Aku bolak-balik mengecek handphoneku. Melihat angka menit yang selalu
berubah. Dengan tidak sabar aku menelponmu. Menanyai keberadaanmu.
“Tunggu sebentar, ya,” aku bisa mendengar suara bariton yang berhasil
terurai di sambungan telepon.
Aku bergumam, dan mengakhiri pembicaraan. Setelah hampir dua kali aku
mengejek jam digital di dasboard handphoneku lagi kamu menemuiku.
“Kamu telat banget,” gerutuku.
“Enggak kok,” kamu tersenyum seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi.
“Kan kamu janjinya jam empat,” balasku.
“Kan ini masih jam empat,” suaramu menggoda.
Aku berusaha menahan senyum, dan membuat nada bicaraku seolah-olah
menjadi jengkel. “Ini jam empat lewat lima puluh enam menit,”
“Jam empat lewat lima puluh sembilan menit juga masih termasuk jam empat
kok,” kamu menatapku dengan wajah innocent.
Ada rasa kesal, jengkel, tapi lebih banyak bercampur aduk dan didominasi
dengan mungkin semacam kangen.
“Udah berapa lama kita gak kayak gini ya?” tanyaku.
“Mungkin 50 tahun,” jawabmu cuek.
Kamu selalu mempunyai cara agar semua argumentasimu seolah-olah benar.
Walaupun sebenarnya tidak benar secara harfiah tapi benar secara rasio.
Dan entah kenapa, itu hanya kutemukan denganmu.
Akhirnya kita tertawa.
“Kamu gak berubah ya,”
Tanpa ba-bi-bu lagi kamu segera menyuruhku duduk dibelakang jok motormu.
Dan melupakan perdebatan kecil tadi.
“Mau ke mana?” pertanyaan yang sama. Setelah berbulan-bulan kita tidak
saling bertemu dan selalu bingung menentukan pilihan tempat yang akan kita
kunjungi di akhir pekan.
“Aku jadi follower deh,” kataku. Aku sibuk mengamatimu dari belakang.
Sibuk juga memerhatikan degub jantungku.
“McD?”
“Bosen tau,” sejak pertama kali kita kenal, kita bertemu di Mcd, main ke
Mcd, melipir saat pulang kantor di Mcd, bahkan hampir setiap akhir pekan, kita
habiskan untuk mengobrol panjang kali lebar di Mcd.
Tapi kamu selalu punya cara yang membuat obrolan kita selalu bisa
kutanggapi dengan baik. Begitupun sebaliknya.
Bukan Mcd atau makanannya. Tapi
kamu. Yang selalu menjadi pusara perhatianku. Kamu yang selalu mengorbit dengan
gayamu yang menyebalkan. Kamu yang berhasil mencuri senyumku. Dan aku suka.
“Lho katanya follower?”
“Iya deh,” aku menurut lagi.
Kita tiba di Mcd. Dan ternyata Mcdnya penuh dengan pesta ulang tahun
anak-anak. Terpaksa kita keluar dari Mcd.
“Pim deh,” kataku merekomendasikan tempat lain setelah kami berhasil
keluar dari pesta ulang tahun bocah kecil.
Kamu mengiyakan. Kita sampai di pim 1 lalu menjelajahi pim 2. Aku belum
menemukan tempat yang nyaman, sekalipun makanan di food crout pim enak-enak.
Keluar masuk gramedia, tidak tertarik membeli buku karena waiting list bacaan
buku hadiah dari acara kepenulisan bulan lalu masih banyak. Dan aku tidak tahu kapan aku akan menghabiskan
waktuku dengan buku-buku itu.
Akhirnya kamu memutuskan untuk membeli dua gelas chattime, satu untukmu
dan satu lagi untukku. Kita keluar dari pim. Aku meminta untuk pergi ke burger
blenger di daerah blok-m dan memakannya di taman ayodya bersamaan dengan
chattime yang tadi dibeli.
