Ini perjalanan
panjang pertama saya sendirian. Single trip, sebuah lokomotif dan
beberapa gerbong dibelakangnya mengantarkan saya ke sebuah kota kenangan.
Yogjakarta.
Sebelumnya, saya
mengirim salah satu cerpen saya yang berjudul Dua Cangkir Expresso dan
sebuah cerpen itu mengantarkan saya pada undangan acara kampus fiksi yaitu;
tempat di mana para penulis belajar. Jadi Maciwa dengan fakultas Fiksi jurusan
Menulis. Kenapa saya bilang maciwa, karena menurut alat pendeteksi umur milik
doraemon, ya.. Begitulah. Hahaha. Tapi saya malah dibilang anak SMA sama salah
satu maciwa yang duduk di sebelah saya -__-. Kalau kalian penulis, pasti tau
banget dong, satu-satunya kampusnya bagi para penulis keren. Jadi mungkin
saya tidak perlu menjelaskan lagi silakan kalian coba kepoin twitternya @kampusfiksi
Setibanya di
stasiun Lempuyangan saya dijemput oleh perwakilan dari Diva press, saya tiba
sekitar pukul 8 malam, dan langsung disambit maksudnya disambut hangat oleh para panitia,
mimin kampus fiksi, Mahasiswanya dari berbagai macam daerah yang juga mengikuti
kampus fiksi. Saya tidak sama sekali merasa canggung. Kampus fiksi menemukan
saya pada beberapa teman seperti Iken Vidya, juga Heruka yang sudah sekian tahun berteman di
dunia maya kini bisa bertatap muka dan bercengkrama.
Esoknya, kampus
Fiksi dibuka oleh antrean panjang dari para peserta—termasuk saya yang menunggu giliran mandi (mungkin juga jadi
penyanyi kamar mandi) padahal masih jam 5 pagi. Antusias banget. Kelas pertama
kami di isi oleh sambutan hangat dari pak Edi selaku rektor kampus fiksi.
Materi kedua kami
sudah ditugaskan membuat outline cerpen, yang langsung dipraktikan dalam materi
berikutnya selama tiga jam. Antusiasme para Maciwa berlomba-lomba membuat cerpen
dalam waktu singkat memunculkan macam-macam expressi. Mulai dari ngantuk,
tegang, juga wajah-wajah absurd mereka kalo lagi mikir. Saya sendiri
bolak-balik kamar mandi, bolak balik minum atau memutar-mutar ujung pulpen demi
mendapatkan rangkaian kata yang lebih tepat. Waktu habis dan cerpen-cerpen
alakadarnya itu dikumpulkan.
Malamnya, cerpen
kami dibahas oleh mentor-mentor yang sudah ditentukan. Di situ saya baru
merasakan cerpen saya di coret-coret dengan tinta merah mirip mahasiswa tingkat
akhir yang bertemu dengan dosen
pembimbing. Segalamacam typo tulisan terdeteksi dengan mudahnya oleh mentor,
kesalahan penulisan dan yang peling penting sebuah penulisan cerpen atau cerita
apapun itu harus mempunyai pesan moral yang membuat pembaca belajar akan
sesuatu. Kalo bahasa anak SD-nya dalam kerangka karangan itu amanat.
Di hari kedua
lebih keren lagi, kami disuguhkan materi keredaksian yaitu bagaimana proses
penyeleksian naskah dari mulai naskah masuk sampai cetak. Saya baru tahu,
redaksi adalah otak dari sebuah penerbit yang memilah naskah yang akan masuk
dalam antrean terbit, editing, sampai revisi-revisi pada penulis.
Materi
penyambungnya adalah marketing dari sebuah buku yang terbit, materi kali ini
disampaikan oleh marketing buku namanya Mas Aconk, beliau menceritakan
bagaimana buku yang kita tulis bisa sampai ada di rak buku Gramedia. Tempat dan
posisi buku yang ditempati itu ada targetnya tersendiri, juga bagaimana buku
bisa masuk dalam kateggori bestseller atau rekomended. Dan yang paling sedih
ketika buku tidak mencapai target penjualan akan di retur setengah dengan buku
baru. Saya tidak membayangkan bagaimana naskah yang sudah kita tulis susah
payah, berhari-hari mikirin ide naskah sampe kena insomnia ujung-ujungnya
ngabisin sekardus indomie di dapur *eh. Ngadepin editor, revisi lagi-revisi
lagi, sampe kita jumpalitan kesenengan kalo naskah itu layak terbit jadi buku,
setelah cetak dan dikirim ke toko buku, naskah itu harus diretur setengah
karena tidak mencapai target penjualan. Ini yang saya pikirkan selama Mas Aconk
menyampaikan materi. Sebab marketing adalah ujung tombak dari segala macam
jenis perindustrian termasuk soal penjualan buku yang kita tulis nantinya.
