Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, October 11, 2015

Sebuah Kenyamanan





Aku bolak-balik mengecek handphoneku. Melihat angka menit yang selalu berubah. Dengan tidak sabar aku menelponmu. Menanyai keberadaanmu.
“Tunggu sebentar, ya,” aku bisa mendengar suara bariton yang berhasil terurai di sambungan telepon.
Aku bergumam, dan mengakhiri pembicaraan. Setelah hampir dua kali aku mengejek jam digital di dasboard handphoneku lagi kamu menemuiku.
“Kamu telat banget,” gerutuku.
“Enggak kok,” kamu tersenyum seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi.
“Kan kamu janjinya jam empat,” balasku.
“Kan ini masih jam empat,” suaramu menggoda.
Aku berusaha menahan senyum, dan membuat nada bicaraku seolah-olah menjadi jengkel. “Ini jam empat lewat lima puluh enam menit,”
“Jam empat lewat lima puluh sembilan menit juga masih termasuk jam empat kok,” kamu menatapku dengan wajah innocent.
Ada rasa kesal, jengkel, tapi lebih banyak bercampur aduk dan didominasi dengan mungkin semacam kangen.
“Udah berapa lama kita gak kayak gini ya?” tanyaku.
“Mungkin 50 tahun,” jawabmu cuek.
Kamu selalu mempunyai cara agar semua argumentasimu seolah-olah benar. Walaupun sebenarnya  tidak benar secara harfiah tapi benar secara rasio. Dan entah kenapa, itu hanya kutemukan denganmu.
 Akhirnya kita tertawa.
“Kamu gak berubah ya,”
Tanpa ba-bi-bu lagi kamu segera menyuruhku duduk dibelakang jok motormu. Dan melupakan perdebatan kecil tadi.
“Mau ke mana?” pertanyaan yang sama. Setelah berbulan-bulan kita tidak saling bertemu dan selalu bingung menentukan pilihan tempat yang akan kita kunjungi di akhir pekan.
“Aku jadi follower deh,” kataku. Aku sibuk mengamatimu dari belakang. Sibuk juga memerhatikan degub jantungku.
“McD?”
“Bosen tau,” sejak pertama kali kita kenal, kita bertemu di Mcd, main ke Mcd, melipir saat pulang kantor di Mcd, bahkan hampir setiap akhir pekan, kita habiskan untuk mengobrol panjang kali lebar di Mcd.
Tapi kamu selalu punya cara yang membuat obrolan kita selalu bisa kutanggapi dengan baik. Begitupun sebaliknya.
Bukan Mcd atau makanannya.  Tapi kamu. Yang selalu menjadi pusara perhatianku. Kamu yang selalu mengorbit dengan gayamu yang menyebalkan. Kamu yang berhasil mencuri senyumku. Dan aku suka.
“Lho katanya follower?”
“Iya deh,” aku menurut lagi.
Kita tiba di Mcd. Dan ternyata Mcdnya penuh dengan pesta ulang tahun anak-anak. Terpaksa kita keluar dari Mcd.
“Pim deh,” kataku merekomendasikan tempat lain setelah kami berhasil keluar dari pesta ulang tahun bocah kecil.
Kamu mengiyakan. Kita sampai di pim 1 lalu menjelajahi pim 2. Aku belum menemukan tempat yang nyaman, sekalipun makanan di food crout pim enak-enak. Keluar masuk gramedia, tidak tertarik membeli buku karena waiting list bacaan buku hadiah dari acara kepenulisan bulan lalu masih banyak.  Dan aku tidak tahu kapan aku akan menghabiskan waktuku dengan buku-buku itu.
Akhirnya kamu memutuskan untuk membeli dua gelas chattime, satu untukmu dan satu lagi untukku. Kita keluar dari pim. Aku meminta untuk pergi ke burger blenger di daerah blok-m dan memakannya di taman ayodya bersamaan dengan chattime yang tadi dibeli.
Sudah muter-muter pim, batal ke Mcd, dan akhirnya alternatif kedua setelah Mcd adalah burger blenger. Kamu yang mengajariku makan burger blenger di ayodya. Sebuah kebiasaan kita saat pulang bekerja. Menunggu hilir mudik karyawan kantor yang sibuk mengendarai mesin-mesin yang dijadikan budak untuk perjalanan pulang. Sementara sering kali, kita duduk berdua di sini dengan baju kerja yang sudah kucel, rambutmu yang sudah acak-acakanmenikmati lampu-lampu taman yang diwarnai deru mesin kendaraan, atau sesekali lonceng dari gereja di sebelah taman itu berbunyi. Pertanda jam sudah berganti. Dan sering kali suara kecrekan dan pengamen yang tidak merdu lewat satu-dua mengais rejeki. Dan selama itu aku duduk bersila di sebelahmu. Mendengar, menyimak sebuah cerita pengalaman yang bisa diambil hikmahnya. Atau sekedar meluapkan sesuatu. Entah itu apa. Aku ingin melupakan draft novelku yang hampir rampung itu.

