The soul.
“Setiap
orang membicarakan cinta. Mengapa kita malah kehilangan kata-kata. Aku, kamu.
Bisakah menjadi kita? Dengan ikatan mulia, atas nama cinta.” Syaira.
Kurasakan cairan infus mulai
menjalar ke seluruh tubuhku hingga perutku seperti menahan gejolak. Selang
oksigen yang secara paksa di masukan ke lubang hidungku. Alat pengukur detak
jantung juga menempel persis di dada sebelah kiriku. Bau obat yang selalu akrab
dengan hidungku, dan di atas tempat tidur ini yang menjadi saksi, malaikat maut
akan menjemputku ke ruang yang berbeda.
Sebentar. Kuingat-ingat dulu, aku
baru saja masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang lalu. Kurasakan
sesuatu yang hangat di dahiku, aku memaksa menyuruh sel syaraf sensorikku untuk
membuka mata. Samar-samar aku melihatmu sedang mencium keningku. Tapi aku
yakin. Sangat yakin, itu kamu.
Senyummu menarikku ke tiga beberapa waktu
lalu, di mana kita menyimpan sejuta cerita yang telah dilewatkan bersama.
“Sudah aku bilang, kan, kalau
kamu tidak akan sanggup melewati hujan tanpa aku,” kata Andro sambil bertolak
pinggang menghadapku.
Ini minggu ke tiga dari bulan
November, bulan yang paling romantis di antara sebelas bulan yang lain. Air
hujan mewarnai kota ini. Meluncur dari sela-sela atap sekolah. Kulihat wajah
Andro tampak sangat rupawan. Alis matanya yang tebal, bibirnya yang kemerahan,
tubuhnya yang six pack dan nyaris bertolak belakang dengan tubuhku yang kurus.
“Siapa bilang? Aku berani,”
sanggahku menantangnya dengan seluruh keegoisan yang kupunya.
“Oke, coba kulihat? Seberapa
beraninya kamu dengan air hujan yang dingin itu?” kerut-kerut di keningnya
muncul yang menandakan ia ingin mengetahui seberapa nyaliku, dan itu yang
membuatku tersenyum.
“Kalau aku bisa, kamu akan beri
aku apa?” ku lemparkan senyum paling manis ke wajahnya.
“Yang kamu mau apa?” Andro malah
berbalik menantang.
“Aku mau, teraktiran es krim
selama satu minggu, setuju?”
Bolamata Andro terbelalak, “Hanya
itu?” tantangnya membuatku mengingit bibir, “Tidak ada yang lain?”
Aku terdiam sejenak, untuk
membayangkan hal apa yang ku inginkan dari Andro, berenang? Main bulu tangkis?
Mengerjakan PR ku selama satu minggu? Atau mengantar jemput kesekolah setiap
hari?
“Bagaimana kalau menjadi pacarku
selama satu bulan?” pertanyaan Andro sukses membuatku sesak napas, seperti ada
bongkahan es yang menyumbat tenggorokanku.
Kemudian aku tertawa
“Kamu ini sudah gila? kamu mau
aku diintimidasi oleh Elly?” kataku membelalakan bolamata.
Senyum Andro keluar dari sudut
bibirnya, aku seperti lebih membutuhkan senyumnya dari pada ratusan obat yang
sudah mengakar di tubuhku.
“Itu konsekuensi dari taruhan
ini,”
Mataku melotot ke arah Andro,
tidak setuju dengan argumentasinya.
“Andro, kamu tau..” belum selesai
aku bicara Andro sudah menelan kata-kataku dengan tatapannya yang cukup tajam
tubuhnya yang terlalu dekat denganku membatku sedikit bergetar. “Aku bisa
bicarakan nanti dengan Elly,” ucapnya pasti.
“Sekarang, aku ingin melihat
seberapa nyalimu?” lanjutnya.
“Baiklah,” kataku tidak ambil
pusing.
Kucopot kedua sepatuku lalu mulai
aku mendekat ke ujung teras, gemercik air hujan sudah mulai membasahi sebagian
rok abu-abuku. Aku tau Andro sudah tidak sabar melihat tindakan kuselanjutnya,
karena itu aku bersiap mencelupkan kaki kananku.
“Andro!” teriak wanita yang
suaranya akrab di telingaku dan sukses membuat konsentrasi aku dan Andro.