Untungnya, dari Mas Acong sendiri memberi konsekuensi. Bahwa menulis yang
dicari pembaca adalah menulis yang sesuai dengan keinginan pembaca, menulis
yang kita bisa, menulis yang sesuai dengan idealisme pembaca yang tentunya
membuat para pembaca ingin membeli buku kita.
Sedangkan menurut
Pak Edi di pesan terakhirnya dalam acara kampus Fiksi angkatan 13 ini, menulis
yang berkualitas. Maka, penulis wajib sepenuhnya memahami bahwa ia haruslah
seseorang yang berjiwa pembelajar, nan cerdas. Bukan pengkhayal kosong belaka.
Juga menurut Mas
Saifullan—alumni Kampis Fiksi angkatan
pertama, seseorang yang lahir harus mempunyai thinking skill hingga untuk menulis ia hanya cukup mengembangkan writing skills-nya karena pada
pondasinya ia menggabungkan proposi yang sesuai antara thingking skills dan writing
skills untuk menghasilkan karya yang mendobrak pembaca dari seorang
pemikir.
Saya belajar
banyak hal baru, yang kemudian menjadi prinsip baru yang saya pegang dalam
hidup saya, juga dalam menulis, bahwa carilah perspektif-perspektif dengan
berpikir lebih hingga menghasilkan karya yang dierima dan bisa mempengaruhi
pembaca. Menulis tanpa berpikir hanya sebagai packaging.
Rasanya
waktu putar seperti sebuah sircuit. Begitu cepat. Perkenalan sesaat kami
berujung pada perpisahan. Jika kepergian tidak selalu diinginkan, maka
kepulangan selalu menjadi penantian. Hingga hari terakhir, setelah memeluk erat Nyak
Iken, Mita, dan khusnul, dalam perjalanan
menuju stasiun Lempuyangan. Kami mengatasi perpisahan ini dengan
sebuah rasa percaya, kalau waktu akan membuat schedule temu lagi.
Mas Kiki juga berpesan, sebelum mempelajari bahasa
asing, pelajarilah bahasa yang paling dekat dulu. Yaitu bahasa yang ada di
sekitar kita, ragam jenis bahasa yang ada di Indonesia, betawi, sunda, jawa,
madura, sebab keseharian kita bertemu dengan orang-orang dari berbagai macam
daerah. Bukan langsung ketemu dengan orang jerman atau cina.
Saya tersenyum
tapi senyum itu sesaat berubah jadi jengkel karena ada pawai atau orang
joget-joget di jalan hingga saya ketinggalan kreta. Saya yang cengeng langsung
cemas hingga menangis karena krtinggalan kreta sementara besok saya harus
bekerja. Mas Kiki Heruka dan Reza Nufa
memastikan saya pulang sore ini. Mereka mencarikan saya tiket pengganti hingga
akhirnya saya bisa pulang.
Di Kampus Fiksi
saya mendapatkan sesuatu yang tidak bisa ditebus dengan apapun, saya mendapatkan
teman-teman dengan berbagaimacam karakter, petuah, pelajaran, euforia dari
panitia dan pembawa acara, hingga pengalaman pertama ketinggalan kreta. Tapi
penuh kenangan di Kota yang selalu saya kenang juga.
Pesan saya,
besok-besok kalo ngadain pawai joget-joget itu jangan di jalan. Jadi gak bikin
orang ketinggalan kreta. Sekali lagi terimakasih KF 13, DIVA PRESS, juga Mas
Kiki, Reza NuFa, Heruka. Dan sebuah senyum di kota penuh
kenangan.
21.45 Nona Vieority
Jakarta, 2 september 2015.
No comments:
Post a Comment