Begitupun malam ini, aku duduk bersila di hadapanmu, di pinggir kolam, di sudut perempatan kota, dekat gereja. Hal yang sama kita lakukan. Bercerita dan berbagi kisah kita masing-masing. Aku sesekali tertawa melihat bibirmu yang kepenuhan mayonaise dari burger yang kita beli. Atau mendengar ocehan menyebalkanmu.
“Kemarin aku ketemu sama penulis kesukaanku itu, yang jadi icon jilbab traveler” kataku.
“Kamu mah jadi penulis kebanyakan baper,” kamu tersenyum. Sekaligus meledek.
“Akunya baper, kamunya gak peka,”
“Kenapa semua cowok harus peka?”
Aku tidak menjawab, karena aku juga gak tau  kenapa semua cewek baper? Yang jelas semua cewek selalu memakai perasaanya.
“Kamu bukan cowok yang selalu bisa bikin cewek bilngsatan,”
“Maksud kamu dengan gombal?”
Aku mengangguk.
“Emang kamu suka di gombalin?”
“Enggak,”
“Nah sama. Kata-kata gak menjamin benar adanya perasaan, tapi rasa nyaman gak bakal bikin kamu beranjak dari seseorang” katamu. Kamu menyeruput minumanmu lagi. Lalu melanjutkan, “buruan selesaiin novel kamu, jangan jadi penulis baper,”
“Iya penulis tuh harus baper, baper itu dari kepekaan. Dunia ini Cuma jadi masalalu tanpa penulis. Dan aku harus suka dan bener-bener jatuh cinta sama tokoh yang ditulisnya, biar seolah-olah tokoh atau itu benar adanya.”
“Kamu pernah menulis aku, berarti kamu pernah jatuh cinta sama aku?”
Aku ingat naskah pertamaku yang sedang dalam antrian terbit. Itu kamu.
“Ya, mau gak mau” ada sesuatu yang membuat nada bicaraku tercekat. “Itu biar pembacanya terbawa cerita dan suasana. Biar bagus juga sih ceritanya, feelnya dapet gitu lho..” aku tau kalimatku mulai berantakan. Aku seperti orang asing yang baru bisa membuat kalimat SPOK.
Kamu mengulum senyum.
“Jatuh cinta beneran juga gapapa,”
Pipiku seperti berubah warna, rasanya aku ingin memendamkan kepalaku di antara setumpukan bantal.
Saat ini, bukan lagi soal kata-kata cinta, bukan lagi soal kemewahan tempat atau restaurant atau semahal apa harga makanan. Bukan lagi soal dating yang harus memakai pakaian cantik untuk menarik perhatian. Tapi soal kenyamanan. Dengan siapa kita berbicara.
Dari sini, kita bisa menciptakan satu kebahagiaan yang sederhana. Bahagia yang tidak bisa ditukar dengan apapun.
Aku memberanikan diri menatapmu. Pandangan kita berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula kita sama-sama menghindarinya. Dan setelah berhasil menghindari tatapanmu yang kesekian kalinya, memejamkan mataku dan berusaha menghiraukan perasaan itu berkali-kali. tapi aku merasakan sesuatu yang hangat di telapak tanganku.
Kamu menggenggam tanganku.

1 comment:

  1. Kenyamanan masih menjadikan alasan saya untuk berteman / bersahabat dengan orang lain hihihi

    ReplyDelete