Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Wednesday, September 2, 2015

sepenggal kenangan di Kampus Fiksi 13





Ini perjalanan panjang pertama saya sendirian. Single trip, sebuah lokomotif dan beberapa gerbong dibelakangnya mengantarkan saya ke sebuah kota kenangan. Yogjakarta.
Sebelumnya, saya mengirim salah satu cerpen saya yang berjudul Dua Cangkir Expresso dan sebuah cerpen itu mengantarkan saya pada undangan acara kampus fiksi yaitu; tempat di mana para penulis belajar. Jadi Maciwa dengan fakultas Fiksi jurusan Menulis. Kenapa saya bilang maciwa, karena menurut alat pendeteksi umur milik doraemon, ya.. Begitulah. Hahaha. Tapi saya malah dibilang anak SMA sama salah satu maciwa yang duduk di sebelah saya -__-. Kalau kalian penulis, pasti tau banget dong, satu-satunya kampusnya bagi para penulis keren. Jadi mungkin saya tidak perlu menjelaskan lagi silakan kalian coba kepoin twitternya @kampusfiksi
Setibanya di stasiun Lempuyangan saya dijemput oleh perwakilan dari Diva press, saya tiba sekitar pukul 8 malam, dan langsung disambit  maksudnya disambut hangat oleh para panitia, mimin kampus fiksi, Mahasiswanya dari berbagai macam daerah yang juga mengikuti kampus fiksi. Saya tidak sama sekali merasa canggung. Kampus fiksi menemukan saya pada beberapa teman seperti Iken Vidya, juga Heruka yang sudah sekian tahun berteman di dunia maya kini bisa bertatap muka dan bercengkrama.
Esoknya, kampus Fiksi dibuka oleh antrean panjang dari para pesertatermasuk saya yang menunggu giliran mandi (mungkin juga jadi penyanyi kamar mandi) padahal masih jam 5 pagi. Antusias banget. Kelas pertama kami di isi oleh sambutan hangat dari pak Edi selaku rektor kampus fiksi.
Materi kedua kami sudah ditugaskan membuat outline cerpen, yang langsung dipraktikan dalam materi berikutnya selama tiga jam. Antusiasme para Maciwa berlomba-lomba membuat cerpen dalam waktu singkat memunculkan macam-macam expressi. Mulai dari ngantuk, tegang, juga wajah-wajah absurd mereka kalo lagi mikir. Saya sendiri bolak-balik kamar mandi, bolak balik minum atau memutar-mutar ujung pulpen demi mendapatkan rangkaian kata yang lebih tepat. Waktu habis dan cerpen-cerpen alakadarnya itu dikumpulkan.
Malamnya, cerpen kami dibahas oleh mentor-mentor yang sudah ditentukan. Di situ saya baru merasakan cerpen saya di coret-coret dengan tinta merah mirip mahasiswa tingkat akhir yang  bertemu dengan dosen pembimbing. Segalamacam typo tulisan terdeteksi dengan mudahnya oleh mentor, kesalahan penulisan dan yang peling penting sebuah penulisan cerpen atau cerita apapun itu harus mempunyai pesan moral yang membuat pembaca belajar akan sesuatu. Kalo bahasa anak SD-nya dalam kerangka karangan itu amanat.

