Diana menatapku dengan lapisan kekecewaan di matanya yang hampir
berkaca-kaca. Perempuan manis yang senyumnya selalu memesona setiap kali ia
menatapku itu kini terlihat muram.
Aku tau ini salahku.
Dan aku sungguh menyesalinya.
“Aku tidak ingin menemuimu lagi.” Itu kalimat paling pedih yang pernah
Diana ucapkan untukku. pipi merahnya memucat, aku tidak tau sejak kapan. Aku
tidak pernah melihat Diana lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Setelah aku
memutuskan untuk menghilang dan pergi dari kehidupannya.
“Maafkan aku, Diana,” suara parauku memenuhi gendang telinga. Menjadi
atmosfer pilu sejurus dengan Air mata gadis jawa-sunda itu. Bulir itu melewati
garis hidungnya yang bangir, lalu turun mendekati bibir meronanya yang memucat.
Kepedihan seperti membelenggunya. Aku ingin menyergahnya, memeluknya
dalam-dalam menenangkahnya agar ia tidak lagi menangis. Tapi, sial, akulah
laki-laki keparat yang membuatnya.
“Kenapa kamu datang lagi, Ardi?” aku mendengar nada rintih dalam
kalimatnya. “Aku bukan perempuan yang seenaknya bisa kamu tinggalin, terus kamu
datang lagi saat aku bersusah payah melupakan kamu,”
Sekali lagi ini salahku.
Aku meraih tangan Diana, memilin jemari-jemarinya yang kecil lalu
menciumnya, menghirup kepedihan yang ia rasakan selama bertahun-tahun tanpa
aku. Setelah janji-janji yang telah kita buat untuk melanjutkan hidup. Dan
dalam sekejap aku menghancurkannya. Aku meninggalkannya begitu saja dengan ke frustasianku
pada dunia.
Diana menarik tangannya dengan terpaksa. “Aku pikir kedekatan kita selama
ini karna sebuah rasa yang sama. aku pikir semua yang sudah kita lewati bersama
karena adanya keterikatan. Tapi cinta ini Cuma aku aja yang ngerasain. Kamu tidak.”
Senyum Diana membuatku semakin pedih.
“Terus untuk apa selama ini kita
kenal? Dekat? Kalo ujung-ujungnya kamu memilih pergi, Ardi?” Diana menatapku
dengan sejuta pertanyaan di matanya.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk meninggalkan gadis seperti
Diana. Bukan karena ia cantik, namun kelembutan hatinya yang selalu kudapatkan
setiap kali temu menghampiri kami. Aku selalu menemukan empati yang lebih besar
dari pada logika dalam diri Diana. Selalu bersifat subjektif tentang rasa dan
asa. Selalu ingin di bela dan di temani. Dan tidak ingin sendirian. Untuk itu,
mungkin perempuan tercipta.
Namun saat itu, aku mendapati keputusasaan yang begitu dalam. Sebuah putus
asa yang membuat hati wanita lain ikut putus asa juga.
“Lebih baik kita tidak pernah kenal sama sekali.” Itu ucapan kedua yang
menyakitkan dari Diana. Aku membisu. Diana perlahan pergi meninggalkan aku dan
semua rasa bersalahku yang terkutuk.
Tidak ada salam perpisahan atau pelukan, tidak ada juga kata-kata yang
membuat gadis itu berbalik lalu memelukku. Tidak ada pula lelaki yang
mengejarnya. Karena aku tau, aku bukan pahlawannya. Aku hanya bajingan yang
melukai hatinya selama bertahun-tahun dalam penantian tanpa berujung pada
sesuatu yang berkaitan dengan asa. Semuanya, Tidak ada. Cerita ini sudah selesai
dengan isak tangis yang terdengar samar-samar dari pundak perempuan yang
terguncang-guncang. Lalu hilang.
Berakhir sudah aku. Diana.
Diana, Kekasihku.
Aku tertawa keras-keras.
Entah kenapa beberapa perempuan berbaju putih dengan topi mirip trapesium
itu hobbi mengikatku di tempat tidur. Padahal aku hanya ingin menemui
kekasihku. Diana yang cantik jelita.