Elly menghampiri Andro dengan
setengah berlari. “Ayo kita pulang! Mama sudah menunggu kita untuk makan malam
bersama,” ucap Elly setelah sukses meraih tubuh Andro dan bergelayut di
tangannya.
Aku cemburu, rasanya ingin sekali
mengguyurkan air seember air es di kepalaku, karena air hujan di hadapanku
belum cukup dingin untuk menyadarkanku.
“Aku mau main bersama Ara,” kata
Andro sambil menatapku penuh harap.
Kemunculan senyum dari sudut
bibirku menutupi kecemburuanku saat itu. “Besok kita masih bisa bermain lagi,”
ucapku meyakinkan Andro.
“Lihat, senja mulai datang,
sebaiknya kita cepat pulang.” Sergah Elly.
Kuperhatikan anggukan Andro
perlahan. Ia seperti menyerah dengan keadaan. Aku masih terpaku dengan air
hujan di hadapanku saat Andro mulai menjauh dariku. Satu detik kemudian aku
menemukan tubuhku yang basah. Ku usap wajahku dengan kedua telapak tangan,
berharap apa yang aku lakukan barusan bukan apa-apa. Aku berjalan ke tengah
hujan, akan ku buktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa tanpa Andro.
Tubuhku bergetar, aku menggigil
di tengah terpaan hujan. Bagaimana mungkin aku mencintai Andro? Tapi sungguh,
aku mencintainya.
Seperti ada aliran hangat yang
keluar dari lubang hidungku, turun ke baju seragamku, lalu jatuh ke tanah dan
tercampur air hujan dan aku tau, itu darah. Dan saat itu juga aku menghakimi
diriku sendiri. “Andro, aku tidak bisa tanpamu.” Ucapku pelan, dan
pengelihatanku mulai kabur, aku jatuh.
***
“Bagiku,
kamu adalah titipan tuhan yang harus ku jaga, titisan malaikat dari surga yang
turun ke bumi untuk bertemu denganku. Jika kita di takdirkan untuk bersama maka
cinta takan lari kemana. Jika tidak. Maka kenanglah aku sebagai bunga tidurmu.”
Andro.
Lelaki macam apa aku ini?
mementingkan egoku dan meninggalkan Ara begitu saja, di tengah lebatnya hujan
kemarin. Lihat wajahnya pucat, tubuhnya semakin kurus, dan aku tidak melihat
rona jingga dari bibirnya. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai terjadi
apa-apa dengan gadis yang paling kucintai.
“Hai Ara,” ucapku saat melangkah
menghampiri Ara, kulihat ia sedang serius dengan buku yang dibacanya. Kucium
pipinya seperti biasa saat kami bertemu. “Are
you okay?” tanyaku smbil memandangi wajah Ara.
Rupanya Ara cepat menangkap
pertanyaanku, ia segera mengangguk tanpa melihat wajahku.
“Kamu terlihat pucat?” kali ini
bolamataku mencoba menatap bolamata Ara lurus-lurus.
“Oh, aku belum makan siang,” kata
Ara dengan suara parau dan sukses membuat aku tidak percaya dengan jawabannya.
Kulihat Ara membatasi bukunya dengan telunjuk pada paragraph yang tengah ia
baca. “Aku Cuma sedikit Flu.” Lanjutnya.
“Kalau gitu, ayo kita makan
siang!” ujarku tidak perduli setuju atau tidak dengan usulanku, ku raih
tangannya beberapa menit kemudian aku berhasil mendudukkannya di salah satu
kursi di kantin.
“Kamu mau makan apa? Soto, bubur,
nasi rames, atau bakso?” tanyaku sambil menunjuk sederet gerobak pedangang di
kantin sekolah.
“Cukup teh manis hangat,” ucap
Ara.
“Enggak, kamu harus makan.”
Kataku.
Kutemukan Ara hanya memandangku
dengan tatapan cemas. Aku langsung melangkah menuju pedagang soto, dan memesan
satu porsi tanpa daun bawang yang seperti biasa dia pesan. Aku kembali ke
hadapannya dengan membawa nampan yang berisi soto dan teh manis hangat. Dan kudengar
Ara sedang berbicara di telpon, “Dia ada di hadapanku, kalau kamu mau kesini
saja, tidak masalah.” Ucap Ara lalu mengakhiri percakapan. Kupastikan yang
barusan menelpon Ara adalah Elly, tapi aku tidak peduli dengan itu.
