dear neptunus.
ini suratku kesekian selama aku menjabat sebagai agen neptunus. jabatan terhormat yang pernah kusandang sekaligus jabatan terbodoh bagi sebagian orang yang normal. oke, aku tidak normal.
nus, entah dari mana aku memulai. rasanya aku lelah. setelah kehilangan seorang agen yang paling kusayang. setelah radar kami tiba-tiba putus begitu saja karena keadaan.
beberapa minggu ini hujan tak henti-hentinya turun. dan hampir setiap malam aku pulang larut serta di guyur hujan. seolah hujan ingin menamparku bolak-balik, kemudian menyumpah-nyumpah "dasar gadis bodoh, cepat lupakan dia, cepat! terkutuk kau!" begitu serapahnya.
aku meratap deretan hujan yang mulai menutup pandangan di balik kacamata minusku. mengemis, "Tuan hujan, aku rindu sekali dengan dia. kumohon jangan membenciku. setidaknya biarkan rasa ini ada padaku.."
petir malah menyambar cakrawala pekat, suaranya nyaris menulikan gendang telingaku.
"Aku tidak akan membiarkan kau terus-terusan seperti ini, gadis bodoh!" entah sudah berapa kali ia menyebutku dengan sebutan gadis bodoh. ya, mungkin itu sebutan paling tepat untukku. gadis bodoh. gadis yang selalu merindukan seseorang yang juga dirindukan isterinya. gadis yang mencintai seseorang yang juga sangat dicintai isterinya.
"Aku ingin.." belum selesai aku melanjutkan kalimatku petir menyambar lagi. tuan hujan benar-benar murka. ia berkali-kali melemparkan petir itu padaku.
"Cepat lupakan dia!" ia benar-benar marah padaku.
aku ketakutan setengah mati. ini lebih seram dari pada bertemu dengan penyihir jahat di hutan belantara.
aku duduk tersungkur, pakaianku basah. aku merenung. sedetik kemudian aku tertawa. menggila sejadi-jadinya menertawakan ketololanku. detik berikutnya. aku mulai sesungukan..
nus, aku sulit sekali menghapusnya.. menghilangkan dia dari otak syarafku. memori otakku.
dan hujan pun terus-terusan mengiringi sesungukanku.
Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.
Wednesday, January 22, 2014
Sunday, January 5, 2014
[puisi] pelik
kalau saja hati bisa bicara
pada kata yang di anggap cinta.
mengenang senja yang selalu kita lalui bersama.
kalau saja rindu itu tidak terlalu pelik,
untuk ku palak sebuah peluk darimu.
dengan demikian aku tidak terlalu berkelit untuk rasa yang sulit.
kalau saja aku bisa menutup kedua mataku.
untuk tidak melihat senyummu yang candu! Rancu!
berdiri dengan egoku yang selangit tanpa harus menunggu.
cukup, rindu ini menjadi cambuk tersendiri bagiku. Menyiksaku untuk meminta temu dariku.
sayangnya, kita adalah sebuah kata yang tidak seharusnya hanya tertulis kemarin.
dimuat dalam web klubbuku.
kain satin usang
Kain satin yang
usang.
Kain satin
berwarna putih kecoklatan tergantung di dekat jendela.
Menghadap kaca
di sebelah utara.
Menyisakan wajah
dan telapak tangannya.
Sehari lima kali, dengan asa
limpah pahala.
Kain satin putih
kecoklatan termakan usia.
Polos dan
sedikit lusuh.
Ada harapan di berikan setiap kali senyumnya
muncul ke permukaan.
Di balik
kacamata minusnya, tersimpan kerut-kerut yang mendandakan usianya mulai senja.
Kain satin yang
di sebut mukena.
Simbol kemuliaan
hatinya.
Menemaninya
dalam simpuhan.
Saat ia
melantunkan sajak Tuhan yang paling indah, bernama Qur’an.
Kain satin
usang, menghiasi wajahnya yang sayu.
Membalut tubuh
Ibu setelah berwudhu
Dibawanya untuk
menghadap Mu.
Dengan doa yang
terbalut khusyuk.
Kain satin putih
kecoklatan, suatu hari aku pasti kuganti.
