Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, September 14, 2013

Love is blind





Semuanya terlihat gelap. Aku meraba-raba sekelilingku, mencari tempat berpegangan untuk bangkit dari tempat tidurku.
“Adira..” aku menemukan suara yang selalu akrab dengan indera pendengaranku. “Aku kira, kamu sudah tidur,” lanjutmu menghampiriku.
“Kan aku selalu menunggumu pulang kantor,” ucapku sambil tersenyum lalu aku merasakan kecupan lembut yang mendarat tapat di keningku. Kamu mulai membelai rambutku dan memelintir ujungnya dengan gemas, seolah itu adalah mainan favoritmu. Padahal  akhir-akhir kata Mamamu, kamu sedikit di sibukan dengan PSP barumu setelah pulang kantor atau hari libur. Beliau yang memergokimu dengan permainan anak belasan tahun itu.
“Aku siapkan makan malam untukmu, ya?” tawarku.
Kamu tidak pernah mau makan malam di kantor. Entah alasannya karena catering di kantor itu tidak pernah enak, atau memang aku harus percaya dengan alas an gombalmu yang menyatakan rindu dengan masakanku. Ya, sepertinya kata-kata gombal itu lebih enak didengar.
“Gak perlu, sayang. Aku sudah bawa ayam bakar untuk kita,”
Aku yakin saat mengatakan itu kamu sedang tersenyum.
Tunggu sebentar … aku mengingat-ingat lagi bagai mana bentuk seringai senyum yang selalu bisa membuat aku jatuh cinta padamu—senyum yang menawan—yang menarik garis-garis sederhana dari wajahmu. Dan kamu tau? Aku selalu bahagia melihat kamu tersenyum, aku masih mencintaimu walaupun aku tidak pernah bisa lagi melihat senyummu. Itu kenyataan paling pahit yang pernah aku terima.
“Waw, ini bukan pesta ulang tahunku kan?” tanyaku, aku meraih tubuhmu, bergelayut manja di lenganmu. Lalu aku bisa merasakan lenganmu mendekapku, erat. Erat sekali.
Setidaknya jika aku tidak akan pernah lagi melihat senyummu, aku masih bisa merasakan kehadiranmu.
“Bukan, kamu salah sayang, aku masih hafal betul tanggal ulang tahunmu, tanggal pernikahan kita, tanggal jadian kita dan tanggal di mana kamu pernah menolakku,” katamu dengan Pe-Denya. Aku tergelak-gelak. Aku pernah menolakmu mentah-mentah. Tapi wanita mana yang tidak luluh kalau ada laki-laki rela mendobrak pintu kamarnya saat ia lupa membawa kunci kamar. Oh sepertinya aku tidak jauh berbeda dengan nenek-nenek.
“Ini adalah makan malam spesial dengan isteriku,”
Aku tertawa getir ketika mendengarmu menyebut wanita tidak berdaya ini sebagai isterimu.
Aku mencoba membuka dasi yang terikat di balik kerah kemejamu seperti biasa—karena tadi pagi aku juga yang memakaikannya untukmu.
“Sayang, kamu gak berminat mencari perempuan lain?... Setidaknya … yang bisa membuatmu lebih bahagia?” aku tau kedengarannya ini bukan pertanyaan yang bagus untukmu. Tapi paling tidak aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini.
“Perempuan itu banyak, banyak banget, tapi buat apa nyari yang lain kalau semua kebahagiaan aku itu ada di kamu,” ucapnya tanpa nada ragu.
Aku menggigit bibirku, merengkuh wajahnya yang tidak pernah kulihat lagi—dengan kedua tanganku. “Kamu tau aku gak sempurna, aku gak bisa lihat kamu, aku gak bisa melakukan segala sesuatu dengan baik, terus apa yang kamu harapkan dari aku?”
Aku bisa merasakan airmataku mengalir, jatuh selaras dengan unek-unek di kepalaku saat ini.
“Kamu pernah gak marah sama aku, waktu kita kecelakaan, dan aku bikin kamu gak bisa liat lagi?” kamu mengelus pipiku pelan.
Aku menggeleng, aku malah takut dengan kondisiku yang seperti ini kamu sudah tidak lagi mencintaiku.
“Jawabannya sama dengan apa yang aku pikirkan sekarang tentang kamu. Seseorang bisa terlihat begitu mencintai pasangannya saat mereka sempurna, tapi aku akan selalu mencintai kamu dan menerima kamu apapun kondisinya. Dan aku bahagia, sangat bahagia. Jadi, jangan pernah minta aku untuk mencari kebahagiaan lain.”
Rasanya lututku lemas, aku tidak bisa berbuat apapun selain membalas cintamu yang begitu dalam.
“Baiklah sayang, sekarang, ayo makan malam denganku. Siapa yang paling banyak menghabiskan ayam bakar dapet bonus cium!” katamu bersemangat.
Aku tersenyum lagi. Semua kebahagiaanku ada di kamu. Sungguh.

2 comments: