Semuanya
terlihat gelap. Aku meraba-raba sekelilingku, mencari tempat berpegangan untuk
bangkit dari tempat tidurku.
“Adira..”
aku menemukan suara yang selalu akrab dengan indera pendengaranku. “Aku kira,
kamu sudah tidur,” lanjutmu menghampiriku.
“Kan
aku selalu menunggumu pulang kantor,” ucapku sambil tersenyum lalu aku
merasakan kecupan lembut yang mendarat tapat di keningku. Kamu mulai membelai
rambutku dan memelintir ujungnya dengan gemas, seolah itu adalah mainan
favoritmu. Padahal akhir-akhir kata
Mamamu, kamu sedikit di sibukan dengan PSP barumu setelah pulang kantor atau
hari libur. Beliau yang memergokimu dengan permainan anak belasan tahun itu.
“Aku
siapkan makan malam untukmu, ya?” tawarku.
Kamu
tidak pernah mau makan malam di kantor. Entah alasannya karena catering di
kantor itu tidak pernah enak, atau memang aku harus percaya dengan alas an gombalmu
yang menyatakan rindu dengan masakanku. Ya, sepertinya kata-kata gombal itu
lebih enak didengar.
“Gak
perlu, sayang. Aku sudah bawa ayam bakar untuk kita,”
Aku
yakin saat mengatakan itu kamu sedang tersenyum.
Tunggu
sebentar … aku mengingat-ingat lagi bagai mana bentuk seringai senyum yang
selalu bisa membuat aku jatuh cinta padamu—senyum yang menawan—yang menarik
garis-garis sederhana dari wajahmu. Dan kamu tau? Aku selalu bahagia melihat
kamu tersenyum, aku masih mencintaimu walaupun aku tidak pernah bisa lagi
melihat senyummu. Itu kenyataan paling pahit yang pernah aku terima.
“Waw,
ini bukan pesta ulang tahunku kan?” tanyaku, aku meraih tubuhmu, bergelayut
manja di lenganmu. Lalu aku bisa merasakan lenganmu mendekapku, erat. Erat sekali.
Setidaknya
jika aku tidak akan pernah lagi melihat senyummu, aku masih bisa merasakan
kehadiranmu.
“Bukan,
kamu salah sayang, aku masih hafal betul tanggal ulang tahunmu, tanggal
pernikahan kita, tanggal jadian kita dan tanggal di mana kamu pernah menolakku,”
katamu dengan Pe-Denya. Aku tergelak-gelak. Aku pernah menolakmu mentah-mentah.
Tapi wanita mana yang tidak luluh kalau ada laki-laki rela mendobrak pintu
kamarnya saat ia lupa membawa kunci kamar. Oh sepertinya aku tidak jauh berbeda
dengan nenek-nenek.
“Ini
adalah makan malam spesial dengan isteriku,”
Aku
tertawa getir ketika mendengarmu menyebut wanita tidak berdaya ini sebagai
isterimu.
Aku
mencoba membuka dasi yang terikat di balik kerah kemejamu seperti biasa—karena
tadi pagi aku juga yang memakaikannya untukmu.
“Sayang,
kamu gak berminat mencari perempuan lain?... Setidaknya … yang bisa membuatmu
lebih bahagia?” aku tau kedengarannya ini bukan pertanyaan yang bagus untukmu. Tapi
paling tidak aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini.
“Perempuan
itu banyak, banyak banget, tapi buat apa nyari yang lain kalau semua
kebahagiaan aku itu ada di kamu,” ucapnya tanpa nada ragu.
Aku
menggigit bibirku, merengkuh wajahnya yang tidak pernah kulihat lagi—dengan
kedua tanganku. “Kamu tau aku gak sempurna, aku gak bisa lihat kamu, aku gak
bisa melakukan segala sesuatu dengan baik, terus apa yang kamu harapkan dari
aku?”
Aku
bisa merasakan airmataku mengalir, jatuh selaras dengan unek-unek di kepalaku
saat ini.
“Kamu
pernah gak marah sama aku, waktu kita kecelakaan, dan aku bikin kamu gak bisa
liat lagi?” kamu mengelus pipiku pelan.
Aku
menggeleng, aku malah takut dengan kondisiku yang seperti ini kamu sudah tidak
lagi mencintaiku.
“Jawabannya
sama dengan apa yang aku pikirkan sekarang tentang kamu. Seseorang bisa
terlihat begitu mencintai pasangannya saat mereka sempurna, tapi aku akan
selalu mencintai kamu dan menerima kamu apapun kondisinya. Dan aku bahagia,
sangat bahagia. Jadi, jangan pernah minta aku untuk mencari kebahagiaan lain.”
Rasanya
lututku lemas, aku tidak bisa berbuat apapun selain membalas cintamu yang
begitu dalam.
“Baiklah
sayang, sekarang, ayo makan malam denganku. Siapa yang paling banyak
menghabiskan ayam bakar dapet bonus cium!” katamu bersemangat.
Aku
tersenyum lagi. Semua kebahagiaanku ada di kamu. Sungguh.
Nyimak aja ya mbak :)
ReplyDeleteSukses terus buat Anda :D
Terimakasih yaaaa. kamu jugaaaa ^^
ReplyDelete