Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, January 4, 2014

dua cangkir expresso





Dua cangkir expresso
Harus bagaimana lagi? Ketika aku sudah tidak mampu menahan bendungan yang bersemayan di bawah pelupuk mataku—keluar dari dasar kalbu—mengeruyak rindu yang sedari tadi menggebu, mengingat kepergianmu.
Aku duduk di kursi paling pojok, menatap kaca bernuansa vitange yang di guyur hujan. Aku memejam sejenak, membiarkan kekosongan ini menggerogoti asa yang bertengkar dengan frasa imajinasi senyummu.
“Aku pasti kembali,” ucapmu sambil menatapku tanpa jeda dengan kesungguhan yang dibinarkan oleh bolamata cokelatmu.
“Di, kalo kita bisa bersama, buat apa sih kita buang-buang waktu dengan perpisahan seperti ini?” di wajahku, sudah tidak tergambar emosi apapun kecuali, sendu sempurna.
“Ini hanya sebentar, sayang. Percayalah,” jemari Dio berhasil mengisi tiap ruas jariku.
Aku menatap setiap jengkal wajahnya melalui sela-sela kepulan asap dua cangkir expresso, favorit kita.
“Gak ada satupun orang yang menginginkan perpisahan, jarak gak bisa ngasih kepastian hubungan kita,” aku mulai frustasi ketika tidak menemukan apapun di matanya.
“Adela, tolong mengerti aku. Ini cuma empat tahun, setelah menyelesaikan beasiswa itu, aku pasti kembali.” Nadanya terdengar penuh kesabaran. Dio lebih hati-hati lagi ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Tapi waktu bisa merubah rasa, setelah nantinya kamu kembali, aku gak yakin semua akan sama seperti sekarang,” aku berkelit, menyadari kehampaan mulai menyerbuku. Bolamataku panas, dihantam kenyataan.
“Selama kita saling percaya, jarak bukan apa-apa, kemanapun aku pergi, nantinya tetep akan kembali ke kamu.” Katanya, lalu ia menyesap kopinya.
Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali agar air mataku tidak tumpah.
“Adela sayang, tolong jangan buat aku semakin berat untuk ninggalin kamu,” lirihnya. Senyumnya mengkhawatirkanku.
Aku terpaku, membisu, dan tidak tau aoa yang harus kuteriakkan. Kecuali, jangan pergi.
Dio melirik jam tangannya. Matahari mulai tergelincir menarik rona senja yang bergelayut di sepanjang cakrawala. “Aku boarding satu jam lagi,” Dio bangkit dari kursinya menggeser tubuhnya ke arahku, kemudian mencium pipiku.
Kumohon.. jangan pergi..
“Jaga dirimu baik-baik,” Dio meletakan kedua tangannya di antara bahuku, menegarkanku.
Kemudian yang aku lihat, punggungmu mulai menjauhiku, meninggalkanku pada kekosongan.
Ketika kamu pergi, yang pertama kali tidak rela adalah air mata.
***
Sudah 92.275.200 detik, aku menunggumu. Ingatan itu seperti puzzle—semakin lama—semakin dengan baik, aku mengingatmu. Aku yang selalu memunguti sisa-sisa rindu yang setiap pagi mulai berserakan.
Berulang kali, aku memploklamirkan lelahku, dengan janji yang di iklarkan air mata, untuk tidak menangisimu. Aku jengah dengan perasaan rindu yang itu-itu saja, tanpa tau bagaimana aku harus membaginya.
Aku kembali menyesap cangkir expressoku yang mulai dingin. Seperti biasa, aku duduk di sudut café, memesan dua cangkir expresso dan berharap, kalau Dio akan datang dan menyesap cangkirnya.
Angin malam membuat mata sembabku sayup-sayup. Entah, sudah berapa lama aku di sini, tapi yang jelas, beberapa cangkir yang menempel pada rak-rak tua, sudah menyuruhku untuk pergi dari tempat ini.
Banyak sekali kenangan yang tidak mungkin kulupakan begitu saja, tentang kita, tentang rasa, asa dan mimpi-mimpi kita.
“Dio, cepatlah kembali, aku tidak tau bagaimana caranya mengatasi rindu ini sendiri,” kataku dalam hati.
Aku mengeluarkan puluhan struk pembayaran kopi sebelumnya, meletakannya di atas meja, kemudian menuliskan sesuatu..
“Nona, café ini segera tutup,” ujar seorang pelayan tanpa kusadari sudah berdiri di sampingku.
Aku mengangguk, kemudian berdiri dan membayar bil.
Sekali lagi aku meninggalkan segelas cangkir yang masih utuh di sudut café itu.
Dio tidak akan pernah datang. Aku bergegas pergi dari tempat itu. Lampu jalan menutupi sebagian wajah senduku. Aku melangkah gontai sepanjang trotoar. Butiran air mata keluar, merangkum kata cinta, mewakili rasa.
***

22.10 aku masih menunggumu

Adela fraya.






di muat dalam proyek antologi menunggu.

No comments:

Post a Comment