Tatapan Ara kembali pada mangkuk
soto yang sudah kuletakan di hadapannya. Aku hanya menemani Ara disampingnya,
dan memastikan kalau makanan itu habis. Usai makan kami kembali ke kelas, aku
harus memapah tubuh Ara yang terlalu lambat untuk berjalan, sebelumnya aku
sudah menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Ara mengelak, ia memilih
mengikuti jam pelajaran sampai usai. Sebelum kami sampai kelas, ku rasakan
tubuh Ara bergetar. Lututnya melemas hingga ia hampir terjatuh di lantai.
“Ara.. Ara..” panggilku, sambil
mengguncang-guncang tubuhnya.
“Aku baik-baik saja,” ucap Ara ku
lihat senyum masih muncul di bibirnya. Tapi wajahnya sepuluh kali lebih pucat
dari sebelumnya. Ku lihat aliran darah mulai keluar dari hidungnya dan sedetik
kemudia ia sudah tak sadarkan diri.
Dalam perjalanan menuju rumah
sakit, Ara terus memanggil-manggil namaku. Sementara handphoneku berdering ada
panggilan dari Elly, aku tidak mempedulikannya. Kulihat Ara menggenggam erat
tanganku, seperti ia tidak ingin kehilanganku. Ara.. andai kamu tau, seberapa
besar aku tidak ingin kehilanganmu. Ucapku dalam hati.
“Its okay.. its okay, I’m here..” ucapku.
Sampai di rumah sakit, Ara
langsung dilarikan ke UGD. Satu jam aku menunggu, sampai ia dibawa ke ruang ICU
untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut. Aku hampir ingin menonjok diriku
sendiri. Bagaimana bisa aku tidak tahu selama ini Ara menderita leukemia, atau
kanker darah. Aggrrrhhh! Tinjuku melesat ke tembok rumah sakit dan membuat
tanganku memar. Tubuh Ara sudah terbaring lemah di atas tempat tidur dengan
baju rumah sakit. Aku memandang Ara dengan bisu. Sudah kutelpon kedua orang
tuanya, dan mereka dalam perjalanan kemari.
Ara mulai membuka matanya, ia
memanggil namaku, “Andro..” lirihnya.
“Iya sayang, aku disini.” Kataku,
panggilannya seolah membuyarkan rasa frustasiku. Aku sangat sayang pada Ara.
“Taruhan kita belum selesai, kan?
Besok kita main lagi.”
“Pasti.”
Ara menarik napas sejenak. Akan
kubuktikan perasaanku padanya. Aku tidak ingin waktu terus menghabiskanku untuk
memendam perasaan. “Ara..” ucapku.
Kulihat senyum Ara yang membuat
hatiku terenyuh. “Aku mencintaimu, sungguh,” nadaku terdengar cukup pasti.
Ara menarik tanganku untuk
memasukan jarinya ke sela-sela jariku.
“Andro..” panggilnya.
“Ya,” dengan sabar aku menunggu
jawabannya.
“Aku..” kudengar napasnya
terengah-engah untuk meneruskan kalimatnya. “Aku..”
Aku menunggu sampai satu menit,
tapi tidak ada lagi kata yang terucap dari mulutnya. Ia hanya memandangku cukup
lama. Tidak lama kemudian, kabel yang menghubungkan Ara dengan sebuah kotak mesin
yang sekarang hanya berbunyi “tuuuuut…” dan layarnya menunjukan garis putih
lurus tanpa ada grafik di sana.
“Ara, ara!” teriakku saat
menemukan matanya telah tertutup. “Ara katakan kalau kamu juga mencintaiku!” kuguncang-guncang
tubuhnya yang tidak bergerak. Tidak lama kemudian dokter dan beberapa suster
datang dengan wajah panik. Salah satu suster memintaku untuk meninggalkan
ruangan.
Orang tua Ara berlarian
menghampiriku dan menanyakanku tentang kondisi Ara, aku tidak bisa menjawabnya.
Dengan perasaan gundah yang melanda, lima belas menit kemudian, sebuah tempat
tidur trolly sudah keluar dari ruangan dengan seseorang yang tubuhnya sudah
tertutup kain putih.
Ara.. kau lah satu-satunya wanita
yang kucintai.