Saya, di lima tahun yang lalu, sekarang, dan di lima tahun yang akan datang
Ovie
nurbaity paring di lima tahun yang lalu, adalah seorang remaja polos yang
setiap pagi masih di bangunin ibunya untuk pergi ke sekolah, saya selalu
terburu-buru mengikat tali sepatu sambil menggigit roti atau pisang goreng buatan
ibu, sering kali lupa mengerjakan PR atau telat datang ke sekolah dan
konsekuensinya saya di hukum berdiri di koridor kelas. Sepulang sekolah, ibu
selalu menyambut saya dengan senyum tulusnya. Ia selalu bisa menenangkan saya
saat wajah saya lelah dengan pelajaran sekolah. Ia menawarkan makan siang,
istirahat dan tidak lupa mengingatkan saya shalat. Sore harinya saya mengaji
dengan semangat 45, malam hari saya belajar, menderes Al-qur’an atau membaca
buku, atau jika tidak ada tugas sekolah, ibu membiarkan saya menonton TV,
kemudian ibu selalu menemani saya sebelum tidur, ia menanyakan apakah saya
sudah memakai lotion anti nyamuk atau belum? Selalu seperti itu. Ya, saya
ingat, kejadiannya persis seperti itu.
Saya
bukan remaja yang bebas keluar malam, saya tidak pernah di izinkan bergaul
dengan banyak laki-laki, tapi di sekolah saya punya banyak teman laki-laki yang
cukup dekat dengan saya dengan predikat teman, waktu itu Ibu bilang saya belum
cukup umur untuk mengenal laki-laki. Padahal saya sudah mengenakan seragam
putih biru. Dan saya menurut.
Sekarang,
saya jauh dari orang tua, sarapan dan makan siang menjadi satu paket, tidur
lewat dari jam satu malam hanya untuk membuat action plan, laporan, meeting,
ataupun mengoreksi soal, saya menjadi wanita yang gila bekerja, dalam arti,
untuk bekerja saya tidak pernah hitung-hitungan waktu. Saya di beri kesempatan
untuk menjadi pimpinan cabang sebuah tempat konsultasi dan spesialis matematika
dengan brand SINAU. Saya harus bangun pagi untuk kegiatan promosi, siang
mengajar dan melayani orang tua yang konsultasi, malam hari saya memanfaatkan
waktu luang saya untuk mengajar privat, saya benar-benar ingin memanfaatkan
waktu luang saya dengan sebaik-baiknya. Saya seperti tidak kenal waktu untuk
bekerja, tubuh saya seperti mesin, otak saya tidak berhenti berpikir, mencari
ide-ide baru yang akan saya wujudkan besok. Saya tidak peduli dengan pergaulan
remaja seumuran saya yang hidupnya tidak jauh dari salon atau mall. Saya lebih
suka berbagi ilmu, mengikuti acara gathering dengan kelompok diskusi buku, saya
lebih suka membicarakan peluang bisnis dari pada bergosip, saya lebih suka membaca
artikel motivasi dari pada mengecat kuku.
Saya
bersyukur sekali menemukan orang-orang sederhana yang hebat luar biasa di
kantor. Saya bertemu dengan bos yang memiliki visi sama seperti saya. Kami sama-sama
menyukai baca buku, menonton debat dan selalu mencari suasana baru, ide-ide
baru yang bergerumul di kepala saya. Beliau bilang, di otak seorang yang
memiliki sifat INTUISING INTROVET (itu sifat saya) banyak sekali ide cemerlang.
Ya, betul. Saya merasakannya. Isteri pak bos yang saya panggil dengan sebutan ummi,
ia alumni matematika UI, saya juga suka berdiskusi dengan dia. Bercerita apapun
bahkan semalam, selesai kami berpesta es krim di kantor saya dan ummi
menghabiskan waktu malam minggu kami dengan menonton seri harry potter
terakhir. Kami sama-sama movie holic ternyata. Hehehe.
Ada
mas budi yang selalu ribut sama saya tiap kali saya dateng ke kantor tapi dia
orang yang baik, mas edi yang pemalu tapi ketika ngobrol dengan saya dia tidak
lagi malu, mas wahyu, mas narto yang sudah saya anggap sebagai kakak saya, mas
wiwit yang paling kocak, kak sem yang selalu stay cool di hadapan cewek, maaf
saya gak mempan di gombalin :p mba wiwit yang doyan belanja. Kantor itu rumah
ke dua bagi saya, entah setelah lelah satu minggu bekerja kantor pusat yang
sekaligus rumah pak bos menjadi tempat berteduh saya. Saya menyukai nuansa
islami di dalam kantor, yang mana—ketika meeting berlangsung dan saat itu adzan
berkumandang, semua meninggalkan pekerjaannya, demi bersujud dan mengucap
syukur yang sebesar-besarnya pada Allah atas rejeki hari ini.
Orang-orang
di sekitar yang membentuk karakter saya, mereka semua inspirasi saya, bahkan
seorang investor yang saya kenal, ia lulusan arsitektur UI, dan jumlah uangnya
tidak terhingga pun masih gila bekerja. Jadikan suatu pekerjaan adalah hobby,
yang mana pekerjaan itu adalah kenikmatan yang kamu lakukan setiap hari.