Di hari kedua lebih keren lagi, kami disuguhkan materi keredaksian yaitu bagaimana proses penyeleksian naskah dari mulai naskah masuk sampai cetak. Saya baru tahu, redaksi adalah otak dari sebuah penerbit yang memilah naskah yang akan masuk dalam antrean terbit, editing, sampai revisi-revisi pada penulis.
Materi penyambungnya adalah marketing dari sebuah buku yang terbit, materi kali ini disampaikan oleh marketing buku namanya Mas Aconk, beliau menceritakan bagaimana buku yang kita tulis bisa sampai ada di rak buku Gramedia. Tempat dan posisi buku yang ditempati itu ada targetnya tersendiri, juga bagaimana buku bisa masuk dalam kateggori bestseller atau rekomended. Dan yang paling sedih ketika buku tidak mencapai target penjualan akan di retur setengah dengan buku baru. Saya tidak membayangkan bagaimana naskah yang sudah kita tulis susah payah, berhari-hari mikirin ide naskah sampe kena insomnia ujung-ujungnya ngabisin sekardus indomie di dapur *eh. Ngadepin editor, revisi lagi-revisi lagi, sampe kita jumpalitan kesenengan kalo naskah itu layak terbit jadi buku, setelah cetak dan dikirim ke toko buku, naskah itu harus diretur setengah karena tidak mencapai target penjualan. Ini yang saya pikirkan selama Mas Aconk menyampaikan materi. Sebab marketing adalah ujung tombak dari segala macam jenis perindustrian termasuk soal penjualan buku yang kita tulis nantinya. Untungnya, dari Mas Acong sendiri memberi konsekuensi. Bahwa menulis yang dicari pembaca adalah menulis yang sesuai dengan keinginan pembaca, menulis yang kita bisa, menulis yang sesuai dengan idealisme pembaca yang tentunya membuat para pembaca ingin membeli buku kita.
Sedangkan menurut Pak Edi di pesan terakhirnya dalam acara kampus Fiksi angkatan 13 ini, menulis yang berkualitas. Maka, penulis wajib sepenuhnya memahami bahwa ia haruslah seseorang yang berjiwa pembelajar, nan cerdas. Bukan pengkhayal kosong belaka.
Juga menurut Mas Saifullanalumni Kampis Fiksi angkatan pertama, seseorang yang lahir harus mempunyai thinking skill hingga untuk menulis ia hanya cukup mengembangkan writing skills-nya karena pada pondasinya ia menggabungkan proposi yang sesuai antara thingking skills dan writing skills untuk menghasilkan karya yang mendobrak pembaca dari seorang pemikir.
Saya belajar banyak hal baru, yang kemudian menjadi prinsip baru yang saya pegang dalam hidup saya, juga dalam menulis, bahwa carilah perspektif-perspektif dengan berpikir lebih hingga menghasilkan karya yang dierima dan bisa mempengaruhi pembaca. Menulis tanpa berpikir hanya sebagai packaging.
Rasanya waktu putar seperti sebuah sircuit. Begitu cepat. Perkenalan sesaat kami berujung pada perpisahan. Jika kepergian tidak selalu diinginkan, maka kepulangan selalu menjadi penantian. Hingga hari terakhir, setelah memeluk erat Nyak Iken, Mita, dan khusnul,  dalam perjalanan menuju stasiun Lempuyangan. Kami mengatasi perpisahan ini dengan sebuah rasa percaya, kalau waktu akan membuat schedule temu lagi.
 Mas Kiki juga berpesan, sebelum mempelajari bahasa asing, pelajarilah bahasa yang paling dekat dulu. Yaitu bahasa yang ada di sekitar kita, ragam jenis bahasa yang ada di Indonesia, betawi, sunda, jawa, madura, sebab keseharian kita bertemu dengan orang-orang dari berbagai macam daerah. Bukan langsung ketemu dengan orang jerman atau cina.
Saya tersenyum tapi senyum itu sesaat berubah jadi jengkel karena ada pawai atau orang joget-joget di jalan hingga saya ketinggalan kreta. Saya yang cengeng langsung cemas hingga menangis karena krtinggalan kreta sementara besok saya harus bekerja.  Mas Kiki Heruka dan Reza Nufa memastikan saya pulang sore ini. Mereka mencarikan saya tiket pengganti hingga akhirnya saya bisa pulang.
Di Kampus Fiksi saya mendapatkan sesuatu yang tidak bisa ditebus dengan apapun, saya mendapatkan teman-teman dengan berbagaimacam karakter, petuah, pelajaran, euforia dari panitia dan pembawa acara, hingga pengalaman pertama ketinggalan kreta. Tapi penuh kenangan di Kota yang selalu saya kenang juga.
Pesan saya, besok-besok kalo ngadain pawai joget-joget itu jangan di jalan. Jadi gak bikin orang ketinggalan kreta. Sekali lagi terimakasih KF 13, DIVA PRESS, juga Mas Kiki, Reza NuFa, Heruka.  Dan sebuah senyum di kota penuh kenangan.

   

  21.45 Nona Vieority

Jakarta, 2 september 2015.

No comments:

Post a Comment