Sudah muter-muter pim, batal ke Mcd, dan akhirnya alternatif kedua
setelah Mcd adalah burger blenger. Kamu yang mengajariku makan burger blenger
di ayodya. Sebuah kebiasaan kita saat pulang bekerja. Menunggu hilir mudik
karyawan kantor yang sibuk mengendarai mesin-mesin yang dijadikan budak untuk
perjalanan pulang. Sementara sering kali, kita duduk berdua di sini dengan baju
kerja yang sudah kucel, rambutmu yang sudah acak-acakan—menikmati lampu-lampu taman yang diwarnai deru mesin
kendaraan, atau sesekali lonceng dari gereja di sebelah taman itu berbunyi.
Pertanda jam sudah berganti. Dan sering kali suara kecrekan dan pengamen yang
tidak merdu lewat satu-dua mengais rejeki. Dan selama itu aku duduk bersila di
sebelahmu. Mendengar, menyimak sebuah cerita pengalaman yang bisa diambil hikmahnya.
Atau sekedar meluapkan sesuatu. Entah itu apa. Aku ingin melupakan draft
novelku yang hampir rampung itu.
Begitupun malam ini, aku duduk bersila di hadapanmu, di pinggir kolam, di
sudut perempatan kota, dekat gereja. Hal yang sama kita lakukan. Bercerita dan
berbagi kisah kita masing-masing. Aku sesekali tertawa melihat bibirmu yang
kepenuhan mayonaise dari burger yang kita beli. Atau mendengar ocehan
menyebalkanmu.
“Kemarin aku ketemu sama penulis kesukaanku itu, yang jadi icon jilbab
traveler” kataku.
“Kamu mah jadi penulis kebanyakan baper,” kamu tersenyum. Sekaligus
meledek.
“Akunya baper, kamunya gak peka,”
“Kenapa semua cowok harus peka?”
Aku tidak menjawab, karena aku juga gak tau kenapa semua cewek baper? Yang jelas semua
cewek selalu memakai perasaanya.
“Kamu bukan cowok yang selalu bisa bikin cewek bilngsatan,”
“Maksud kamu dengan gombal?”
Aku mengangguk.
“Emang kamu suka di gombalin?”
“Enggak,”
“Nah sama. Kata-kata gak menjamin benar adanya perasaan, tapi rasa nyaman
gak bakal bikin kamu beranjak dari seseorang” katamu. Kamu menyeruput minumanmu
lagi. Lalu melanjutkan, “buruan selesaiin novel kamu, jangan jadi penulis
baper,”
“Iya penulis tuh harus baper, baper itu dari kepekaan. Dunia ini Cuma jadi
masalalu tanpa penulis. Dan aku harus suka dan bener-bener jatuh cinta sama
tokoh yang ditulisnya, biar seolah-olah tokoh atau itu benar adanya.”
“Kamu pernah menulis aku, berarti kamu pernah jatuh cinta sama aku?”
Aku ingat naskah pertamaku yang sedang dalam antrian terbit. Itu kamu.
“Ya, mau gak mau—” ada sesuatu yang membuat nada bicaraku tercekat. “Itu
biar pembacanya terbawa cerita dan suasana. Biar bagus juga sih ceritanya,
feelnya dapet gitu lho..” aku tau kalimatku mulai berantakan. Aku seperti orang
asing yang baru bisa membuat kalimat SPOK.
Kamu mengulum senyum.
“Jatuh cinta beneran juga gapapa,”
Pipiku seperti berubah warna, rasanya aku ingin memendamkan kepalaku di
antara setumpukan bantal.
Saat ini, bukan lagi soal kata-kata cinta, bukan lagi soal kemewahan
tempat atau restaurant atau semahal apa harga makanan. Bukan lagi soal dating
yang harus memakai pakaian cantik untuk menarik perhatian. Tapi soal
kenyamanan. Dengan siapa kita berbicara.
Dari sini, kita bisa menciptakan satu kebahagiaan yang sederhana. Bahagia
yang tidak bisa ditukar dengan apapun.
Aku memberanikan diri menatapmu. Pandangan kita berkali-kali bertemu dan
berkali-kali pula kita sama-sama menghindarinya. Dan setelah berhasil
menghindari tatapanmu yang kesekian kalinya, memejamkan mataku dan berusaha
menghiraukan perasaan itu berkali-kali. tapi aku merasakan sesuatu yang hangat
di telapak tanganku.
Kamu menggenggam tanganku.
Kenyamanan masih menjadikan alasan saya untuk berteman / bersahabat dengan orang lain hihihi
ReplyDelete