Saya
mencintai anak-anak, mereka lebih menginsirasi saya untuk lebih banyak
berimajinasi, bahkan saya merasa saya
hidup di dua dunia, dunia pertama adalah dunia realita yang mana—saya harus
selalu bekerja mati-matian, saya jadi wanita yang super keras, teratur dalam
segala hal (sedang berusaha semua hal itu terprogram) kemudian saya menjadi
benar-benar super pendiam, dan lembut ketika saya berada di dunia fiksi. Saya melankolis.
Super melankolis. Saya bisa merangkai frasa yang membuat orang terharu, saya
bahagia berada di dunia fiksi. memang kedengarannya aneh. Tapi saya merasa
nyaman.
Oh
ya, saya masih normal. Saya suka membelanjakan uang saya di mall dan sekalinya
saya ke mall—saya bisa membelanjakan hampir separuh tabungan saya. Hehe.
Saya
tidak terbiasa di manjakan dengan limpahan harta dari orang tua saya, saya
lebih ingin hidup yang seadanya tapi mandiri, saya merasa di usia saya yang
sekarang, saya mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Bahkan saya bisa membagi
uang saya dengan orang tua saya sebagai bentuk terimakasih selama ini. Terutama
ibu saya. Walaupun beliau tidak pernah meminta.
Saya
mendapatkan bayaran jauh lebih tinggi dari yang saya perkirakan sebelumnya, dan
cukup untuk biaya kuliah 8 smester nanti. (saya belum kuliah lho) Dan saya
tidak pernah puas dengan gaji yang saya dapat, saya yakin saya bisa berkembang
lebih dari ini. Tiga bulan kedepan saya sudah punya target menaikan gaji saya
di angka yang gila. Dan saya yakin saya bisa. Hidup kita harus bertarget dan
sistematis.
Lima
tahun kedepan, ini kenapa saya membuat catatan seperti ini, karena bos saya
meminta saya mempunyai dream. Ya, lima tahun kedepan saya harus sudah punya
bisnis yang saya jalani sendiri. Tentunya dengan brand yang sama. Saya sudah
harus memiliki rumah dan tabungan yang cukup untuk memberangkatkan kedua
orangtua saya haji. Saya optimis untuk hal yang ini.
Beberapa
hari yang lalu bos bilang “mbak ovie, kamu harus punya suami seorang pengusaha,”
ucapnya saat kami sedang dalam perjalanan menuju cempaka mas, Jakarta timur. Saya
dan patner kerja saya tertawa, “saya belum punya gambaran tentang suami saya
pak,” balas saya sambil geleng-geleng kepala.
“Oh
itu salah, bermimpilah punya suami yang kamu inginkan. Gambarkan itu dalam
otakmu, insaAllah, Allah paringkan,” ujarnya.
Saya
tersenyum, memiliki seorang suami itu terakhir, setelah saya siap, setelah
kuliah saya selesai. Mungkin beliau lupa umur saya masih 19 tahun dua bulan
yang lalu. Ah masa lupa, saya ingat meneraktir beliau sate kambing! (bahkan bos
saya, saya yang teraktir -_-)
Saya
terdiam, bagaimana sosok suami saya nanti, yang jelas syarat utamanya harus
mengajak saya masuk surga. Itu poin utamanya. Tidak perlu ganteng, tidak perlu
kaya-raya (karena saya bukan yang gila harta atau mata duitan) uang itu gak
perlu di cari. Saya merasa uang yang lebih butuh saya ketimbang saya butuh
uang. Saya ingin bangkit usaha sama-sama, beli rumah sama-sama, beli mobil (kalo
perlu) sama-sama. Karena saya tidak ingin dianggap remeh dan saya juga tidak
ingin meremehkan. Setidaknya, seperti itu gambaran impian saya lima tahun yang
akan datang. Dan (lagi) saya menghabiskan waktu liburan saya di kantor. Saya sangat
enjoy bekerja target.
saya akan bekerja di rumah, mengurus anak, menulis dan tetap menjalankan bisnis saya. wong bos saya aja kantornya di kamar :p
Saturday, January 4, 2014
dua cangkir expresso
Dua cangkir expresso
Harus
bagaimana lagi? Ketika aku sudah tidak mampu menahan bendungan yang bersemayan
di bawah pelupuk mataku—keluar dari dasar kalbu—mengeruyak rindu yang sedari
tadi menggebu, mengingat kepergianmu.
Aku
duduk di kursi paling pojok, menatap kaca bernuansa vitange yang di guyur hujan. Aku memejam sejenak, membiarkan
kekosongan ini menggerogoti asa yang bertengkar dengan frasa imajinasi
senyummu.
