Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Monday, October 26, 2015

Diana, Kekasihku.




Diana menatapku dengan lapisan kekecewaan di matanya yang hampir berkaca-kaca. Perempuan manis yang senyumnya selalu memesona setiap kali ia menatapku itu kini terlihat muram.
Aku tau ini salahku.
Dan aku sungguh menyesalinya.
“Aku tidak ingin menemuimu lagi.” Itu kalimat paling pedih yang pernah Diana ucapkan untukku. pipi merahnya memucat, aku tidak tau sejak kapan. Aku tidak pernah melihat Diana lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Setelah aku memutuskan untuk menghilang dan pergi dari kehidupannya.
“Maafkan aku, Diana,” suara parauku memenuhi gendang telinga. Menjadi atmosfer pilu sejurus dengan Air mata gadis jawa-sunda itu. Bulir itu melewati garis hidungnya yang bangir, lalu turun mendekati bibir meronanya yang memucat. Kepedihan seperti membelenggunya. Aku ingin menyergahnya, memeluknya dalam-dalam menenangkahnya agar ia tidak lagi menangis. Tapi, sial, akulah laki-laki keparat yang membuatnya.
“Kenapa kamu datang lagi, Ardi?” aku mendengar nada rintih dalam kalimatnya. “Aku bukan perempuan yang seenaknya bisa kamu tinggalin, terus kamu datang lagi saat aku bersusah payah melupakan kamu,”
Sekali lagi ini salahku.
Aku meraih tangan Diana, memilin jemari-jemarinya yang kecil lalu menciumnya, menghirup kepedihan yang ia rasakan selama bertahun-tahun tanpa aku. Setelah janji-janji yang telah kita buat untuk melanjutkan hidup. Dan dalam sekejap aku menghancurkannya. Aku meninggalkannya begitu saja dengan ke frustasianku pada dunia.
Diana menarik tangannya dengan terpaksa. “Aku pikir kedekatan kita selama ini karna sebuah rasa yang sama. aku pikir semua yang sudah kita lewati bersama karena adanya keterikatan. Tapi cinta ini Cuma aku aja yang ngerasain. Kamu tidak.” Senyum Diana membuatku semakin pedih.
 “Terus untuk apa selama ini kita kenal? Dekat? Kalo ujung-ujungnya kamu memilih pergi, Ardi?” Diana menatapku dengan sejuta pertanyaan di matanya.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk meninggalkan gadis seperti Diana. Bukan karena ia cantik, namun kelembutan hatinya yang selalu kudapatkan setiap kali temu menghampiri kami. Aku selalu menemukan empati yang lebih besar dari pada logika dalam diri Diana. Selalu bersifat subjektif tentang rasa dan asa. Selalu ingin di bela dan di temani. Dan tidak ingin sendirian. Untuk itu, mungkin perempuan tercipta.
Namun saat itu, aku mendapati keputusasaan yang begitu dalam. Sebuah putus asa yang membuat hati wanita lain ikut putus asa juga.
“Lebih baik kita tidak pernah kenal sama sekali.” Itu ucapan kedua yang menyakitkan dari Diana. Aku membisu. Diana perlahan pergi meninggalkan aku dan semua rasa bersalahku yang terkutuk.
Tidak ada salam perpisahan atau pelukan, tidak ada juga kata-kata yang membuat gadis itu berbalik lalu memelukku. Tidak ada pula lelaki yang mengejarnya. Karena aku tau, aku bukan pahlawannya. Aku hanya bajingan yang melukai hatinya selama bertahun-tahun dalam penantian tanpa berujung pada sesuatu yang berkaitan dengan asa. Semuanya, Tidak ada. Cerita ini sudah selesai dengan isak tangis yang terdengar samar-samar dari pundak perempuan yang terguncang-guncang. Lalu hilang.
Berakhir sudah aku. Diana.
Diana, Kekasihku.
Aku tertawa keras-keras.
Entah kenapa beberapa perempuan berbaju putih dengan topi mirip trapesium itu hobbi mengikatku di tempat tidur. Padahal aku hanya ingin menemui kekasihku. Diana yang cantik jelita.

1 comment: