Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Sunday, September 13, 2015

Kunang-Kenang.




Jika kesedirian ini adalah seorang teman, maka biarkan aku tenang dan mengenangnya..

Aku baru saja memenyelesaikan bab 7 yang kutulis, masih bergelut dengan pra-antiklimaks dalam percakapan dua tokoh, aku juga masih kepusingan dengan rekonsiliasi faktur yang diberikan oleh dosen pajak.
Tiba-tiba saja, kamu menghubungiku. Mengajakku makan malam. Tentunya di traktir. Entah dalam perayaan apa. Aku mengiyakan.
Aku menemuimu dalam balutan jeans gelap juga polo T-shirt yang senada dengan jeansnya. kamu nampak begitu rupawan dengan rambut di gel hati-hati. Kamu menyambutku dengan senyum sumringah khas. Senyum yang sangat kukenal. Senyum yang begitu piawai menenangkan, menawar sekantung kesedihan.
kamu seorang karib.
Aku terdiam di jok belakang, menyemai beberapa paradigma yang berputar-putar di kepala bertanya-tanya tentangmu. Ini bukan kali pertama bertemu denganmu. Bahkan di pertemuan perdana kita dalam perjalanan ke Bandung, aku sudah menemukan sosok teman di dalam dirimu. Menemukan sebuah kenyamanan untuk berbagi.
Aku menyukai aroma parfum-mu yang tidak kuketahui jenis dan mereknya.
“Mau makan apa kita?” Kamu membuka awal pembicaraan.
Aku tersenyum di belakang punggungmu, seraya menjawab, “Bebas,”
Aku tidak punya rekomendasi pilihan makanan yang tepat di daerah sini. “Maunya dimana?”
“Kan elo yang punya wilayah,” kataku.
Beberapa kafe hampir tutup karena kehabisan menu-menu andalannya. Kami berbalik badan belum berhasil memasang wajah dalam kecewa.
“Gimana kalo sate kambing?”
“Sate kambing?” ulangnya.
“Iya. Lo nggak darah tinggi kan?”
Kita sepakat.
Aku kini duduk di hadapanmu. Dibatasi meja dan kursi-kursi yang mulai mencemburuiku karena menjadi teman dudukmu. Kamu memesan sepuluh tusuk sate kambing yang akan kita santap bersama, dengan dua piring nasi dan es teh manis kesukaanmu. Iya, kan?
Aku memberikan setengah porsi nasiku padamu, dan kamu menerimanya dengan semangat. Satu poin plus untuk seseorang yang bisa dikatakan karib, yaitu ketika bisa berbagi bahkan hanya dengan setengah piring nasi. Bahagia itu sederhana.
Kita bercerita mulai dari seluk beluk bumi sampai lintas galaxi. Sesekali kamu tertawa memamerkan sederet gigimu yang berantakan dan beberapa sendok, garpu dan tusuk sate siap menyerangku karna kamu begitu manis.
Sementara aku, terlalu sibuk duduk dihadapanmu, sibuk mengolah kata, memilih kalimat-kalimat yang akan kuucapkan agar terdengar membuatmu nyaman. Itu saja, tidak lebih.
Aku memberanikan diri untuk menatapmu, “Menurut lo, salah gak sih kalo kita jengah dengan sesuatu?” aku berusaha membenarkan kalimatku yang berantakan. “Emmgue menghindari sesuatuyang mungkin menurut gue harus gue tinggalin,”
Sebelum ia berhasil menjawab, aku menambahkan lagi. “Gue suka tiba-tiba ngilang, bukan semata-mata gue menghindari semuanya, tapi menenangkan diri. Dan kadang gue sering kali ngerasa sendirian,”
Kamu tersenyum. Dan aku tidak berhasil membaca makna di balik senyummu.
“Gue juga sering gitu. Tapi dalam sendiri itu, kita ngerasa damai. Dan disaat itu gue punya temen,” kalimatnya menggantung.
Alisku bertaut, ia selalu berhasil memancing keingintahuanku. Aku menunggu kalimat selanjutnya.
“Temen berpikir adalah sepi, kita bisa menciptakan seseuatu kalau kita lagi sendiri.” Kali ini, aku bisa dengan baik mencerna kata-katanya.
Aku tersenyum. Dan mengangguk satu-dua kali. Lalu menghabiskan nasi yang diaduk sambal kecap dipiringku. Kita kekenyangan.
Aku selalu memaknai hal-hal kecil yang sederhana, yang bisa kulakukan untuk sebuah kebahagiaan baru, sebuah senyum yang menular. Juga membentuk sebuah hati yang ikhlas.
Pertemanan yang dimulai dengan rasa nyaman, lalu kemengertian dan pengertian untuk menjaga satu-sama lain.
Kita keasyikan ngobrol sampai warung satenya tutup. Setelah itu, sebelum kamu mengakhiri pertemuan ini dengan sift malammu, kamu mengajakku jalan-jalan. Sebuah hal yang amat kusukai apalagi jika dilakukan dengan teman yang membuatku nyaman.

"Gue suka jalan-jalan, terus berhenti di atas jembatan liat banyak lampu jalanan, itu keren," kataku saat kita sedang berkeliling jalanan, sesuai permintaanku.
"Iya, lampunya rame ya,"
Aku mengangguk.
"Kayak kunang-kunang," lanjutmu.
"Gue pernah liat kunang kunang, waktu gue di jawa, udah lama banget," aku mengenang sesuatu.
"Gue juga, dulu kunang-kunang gue simpen dalem botol. kalo tubuhnya di pencet itu keras,"
Aku keheranan. Lalu tertawa, kamu memencet kunang-kunang.
"Iya kunang-kunang bagus ya, coba kalo ada."
"Dia hidup, dalam gelap. Dan, selalu bercahaya sendiri. Kadang, kita gak perlu jadi Bintang, cukup jadi hal yang sederhana yang bikin kita menikmati bahagia kita. seperti kunang yang tenang,"
Aku tersenyum, kamu bahkan tidak melihat senyumku.
Kunang-kunang yang tenang dan terkenang.


Banyak kebaikanmu yang belum bisa kubalas dengan sempurna. Banyak pula pertanyaan yang selalu ada dalam benakku mengapa kamu begitu baik, dan lebih banyak lagi maaf untuk kesalahan yang selalu berulang-ulang.
Oh iya, terimakasih ya untuk sate kambingnya, dan untuk menjadi teman penyembuh sepi malam ini.

No comments:

Post a Comment