“Aku
pasti kembali,” ucapmu sambil menatapku tanpa jeda dengan kesungguhan yang
dibinarkan oleh bolamata cokelatmu.
“Di,
kalo kita bisa bersama, buat apa sih kita buang-buang waktu dengan perpisahan
seperti ini?” di wajahku, sudah tidak tergambar emosi apapun kecuali, sendu
sempurna.
“Ini
hanya sebentar, sayang. Percayalah,” jemari Dio berhasil mengisi tiap ruas
jariku.
Aku
menatap setiap jengkal wajahnya melalui sela-sela kepulan asap dua cangkir
expresso, favorit kita.
“Gak
ada satupun orang yang menginginkan perpisahan, jarak gak bisa ngasih kepastian
hubungan kita,” aku mulai frustasi ketika tidak menemukan apapun di matanya.
“Adela,
tolong mengerti aku. Ini cuma empat tahun, setelah menyelesaikan beasiswa itu,
aku pasti kembali.” Nadanya terdengar penuh kesabaran. Dio lebih hati-hati lagi
ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Tapi
waktu bisa merubah rasa, setelah nantinya kamu kembali, aku gak yakin semua
akan sama seperti sekarang,” aku berkelit, menyadari kehampaan mulai
menyerbuku. Bolamataku panas, dihantam kenyataan.
“Selama
kita saling percaya, jarak bukan apa-apa, kemanapun aku pergi, nantinya tetep
akan kembali ke kamu.” Katanya, lalu ia menyesap kopinya.
Aku
mengerjap-ngerjap beberapa kali agar air mataku tidak tumpah.
“Adela
sayang, tolong jangan buat aku semakin berat untuk ninggalin kamu,” lirihnya.
Senyumnya mengkhawatirkanku.
Aku
terpaku, membisu, dan tidak tau aoa yang harus kuteriakkan. Kecuali, jangan
pergi.
Dio
melirik jam tangannya. Matahari mulai tergelincir menarik rona senja yang
bergelayut di sepanjang cakrawala. “Aku boarding
satu jam lagi,” Dio bangkit dari kursinya menggeser tubuhnya ke arahku,
kemudian mencium pipiku.
Kumohon..
jangan pergi..
“Jaga
dirimu baik-baik,” Dio meletakan kedua tangannya di antara bahuku,
menegarkanku.
Kemudian
yang aku lihat, punggungmu mulai menjauhiku, meninggalkanku pada kekosongan.
Ketika
kamu pergi, yang pertama kali tidak rela adalah air mata.
***
Sudah
92.275.200 detik, aku menunggumu. Ingatan itu seperti puzzle—semakin lama—semakin dengan baik, aku mengingatmu. Aku yang
selalu memunguti sisa-sisa rindu yang setiap pagi mulai berserakan.
Berulang
kali, aku memploklamirkan lelahku, dengan janji yang di iklarkan air mata,
untuk tidak menangisimu. Aku jengah dengan perasaan rindu yang itu-itu saja,
tanpa tau bagaimana aku harus membaginya.
Aku
kembali menyesap cangkir expressoku yang mulai dingin. Seperti biasa, aku duduk
di sudut café, memesan dua cangkir expresso dan berharap, kalau Dio akan datang
dan menyesap cangkirnya.
Angin
malam membuat mata sembabku sayup-sayup. Entah, sudah berapa lama aku di sini,
tapi yang jelas, beberapa cangkir yang menempel pada rak-rak tua, sudah
menyuruhku untuk pergi dari tempat ini.
Banyak
sekali kenangan yang tidak mungkin kulupakan begitu saja, tentang kita, tentang
rasa, asa dan mimpi-mimpi kita.
“Dio,
cepatlah kembali, aku tidak tau bagaimana caranya mengatasi rindu ini sendiri,”
kataku dalam hati.
Aku
mengeluarkan puluhan struk pembayaran kopi sebelumnya, meletakannya di atas
meja, kemudian menuliskan sesuatu..
“Nona,
café ini segera tutup,” ujar seorang pelayan tanpa kusadari sudah berdiri di sampingku.
Aku
mengangguk, kemudian berdiri dan membayar bil.
Sekali
lagi aku meninggalkan segelas cangkir yang masih utuh di sudut café itu.
Dio
tidak akan pernah datang. Aku bergegas pergi dari tempat itu. Lampu jalan
menutupi sebagian wajah senduku. Aku melangkah gontai sepanjang trotoar.
Butiran air mata keluar, merangkum kata cinta, mewakili rasa.
***
22.10 aku masih
menunggumu
Adela fraya.
|
di muat dalam proyek antologi menunggu.
Subscribe to:
Posts (Atom)