Jika kesedirian ini adalah seorang
teman, maka biarkan aku tenang dan mengenangnya..
Aku baru saja memenyelesaikan bab 7
yang kutulis, masih bergelut dengan pra-antiklimaks dalam percakapan dua tokoh,
aku juga masih kepusingan dengan rekonsiliasi faktur yang diberikan oleh dosen
pajak.
Tiba-tiba saja, kamu menghubungiku. Mengajakku
makan malam. Tentunya di traktir. Entah dalam perayaan apa. Aku mengiyakan.
Aku menemuimu dalam balutan jeans gelap
juga polo T-shirt yang senada dengan jeansnya. kamu nampak begitu rupawan
dengan rambut di gel hati-hati. Kamu menyambutku dengan senyum sumringah khas. Senyum
yang sangat kukenal. Senyum yang begitu piawai menenangkan, menawar sekantung
kesedihan.
kamu seorang karib.
Aku terdiam di jok belakang, menyemai
beberapa paradigma yang berputar-putar di kepala bertanya-tanya tentangmu. Ini bukan
kali pertama bertemu denganmu. Bahkan di pertemuan perdana kita dalam
perjalanan ke Bandung, aku sudah menemukan sosok teman di dalam dirimu. Menemukan
sebuah kenyamanan untuk berbagi.
Aku menyukai aroma parfum-mu yang tidak kuketahui jenis dan
mereknya.
“Mau makan apa kita?” Kamu membuka
awal pembicaraan.
Aku tersenyum di belakang punggungmu,
seraya menjawab, “Bebas,”
Aku tidak punya rekomendasi pilihan
makanan yang tepat di daerah sini. “Maunya dimana?”
“Kan elo yang punya wilayah,” kataku.
Beberapa kafe hampir tutup karena
kehabisan menu-menu andalannya. Kami berbalik badan belum berhasil memasang
wajah dalam kecewa.
“Gimana kalo sate kambing?”
“Sate kambing?” ulangnya.
“Iya. Lo nggak darah tinggi kan?”
Kita sepakat.
Aku kini duduk di hadapanmu. Dibatasi
meja dan kursi-kursi yang mulai mencemburuiku karena menjadi teman dudukmu. Kamu
memesan sepuluh tusuk sate kambing yang akan kita santap bersama, dengan dua
piring nasi dan es teh manis kesukaanmu. Iya, kan?
Aku memberikan setengah porsi nasiku
padamu, dan kamu menerimanya dengan semangat. Satu poin plus untuk seseorang
yang bisa dikatakan karib, yaitu ketika bisa berbagi bahkan hanya dengan
setengah piring nasi. Bahagia itu sederhana.
Kita bercerita mulai dari seluk beluk
bumi sampai lintas galaxi. Sesekali kamu tertawa memamerkan sederet gigimu yang
berantakan dan beberapa sendok, garpu dan tusuk sate siap menyerangku karna
kamu begitu manis.
Sementara aku, terlalu sibuk duduk
dihadapanmu, sibuk mengolah kata, memilih kalimat-kalimat yang akan kuucapkan
agar terdengar membuatmu nyaman. Itu saja, tidak lebih.
Aku memberanikan diri untuk menatapmu,
“Menurut lo, salah gak sih kalo kita jengah dengan sesuatu?” aku berusaha
membenarkan kalimatku yang berantakan. “Emm—gue menghindari sesuatu—yang mungkin menurut gue harus gue tinggalin,”
Sebelum ia berhasil menjawab, aku
menambahkan lagi. “Gue suka tiba-tiba ngilang, bukan semata-mata gue menghindari
semuanya, tapi menenangkan diri. Dan kadang gue sering kali ngerasa sendirian,”
Kamu tersenyum. Dan aku tidak
berhasil membaca makna di balik senyummu.
“Gue juga sering gitu. Tapi dalam
sendiri itu, kita ngerasa damai. Dan disaat itu gue punya temen,” kalimatnya menggantung.
Alisku bertaut, ia selalu berhasil
memancing keingintahuanku. Aku menunggu kalimat selanjutnya.
“Temen berpikir adalah sepi, kita
bisa menciptakan seseuatu kalau kita lagi sendiri.” Kali ini, aku bisa dengan
baik mencerna kata-katanya.
Aku tersenyum. Dan mengangguk
satu-dua kali. Lalu menghabiskan nasi yang diaduk sambal kecap dipiringku. Kita
kekenyangan.
Aku selalu memaknai hal-hal kecil
yang sederhana, yang bisa kulakukan untuk sebuah kebahagiaan baru, sebuah
senyum yang menular. Juga membentuk sebuah hati yang ikhlas.
Pertemanan yang dimulai dengan rasa
nyaman, lalu kemengertian dan pengertian untuk menjaga satu-sama lain.
Kita keasyikan ngobrol sampai warung
satenya tutup. Setelah itu, sebelum kamu mengakhiri pertemuan ini dengan sift
malammu, kamu mengajakku jalan-jalan. Sebuah hal yang amat kusukai apalagi jika
dilakukan dengan teman yang membuatku nyaman.
"Gue
suka jalan-jalan, terus berhenti di atas jembatan liat banyak lampu
jalanan, itu keren," kataku saat kita sedang berkeliling jalanan, sesuai
permintaanku.
"Iya, lampunya rame ya,"
Aku mengangguk.
"Kayak kunang-kunang," lanjutmu.
"Gue pernah liat kunang kunang, waktu gue di jawa, udah lama banget," aku mengenang sesuatu.
"Gue juga, dulu kunang-kunang gue simpen dalem botol. kalo tubuhnya di pencet itu keras,"
Aku keheranan. Lalu tertawa, kamu memencet kunang-kunang.
"Iya kunang-kunang bagus ya, coba kalo ada."
"Dia
hidup, dalam gelap. Dan, selalu bercahaya sendiri. Kadang, kita gak
perlu jadi Bintang, cukup jadi hal yang sederhana yang bikin kita
menikmati bahagia kita. seperti kunang yang tenang,"
Aku tersenyum, kamu bahkan tidak melihat senyumku.
Kunang-kunang yang tenang dan terkenang.
Banyak kebaikanmu yang belum bisa
kubalas dengan sempurna. Banyak pula pertanyaan yang selalu ada dalam benakku
mengapa kamu begitu baik, dan lebih banyak lagi maaf untuk kesalahan yang selalu
berulang-ulang.
Oh iya, terimakasih ya untuk sate
kambingnya, dan untuk menjadi teman penyembuh sepi malam ini.
No comments:
Post a Comment