bau debu gak?”
“Iya,” katamu, “Lo suka bau debu?”
Aku mengangguk. Mataku terpejam. “Apalagi hujan pertama. Beda rasanya,” balasku.
Setelah aku membuka mata, aku segera menemukan senyum sumringahmu.
“Dapet sift malem gak ngantuk apa?” tanyaku.
Kamu menggidikkan bahu, sambil menuangkan saus belibis pada chicken tereyaki-mu. “Di jalanin aja,”
“Jaga kesehatan ya,” ada nada khawatir dalam kalimatku yang susah payah kututupi. “Kondisi malem itu gak bagus buat melek,” aku menegaskan argumentasiku dengan lebih logis dan bisa diterima dibandingkan perspektif sebelumnya.
“Ini lagi di jalanin, sambil di nikmati, juga disyukuri,”
Aku menyodorkan tissue padamu, agar kamu tidak lagi mengelap bekas saus di bibirmu dengan kaus. Tanpa sadar, aku selalu memerhatikan setiap tingkah lakumu. Cara kamu makan yang sembarangan, dan terburu-buru. Cara kamu menyetir motor yang selalu pengen cepet sampai, pagi-pagi kamu datang menjemputku, dan yang kamu tanyakan saat pertama bertemu denganku adalah “Lo punya sisir gak?” aku langsung berpikiran bahwa kamu belum mandi dan semua itu berhasil membuatku mengulum senyum.
“Semua anak STM selalu bikin kaus mereka jadi tissue?”
Kamu terkekeh mendengar pertanyaanku. “Iya gitu. Mereka simple sih, kaus bisa jadi tissue makan, lap keringet sampe anduk mandi. Its okay, mereka seneng-seneng aja,”
Kali ini aku yang tertawa.
“Pantes mereka gak bisa rapih,” kataku.
“Kebanyakan sih gitu, orang dari cara berpakaian aja beda. Gue sendiri gak bisa make dasi dengan benar,”
“Pake dasi?”
“Iya, mana ada coba anak STM yang pake dasi? Orang tiap hari kerja rodi,” balasmu.
Aku menyeruput cappucino float punyamu dengan cuek. Setelah kupikir-pikir, mungkin ada benarnya juga. Kamu sendiri bekerja sebagai IT di suatu perusahaan provider  yang menurutku tidak terlalu bertemu banyak orang jadi tidak akan berpengaruh dengan penampilanmu. Toh, yang berhasil menatapmu dengan seksama hanya layar-layar komputer.
“Oh iya gimana kuliah lo?”
“Gue resign dari kampus,”
“lho?”
Aku menemukan senyummu lagi, ini seperti penawar khawatir. Dan perasaan itu mereda dalam hitungan sepersekian detik.
“Hidup itu mencari, kalo tersesat sama pencarian gapapa kan?”
Aku mencoba mencerna kata-katamu barusan.
“Masih banyak dosen, kampus, dan jurusan yang mau gue singgahi,” lanjutmu.
“Ka, hidup kita ini pilihan, yang jadi masa depan kita adalah keputusan kita hari ini,”
“Yang gue omongin barusan juga gue pikirin dulu,”
“Ini pasti kepengaruh buku yang gue kasih itu ya?” aku ingat beberapa hari lalu aku memberimu buku sebagai hadiah ulang tahunmu.
“Enggak kepengaruh, tapi emang suka aja sama kata-katanya,”
Aku membulatkan mulut. Hujan masih menjadi atmosfer pertemuan kita. Aku menikmati menit-menit terakhir dari pertemuan ini sebelum kita meninggalkan meja dengan sebuah buku bil.
“Jangan khawatir, semua masih proses. Ketemu elo juga sebuah proses dari pertemanan, makasih ya, udah jadi temen makan malem gue,” katamu.
Aku mengangguk dan tersenyum.
Setelah ini aku pulang, dan kamu harus pergi. Waktu yang sedikit ini membuat kita benar-benar harus saling mengerti dimana harus menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk bercerita. Kini aku meenganggapmu teman cerita. Dan aku bersedia menjadi pendengar yang baik.
“Nanti kerjanya yang semangat ya,” aku berhasil membuat satu senyum lagi keluar dari sudut bibirmu yanng menjadi sebuah kebahagiaan yang sederhana untukku.
Aku mengikuti langkahmu, keluar dari sudut kafe.. menikmati sisa-sisa hujan.

2 comments: