Dua cangkir expresso
Harus
bagaimana lagi? Ketika aku sudah tidak mampu menahan bendungan yang bersemayan
di bawah pelupuk mataku—keluar dari dasar kalbu—mengeruyak rindu yang sedari
tadi menggebu, mengingat kepergianmu.
Aku
duduk di kursi paling pojok, menatap kaca bernuansa vitange yang di guyur hujan. Aku memejam sejenak, membiarkan
kekosongan ini menggerogoti asa yang bertengkar dengan frasa imajinasi
senyummu.
“Aku
pasti kembali,” ucapmu sambil menatapku tanpa jeda dengan kesungguhan yang
dibinarkan oleh bolamata cokelatmu.
“Di,
kalo kita bisa bersama, buat apa sih kita buang-buang waktu dengan perpisahan
seperti ini?” di wajahku, sudah tidak tergambar emosi apapun kecuali, sendu
sempurna.
“Ini
hanya sebentar, sayang. Percayalah,” jemari Dio berhasil mengisi tiap ruas
jariku.
Aku
menatap setiap jengkal wajahnya melalui sela-sela kepulan asap dua cangkir
expresso, favorit kita.
“Gak
ada satupun orang yang menginginkan perpisahan, jarak gak bisa ngasih kepastian
hubungan kita,” aku mulai frustasi ketika tidak menemukan apapun di matanya.
“Adela,
tolong mengerti aku. Ini cuma empat tahun, setelah menyelesaikan beasiswa itu,
aku pasti kembali.” Nadanya terdengar penuh kesabaran. Dio lebih hati-hati lagi
ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Tapi
waktu bisa merubah rasa, setelah nantinya kamu kembali, aku gak yakin semua
akan sama seperti sekarang,” aku berkelit, menyadari kehampaan mulai
menyerbuku. Bolamataku panas, dihantam kenyataan.
“Selama
kita saling percaya, jarak bukan apa-apa, kemanapun aku pergi, nantinya tetep
akan kembali ke kamu.” Katanya, lalu ia menyesap kopinya.
Aku
mengerjap-ngerjap beberapa kali agar air mataku tidak tumpah.
“Adela
sayang, tolong jangan buat aku semakin berat untuk ninggalin kamu,” lirihnya.
Senyumnya mengkhawatirkanku.
Aku
terpaku, membisu, dan tidak tau aoa yang harus kuteriakkan. Kecuali, jangan
pergi.
Dio
melirik jam tangannya. Matahari mulai tergelincir menarik rona senja yang
bergelayut di sepanjang cakrawala. “Aku boarding
satu jam lagi,” Dio bangkit dari kursinya menggeser tubuhnya ke arahku,
kemudian mencium pipiku.
Kumohon..
jangan pergi..
“Jaga
dirimu baik-baik,” Dio meletakan kedua tangannya di antara bahuku,
menegarkanku.
Kemudian
yang aku lihat, punggungmu mulai menjauhiku, meninggalkanku pada kekosongan.
Ketika
kamu pergi, yang pertama kali tidak rela adalah air mata.
***
Sudah
92.275.200 detik, aku menunggumu. Ingatan itu seperti puzzle—semakin lama—semakin dengan baik, aku mengingatmu. Aku yang
selalu memunguti sisa-sisa rindu yang setiap pagi mulai berserakan.
Berulang
kali, aku memploklamirkan lelahku, dengan janji yang di iklarkan air mata,
untuk tidak menangisimu. Aku jengah dengan perasaan rindu yang itu-itu saja,
tanpa tau bagaimana aku harus membaginya.
Aku
kembali menyesap cangkir expressoku yang mulai dingin. Seperti biasa, aku duduk
di sudut café, memesan dua cangkir expresso dan berharap, kalau Dio akan datang
dan menyesap cangkirnya.
Angin
malam membuat mata sembabku sayup-sayup. Entah, sudah berapa lama aku di sini,
tapi yang jelas, beberapa cangkir yang menempel pada rak-rak tua, sudah
menyuruhku untuk pergi dari tempat ini.
Banyak
sekali kenangan yang tidak mungkin kulupakan begitu saja, tentang kita, tentang
rasa, asa dan mimpi-mimpi kita.
“Dio,
cepatlah kembali, aku tidak tau bagaimana caranya mengatasi rindu ini sendiri,”
kataku dalam hati.
Aku
mengeluarkan puluhan struk pembayaran kopi sebelumnya, meletakannya di atas
meja, kemudian menuliskan sesuatu..
“Nona,
café ini segera tutup,” ujar seorang pelayan tanpa kusadari sudah berdiri di sampingku.
Aku
mengangguk, kemudian berdiri dan membayar bil.
Sekali
lagi aku meninggalkan segelas cangkir yang masih utuh di sudut café itu.
Dio
tidak akan pernah datang. Aku bergegas pergi dari tempat itu. Lampu jalan
menutupi sebagian wajah senduku. Aku melangkah gontai sepanjang trotoar.
Butiran air mata keluar, merangkum kata cinta, mewakili rasa.
***
22.10 aku masih
menunggumu
Adela fraya.
|
di muat dalam proyek antologi menunggu.
No comments:
Post a Comment