Kita tidak akan pernah tau kapan, dan di mana akan bertemu...
Syaira duduk di kursi
paling pojok, di gerbong pertama sebuah lokomotif. Ini perjalanan panjangnya
sendirian. Ia masih memikirkan seseorang
yang tiba-tiba saja menghilang dari hidupnya. Seseorang yang pernah hadir
menawarkan sebentuk senyum dan kini tidak ada kabar. Sudah berbulan-bulan
lamanya. Entah alasannya apa. Ia tidak pernah mengerti.
Perempuan berambut ikal
sebahu itu memutuskan untuk mengambil undangan sekolah kepenulisan yang
diselenggarakan, di sebuah kota kenangan. Dengan berbagai alasan, salah satu
alasannya adalah melupakan seseorang. Ia ingin berlari, pergi yang jauh. Agar
ia bisa lupa. Sejenak. Ia ingin lebih tenang dalam satu atau dua hari. Ia
berharap, sepulang dari sana ia akan lebih baik.
Sebuah peluit dari kepala
lokomotif berbunyi. Lalu gerbong-gerbong tua di belakangnya mulai bergerak. Syaira
menarik napas berkali-kali memastikan dirinya lebih baik dalam perjalanan ini.
Setidaknya dalam sepuluh jam kedepan.
Kursi di sebelahnya
kosong. Sepertinya seseorang membatalkan perjalanannya. Di tengah-tengah orang
yang tidak dikenalnya. Ia memutuskan untuk membaca Imperium— Sebuah novel karya robert harris—sebagai teman perjalanan. Satu-dua jam pertama ia masih asyik
menikmati halaman demi halaman, juga aroma khas kertas yang membuatnya
berkali-kali terpesona pada wujud buku. Jam ketiga ia mulai merasa bosan. Gadis
dengan kacamata berframe hitam itu melipat halaman buku, dan mengembalikan pada ransel
merah muda tepat di sampingnya. Lalu menyeruput segelas teh yang di belinya
dari seorang petugas yang menjual makanan dan minuman secara resmi.
Telponnya berdering.
“Hallo, syaira?” suara bariton itu terdengar
di sambungan telepon. Dalam
beberapa hari ini menghubunginya.
“Arial,” ia mendesis. Terdengar bunyi khas
klakson kereta yang berdengung.
“Bagaimana perjalananmu?”
“Tidak terlalu buruk—sejak kamu menelpon,”
Syaira mulai tersenyum, ia tidak
terlalu menyukai perjalanan sendirian. Atau lebih tepatnya ia tidak pernah
akrab dengan kesendirian.
“Sebentar lagi
kita bertemu, aku tidak sabar bertemu denganmu,” suara di ujung telpon
terdengar begitu lembut. Begitu menenangkan.
Beberapa hari yang lalu, Arial menghubunginya.
Dan mengatakan ia akan datang pada acara kepenulisan itu. Arial Hadinanta.
Syaira hanya mengenalnya lewat barisan huruf yang tertera di kontak chat facebook. Juga di beberapa judul
buku yang belakangan ini dilabeli bestseller.
Sementara syaira hanya penulis pemula juga diam-diam mengagumi beberapa tulisan
Arial. Tapi ia tidak pernah mengatakannya. Ia sudah lama mengenal nama Arial,
sudah lama juga mengobrol seputar dunia tulis menulis. Namun belum pernah
bertemu dengannya. Dan Arial janji untuk datang.
“Aku juga sedang dalam perjalanan. Nanti
keretaku tiba pukul 19.22 di lempuyangan.” Lanjut Arial.
Ia mencari potongan tiketnya yang sudah di
periksa dan dibolongkan oleh petugas kereta. Mencari jam tiba. 19.22.
Lempuyangan, Yogjakarta. Di sana terpampang jelas jam keberangkatan dan tiba.
Ia lekas meraih hanphonenya lagi menyocokan jam dengan apa yang barusan
didengarnya.
“Syaira?”
“ial? Kamu naik kereta apa?” ia memanggil
nama pendeknya.
“Jakatingkir,” balas Arial. “Kenapa Sya?”
Ia melihat single
tripnya lagi. Jakatingkir.
“Gerbong?” ia penasaran.
“Gerbong—“ Arial memotong pembicaraan “sya,
kita satu kereta? Aku di gerbong dua, kamu di mana?” Arial berbicara dengan
cepat. Suaranya terdengar amat bahagia.
“Satu,” ucapku.
“Aku akan menemuimu,” ucap Arial pasti.
Syaria berdiri dari kursinya, berjalan melawan
arus kereta. Sepatunya terasa berdentum dengan ubin kereta. Perasaannya mulai
bergejolak, matanya mencari-cari sesuatu. Secara perlahan bibirnya membentuk
senyum, senyum kecil yang membuat sekitarnya terlihat monokrom. Hingga
langkahnya menjadi pelan dan terhenti si satu titik. Di hadapan lelaki dengan
balutan jeans krem dan sweater hijau lumut. Dengan frame kacamata besar yang
bertengger di hidungnya yang bangir.
Arial hadinanta, ia membuka pintu yang menuju
ke gerbong lain dan sekarang ia berdiri persis di hadapan wanita yang beberapa
detik yang lalu hanya menjadi simpang siur benaknya. Mereka bertemu di antara
sambungan gerbong, diantara bebunyian rel yang beradu pada roda besi kreta. Dan semuanya seolah berjalan lambat.
“Hai, Nona penulis,” ucapnya.
Pipi gadis itu merona. Merah padam.
Arial
mengambil tangan Syaira dengan ponsel yang masih menyala. Arial memutuskan
sambungan telepon itu.
“Ini udah gak perlu lagi,” ucap Arial lembut.
“Kamu naik dari cirebon jam berapa?” perempuan
dengan dress cokelat muda itu sedang memcoba membuka pembicaraan. Memulai kata
pertama yang akan menjadi obrolan mereka. Ini pertama kalinya ia melihat wajah innocent
Arial. Ia bisa melihat warna hijau di sekitar dagu Arial. Sepertinya Arial baru
saja bercukur pagi tadi.
“Jam satu,”
“Ial—“ Syaira menemukan suaranya yang
tercekat, “bangku di sebelahku kosong, kamu mau pindah?” ia memberi Arial
sebuah tawaran..
Bersambung...
Lumaya.. Ditunggu sambungannya :)
ReplyDelete